1.26.2008

pembentukan peraturan perundang-undangan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam negara hukum, undang-undang merupakan perangkat normatif yang merepresentasikan jiwa dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-kegiatan kenegaraan, mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter dalam dinamika politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai sistem nilai yang harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.

Sistem hukum positif menempatkan undang-undang sebagai instrumen utama penegakan hukum. Dalam konteks ini, kodifikasi nilai-nilai moral, budaya, sosial, dan hukum adat menjadi keniscayaan dalam upaya penataan kehidupan masyarakat. Sebagai diketahui, dalam sistem hukum positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa tanpa dikodifikasi dalam perundang-undangan. Nilai-nilai di masyarakat hanyalah quasi dari hukum dan sekedar menjadi pelengkap peraturan informal yang mandul.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum positif berusaha mengatur dinamika kenegaraan dengan membentuk undang-undang sesuai dengan peruntukannya. Pada tahun 2007, tidak kurang dari seratus buah undang-undang telah ditetapkan pemberlakuannya. Dari jumlah tersebut, kita menangkap suatu kesan bahwa negara Indonesia adalah negara perundangan terlepas dari predikatnya sebagai negara hukum. Sebagai catatan, Indonesia adalah salah satu negara dengan produk undang-undang terbanyak di dunia.

Fakta yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan perundang-undangan terbanyak ternyata di satu sisi menyisakan satu fakta yang paradoksal. Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pelanggaran undang-undang terbanyak di dunia. Ironis memang, akan tetapi inilah yang terjadi. Undang-undang ternyata tidak lagi menjadi instrumen untuk mengatur kehidupan bermasayarakat maupun dinamika kenegaraan. Undang-undang, sejauh realita membuktikan, hanyalah formalitas belaka. Undang-undang tidak lebih dari produk politik yang di dalamnya bermuara kepentingan-kepentingan segeltintir orang.

Fakta ini tentunya membuat sebagian pihak bertanya. Mengapa undang-undang yang telah ditetapkan begitu mudahnya dilanggar?. Mengapa undang-undang terkesan sebagai formalitas belaka?. Dengan tidak mengabaikan aspek budaya hukum dan perangkat hukum, penulis mencoba meretas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari perspektif teknis pembuatan undang-undang.

Ada beberapa alasan mengapa penulis memakai perspektif tersebut. Pertama, selama ini ada kesan ‘ketidakbecusan’ dalam pembuatan undang-undang oleh lembaga yang memiliki wewenang akan hal tersebut. Ketidakbecusan tersebut ditunjukkan dengan tidak profesionalnya lembaga dalam membuat undang-undang, seperti proses sosialisasi yang kurang, tidak semua anggota lembaga ikut berembuk dalam penggodokan materi undang-undang, serta banyaknya unsur-unsur politik yang mengintervensi pembuatan undang-undang. Kedua, pembuatan undang-undang merupakan serangkaian proses yang sangat menentukan efektifitas dan kemanfaatan suatu undang-undang di masyarakat maupun dalam tata hukum nasional. Pembentukan undang-undang sebagai sebuah rangkaian padu sangat menentukan mutu suatu undang-undang, sehingga berpengaruh langsung pada aplikasinya di masyarakat. Ketiga, pemahaman mengenai cara pembuatan undang-undang masih cukup minim, sehingga sering terjadi miskonsepsi mengenai suatu undang-undang sebagai entitas yang legitimatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasar uraian yang telah diutarakan pada latar belakang, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif sebagai berikut:

1. Lembaga apakah yang berwenang dalam pembuatan undang-undang?;

2. Bagaimanakah tahap-tahap pembuatan undang-undang?.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang-undang;

2. Mengetahui dan memahami tahap pembuatan undang-undang.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Manfaat teoretis

Pembahasan dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam debat-debat ilmiah yang mengkaji pembuatan undang-undang. Selain itu, pembahasan makalah ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perkuliahan-perkuliahan Legal Drafting.

2. Manfaat praktis

a. Uraian materi dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi oleh penulis lain untuk menulis makalah dengan ranah pembahasan yang sama.

b. Makalah ini dapat dijadikan sebagai objek kajian oleh akademisi atau praktisi dalam elaborasi pembuatan undang-undang.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang

Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).

Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.

Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan rancangan undang-undang.

B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pada dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).

1. Tahap perencanaan

Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).

2. Tahap persiapan

Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

3. Teknik penyusunan

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).

4. Tahap pembahasan

Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR (Setyowati, 2006).

a. Pembahasan tingkat pertama

Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:

1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.

2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.

3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:

1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU).

2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain.

