12.20.2009

Anarkisme: quo vadis idealisme gerakan kemahasiswaan?

9 desember 2009 tak pelak menyita perhatian publik dunia karena bersamaan dengan gerakan massif menentang praktik korupsi yang telah menggurita, publik diperhadapkan pada suatu kenyataan bahwa ekspektasi tinggi akan pemberantasan korupsi terbentur dinding mafia peradilan yang seakan tanpa malu menggerogoti sistem penegakan hukum.

gerakan moral menentang korupsi sejatinya menjadi pijakan bagi upaya kolektif dalam memberangus segenap praktik laten korupsi di negeri ini. betapa tidak, korupsi telah menyebabkan friksi sosial dan ekonomi di masyarakat, merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memporak-porandakan agenda reformasi tahun 1998, yaitu reformasi birokrasi menuju clean and good governance. perangkat undang-undang anti korupsi ditambah pembentukan lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi seakan menguap dan nyaris tanpa bekas. kooptasi interest2 politik dan tunggangan ideologi kapitalis berbungkus neoliberalisme telah mengobok-obok tatanan hukum negara kita. masyarakat pun dibuat bingun, akankah ekspektasi pemberantasan korupsi hanya sebatas impian yang tidak akan terwujud?

di tengah euforia pemberantasan korupsi, demonstrasi yang mengusung jargon serupa perlahan mengalami pergeseran nilai, dari nilai idealisme komunal yang elegan menjadi idealisme provokatif berbalut anarkisme. terakhir, anarkisme seolah menggulingkan paradigma eleganitas dalam mengawal gerakan pemberantasan korupsi. wajah anarkisme seperti vandalisme dan brutalisme menjadi kebanggaan mahasiswa untuk menyuarakan gagasan mereka. tak pelak, masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban.

ini harus dihentikan, dan sudah saatnya, kita merekonsiliasi gerakan kemahasiswaan menjadi gerakan yang kolektif, terencana, dan futuristik. quo vadis idealisme gerakan kemahasiswaan? perlu ikhtiar yang tulus untuk menjawab hal ini.

6.18.2009

undeachiever dan konsep keberbakatan

A. Definisi Underachiever
Ramadhan (2008) mengemukakan bahwa underachiever adalah anak (siswa) berprestasi rendah dibandingkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Sementara itu, Prayitno dan Amti (Ramadhan, 2008) menyebutkan bahwa underachiever identik dengan keterlambatan akademik yang berarti bahwa keadaan siswa yang diperkirakan memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal, sehingga prestasi akademik yang diraih di bawah kemampuan yang dimilikinya.
Underachiever adalah anak dan khsusunya siswa yang gagal meraih prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta apa yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya (Admin, 2007). Reis & McMoach (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement merupakan kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Robinson (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada anak (siswa) dalam periode yang panjang.
Runikasari (2009) menyebutkan bahwa underachiever merupakan anak atau siswa yang memilki potensi tinggi tetapi prestasi yang mereka tampilkan berada dibawah potensi yang dimiliki. Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh siswa di sekolah (Peters & VanBoxtel, dalam Tarmidi, 2008).
Anak underachiever merupakan anak yang pada dasarnya memiliki potensi yang tinggi untuk meraih prestasi gemilang (anak cerdas). Anak cerdas cenderung menjadi anak yang nakal jika berada di kelas yang dianggapnya tidak memberikan tantangan. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran untuk menghilangkan perasaan bosan yang dialami di dalam kelas (Redaksi, 2008).


