12.12.2008

RETORIKA KAUM BIJAK

IMAM SYAFI’I berkata:

Aku keluhkan pada Waki’ (guru) akan buruknya hapalanku.

Lalu dia menganjurkan padaku agar aku meninggalkan maksiat.

Dia menyampaikan kepadaku bahwa ilmu itu cahaya.

Dan cahaya Allah tidak dihadiahkan kepada pelaku maksiat.

ALI BIN ABI THALIB BERPESAN KEPADA PUTERANYA, HASAN

Wahai anakku, jagalah dariku empat hal dan empat hal lain tidak akan mencederaimu selama engkau berpegang dengannya. Kekayaan yang maksimal adalah akal, kemiskinan terbesar adalah kebodohan, keliaran terbesar adalah kesombongan, dan garis keturunan yang terbesar adalah akhlak mulia.


Wahai anakku, hindarilah berteman dengan orang dungu karena dia kelihatan memberi manfaat kepadamu lalu dia mencelakakanmu. Hindarilah berteman dengan orang kikir karena dia menjauhkan darimu apa yang paling kamu butuhkan. Hindarilah berteman dengan orang bejat karena dia akan menjualmu dengan harga murah. Hindarilah berteman dengan pembohong, karena dia bagaikan fatamorgana, mendekatkan bagimu yang jauh dan menjauhkan yang dekat.


RENDAH HATI

Rendah hatilah bila Anda memperoleh martabat di tengah manusia.

Sungguh orang tinggi martabatnya adalah orang yang bersikap rendah hati.

Rendah hatilah bila harga diri Anda tinggi.

Sungguh kerendahan hati seseorang pertanda dia berakal.


RENDAH HATI

Rendah hati laksana bintang yang kelihatan rendah bagi yang melihatnya.

Pada permukaan air padahal dia sendiri tinggi di atas sana.

Janganlah Anda bagaikan asap membumbung tinggi dengan sendirinya.

Ke lapisan-lapisan udara padahal dia sendiri hina (tidak ada apa-apanya).

KESABARAN

Kesabaran itu bagaikan jadam pahit rasanya.

Akan tetapi, kesudahannya lebih manis daripada madu.

Berperangai snatunlah bila Anda didera kemarahan.

Dan penyabar bila musibah menimpaAnda.

BUSHAIRI mengatakan:

Nafsu itu bagaikan bayi, bila Anda biarkan terbiasa dengan kesenangan menyusu terus-terusan.

Namun, bila bila Anda lepas, dia akan terlepas dan berhenti.

Seringkali nafsu kelezatan indah di mata seseorang tetapi membinasakan.
Karena dia tidak sadar bahwa racun ada dalam lemak (yang lezat).

SYAIR 'AMRU BIN AL WARDI TENTANG MENUNTUT ILMU
Tuntutlah, janganlah malas,
Alangkah jauhnya kebaikan dari orang yang malas.
Dan jangan katakan sudah lewat masanya untuk belajar.
Karena semua yang berjalan di atas jalannya akan sampai.
Dan janganlah selalu menyebut asal usul dan rumpun suku Anda.
Sesungguhnya aslinya seseorang itu adalah apa yang dia telah capai.

ANJURAN UNTUK BELAJAR
Orang berilmu itu besar meskipun muda
Dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah berumur.
Belajarlah karena tidak seorangpun dilahirkan dalam keadaan berilmu.
Tidaklah orang yang berilmu itu sama dengan orang bodoh.
Sesungguhnya tokoh masyarakat yang tidak berilmu,
Nampak kecil bila berada dalam suatu majelis pertemuan.

DORONGAN BELAJAR
Barang siapa tidak merasakan derita belajar sesaat.
Dia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Barang siapa meninggalkan belajar waktu mudanya,
Maka bertakbirlah empat kali atas kewafatannya.
Kehidupan pemuda sungguh hanya dengan ilmu dan ketaqwaan.
Tanpa ilmu dan taqwa, dia tidak dapat dianggap apa-apa sama sekali.



12.10.2008

Menjadi pribadi yang unggul dan menyenangkan

Mengenal kepribadian diri sendiri

Kepribadian merupakan satu istilah yang mungkin sering kita dengar. Praktis kepribadian bukanlah sesuatu yang asing diperbincangkan, apalagi dalam keseharian, kita sering bersentuhan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian. Berapa banyak orang yang Anda temui dalam sehari? Berapa banyak orang yang Anda ajak bicara dan berhubungan setiap hari? Berapa banyak orang yang pernah menyakiti dan membuat Anda senang? Berapa banyak keanehan yang Anda temukan pada diri orang lain dalam sehari?. Jawaban dari semua pertanyaan itu merupakan estimasi jumlah kepribadian yang Anda temui setiap hari...

Kepribadian pada dasarnya merupakan suatu konstruk yang secara alamiah maupun dipelajari menjadi bagian integral individu dan mendasari setiap pikiran, perasaan, dan perilakunya. Misalnya, kepribadian yang lembut (feminim) tergambar dari pikirannya yang elegan, humanis, dan santai; perasaannya halus, sensitif, dan memiliki kepekaan terhadap kondisi eksternalnya; dan perilaku yang lemah lembut, jauh dari kecenderungan untuk berbuat kasar kepada orang lain, punya kepekaan dalam membantu orang lain, menjaga lisan, dan sebagainya.

Kepribadian dalam konsep psikologi lahir dari dua proses, yaitu proses alamiah (faktor gen/biologis) dan proses belajar (belajar dari lingkungan eksternal, melalui imitasi, produksi perilaku, konformitas, dan sebagainya). Kepribadian seseorang sering dikaitkan dengan kondisi internal keluarga, dan banyak kita temui seseorang memiliki kepribadian tertentu divonis karena faktor keturunan, misalnya karena Ayahnya seorang tempramental, maka anak yang tempramental mewarisi kepribadian ayahnya. Padahal, tidak sepenuhnya benar. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu bersentuhan dengan konteks sosial (masyarakat), banyak hal yang kita lihat dan pelajari, dan secara sadar maupun tidak sadar mempengaruhi pola pikir, pola tindakan, dan bahkan kepribadian kita.

Mengenal kepribadian diri sendiri merupakan hal yang sangat penting. Sebab, dengan mengenal kepribadian kita sendiri, maka kita tahu bahwa keadaan kita yang sebenarnya seperti apa. Kita dengan mudah dapat melakukan adjusment dengan lingkungan sekitar, sehingga interaksi kita dengan lingkungan sekitar tidak menimbulkan konflik yang destruktif. Dengan mengenal kepribadian diri sendiri, maka kita dapat mengetahui potensi diri kita; kita dapat mengetahui sejauh mana kemampuan kita dalam menghadapi suatu tantangan dan seberapa baik kita dapat menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan kepada kita. Dengan mengenal kepribadian diri sendiri, kita akan tahu bagaimana sikap, pola pikir, dan perilaku kita dalam menghadapi suatu masalah, berinteraksi dengan orang lain, membangun kelekatan sosial, dan sebagainya, sehingga kita dapat mengevaluasi diri sendiri tanpa harus berkonsultasi kepada psikolog atau konselor.

Karena itu, kenalilah kepribadian Anda, karena dengan mengenal kepribadian Anda, maka Anda akan dengan mudah mengevaluasi diri Anda sendiri, Anda akan dengan mudah menempatkan diri di lingkungan sekitar Anda. Anda akan dengan mudah berinteraksi dengan orang lain dan memahami kedudukan Anda.