3. Diadakan rapat intern

b. Pembahasan tingkat dua

Pembahasan tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Laporan hasil pembicaraan tingkat I

2. Pendapat akhir fraksi

3. Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya

5. Tahap pengesahan

Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.

6. Tahap pengundangan

Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.

7. Penyebarluasan

Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar uraian yang telah diutarakan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Lembaga yang berwenang untuk mengusulkan atau mengajukan rancangan undang-undang adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah. Pengajuan rancangan undang-undang harus mengacu pada asas-asas pembuatan undang-undang.

2. Tahap-tahap dalam pembuatan undang-undang adalah perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.

B. Saran

Sebagai penutup dari pembahasan makalah ini. Penulis menyarankan kepada pembaca untuk mengkaji lebih dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dimaksudkan sebagai partisipasi aktif pembaca dalam mengawasi setiap pembuatan undang-undang agar perundang-undangan yang dihasilkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak sekedar formalitas belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Setyowati, E. 2006. ‘Bagaimana Undang-Undang Dibuat?’ (Online) http://www. ambudaya.blogspot.com/ (diakses 20 Januari 2008)

Setyowati, E & Sholikin, M. N. 2007. ‘Bagaimana Undang-Undang Dibuat’ (Online) http://www.parlemen.net/ (diakses 20 Januari 2008)

Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Online) http://www.unsrat.ac.id/ (diakses 20 Januari 2008)

1.15.2008

pidana mati dalam perspektif HAM, Islam, dan Konstitusional

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana mati atau yang lebih dikenal sebagai hukuman mati, dewasa ini menjadi topik menarik dalam berbagai diskursus politik, kemanusiaan, akademik, hingga keagamaan. Fenomena hukuman mati begitu booming seiring dengan bertambahnya jumlahnya orang yang dijerat pidana mati karena telah melakukan tindak pidana tertentu yang secara yuridis telah memenuhi syarat untuk dipidana dengan pidana mati.

Hukuman mati tampil sebagai jargon yang sangat mengerikan. Betapa tidak, hak yang paling asasi, yaitu hak hidup, harus dirampas oleh tangan hukum yang memiliki jerat bagi siapa saja yang berani menantangnya. Kita masih teringat dengan pidana mati yang dijatuhkan kepada Fabianus Tibo (60), Dominggus da Silva (39), dan Marianus Riwu (48) berada dalam cengkeraman kuat hukuman mati ini. Pidana mati tersebut dijatuhkan atas dasar bahwa mereka terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dan bertanggung jawab atas terbunuhnya ratusan warga Poso pada tahun 2000 lalu[1]. Pidana mati yang dijatuhkan kepada ketiga orang tersebut telah dieksekusi dan meninggalkan luka yang sangat dalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Segala upaya hukum menjadi sia-sia belaka karena hal tersebut hanyalah sekedar formalitas yang tidak dapat membantu ketiga orang tersebut keluar dari jerat pidana mati yang mengerikan tersebut.

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat masih disuguhkan tentang pidana mati yang telah dijatuhkan kepada Amrozi cs. Akan tetapi, vonis pidana mati tersebut belum dieksekusi karena beberapa hal (prosedur) yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ada sesuatu yang menarik dari vonis pidana mati terhadap Amrozi cs, bahwa mereka sama sekali tidak takut dengan pidana mati, bahkan dalam beberapa pertemuan dengan wartawan mereka mengungkapkan agar segera dieksekusi mati. Suatu fenomena yang menjungkalkan semua argumentasi yang melihat hukuman mati sebagai sesuatu yang mengerikan. Pidana mati justru dianggap sebagai jalan menuju kebahagiaan abadi, pidana mati adalah gerbang kebahagiaan yang telah lama mereka nanti.

Cukup banyak pakar yang mencoba meretas fenomena hukuman mati dari berbagai perspektif, misalnya perspektif kemanusiaan (HAM), normatif, bahkan perspektif agama (fiqh). Masing-masing perspektif memiliki aksentuasi berbeda dan pandangan akhir yang berbeda pula. Perdebatan yang muncul selama ini tidak terlepas dari ketiga ranah pembahasan tersebut. Masing-masing mencoba mengungkapkan argumentasinya berdasar analisis dan fakta yang ditemukan. Perdebatan mengenai pidana mati seakan menjadi fenomena klasik yang pragmatik mengingat didalamnya tidak terlepas unsur-unsur politis yang merupakan kamuflase berbagai pihak yang pandai memainkan situasi untuk kepentingan-kepentingan praktis.

Setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh aparat hukum selalu disambut histeria oleh keluarga maupun pendukung terpidana dengan berbagai ekspresi, mulai dari yang paling biasa hingga ekspresi yang eksentrik dan sulit untuk dipahami. Segala upaya ditempuh agar dapat lolos dari jerat pidana mati, akan tetapi tidak sedikit yang harus menelan pil pahit karena upaya yang ditempuhnya hasilnya nihil.

Seiring waktu berjalan, perdebatan mengenai hukuman mati akan terus bergulir karena setiap memiliki starting point yang berbeda. Akan tetapi, dari perdebatan tersebut kita dapat melihat analisis dari berbagai perspektif yang ada. Makalah ini mencoba meretas perbedaan yang ada dengan menggunakan berbagai perspektif untuk menarik suatu benang merah. Perspektif yang coba penulis angkat adalah perspektif konstitusional (undang-undang), Islam (fiqh), kemanusiaan (HAM). Selain itu, penulis mencoba mengangkat hukuman mati dalam konteks kenegaraan dan kemasyarakatan serta urgensinya dalam penciptaan tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan madani.

B. Rumusan Masalah

Berdasar uraian yang diutarakan pada latar belakang, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Sejauh mana problematika pidana mati di Indonesia?;

2. Bagaimanakah konsep pidana mati dalam perspektif konstitusional (undang undang)?;

3. Bagaimanakah konsep pidana mati dalam perspektif Islam (fiqh)?;

4. Bagaimanakah konsep pidana mati dalam perspektif kemanusiaan (HAM)?;

5. Sejauh mana urgensi pidana mati dalam memberi efek jera bagi pelanggar hukum berat dan mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah?.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui secara komprehensif problematika pidana mati di Indonesia berdasar fenomena dan realitas kekinian. Pemahaman akan problematikan aktual pidana mati di Indonesia menjadi titik awal untuk mengurai pembahasan yang komprehensif dan transparan berdasar realitas yang ada;

2. Mengetahui konsep pidana mati dalam perspektif konstitusional (Undang undang). Konstitusi merupakan aturan normatif tertinggi dan menjadi wajib untuk dikaji dalam konteks pidana mati; sejauh mana konsep dan implementasinya;

3. Mengetahui konsep pidana mati dalam perspektif Islam (fiqh). Konsep Islam perlu dielaborasi mengingat selama ini, perdebatan yang terjadi cenderung melupakan perspektif Islam yang secara substantif memiliki kerangka aturan yang komprehensif mengenai pidana mati;

4. Mengetahui konsep pidana mati dalam perspektif kemanusiaan (HAM);

5. Mengetahui sejauh mana urgensi pidana mati dalam memberi efek jera bagi pelanggar hukum berat dan mencegah pelanggaran HAM yang lebih parah. Dalam konteks ini, diupayakan untuk menarik benang merah dari kontroversi yang ada sehingga pemahaman dan paradigma mengenai pidana mati menjadi lebih transparan dan akseptabel.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Pembahasan dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam pengkajian mengenai pidana mati;

b. Pembahasan makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi oleh penulis lain untuk mengurai pembahasan dengan ranah yang sama;

c. Konsep yang dibangun oleh penulis dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai salah satu perspektif baru dalam pengkajian pidana mati.

2. Manfaat Praktis

a. Pembahasan makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para praktisi maupun akademisi dalam konsep implementasi pidana mati, khususnya di Indonesia;

b. Menambah pengetahuan dan kemampuan penulis serta ekspansi paradigma penulis dalam membuat karya tulis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Problematika Pidana Mati di Indonesia

Alam hukum Indonesia menetapkan bahwa pidana mati merupakan salah pidana pokok yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum dan pelanggar HAM berat. Hal ini dapat kita lihat dari pasal 10 KUHP[2] yang menyebutkan pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa berdasar bukti-bukti formil maupun materil yang ada.

Meskipun secara normatif pidana mati ada dan memiliki kekuatan hukum atas vonis dan eksekusinya, akan tetapi perdebatan mengenai pidana mati tetap ada dan berkembang seiring dengan perubahan paradigma masyarakat akan pidana mati. Banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih layak atau relevan sebagai suatu hukuman di Indonesia?[3]. Bila ditilik lebih jauh, pertanyaan seperti itu sebenarnya muncul sebagai refleksi atas inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang-orang yang mempertanyakan legalitas hukuman mati mendasarkan argumentasinya pada pasal 28 A UUD 1945 yang menyebutkan, ‘setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’. Harus diakui bahwa secara hermeneutik, pasal 28 A bertentangan dengan KUHP pasal 10 maupun pertauran perundang-undangan lain yang mengatur tentang pidana mati. Akan tetpai, yang menjadi persoalan adalah apakah secara filosofis, muatan pasal 28 A dengan KUHP pasal 10 atau peraturan perundangan lainnya saling bertentangan satu sama lain?. Pertanyaan inilah yang sampai kini belum mendapat jawaban yang akseptabel bagi semua pihak.

Ada beberapa pihak yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman, karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Telah ada 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tinggal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia[4].

Salah satu yang menarik di Indonesia adalah eksekusi atas vonis mati cenderung sangat lambat bahkan sering tidak tepat pada waktunya. Contoh yang paling realistis adalah eksekusi mati atas Amrozi cs yang dijadwalkan Agustus 2006 ditunda hingga saat ini dan belum mendapatkan titik terang kapan eksekusi tersebut akan dilaksanakan. Alasannya pun beragam, mulai dari masih adanya kesempatan untuk melakukan upaya hukum lanjutan hingga alasan-alasan lain yang secara normatif cenderung apologistik.

Secara umum, di Indonesia terdapat dua paradigma mengenai implementasi pidana mati. Pertama, paradigma yang menganggap bahwa implementasi pidana mati sangat bertentangan dengan asas dalam HAM. Hak hidup adalah hak yang paling asasi dan tidak seorang pun memiliki wewenang untuk mengganggu atau bahkan menghilangkannya. Hak hidup adalah hak dasar yang melekat langsung pada setiap manusia dan merupakan anugerah yang paling dasar yang diberikan oleh sang Pencipta. Kedua, paradigma yang menganggap bahwa pidana mati memiliki legalitas dan kekuatan hukum yang mengikat. Perundang-undangan yang ada telah menyebut dengan tegas bahwa tindak pidana tertentu akan dijatuhi vonis mati. Jadi, pada dasarnya pidana mati hanya dijatuhkan pada pelaku kejahatan tertentu dengan tingkat kriminalitas yang sangat berat. Pidana mati tidaklah bertentangan dengan HAM, justru pidana mati menjaga eksistensi manusia, karena dengan ancaman seberat itu, sesorang akan berpikir ulang jika ingin mengganggu bahkan menghilangkan hak hidup orang lain.

Pertentangan paradigma diatas sejujurnya merupakan sebuah dinamika yang wajar dalam alam demokrasi. Akan tetapi, pertentangan tersebut harus dilihat sebagai sebuah upaya pengungkapan wacana dan argumentasi masing-masing atas pidana mati berdasarkan perspektif masing-masing. Pertentangan tersebut bukanlah upaya untuk melegalkan pidana mati, namun juga bukan merupakan upaya untuk menghapus pidana mati, sebab bagaimana pun juga aturan normatif negara ini melegalkan pidana mati, dan sebagai warga negara yang baik harus taas pada aturan yang berlaku. Hal terpenting saat ini adalah bagaimana melaksanakan fungsi kontrol masyarakat atas implementasi pidana mati di Indonesia.

B. Pidana Mati dalam Perspektif Konstitusional (Undang Undang)

Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Karena itu, menurut penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang yang bersangkutan melakukan perbuatan di luar batas atau bertentangan dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa[5].

Dalam KUHP pasal 10 ditegaskan bahwa salah satu pidana pokok adalah pidana mati. Pidana mati sebagai dimaksud dilaksanakan oleh seorang atau beberapa algojo yang ditunjuk sebagai eksekutor. Pidana mati khususnya lebih banyak dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, karena tindak pidana ini adalah tindak pidana yang sangat keji dan menghancurkan sisi-sisi kemanusiaan.

Dalam UU No.15 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap tindak pidana terorisme akan dijatuhi pidana mati. Dalam penjelasan UU No.15 tahun 2003 disebutkan bahwa peraturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 dengan redaksi ‘....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencedaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial’[6]. Pemerintah memiliki kewajiban untuk senantiasa menjaga ketentraman dan integrasi bangsa dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu, tindak pidana terorisme harus dihukum seberat-beratnya dengan pidana mati dengan berdasar pada tekad untuk menjaga integrasi bangsa.

Dalam UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika dicantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana terberat bagi pihak yang menyalahgunakan narkotika (mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I) dan merugikan masyarakat umum. Pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku mengingat efek narkotika sangat besar bagi perkembangan mental seseorang dan mentalitas masyarakat. Meski sempat diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi (MK), namun pidana mati dalam UU No.22 tahun 1997 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial[7].