Karakteristik kepribadian

Kepribadian pada dasarnya memiliki dua karakteristik utama. Pertama, kepribadian dapat diubah atau dimodifikasi sesuai dengan apa yang diinginkan. Dalam teori Belajar Sosial (Albert Bandura), perilaku seseorang lahir dari proses belajar terhadap perilaku model. Seseorang dapat melakukan hal tertentu karena melihat apa yang dilakukan oleh orang lain (model). Dalam konteks ini, kepribadian seseorang dapat diubah dengan melihat kepribadian model. Salah satu yang menyebabkan seseorang mengikuti perilaku/kepribadian model adalah adanya ketertarikan dan kedekatan secara emosional dengan model. Jadi, pada dasarnya, kepribadian seseorang dapat dirubah melalui proses belajar.

Kedua, kepribadian merupakan entitas yang mendasari perilaku seseorang. Kepribadian ibarat database yang memuat semua file mengenai perilaku seseorang. Kepribadian mencakup semua perilaku yang telah, sedang, dan mungkin akan dilakukan seseorang. Kepribadian dalam konteks ini menjadi jiwa bagi pikiran, perasaan, dan perilaku sesorang. Karenanya, kepribadian seorang psikopat tidak akan jauh dari perkataan yang menyakitkan orang lain, celaan, hinaan, perusakan, menyakiti, bahkan membunuh orang lain. Karena itu, kenalilah kepribadian Anda, jangan biarkan Anda tidak mengenal kepribadian Anda sendiri. Tuhan menganugerahkan kepribadian kepada kita sebagai alat dalam mengarungi kehidupan ini. Kita ditugaskan untuk mengoptimalkan hal tersebut, dan mengenalinya secara mendalam agar dapat mengarungi kehidupan ini dengan lebih baik.


Pribadi yang unggul dan menyenangkan


Mendeskripsikan kepribadian pada dasarnya merupakan hal bersifat metafisika, artinya karena kepribadian sesuatu yang abstrak, maka agak sulit untuk memperoleh deskripsi tunggal dan diterima semua orang. Tetapi, paling tidak, dengan deskripsi ini, diharapkan dapat memberi sedikit gambara mengenai kepribadian.

Pribadi yang unggul pada dasarnya tidak jauh dari kata-kata optimistik, fighting spirit, istiqamah, tawakal, dan amanah. Kepribadian yang unggul sebenarnya merupakan kepribadian yang menjadikan seseorang lebih progresif dalam menjalani hidup; lebih siap menghadapi segala tantangan; lebih siap menerima segal konsekuensi dari apa yang telah dilakukan. Pribadi yang unggul senantiasa tercermin dalam perilaku sehari-hari yang memaksimalkan waktu yang dimilikinya untuk mengerjakan hal-hal yang positif; memperbanyak teman pergaulan; menghargi setiap usaha yang dilakukan; memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya sendiri. Pribadi yang unggul menjadikan seseorang lebih optimistik dalam melakukan kegiatan sehari-hari; memandang bahwa kegagalan adalah pelajaran yang sangat berharga dan merupakan modal untuk meraih kesuksesan.

Pribadi yang menyenangkan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pribadi yang unggul. Hanya saja, pribadi yang menyenangkan lebih pada hal-hal yang bersifat afeksi (perasaan). Pribadi yang menyenangkan adalah pribadi yang dapat mencairkan setiap suasana, menjadikan segalanya tampak indah, menjadikan hal yang rumit sekalipun sebagai hal yang biasa saja. Pribadi yang menyenangkan antara lain pribadi yang humoris, cool, bijaksana, easy going, dan terbuka pada hal-hal yang bersifat baru.

Nah, apakah Anda sudah mengenal kepribadian Anda? Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan men

hermeneutika filsafat: implikasinya terhadap pemikiran hukum Islam

M. Natsir Asnawi

Mah. Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin

I. Pendahuluan

Pemikiran hukum Islam sebagai sebuah dinamika menjadi bagian inheren dalam konstruk peradaban masayarakat muslim. Pemikiran hukum Islam lahir sebagai refleksi kontemplatif atas dogma dan doktrin syariat yang menjadi pedoman dan sebagai life pathways umat muslim, baik dalam konteks ibadah maupun dalam konteks muamalah.  
Hukum Islam-sebagai aktualisasi kalam Ilahi dan sunah nabi-sejatinya bersifat universal dan komprehensif, karena secara substantif hukum Islam hadir sebagai sebuah entitas yang utuh dan integratif. Implikasinya, memahami dan menafsirkan substansi-substansi dalam hukum Islam tidak secara partikularistik, melainkan mengintegrasikan setiap dimensi dalam hukum Islam itu sendiri yang pada akhirnya melahirkan suatu konstruk pemahaman dan pengamalan yang padu. 
Eksistensi hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan dalam masyarakat muslim, paling tidak karena dua hal. Pertama, hukum Islam menjadi instrumen yang legitimatif bagi masyarakat mengenai benar dan salah serta konsekuensi bagi setiap perbuatan yang dilakukan, baik secara individu maupun secara kelompok. Dalam konteks ini, hukum Islam berkedudukan sebagai regulator masyarakat. Kedua, hukum Islam merupakan pathways bagi umat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan diri sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. 
Dalam beberapa dekade terakhir, pemikiran hukum Islam diwarnai munculnya paradigma-paradigma yang menawarkan konstruk terbaik dalam menafsir dan mengaktualisasikan hukum Islam. Akan tetapi, bila menilik secara historis, dinamika tersebut ibarat de javu pertarungan pemikiran antara kaum Mu’tazilah yang moderat dengan Asy’Ariyah dan Khawarij yang konservatif. 
Pertarungan pemikiran-yang pada intinya bermuara pada polemik boleh tidaknya interpretasi filofofis-rasional terhadap hukum Islam dalam al Qur’an maupun al Hadits-antara kaum liberal dengan konservatif merupakan keniscayaan sejarah dan sosial, sebab pada dasarnya dinamika tersebut merupakan fundamentasi dasar yang melapisi konstruk pemikiran masyarakat serta sebagai lokomotif pergerakan umat. Hanya saja, aksentuasi kita pada polemik tersebut sejatinya berkisar pada makna teks yang ada dan tidak pada tataran justifikasi setiap produk makna yang dihasilkan, sehingga apa pun makna yang dihasilkan dari paradigma yang dipakai menafsir makna teks, maka hal tersebut harus dipandang dan diinterpretasi secara proporsional dan objektif tanpa harus menimbulkan gesekan psikologis di antara kaum muslim.
Seperti disebut sebelumnya, eksistensi paradigma filosofis-rasional dalam menafsir makna teks lahir sebagai sebuah upaya menafsir makna teks dari perspektif yang berbeda. Tujuan utamanya adalah memahami dan mengaktualisasikan secara kaffah amanat teks tersebut. Tegasnya, penafsiran secara filosofis-rasional merupakan upaya untuk memaknai lebih jauh jiwa dan kandungan teks, sehingga pengamalannya berangkat dari pemahaman yang utuh yang bermuara pada peningkatan kualitas ibadah kepada Tuhan serta keinsafan yang utuh akan ayat-ayat Tuhan. Bagaimanapun, pemahaman teks yang kaku-sebagai terdapat dalam beberapa konstruk pemikiran hukum Islam-secara simultan mematikan energi rohani untuk membuka tabir makna terdalam suatu teks. 
Paradigma filosofis-rasional salah satunya diwakili oleh hermeneutika yang merupakan konstruk pemikiran eksklusif dalam menafsir makna teks atau ayat. Dalam beberapa catatan, penulis menemukan bahwa hermeneutika muncul sekitar abad pertengahan di Eropa. Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kaidah untuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 yaitu arti tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Ketika Martin Luther menampilkan corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama bermunculanlah karya-karya seputar kaidah-kaidah penafsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus exponent darum sacarum literum (penafsiran kitab suci atau metode penjelasan teks-teks kitab suci) karya Dannhauuer dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi . 
Sebagai catatan, kehadiran hermeneutika dalam ranah pemikiran hukum Islam menimbulkan kontroversi di kalangan pemikir Islam kontemporer, baik yang liberalis maupun yang konservatif. Didasari dengan berbagai argumentasi, kehadiran hermeneutika sebagai paradigma baru dalam pemikiran hukum Islam ditolak oleh sebagian pemikir muslim yang melihat paradigma tersebut lebih cenderung destruktif terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam. Pun demikian, di beberapa kalangan pemikir, kehadiran hermeneutika justru dilihat sebagai peluang untuk dapat menafsir teks secara komprehensif dalam rangka menangkap makna-makna hakiki dari teks tersebut. Hermeneutika dipandang sebagai salah satu way of thinking yang komprehensif guna mengungkap secara massif makna-makna teks. Indikasi-indikasi demikian menjadi dasar dalam pembahasan tema makalah ini. Pergerakan pemikiran berbasis hermeneutika coba diurai secara transparan dan objektif dengan harapan akan diperoleh deskripsi yang signifikan mengenai substansi hermeneutika dan implikasinya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam.