Senada dengan UU sebelumnya, dalam UU No.31 tahun 1999 juga mencantumkan pidana mati sebagai pidana atas terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tergambar dalam pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan ‘dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Dalam penjelasan undang-undang ini, ‘keadaan tertentu’ dimaksudkan bahwa pidana mati mati dijatuhkan atas tindak korupsi yang dilakukan saat negara berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter. Jadi, secara normatif pidana mati hanya dijatuhkan atas tindak pidana korupsi tertentu, bukan tindak pidana korupsi secara umum. Hal ini pun semakin menegaskan bahwa pidana mati tidak merampas hak hidup seseorang; pidana mati bukanlah pidana yang diterapkan pada semua tindak pidana; pidana mati adalah pidana yang sifatnya kasuistik dan melalui serangkaian proses panjang untuk menjatuhkannya.

Secara normatif, pidana mati dapat dianggap sebagai upaya serius untuk menciptakan kepastian hukum dan ketertiban di masyarakat. Konvensi Internasional tentang Narkotika dan Psikotropika mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk mengakkan hukum secara serius dan menjamin ketentraman di masyarakat. Pidana mati adalah senjata yang saat ini masih ampuh untuk menindak para pelanggar hukum berat dan pemberi efek jera yang tidak dimiliki oleh jenis pidana lain.

C. Pidana Mati dalam Perspektif Islam (Fiqh)

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang dikenal dalam risalah Islam. Pidana mati dalam kitab-kitab fiqhiyah termasuk dalam pembahasan jinâyat (pidana). Pidana mati adalah jenis pidana paling keras dan berat yang dijatuhkan kepada pihak yang melakukan pidana pembunuhan (pembunuhan sengaja dan berencana), pemberontakan, dan qishash. Sistem Islam juga mengenal pembuktian positif dimana seorang tertuduh tidak akan serta merta diberi hukuman mati jika belum dapat dibuktikan secara positif. Hal ini dimaksudkan agar implementasi pidana mati tidak keliru dan merongrong hak seseorang yang paling asasi, yaitu hak hidup.

Menurut Satrawi[8], ada beberapa hal yang sangat diperhatikan oleh Islam (fiqh) mengenai implementasi pidana mati. Pertama, kondisi yang melatarbelakangi suatu kejahatan. Fiqh membedakan antara yang melakukan kejahatan secara dzalim, disengaja dengan yang tidak disengaja, terpaksa, atau bahkan dipaksa. Dalam konteks seseorang yang melakukan pembunuhan karena dipaksa, contohnya, pakar fikih terkemuka Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tidak mewajibkan diterapkannya hukum mati. Sebaliknya, hukuman mati harus diterapkan bagi yang memaksa. Kedua, saksi mata. Fiqh sangat memperhatikan ada tidaknya saksi mata dalam suatu kasus. Saksi adalah salah satu bukti positif yang menjadi syarat mutlak untuk membuktikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Saksi mata adalah alat untuk menghindarkan si terdakwa dari kesewenang-wenangan pengadil. Dalam masalah perzinahan, contohnya, hukuman mati (rajam) tidak bisa dilakukan tanpa adanya (setidaknya) empat saksi mata.

Ketiga, tidak melampaui batas. Fikih memberikan ruang kepada siapa pun yang didzalimi untuk membalasnya, sesuai dengan kadar kedzaliman yang dialaminya. Dalam Islam, hal ini disebut hukum qishāsh (hukum timbal-balik) yang merupakan kepanjangan tangan dari ajaran agama-agama langit sebelumnya, yakni Kristen dan Yahudi. Hukum qishāsh memang tampak keras, bahkan sadis, karena qishāsh membolehkan kepada seseorang untuk menyakiti, bila dia disakiti. Bahkan memberikan hukuman mati bagi orang yang melakukan kriminalitas pembunuhan. Karena itu, hukum qishāsh dewasa ini, terutama dari kalangan aktivis HAM, mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Keempat, kemungkinan menggunakan hukum yang lebih ringan. Upaya menggunakan hukuman lebih ringan ini dicontohkan langsung oleh Nabi. Dalam salah satu Hadis yang sangat terkenal disebutkan, seseorang bernama Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi dan mengaku telah berbuat zina. Nabi sangat marah dengan pengakuan Ma’iz dan membentaknya untuk kembali (ke rumah) dan bertaubat kepada Allah. Tak lama dari itu, Ma’iz kembali menemui Nabi dan mengaku hal yang sama. Nabi pun membentaknya kembali seraya menyuruhnya pulang dan bertaubat. Begitu seterusnya hingga yang ketiga kalinya. Setelah pengakuan ketiga ini, Nabi baru menyuruh sahabatnya agar Ma’iz diproses “secara hukum” hingga hukuman mati (rajam) dilaksanakan.