II. Definisi Hermeneutika

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemeberitahuan, terjemah. Hermeneutika (dari bahasa Yunani Ερμηνεύς hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang dapat didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Hermeneutika biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab. 
Istilah hermeneutika merupakan turunan dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memakai bahasa “langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”. Untuk tujuan itulah maka diperlukan interpretasi. Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Melalui hermeneutika, hasil sebuah analisis dapat berbeda atau sama dengan maksud penggagas, sebab ketika suatu wacana diwujudkan ke dalam bentuk tulisan, menurut Paul Riceour, yang terjadi sesungguhnya adalah pelestarian "makna wacana", bukan "peristiwa wacana" itu sendiri. Dengan demikian, wacana tertulis tersebut memperoleh otonominya yang rangkap tiga: otonom dari maksud pengarang; otonom dari konteks sosio-historis awal yang melatarinya; dan otonom dari kelompok sasaran awalnya. Bersamaan dengan itu, wacana tertulis atau teks menjadi sesuatu yang pasti pada dirinya. Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks

III. Substansi Hermeneutika

Hermenutika sebagai telah diungkap di atas pada dasarnya merupakan suatu bentuk dialektika kontemplatif atas upaya menafsir makna-makna teks secara mendalam. Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap konstruk penafsiran atas suatu teks dengan landasan teoretik yang fleksibel serta konteks yang menyertainya. Hermeneutika dapat dikatakn sebagai upaya protes atas entitas penafsiran teks yang selama ini dianggap sangat membelenggu ruang-ruang pemikiran manusia yang menyebabkan manusia tidak mampu menafsir dan menangkap hakikat teks tersebut. Dapat ditebak, teks hanya dipahami sebatas pada makna ‘raga’-nya saja dan secara simultan kehilangan makna ‘ruh’-nya, sehingga substansi teks tidak tertanam dalam pemikiran manusia. Teks tidak lebih sebagai entitas yang tidak memiliki daya untuk menggiring manusia ke dalam dimensi makna yang lebih dalam; sebagai upaya aktualisasi diri.
Dalam hermeneutika, otonomi teks menjadi aksentuasi tersendiri, sebab otonomi teks merupakan entitas yang integratif dalam suatu teks. Otonomi teks menjadikan teks itu sebagai wilayah penafsiran yang sangat komprehensif, sehingga penafsir diberi kesempatan untuk mendalaminya dan menggali secara signifikan makna yang mungkin ditangkapnya dan diaktualisasikannya secara esoteristik. 
Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks.  
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem "pemahaman", yakni bagaimana memahami dengan benar, sedangkan makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk "merekonstruksi makna". Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher, sebagai pencetus hermeneutika teoretis, menawarkan dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung, kedua, pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak obyektif, sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara berempati kepada penggagas.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, hermeneutika, menurut Gadamer, berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Karena itu, dengan mengambil konsep fenomenologis Heidegger tentang Dasein (ke-Ada-annya di dunia), Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan metodologi. Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoritis yang menggagap hermeneutika bertujuan menemukan makna obyektif. Gadamer menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif atau definitif sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena dua alasan, pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua, memahami bukanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna teks yang subyektif. Memahami menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir dan horizon teks. Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis, pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks. 
Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomonikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca, sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks. 
Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Dalam kegiatan penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir atau pembaca didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra pemahaman. Namun penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud memberikan kebebasan mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-rambu, yakni agar penafsir bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya membiarkan teks menghadiri penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara keduanya untuk menghilangkan ketegangan. Sebab, sebagaimana pembaca, teks juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut horizon teks. Dengan prinsip makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horison, yakni mempertemukan pra pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Dalam negosiasi itulah, makna yang dicari bersemayam. 
Penekanan Gadamer pada fusi horizon dalam menemukan makna didasarkan pada argumen bahwa seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya dan apalagi memasuki tradisi dan prasangka orang lain. Menurut Gadamer, keduanya pasti hadir dalam setiap tindakan menafsir, lantaran keduanya merefleksikan keterkondisian historis umat manusia. Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang hendak "merekonstruksi makna", tujuan utama hermeneutika filosofis adalah "memproduksi makna teks", melalui fusi horison pembaca dan horizon teks. Begitu makna produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke dalam konteks di mana pembaca berada.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca, Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru diabaikan. Sesuatu dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.

IV. Sejarah kemunculan dan Perkembangan Hermeneutika

Dalam perspektif pandangan hidup, hermeneutika merupakan konsep atau teori yang lahir dan berkembang dari suatu milleu masyarakat. Milleui yang dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuwan. Hermenutika merupakan refleksi dari gejolak pemikiran masyarakat yang terus mengalami proses dinamisasi, tidak terkecuali pada dimensi keagamaan (religiusitas).
Werner menyebutkan tiga melliu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama Mellieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua mellieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga mellieu masyarkat Eropa di jaman Pencerahan (enlightment) yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika ke luar konteks keagamaan .
Dengan menggunakan data tentang millieu yang mengitari perkembangan hermeneutika sebagai metode interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas, kita dapat menggambarkan pengaruh pendangan hidup terhadap hermeneutika dalam tiga fase, yaitu:
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen,
2. Dari teologi Yahudi dan Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat,
3. Dari Hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.

V. Filsafat Hermeneutika Al Qur'an

Sejatinya, hermeneutika lahir sebagai media atau alat dalam menginterpretasi bibel atau al Kitab. Hermeneutika-sesuai dengan konsep awalnya-merupakan refleksi atas kerisauan sebagai pemeluk Krtisten terhadap al Kitab-nya sendiri, karena restriksi pemaknaan oleh otoritas pada saat itu secara perlahan mencerabut penghayatan dan pemaknaan secara kontemplatif ajaran bibel.
Kenyataan yang ada menunjukkan jika hermeneutika secara perlahan mulai merambat pada dunia tafsir al Qur’an. Sepintas tidak ada yang aneh, mengingat tradisi ke-filsafat-an yang begitu kental dalam hermeneutika menjadi satu preferensi tersendiri bagi sebagian ulama dan/atau mufassir untuk menjadikannya sebagai salah satu alat dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Akan tetapi, melihat lebih ke esensi hermeneutika, sebagian pihak secara simultan mengklaim bahwa hermeneutika tidak lebih sebagai “pengkafiran” terhadap tafsir al Qur’an. Hal tersebut didasari pada kenyataan bahwa hermeneutika, sejak kemunculannya, merupakan produk bangsa Eropa, khususnya filsuf-filsuf Yunani dan kemudian mengalami sebuah transisi pada pengimpelementasian hermeneutika sebagai metode dan/atau alat menafsir teks-teks bibel. Tidak hanya itu, konsep awal (primary concept) sebagian ulama terlanjur melihat hermeneutika sebagai invasi pemikiran bibel tehadap orisinalitas dan otentisitas al Qur’an sebagai pedoman dan tuntutan hidup umat Islam. Tidak dapat dipersalahkan memang, hanya saja sebagai umat Islam, perlu agaknya ditelusuri secara mendalam mengenai hermenutika al Qur’an.  
 Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. 
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz menyatakan bahwa ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum al Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum al Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran al Qur`an. Akan tetapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka menurutnya, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.

Al Jawi mengemukakan bahwa hermeneutika secara menyeluruh harus ditolak. Al Jawi mendasarkan pendapatnya pada beberapa alasan berikut:
1. Asal usul hermeneutika dari tradisi kafir
Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bibel). Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu). Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah memegang selembar Taurat. Nabi SAW melihatnya lalu bersabda, "Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku."
Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka terlebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya, yaitu hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Itulah makna sabda Nabi SAW : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
2. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan al Qur’an
Hermeneutika secara substantif sesuai (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Hal tersebut memang cocok dan sudah seharusnya demikian.
Al Jawi mengungkapkan, dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang mempostulatkan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Disinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Menurut Prof. Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, dan tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible tersebut tidak dialami oleh Al-Qur`an .
Sesuatu yang mengerikan menurut Al Jawi adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya, supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya, orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.

3. Hermeneutika semakin mengokohkan sekularisme  
Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menelorkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. 
Pasal-pasal sampah tersebut lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi.
Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.


VI. Implikasi terhadap Pemikiran Hukum Islam

Polemik hermeneutika sebagai paradigma penafsiran dalam pemikiran hukum sebenarnya lahir dari satu kondisi awal (prime condition), yaitu sikap taklid buta dan kehawatiran yang terlalu besar terhadap hermenetika yang bermuara pada sikap penolakan dan antipati secara simultan. Hermeneutika, oleh sebagian pemikir hukum Islam, pada dasarnya merupakan pengayaan metode dalam menafsir teks atau makna al Qur’an. Penulis berpendapat bahwa sejatinya, dalam tradisi keilmuan, tidak terkecuali keilmuan Islam, hermeneutika tidak dipandang sebagai toxic yang mencederai penafsiran al qur’an dan hadits, melainkan dipandang sebagai pelengkap terhadap metode tafsir yang selama ini telah digunakan oleh para ulama.
Adalah sikap yang kurang bijaksana ketika menolak secara keseluruhan metode hermeneutika dalam menafsir teks, khususnya teks (dalil) tentang hukum. Bagaimanapun, pemikiran hukum Islam pada dasarnya sangat spasial dan temporal, dalam arti bahwa pemikiran hukum Islam senantiasa mendapatkan sentuhan kontekstualitas, sehingga selalu berjalan beriringan dengan perkembangan dan dinamisasi zaman. Disinilah sesungguhnya diperlukan pendekatan hermeneutika dalam menafsir dan mengaktualisasikan dogma sebagai termaktub dalam al Qur’an dan al hadits, sehingga implementasi hukum Islam senantiasa selaras dengan dinamika masyarakat muslim.
Syamsudin Arif, sebagai dikutip oleh Adian Husaini mengemukakan bahwa semestinya umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Sikap yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al Quran dan al Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap ‘teliti sebelum membeli’ gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.  
Salah satu produk asing tersebut adalah “hermeneutika”, yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al Qur’an’ yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Sikap yang terlalu permisif pada segala yang baru dan berkarakter Barat (new thing and Western thing), sejumlah cendekiawan yang notabene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ‘ahistoris’ (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical’ (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.  
Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak dibanding apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Qur‘an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’ dan merupakan sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas). Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim, sebab hanya Allah yang tahu kebenaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qath’iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah, hermeneutika apa yang dapat diaplikasikan umat Islam? Sikap kritis sebagaimana dimaksud sebelumnya harus disertai dengan ketegasan mengenai jenis hermeneutika apa yang seharusnya dapat diaplikasikan dalam pemikiran hukum Islam.
Fazlur Rahman, seorang pemikir muslim lebih setuju kepada hermeneutika Betti daripada hermeneutika Gadamer. Akan tetapi, dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.

VII. Kesimpulan

Implikasi hermeneutika dalam pemikiran hukum Islam sangat signifikan. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin banyaknya pemikir yang coba menafsir teks-teks al Qur’an secara bebas tanpa berpegang pada otentisitas al Qur’an dan metode penafsiran baku yang selama ini diterapkan oleh para mufassir. Akibatnya, banyak produk pemikiran yang melenceng dan bahkan cenderung destruktif terhadap makna asli dari teks al Qur’an tersebut.

VIII. Bibliografi

Admin. 2005. “Hermeneutika” (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, diakses 3 Nopember 2008).

Admin. 2008. “Hermeneutika dan Tafsir: Sebuah Studi Komparatif” (Online). (http://my-jazeerah.blogspot.com/2008/01/hermeneutika-dan-tafsir.html,diakses 3 Nopember 2008)

Al Jawi, M.S. 2007. ”Hermeneutika al Qur’an: Keniscayaan atau Kenistaan?” (Online). (http://syariah.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41, diakses 12 Nopember 2008).

Faiz, F. 2005. Hermeneutika al-Qur`an Tema-Tema Konroversial. Yogyakarta: elSAQ Press.

Husaini, A. Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. 2005. Jakarta: Gema Insani Press.

Husaini, A. 2004. “Hermeneutika dan Infoltrasi Kristen” (Online). (http://swaramuslim. net/more.php?id=A1721_0_1_0_M, diakses 12 Nopember 2008).

Suharto, U. 2003. “Apakah al Qur’an Memerlukan Hermeneutika?” (Online). (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=696:apakah-al-quran-memerlukan-hermeneutika&catid=68:opini&Itemid=68, diakses 3 Nopember 2008).



Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama

M. Natsir Asnawi

Mah. Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar

I. Pendahuluan

Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.
Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen. 
Implikasi lebih jauh dari undang-undang tersebut adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif. 
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam konteks ini adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal. 
Sebagai diketahui, perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah selama ini ditangani oleh pengadilan negeri yang secara substansial kurang kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum positif, sedangkan perkara ekonomi syari’ah berbasis hukum Islam. Lebih jauh, dewasa ini telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang melayani kebutuhan finansial masyarakat, sehingga secara hukum perlu diakomodir dalam lembaga hukum yang kompeten.
Adalah peradilan agama yang kemudian dianggap sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam menangani perkara ekonomi syari’ah. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. Pertama, hakim-hakim dalam peradilan agama memiliki pendalaman hukum Islam yang lebih dibandingkan dengan hakim-hakim umum di pengadilan negeri. Meski hal tersebut bukanlah hal yang mutlak, namun paling tidak hal ini dapat digunakan sebagai parameter awal yang memperkuat asumsi bahwa peradilan agama adalah lembaga yang paling representatif mengenai hal ini. Kedua, Pengadilan Agama secara faktual lebih ‘bersih’ dibandingkan dengan Pengadilan Negeri. 
Sebagai yang kita ketahui, dalam dinamikanya, lembaga peradilan agama lebih independen dan transparan dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menjalankan otoritasnya. Cukup banyak bukti yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah sangat jarang ditemukan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh aparat pengadilan agama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kinerja aparat pengadilan negeri yang hampir setiap saat terdengar penyimpangan aturan hukum, antara lain terlihat jelas dalam produk-produk hukum yang dikeluarkan. 
Aktualisasi nyata dari pertimbangan-pertimbangan diatas adalah amandemen UU No.7 tahun 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Amandemen ini membawa implikasi yang signifikan bagi yurisdiksi peradilan agama. Hal ini ditunjukkan dengan ekspansi wewenang peradilan agama yang dipercayakan untuk menangani perkara-perkara ekonomi syari’ah di masyarakat. 
Inilah sesungguhnya yang menjadi substansi lembaga peradilan agama secara yuridis, yaitu menjadi wadah bagi penyelesaian perkara-perkara hukum, terutama bagi umat muslim yang mendambakan keadilan yang hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan agama itu sendiri untuk senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Pada akhirnya, realitas-lah yang akan membuktikannya

II. Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Perkara Ekonomi Syariah

Amandemen UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 berimplikasi secara signifikan bagi institusi pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, khususnya pada konteks kewenangan absolut Pengadilan Agama. Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

    1. perkawinan;

    2. waris;

    3. wasiat;

    4. hibah;

    5. wakaf;

    6. zakat;

    7. infaq;

    8. shadaqah; dan

    9. ekonomi syariah            

Dalam penjelasan pasal I angka 37 pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

    1. bank syariah;
    2. lembaga keuangan mikro syariah;
    3. asuransi syariah;
    4. reasuransi syariah;
    5. reksadana syariah;
    6. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
    7. sekuritas syariah;
    8. pembiayaan syariah;
    9. pegadaian syariah;
   10. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan
   11. bisnis syariah


Salah satu pokok persoalan utama mengenai kompetensi Pengadilan Agama ini adalah instrumen hukum acara. Menilik hal ini, pasal 54 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum. Selain itu, hukum acara yang berlaku dalam pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama adalah hukum acara perdata Islam sebagai tertuang dalam KHI dan beberapa peraturan lainnya. Ketentuan pasal 54 tersebut dapat dijadikan sebagai dasar hukum pengimplementasian hukum acara perdata umum bagi Pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah

Syaifuddin mengemukakan bahwa ketentuan dalam pasal tersebut di atas menegaskan bahwa secara kumulatif, Pengadilan Agama merupakan institusi pengadilan yang memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dalam konteks penyelesaian perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama, maka tergugat dapat melaksanakan putusan tersebut secara sukarela atau dapat pula melalui eksekusi putusan oleh Pengadilan Agama atas permohonan penggugat apabila tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Dengan demikian, menyelesaikan perkara ekonomi syariah melalui eksekusi putusan sebagai kewenangan Pengadilan Agama bersifat opsional, bukan imperatif.

III. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama

a. Pendaftaran gugatan

Ekonomi syariah merupakan salah satu kewenangan pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. Ekonomi syariah berdasar pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 merupakan salah satu bagian dari perkara perdata Islam yang meliputi 11 bidang usaha. 
Pada dasarnya, pendaftaran gugatan untuk perkara ekonomi syariah sama dengan pendaftaran gugatan perkara lainnya. Berikut beberapa tahapan dalam pendaftaran gugatan perkara ekonomi syariah:
1. Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg).
2. Gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama:
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;
b. Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat;
3.Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Bila benda tetap tersebut terletak dalam wilayah beberapa Pengadilan Agama, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan Agama yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg.).
4. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo. Pasal 89 UU No.7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R. Bg.).

b. Pemeriksaan perkara dalam persidangan

Setelah gugatan didaftar penggugat di Pengadilan Agama, maka Ketua Pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang menyidangkan gugatan tersebut. Proses pemeriksaannya melalui prosedur yang hampir sama dengan penyelesaian gugatan perdata lainnya, yaitu:
1. Pembacaan gugatan;
2. Jawaban tergugat;
3. Replik penggugat;
4. Duplik tergugat;
5. Pembuktian oleh penggugat dan tergugat jika ada dalil gugatan yang dibantah;
6. Kesimpulan penggugat dan tergugat;
7. Musyawarah majelis hakim;
8. Putusan.
Dalam pemeriksaan perkara ekonomi syariah, pada saat sidang pertama sebelum pembacaan gugatan-jika penggugat dan tergugat hadir-,kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi. Hal ini diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tempat pelaksanaan mediasi mengacu pada Pasal 20 Perma No.1 Tahun 2008:
1. Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
2. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
3. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
4. Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan 
Proses mediasi sendiri dilakukan dengan acara pemeriksaan tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain. Dalam Perma No.1 Tahun 2008 Pasal 7 disebutkan tentang proses pra mediasi, yaitu:
1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
2. Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.
3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

c. Implementasi hukum materil

Penyelesaian perkara ekonomi syariah di Pengadilan Agama merupakan implementasi dari pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Selama kurun waktu sekitar 2 tahun, sejak dikeluarkannya UU No.3 Tahun 2006, belum ada peraturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian perkara ekonomi syariah serta penerapan hukum materilnya. Pada kurun waktu itu, kontroversi pun merebak pada wilayah hukum materil apa yang seharusnya diterapkan oleh hakim-hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Pada 10 September 2008, Mahkamah Agung RI mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Perma tersebut menjawab kekosongan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah. Sebagaimana diungkap Mukrim, SH., KHES yang ditetapkan melalui Perma tersebut menjadi pedoman dan/atau landasan bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Perma No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat beberapa ketentuan, yaitu:
a. Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
b. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syari'ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi tanggungjawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Dengan ketentuan tersebut, maka KHES merupakan pedoman bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah. akan tetapi, sebagaimana digariskan dalam Perma tersebut, hakim tetap dapat mengacu pada kitab-kitab fiqh muamalah yang ada serta melakukan upaya maksimal dalam penemuan hukum, khususnya dalam konteks ekonomi syariah.


d. Eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah 
                                                                                    

Salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama adalah sebagai lembaga pelaksana eksekusi atas putusan Badan Arbitase Syariah. Hal tersebut mulanya banyak diperdebatkan oleh akademisi dan praktisi hukum. Pasal 60 UU No.30 Tahun 1999 menyebutkan:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”.

Kemudian Pasal 61 menyebutkan:

“Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”.

Bila diperhatikan ketentuan dalam pasal tersebut, maka akan timbul permasalahan mengenai siapa yang berwenang mengeksekusi putusan Badan Arbitrase Syariah?. Pangkal masalahnya sebenarnya belum adanya regulasi khusus yang mengatur tentang Badan Arbitrase Syariah. Undang-Undang yang ada hanya mengatur tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 
Dalam konteks ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. SEMA tersebut dimaksudkan untuk memberi petunjuk teknis sekaligus menjawab polemik yang selama ini merebak di kalangan akademisi dan praktisi hukum mengenai pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah dan pengadilan mana yang berwenang untuk melakukan eksekusi tersebut.
SEMA No.8 Tahun 2008 Angka 4 menyebutkan:
“Dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan yang berwenang atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, dan oleh karena sesuai dengan Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, maka ketua Pengadilan Agama-lah yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syariah”.  

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Pengadilan yang berwenang untuk melaksanakan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah adalah Pengadilan Agama. Ketetapan tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 dan Pasal 55 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan upaya mensinergiskan antara peraturan perundang-undangan yang ada; sebagai upaya untuk menciptakan kepastian hukum. 
Mengenai mekanisme pelaksanaan eksekusi atas putusan Badan Arbitrase Syariah, perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 59 UU No.30 Tahun 1999:
1. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan Pengadilan Negeri (baca: Pengadilan Agama);
2. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri atau arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran;
3. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri;
4. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan;
5. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Berdasar ketentuan tersebut, putusan Badan Arbitrase Syariah pada dasarnya baru dapat dilaksanakan setelah tenggat waktu 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Dalam hal ini, arbiter atau kuasanya mendaftarkan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada panitera Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon dan membayar biaya perkara.
Setelah permohonan eksekusi didaftar, maka Ketua Pengadilan melaksanakan sidang teguran (aan maning) dengan menghadirkan kedua belah pihak. Dalam sidang tersebut, Ketua Pengadilan Agama mengupayakan (menegur) agar tergugat bersedia melaksanakan putusan Badan Arbitrase syariah secara sukarela. Dalam pemeriksaan ini, Ketua Pengadilan atau majelis tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari Badan Arbitrase Syariah. Sebelum perintah eksekusi dikeluarkan, maka Ketua Pengadilan Agama perlu memperhatikan apakah:
1. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak;
2. Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa;
3. Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Perintah eksekusi yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan Badan Arbitrase Syariah yang dikeluarkan. Putusan Badan Arbitrase Syariah yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

IV. Bibliografi

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Stb. 1941 No.44.

Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Reglement Buitengewesten (R. Bg.) Stb. No.227 Tahun 1927.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah.

Syaifuddin. Penyelesaian Sengketa dalam Perbankan Syariah, Suara Uldilag, No.13, Juni 2008.

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.


8.25.2008

makna cinta (refleksi esoteristik)





Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika mendengar kata cinta?
Romantika? sakit hati? pasangan hidup? atau absurditas?
Wajar jika Anda memiliki multi persepsi atau pemikiran ketika mendengar kata cinta.
Adalah sesuatu yang natural ketika Anda mengalami hal tersebut, mengingat setiap orang memiliki experience dan ekspektasi yang esoteristik. Cinta merupakan jargon multi tafsir dimana setiap orang bebas memaknai dan mendedikasikan cinta pada hal-hal yang dianggapnya patut dan menjadi bagian inheren dalam hidup dan kehidupan seseorang.

Universalitas dan eksklusifitas makna cinta merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk kita kaji. Pasalnya, cinta sebagai sebuah realitas menyajikan begitu banyak dimensi yang menimbulkan sebuah makna mendalam dan cenderung klise. Mengapa klise? Sebab memaknai cinta ibarat mencari sesuatu tanpa ada satu clue yang dapat menjadi preferensi dalam melakukan pencarin tersebut. implikasinya, hampir pemaknaan yang kita peroleh bukanlah jawaban akhir dari makna cinta tersebut, melainkan "jawaban sementara" yang secara tidak langsung mengantar kita pada makna cinta yang sesungguhnya. Meski secara aktual, kita menyadari makna cinta yang sesungguhnya sangat sulit-jika enggan mengatakan tidak mungkin- untuk kita dapatkan.

Satu hal yang pasti, meski menemukan makna cinta yang sesungguhnya merupakan hal yang sangat sulit, namun memaknai cinta secara artifisial merupakan hal yang paling logis yang dapat kita lakukan. Makna cinta artifisial bukan makna cinta secara dangkal semata, melainkan pemaknaan cinta secara massif meski tidak pada tahap ontologis, yaitu pada tahap yang paling hakiki dari makna cinta itu sendiri.
Ketika ditanya apakah makna cinta itu? Mungkin Anda akan menjawab cinta itu adalah ikatan emosional yang kuat terhadap sesuatu yang membuat kita selalu memikirkan hal tersebut hingga menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Mungkin pula Anda akan menjawab kalau cinta itu adalah feel yang membuat kita selalu merasa memiliki, senantiasa ingin dekat, dan termotivasi untuk menjaga sesuatu agar tidak hilang dari diri kita. Bahkan, yang paling ekstrim mungkin akan menjawab bahwa cinta itu adalah entitas yang memiliki dua sisi, yaitu sisi yang menyenangkan dan sisi yang menyakitkan. Menyenangkan dalam arti bahwa dengan cinta, hidup menjadi lebih bermakna; bahwa cinta menjadi energi positif dalam kehidupan kita yang senantiasa membuat kita semangat dalam menjalani kehidupan sekaligus optimis terhadap segala sesuatu yang kita lakukan dan cita-citakan. Menyakitkan dalam arti bahwa kehadiran cinta sebagai sebuah rasa dalam diri justru membuat diri kita semakin down; kehadiran cinta justru membuat segalanya menjadi absurd dan membuat kita kehilangan identitas. Jadi, apa makna cinta itu?

Secara pribadi, saya pun cukup bingung ketika ditanya apa makna cinta yang sebenarnya. Pada dasarnya, saya berani mengatakan bahwa cinta adalah bagian dari hidup kita. Tanpa cinta, saya yakin segalanya akan terasa hampa. Selain itu, saya pun berani mengatakan bahwa cinta bukanlah realitas fisik, melainkan relaitas metafisika yang memiliki sisi abstrak yang sulit untuk kita tangkap secara inderawi. Sehingga, memaknai cinta hanyalah proses yang menghasilkan proposisi artifisial; prosesi yang hanya dapat mengungkap sisi-sisi dasar cinta itu sendiri.

Bila menilik makna cinta secara Islami, maka akan kita dapatkan suatu postulat bahwa cinta yang hakiki adalah cinta kepada Allah SWT. Cinta bukanlah entitas yang dapat kita lihat secara inderawi, melainkan entitas yang hanya dapat kita tangkap maknanya melalui afek (rasa) dan pendalaman secara tulus. Cinta adalah emanasi fitrah manusia terhadap sesuatu yang senantiasa hadir dalam setiap derai kehidupannya. Cinta adalah rasa yang mengantar manusia pada suatu pengalaman metafisika yang hanya dapat dimaknai secara esoteristik.

Tidak mengherankan bila ketika seseorang ditanya makna cinta yang sesungguhnya, maka pernyataan yang keluar tidak jarang dianggap absurd atau utopia belaka. Makna cinta yang didapatkan memang sangat personal dan sering tidak dapat dimengerti orang lain.

Dalam konteks lain, cinta bagi sebagian remaja dimaknai sebagai perasaan sayang dan terikat kepada orang lain, sehingga rela mengorbankan apa pun yang dimilikinya. Tidak jarang mereka berujar kalau sudah cinta, ciuman, pegangan, rabaan, bahkan ML dianggap sebagai pembuktian. Sehingga, cinta lebih dimaknai sebagai kontak fisik yang menimbulkan sensasi tertentu, tanpa kontak fisik (physics touch) belum dianggap cinta. Mungkin gambar berikut dapat menjadi ilustrasinya.


Saya tertarik dengan suatu acara sinema di sebuah stasiun tv swasta yang mengisahkan cinta antara seorang cowok kampung yang berhasil menyadarkan ceweknya yang notabene adalah cewek metropolis. Melalui suatu drama yang cukup unik, sang cowok berujar "cinta sejati adalah cinta yang membebaskan pasangannya untuk mendapatkan sendiri kebahagiaannya". Meskipun ini hanya ada dalam adegan sinema, namun makna dibalik pernyataan tersebut patut untuk kita gali, karena sugesti pernyataan tersebut saya pikir cukup kuat untuk membuat kita berpikir kembali makna cinta yang sesungguhnya. Cinta ibarat awan yang bebas bergerak kesana kemari, mencari bentuknya sendiri, serta berafiliasi dengan awan lain untuk mendapatkan chemistry-nya sendiri. Bila telah sampai pada peraduannya, maka awan tersebut akan mendapatkan wujudnya yang selama ini dicari. Mungkinkah wujudnya seperti ini?

Mungkin seperti itulah cinta. Selebihnya, tinggal anda yang memaknai sendiri apa sebenarnya cinta itu. Tidak perlu memaknai dengan cara yang tidak familiar buat anda. Maknailah apa adanya dan yakinlah bahwa cinta sejati itu akan hadir pada saat yang paling tepat; saat dimana anda sudah siap berhadapan dengan cinta sejati anda.