Pidana mati dalam konteks hukum Indonesia secara normatif telah mendapatkan pengakuan dari MUI. Sebagai diketahui, fatwa MUI No.10/MUNAS VII/MUI/14/2005 menetapkan bahwa negara dapat menerapkan pidana mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu[9]. Dasar yang dipakai oleh MUI adalah ayat al Qur’an surat al Isra ayat 33 yang berbunyi:¯

Artinya

:

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan". (Qs. 17:33)

QS. Al Baqarah ayat 178 yang berbunyi

Artinya

:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. (Qs. 2:178)

D. Pidana Mati dalam Perspektif Kemanusiaan (HAM)

Sejak dahulu, dikotomi antara HAM dan pidana mati terus berembus. Perspektif HAM adalah perspektif yang dianggap paling pas untuk menjustifikasi argumentasi sebagian orang yang menentang pidana mati. Dalam pengertian yang umum, HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia karena martabatnya;sebagai anugerah dari sang Pencipta yang tidak boleh diganggu gugat orang atau pihak lain. Pemaknaan HAM yang sempit menyebabkan pihak-pihak yang menentang pidana mati lebih eksklusif dan mengabaikan perspektif lain.

Hal yang sangat urgen untuk dibahas saat ini adalah apakah pidana mati bertentangan dengan HAM?. Untuk menjawabnya, perlu diurai terlebih dahulu pengertian normatif HAM itu sendiri. Dalam UU No.31 tahun 1999 pasal 1 disebutkan ‘HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[10]. Dari redaksi tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada kontradiksi atau dikotomi antara pidana mati dengan HAM. Secara tegas disebutkan bahwa setiap orang wajib menghargai hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tindak pidana pembunuhan, terorisme, korupsi, makar, dan sebagainya adalah aktualisasi dari pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Karena itu, untuk mengegakkan HAM, maka setiap pelanggaran harus ditindak dengan hukuman yang setimpal, termasuk pidana mati.

Isu penolakan pidana mati dengan mengatasnamakan HAM selama ini mengindikasikan kuatnya otoritas politik yang bermain di dalamnya. Sebagai contoh, penolakan atas eksekusi mati Tibo cs oleh beberapa aktivis gereja, aktivis HAM, dan bahkan Paus Benediktus XVI lebih menonjolkan sisi politis. Betapa tidak, di saat yang bersamaan, eksekusi mati atas Amrozi cs tidak digubris bahkan ditolak oleh aktivis HAM maupun aktivis gereja. Eksekusi atas Amrozi cs seakan dianggap sebagai sesuatu yang biasa; sesuatu yang memang wajar atas orang yang dicap sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional. Penolakan atas eksekusi mati lebih dilandasi oleh semangat sekularisme, kebebasan yang liberalis, dan paradigma HAM yang partikularistik[11]. Harus disadari bahwa penolakan atas pidana mati adalah penolakan atas Islam, sebab secara normatif Islam lah yang secara tegas membenarkan dibelakukannya pidana mati. Hal ini pun tergambar dari pihak-pihak yang menolak eksekusi mati yang sebagian merupakan non muslim.

Jika kita mencoba menarik benang merah dari kontroversi yang ada, maka dapat kita ungkapkan dengan proposisi: pidana mati secara substansial bertentangan dengan HAM, sebaliknya terpidana mati juga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan HAM[12]. Dengan proposisi demikian, penulis yakin kontroversi HAM dengan pidana mati daat menemukan titik terang dan dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam merumuskan konsep pidana mati dalam perundang-undangan secara proporsional dan akuntabel.

E. Urgensi Pidana Mati

Pertanyaan paling mendasar dan filosofis saat ini adalah apakah hukuman mati masih urgen?. Apakah hukuman mati dapat menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM?. Apakah pidana mati merupakan jalan terkahir untuk menegakkan keadilan di negara ini?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengungkap beberapa teori tentang pidana mati[13]. Pertama, teori retensionis merumuskan pidana mati lazimnya itu bersifat transendental, dibangun dari conceptual abstraction, yang mencoba melihat pidana mati hanya dari segi teori absolut, dengan aspek pembalasannya dan unsur membinasakan. Dalam pengertian khusus teori absolut, bahwa pidana mati bukanlah pembalasan melainkan refleksi dan manifestasi sikap muak masyarakat terhadap penjahat dan kejahatan, maka nestapa yuridis berupa hukuman mati harus didayagunakan demi menjaga keseimbangan dalam tertib hukum. Bahkan secara ekstrim dan kejam teori pembalasan tetap mempertahankan sloganisme Kant, “andaikata besok dunia akan kiamat, penjahat yang terakhirpun tetap dipidana mati pada hari ini’. Tesis ini dikategorikan sebagai tindakan pembinasaan dari teori pembalasan (the vindictive theory of punishment).