6.30.2008

cowok idaman

Adalah sesuatu yang lazim ketika seorang cowok bermimpi menjadi cowok idaman para wanita. Tidak jarang seorang cowok melakukan apa pun demi mewujudkan mimpi tersebut. Bahkan, hal-hal yang absurd sering menjadi pilihan terakhir ketika merasa bahwa semua hal yang telah dilakukannya tidak dapat mewujudkan mimpinya tersebut. Frustrasi dan perasaan tidak berarti akan menghantui seorang cowok ketika gagal mewujudkan mimpi tersebut. Mengapa? Dari beberapa pengamatan, ditemukan bahwa menjadi cowok idaman hampir merupakan salah satu tujuan utama seorang cowok; menjadi cowok idaman ibarat agenda wajib yang jika tidak dipenuhi maka akan menimbulkan masalah-masalah yang berat.
Muncul suatu pertanyaan dalam benak kita, sebenarnya apa seh cowok idaman itu? Bagaimana kriteria cowok yang diidamkan cewek?. Pertanyaan yang cukup sulit dijawab mengingat persepsi setiap individu berbeda. Akan tetapi, dapat kita ajukan satu proposisi umum tanpa menafikan persepsi-persepsi yang lain. Cowok idaman pada dasarnya merupakan cowok yang menjadi dambaan bagi setiap orang, khususnya cewek disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sifat, karakter, tampang, iman, dan yang pasti dokuX dunk alias isi dompetX. Menjadi cowok adalah perkara susah-susah gampang. Dibutuhkan beberapa persyaratan sehingga seorang cowok dapat menjadi cowok idaman. Berikut beberapa karakteristik cowok idaman cewek:

1. Macho
Dari berbagai riset yang dilakukan, jawaban pertama para cewek ketika ditanya karakter cowok idaman mereka adalah cowok harus macho. Mengapa macho? Karena ke-macho-an cowok dianggap oleh cewek sebagai ‘kesejatian’ seorang lelaki. Macho dalam konteks ini bukan hanya macho secara fisik, melainkan juga secara pemikiran dan perilaku sehari-hari. Ketika ditanya mengenai alasan lain mengapa harus macho, pada umumnya cewek menjawab kalo dekat ma cowok macho itu perasaan lebih aman, tenang, dan nyaman karena merasa terlindungi oleh cowoknya yang macho. Percuma aja kalo tampang oke, harta melimpah, tapi ga’ macho, dijamin deh cewek-cewek bakalan kabur. Macho merupakan sesuatu yang naluriah, akan tetapi karakter macho juga dapat dibangun dalam diri seorang cowok. Misalnya neh dengan sering-sering berolahraga untuk pembentukan tubuh yang ideal, sering bergaul dengan cowok yang macho dan berkecimpung dalam dunia yang menuntut keberanian dan keseriusan seorang cowok untuk pembentukan kepribadian yang ‘cowok banget’, serta sering bergelut dengan dunia-dunia pemikiran analitik sehingga pola pikir dapat terbangun dengan baik. Yakin deh, kalo syarat ini aja dah terpenuhi, maka cewek-cewek bakalan lengket ma kamu.

2. Periang/humoris
Karakter periang emang ga da matinya. Dimanapun, seseorang yang memiliki karakter periang disukai di lingkungannya. Cowok yang periang dapat mencairkan suasana tempat dia berada. Kelakar-kelakar segar yang disampaikan dapat membuat orang-orang yang ada di dekatnya merasa nyaman dan terhibur. Terlebih cewek yang pada dasarnya senang dengan canda tawa yang dapat mencairkan suasana dan ketegangan yang terjadi. Tidak jarang ketika ditanya mengenai karakter cowok yang diidamkan, seorang cewek dapat spontan mengatakan dia mesti periang alias humoris. Yang harus dipahami, karakter periang/humoris biasanya telah built in dalam diri seseorang, tetapi tidak berarti kamu ga bisa ngembangin diri kamu untuk menjadi cowok yang periang/humoris meskipun itu bukan sesuatu yang mudah. Meski belum ada riset mengenai hal ini, namun dapat kita refleksikan ke dalam diri kita masing-masing bahwa berada dekat dengan seorang yang periang sangat menyenangkan dan pastinya mencegah kita cepat tua...^_^

3. Filantropis/murah hati
Siapa yang tidak senang dengan orang yang pemurah? Di dunia ini kayaknya ga ada dech...meski belum begitu pasti sech. Tapi, yang jelas orang yang pemurah bakal disenangi teman-teman sekitar karena mereka merasakan manfaat dari kehadiran orang tersebut. Ketika saya bertanya kepada beberapa teman cewek, bagaimana karakter cowok idaman mereka, spontan mereka menjawab ‘yang pasti dia harus baik dan ga kikir’. Hanya saja, menjadi cowok tidak mesti sangat pemurah karena hal tersebut justru dapat menjadi bahan empuk bagi para cewek buat mainin or manfaatin kamu. Yang jelas menjadi cowok yang pemurah tetap harus memperhatikan kondisi kamu sendiri, jangan berlebihan, dan yang pasti kamu tetap mesti tegas dan memiliki pendirian sehingga cewek-cewek bakal berpikir dua kali buat mainin or manfaatin kamu.

4. Cerdas
Cerdas...semua orang pasti ingin menjadi insan yang cerdas, tidak terkecuali para cowok. Cerdas merupakan salah satu potensi diri yang sangat diidamkan oleh setiap orang, karena itu tidaklah mengherankan kalo sebagian cewek pengen cowok yang cerdas sebagai pendampingnya. Misalnya nech ya, kalo cewek itu kuliah truz dapet tugas yang lumayan berat dia bakalan minta cowoknya buat bantuin ngelarin tugas tersebut. Alangkah senangnya cewek ketika cowoknya dapat membantu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik dan yakin cewek tersebut bakal tambah sayang ma cowoknya. Akan terbayang dalam pikirannya kalo cowoknya tuch bisa diandalkan dan merasa sangat beruntung mendapatkan cowok seperti dia. Iya pa iya?. So, kembangin dech potensi diri kamu, jangan jadi cowok yang punya modal tampang doank, tapi otak kamu mesti isi juga.

5. Cool
Apa jadinya seorang cewek yang melihat seorang cowok kelimpungan ketika menghadapi suatu masalah? Kalo boleh nebak....cewek tersebut bakalan ilfil ngeliat cowok itu. Gimana ga?? Seorang cowok yang mestinya tenang dan lebig berpikir positif dalam menghadapi suatu masalah justru kayak ayam kehilangan taji dan tidak sanggup berbuat apa-apa. Nah, seperti itulah gambaran seorang cowok yang ga mampu narik perhatian cewek. Perlu dipahami, sebagian cewek sangat kagum melihat seorang cowok yang bisa ngadepin masalah dengan tenang dan tidak menampakkan bahwa dirinya sedang sangat gelisah memikirkan masalah tersebut. Cewek akan penasaran dengan cowok yang memiliki karakter yang cool karena cewek tersebut belum tahu pasti gimana sebenarnya cowok tersebut. Ketika sedang dipuji atau dicaci, cowok yang cool akan menghadapinya seolah tidak terjadi sesuatu dan tetpa menganggap itu sebagai hal yang biasa meskipun dalam hatinya sangat mengapresiasi hal tersebut. Banyak contoh di sekitar kita yang menunjukkan bahwa cowok yang agak pendiam dan pastinya cool sangat mungkin menarik perhatian cewek dan memancing cewek tersebut buat mendekatinya.