Kedua, teori abolisionis menyatakan bahwa pidana mati tidak mempunyai daya yang kuat untuk menekan statistik kriminalitas. Pidana mati hanyalah quasi dari statement penegakan HAM, karena secara substantif menghilangkan hak dasar seseorang yang laing asasi, yaitu hak hidup.

Ketiga, perspektif kriminologi mencoba melihat pidana mati dari segi “conceptual concritization’ yakni pidana mati harus disesuaikan dengan pola perubahan zaman dan kondisi strukturasi sosial kehidupan masyarakat. Kajian ini berusaha meneropong kejahatan dari pengaruh faktor-faktor perkembangan psikologis, sosiologis, ekonomi, politik, dan nilai nilai budaya yang tetap hidup dalam masyarakat.

Sementara itu, mantan jaksa agung, Abdulrahman Saleh pernah mengungkapkan bahwa pidana mati perlu dalam konteks penerapkan efek jera terhadap pelaku kejahatan dan mengantisipasi kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih parah dan meluas[14]. Pidana mati bukanlah sekedar mencabut hak hidup seseorang secara legal, melainkan lebih dari itu, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang menjadi penopang legitimasi pidana mati. Dapat dibayangkan jika dalam sistem hukum nasional tidak mengenal pidana mati sementara kejahatan kemanusiaan semaikn biadab dan tidak manusiawi. Hukuman penjara yang selama ini tidak efektif menghasilkan efek jera sebab kadar dan implikasinya tidak sedahsyat dan sebaik pidana mati.

Harus kita akui bahwa selama ini argumentasi penolakan pidana mati yang mengatasnamakan HAM bersifat kasuistik. Artinya, penolakan tersebut dengan dalil-dalil pembenar yang diajukan tidak cukup kuat untuk menggeneralisir realitas secara komprehensif.

Penulis berpendapat, sejauh hukuman mati masih diterapkan, sejauh itu pula harapan akan tegaknya supremasi hukum dan HAM akan dapat termanivestasi dalam kehidupan masyarakat. Payung hukum harus ditopang dengan perangkat pemidanaan yang representatif dan kuat. Apalah arti perangkat undang-undang kalau ternyata perangkat pemidanaannya sangat rapuh dan simplistik. Penentangan atas pidana mati selama ini hanyalah apologi belaka karena tidak secara komprehensif melihat pidana mati. Konsep yang dibangun hanya melihat aspek fisis pidana mati itu sendiri, padahal lebih jauh dibalik pidana mati termaktub suatu ekspektasi akan terwujudnya kehidupan masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar uraian yang diutarakan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal yang representatif sebagai berikut:

1. Implementasi pidana mati di Indonesia membawa pro dan kontra di masyarakat. Terdapat dua kubu yang saling bertentangan dalam menyikapi pidana mati, yaitu kubu yang pro dan kontra. Pertentangan yang ada tidak hanya menyentuh entitas pidana mati itu sendiri, tetapi menyentuh hingga proses pengadilan dan eksekusi atau pelaksanaannya. Argumentasi yang diangkat memiliki perspektif yang berbeda dan saling kontraproduktif. Secara akademik, perbedaan tersebut merupakan bahan kajian akademik, akan tetapi perbedaan tersebut tidak boleh mengganggu stabilitas politik dan hukum di masyarakat.

2. Pidana mati secara konstitusional diakui entitasnya sebagai salah satu pidana pokok. Hal ini tercermin dalam KUHP pasal 10, UU No.15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika, dan UU No.31 tahun 1999 tentang Korupsi. Argumentasi yuridis mendasari konsep undang-undang tersebut adalah bahwa pidana mati dianggap sebagai jenis pidana yang sangat efektif dalam membuat efek jera bagi pihak yang melakukan tindak pidana maupun pihak lain yang menyaksikan pelaksanaan pidana mati tersebut. Dapat dipahami, mengingat selama ini pidana kurungan maupun pidana penjara yang diterapkan bagi pelaku kejahatan kurang efektif dalam penjeraan. Pidana mati adalah solusi yang efektif dalam memberi efek jera, karena implikasinya tidak hanya secara fisik, namun juga secara psikologis.

3. Dalam pandangan Islam, pidana mati adalah pidana yang legitimatif. Hal ini tergambar dalam beberapa ayat al Qur’an seperti surat al Isra ayat 33 dan surat al Baqarah ayat 178. Pidana mati hanya diterapkan dalam kejahatan pidana tertentu seperti pembunuhan (berencana dan sengaja), pemberontakan, dan qishâsh. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan jika tidak didasari atas bukti-bukti positi dan setelah melalui proses peradilan yang lengkap dan benar. Islam sangat ketat dalam menerapkan pidana mati sebagai upaya untuk menghindari kesewenang-wenangan hukum.

4. Secara umum, pidana mati tidak bertentangan dengan HAM karena payung hukum yang mengatur tentang HAM tidak menunjukkan indikasi pertentangan diantara keduanya. Statement yang selama ini menganggap bahwa pidana mati bertentangan dengan HAM adalah kasuistik karena hanya didasari atas perspektif tertentu yang pragmatis sekaligus mengabaikan perspektif lainnya. Perangkat hukuma yang ada sejalan dengan konsep HAM yang universal dan relativistik. Karena itu, tidak ada hak yang absolut.

5. Substansi pidana mati adalah menimbulkan efek penjeraan bagi pelaku dan orang-orang atau pihak yang menyaksikannya. Meski terjadi perbedaan mengenai efektifitas pidana mati dalam memberi efek jera, akan tetapi eksistensi pidana mati tetap dipertahankan dengan asumsi tidak ada pidana lain yang dapat memberi efek jera sebaik dan seefektif pidana mati.

B. Saran

Secara umum, penulis menarik suatu kesimpulan bahwa perbedaan dan pertentangan yang terjadi selama ini adalah perbedaan perspektif yang dijadikan sebagai landasan berpikir dalam menyikapi entitas dan substansi pidana mati. Karena itu, penulis menyarankan kepada pembaca untuk meliha t pidana mati secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan maupun perspektif sebanyak mungkin. Selain itu, mempelajari fenomena dan realitas pidana mati adalah bagian sangat penting dalam mengurai benang kontroversi pidana mati. Dari hal ini, diharapkan nantinya akan terwujud kesamaan persepsi mengenai pidana mati sebagai bagian dari upaya penegakan HAM sekaligus penegakan supremasi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

. 2008. Hukuman Mati dan HAM, (Online), (http://koalisi-ham.org/index.php?option=com_content&task=view&id=59&Itemid=38, diakses 4 Januari 2008)

Amidi, D. 2006. Mendudukkan Hukuman Mati, (Online), (http://groups.google. com/group/syariah-care/browsethread/thread/6f09ddc667903d1, diakses 4 Januari 2008)

Antara. 2008. MK: Pidana Mati tak Bertentangan dengan UUD, (Online), (http://www.antara.co.id/arc/2007/10/30/mk--pidana-mati-tak-bertentang an-dengan-uud/, diakses 4 januari 2008)

Hamzah, A. 1992. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.

Indonesia. 2003. Undang Undang Republik Indonesia
Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang Undang
, (Online), (http://www.ppatk.go.id/pdf/uu15-2003.pdf, diakses 4 Januari 2008)

Indonesia. Undang Undang No.39 tahun 1999 tentang: Hak Asasi Manusia, (Online),(http://www.kontras.org/regulasi/UU_Nomor_39_tentang_Hak_Asasi _Manusia.pdf, diakses 4 Januari 2008)

Laggut, E. A. 2005. Pergeseran Paradigma (Hukuman Mati dan System Pembenarannya), (Online), (http://www.pbhi.or.id/content.php?id=12& id_tit=4, diakses 4 januari 2008)

MUI. 2005. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 10/MunasVII/MUI/14/2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu
, (Online), (http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa. php?id=138, diakses 4 Januari 2008)

Pikiran Rakyat. 2004. Sistem Pidana Mati Masih Diperlukan RI. (Online), (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/15/0105.htm, diakses 4 januari 2008)

Satrawi, M.H. 2006. Fikih Hukuman Mati, (Online), (http://www.islamemansipatoris.com/artikel.php?id=487, diakses 4 januari 2008)

Suara Pembaruan. 2007. Hukuman Mati dan HAM, (Online), (http://www.bnn.go.id/konten.php?nama=ArtikelLitbang&op=detail_artikel_litbang&id=39&mn=5&smn=c, diakses 4 Januari 2008)



[2] Lihat Hamzah, A. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. h.6.

[4] Lihat ibid.

[6] http://www.ppatk.go.id/pdf/uu15-2003.pdf