6. Fighting spirit
Cewek sangat senang dengan cowok yang punya fighting spirit oke. Gimana nggak, cewek pasti mikir kalo cowok tersebut benar-benar cowok sejati dan dapat membahagiakan pasangannya. Cowok tersebut pasti sangat bisa diandalkan dan sangat mandiri dalam kehidupannya. Pastinya, seorang cewek sangat tidak suka dengan cowok yang manja, pesimistik, dan tidak punya visi yang futuristik. Cewek tuch butuh cowok yang bisa buat dia tenang, salah satunya ya cowok yang punya fighting spirit. Misalnya nech ya, cewek yang gi da masalah dengan tugas kuliahnya, truz deadlinenya besok dan cewek tersebut dah hampir give up. Datang dech cowoknya membantu cewek tersebut dan berjuang tanpa lelah (eh...kayak superman aja) untuk membantu menyelesaikan tugas tersebut tanpa memikirkan apakah bantuannya dapat memberi hasil atau tidak. Yang pasti dengan melakukan hal tersebut cewek akan sangat senang dan makin sayang ma cowoknya.

7. Pendengar yang baik
Good listener (pendengar yang baik) merupakan salah satu karakter yang disenangi oleh para cewek. Ga mengherankan kalo banyak cewek merasa nyaman ketika bercerita or sekedar share masalah-masalah pribadi. Pendengar yang baik akan dengan senang hati mendengarkan setiap curahan hati seseorang dan sanggup memberikan feedback yang membuat hati orang tersebut lebih senang dan nyaman. Harus dipahami, tidak semua cowok merupakan pendengar yang baik. Banyak cowok yang justru ingin mendominasi pembicaraan tanpa memperhatikan bahwa orang di sekitarnya juga ingin mengungkapkan pendapat. So, kalo mau jadi idaman para cewek, jadilah pendengar yang baik.

8. Dapat dindalkan
Cewek tuch ya seneng banget ma cowok yang heroik...alias dapat diandelin. Misalnya neh, cowok tersebut diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan suatu tugas yang cukup berat dan tidak seorang pun mau melakukan tugas tersebut dan dia dapat menyelesaikannya dengan baik. Kalo kondisinya demikian, maka cewek yang melihatnya akan merasa kagum dan perlahan mengidamkan cowok tersebut. Secara, cewek kan butuh cowok yang bisa dia andelin, bukannya cowok yang ‘lebai’ or bisanya ngarep ma orang lain

9. Jujur
Nah, ini dia nech karakter yang disuka ma semua orang. Siapa sech yang ga senang ma orang jujur? Orang jujur sangat menghargai arti sebuah kepercayaan. Nah, cewek dalam menjalani hubungan kan menaruh kepercayaan ma cowok. So, kalo cowoknya jujur maka yakin dech cewek tersebut bakalan tambah sayang ma cowoknya. Daam kehidupan kita nech ya, kadang kita dituntut untuk berkerja sama dengan orang lain, tidak terkecuali cewek. Nah, dalam kasus ini, seorang cewek yang bekerja sama dengan seorang cowok akan menilai cowok tersebut dari sisi kejujurannya! Kalo misalnya dia menilai cowok tersebut jujur, maka pasti cewek akan berempati dan bukan ga mungkin ngidamin cowok kayak gitu buat jadi pasangan hidupnya. Iya pa iya? Pastinya iya dunk.

10. Komitmen terhadap janji
Gimana perasaan seorang cewek ketika cowok yang berjanji pada cewek tersebut ternyata tidak menepati janjinya? Ditambah lagi janji tersebut sangat penting artinya bagi cewek tersebut? Pastinya sang cewek merasa sangat marah dan disgust ma cowok tersebut. Karena itu, kalo anda mau jadi cowok idaman, jadilah cowok yang commit pada janjinya. Jangan jadi pecundang dengan seenaknya melanggar atau tidak menepati janji.

6.21.2008

pilkada...antara idealitas dan realitas

Pilkada dalam bebeapa tahun terakhir menjadi salah satu agenda utama bangsa Indonesia.
Riuh semangat pilkada begitu membahana di seluruh negeri pelosok negeri; suatu pesan antusiasme masyarakat dalam menyambut dan mengagungkan pseta demokrasi yang lama mengendap dalam perpolitikan Indonesia.

Sebagai warga negara, kita tentu memahami dinamika yang terjadi di masyarakat. Asumsi dasar yang dapat diajukan saat ini adalah bahwa masyarakat telah jenuh dengan in-transparansi pelaksanaan pilkada selama ini dan sedikit lebih maju dalam melihat pilkada sebagai instrumen dasar dalam penegakan asas dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum jika selama kurun waktu 3 dekade, sistem politik dan pemerintahan Indonesia sangat restriktif, manipulatif, dan cenderung sebagai "quasi-demokrasi".

Semangat pilkada langsung lahir sebagai refleksi atas keinginan dan cita-cita primordial masyarakat akan tatanan kehidupan yeng lebih elegan, tercipta pemerintahan yang demokratis, serta perwujudan kehidupan masyarakat yang adil, demokratis, dan beradab. Pilkada langsung secara teoretik merupakan suatu mekanisme yang secara politik merupakan "best approach" untuk menciptakan suatu sistem pilkada yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga pemimpin yang lahir dari "general election" benar-benar merupakan representasi aspirasi dan pilihan nurani seluruh masyarakat.

Pertanyaan sekarang adalah, apakah pilkada langsung merupakan instrumen terbaik dalam penegakan demokrasi secara massif? Tidakkah selama ini, pilkada yang diselenggarakan justru mengganggu bahkan cenderung melahirkan instabilitas dalam msyarakat? Tidakkah pilkada lebih sebagai "pertarungan kepentingan" yang justru merugikan masyarakat? Apa yang salah sebenarnya dengan pilkada langsung??

Ada beberapa hal yang patut untuk dianalisis.

Pertama, masyarakat Indonesia secara kultural dan politik belum siap dengan mekanisme pilkada langsung. Sinyalemen ini didasarkan pada realitas politik tanah air bahwa kandidat yang maju dalam pilkada secara mental belum siap untuk menang dan kalah. Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa setelah penghitungan dilakukan dan pemenang pilkada ditetapkan, ada saja pihak yang merasa tidak puas dan menerima hasil pilkada tersebut, khususnya kandidat yang kalah. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana massa pendukung AG_ARF begitu mem-blow up ketidak puasan mereka akan hasil pilkada dan keputusan MA yang memenangkan lawannya dengan berbagai tindakan anarkis dan cenderung provokatif. Masyarakt pun menjadi korban kebrutalan mereka dan menjadi terintimidasi oleh ulah sebagian pendukung AG_ARF. Belum lagi kasus lain seperti sengketa pilkada sul-sel yang berkepanjangan hingga membuat situasi politik di sul-sel sempat memanas. Terakhir, kasus pilkada sinjai yang lagi-lagi membuktikan kepada bahwa betapa masyarakat lokal belum siap dengan pilkada langsung; betapa masyarakat belum 'dewasa' memahami arti sebuah persaingan dalam pilkada. Menang dan kalah merupakan hal yang wajar dalam sebuah persaingan, akan tetapi, tampaknya masyarakat belum sepenuhnya memahami hal tersebut.

Kedua, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami arti demokrasi. Demokrasi bukanlah sistem yang memberi kebebasan kepada rakyat tanpa batas. Demokrasi adalah sistem yang elegan yang mengamanahkan rakyat untuk menyampaikan pendapat secara elegan dan proporsional. Realitas pilkada memperlihatkan sesuatu yang paradoks; bahwa persaingan dianggap sebagai sesuatu yang mengancam integritas dan empowerment seseorang sehingga penyampaian pendapat dalam berbagai forum tak ubahnya sebagai 'pengkambinghitaman' pihak lain yang dianggap mengancam eksistensi dirinya.

6.20.2008

psychology free wallpaper

green in psychology
psychology in black n green

inauguration of psychology



basic blue
psychology in purple