B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Tergolong Underachiever
Prestasi belajar rendah yang dialami anak underachiever tidak disebabkan oleh adanya hambatan dalam menguasai pelajaran yang diberikan dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Gustian (Ramadhan, 2008), underachiever dapat disebabkan oleh oleh faktor lingkungan, baik lingkungan luar rumah (lingkungan sekolah), lingkungan rumah, maupun dari individu itu sendiri. Masing-masing faktor tersebut atau secara bersamaan dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab underachiever, orang tua dapat melakukan tindakan-tindakan untuk menangani anak yang mengalami underachiever.
Butler-Por (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi lebih disebabkan karena pilihan-pilihan yang dilakukan anak, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh penelitian McClelland, Yewchuk, dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) yang menyatakan bahwa ada dua set utama yang mempengaruhi performa underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang berhubungan dengan strategi belajar. McClelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor-faktor pada kedua set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi maka faktor tersebut dapat menjadi konsekuensi yang paling kuat untuk mencegah siswa menjadi underachiever.
1. Faktor lingkungan sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan yang menyebabkan anak menjadi underachiever. Metode pengajaran, kuantitas dan kualitas materi pelajaran yang diberikan, dan parameter-parameter keberhasilan dan kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever (Ramadhan, 2008).
Edy Gustian (Redaksi, 2008) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya underachiever. Faktor tersebut mencakup cara pengajaran, materi-materi yang diberikan, ukuran-ukuran keberhasilan dan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar di kelas. Sebagai contoh, Edy mengemukakan fakta yang terjadi pada Albert Einstein. Menurutnya, saat di sekolah dasar, nilai-nilai pelajaran Einstein sangat buruk, sehingga dia disebut sebagai anak bodoh oleh guru dan teman-temannya. Salah satu penyebab prestasi Einstein sangat buruk di sekolahnya adalah karena Einstein harus mengulang hal-hal yang sudah diketahuinya yang menurutnya tidak bermanfaat. Einstein baru berhasil menangani masalahnya dengan bantuan pamannya.
Dapat dibayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia jika Einstein tidak dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Hal yang perlu diperhatikan mengenai kasus tersebut adalah Albert Einstein berhasil mengatasi permasalahannya dengan bantuan orang lain, pamannya, bukan karena dia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan anak menjadi underachiever antara lain:
a. Anak bersekolah di sekolah yang memiliki standar tinggi dalam hal prestasi akademik peserta didik, sehingga membuat kepercayaan diri anak menjadi turun karena yang bersangkutan jarang memiliki pengalaman berhasil dalam kehidupan akademiknya.
b. Perlakuan guru, baik di kelas maupun di luar kelas dapat menjadi salah satu penyebab anak menjadi underachiever. Guru yang cenderung memiliki ekspektasi tinggi, bertindak otoriter atau kurang memberi penghargaan bagi siswa dapat menjadi salah satu pemicu anak menjadi underachiever.
c. Kesalahan anak dalam memilih teman dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever. Pada usia remaja, teman menjadi segalanya bagi mereka dan pada saat ini pula mereka sangat sulit menolak pengaruh dari teman. Berdasar hal tersebut, maka anak memegang prinsip dari pada ditinggalkan teman, mereka lebih baik mengabaikan kegiatan belajar yang berimplikasi pada penurunan prestasi akademiknya.
2. Faktor keluarga
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga adalah faktor terpenting yang dapat menyebabkan anak mengalami underachiever. Misalnya: kurangnya perhatian, dukungan, dan kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah serta mengatasi masalah-masalah akademik yang dihadapinya. Ekspektasi orang tua yang terlampau tinggi terhadap anaknya dapat berdampak pada munculnya pertentangan pendapat antara orang tua dengan anak. Selain itu, orang tua terkadang kurang menghargai prestasi belajar yang telah dicapai oleh anak. Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan anak juga akan merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar. Keretakan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu) sering menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menjurus pada perceraian. Kondisi demikian dapat menyebabkan anak kurang berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan mengalami underachiever juga terjadi jika suasana rumah gaduh dan tidak kondusif untuk belajar (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan anak menjadi underachiever adalah:
a. Situasi keluarga yang tidak stabil, misalnya si anak mengetahui bahwa ayahnya selingkuh sehingga hubungan kedua orangtuanya sudah tidak harmonis.
b. Anak kurang mendapat kesempatan dalam pengayaan sosial dan pendidikan keluarga.
c. Dominasi Ayah dalam keluarga sehingga penghargaan terhadap anak sangat kurang dan seringnya Ayah memberi hukuman berat kepada anak ketika melakukan kesalahan.
d. Orangtua tidak realistis dalam menetapkan target dan memaksakan nilai-nilai tertentu terhadap anak-anaknya, misalnya anak merasa sudah belajar seharian tetap dianggap belum belajar kalau di rumah dia hanya membaca komik.
e. Orangtua tidak pernah atau jarang memberi penghargaan atas prestasi yang diraih anaknya.
f. Orangtua jarang berbagi ide, kepercayaan, kasih sayang dan kesepakatan dengan anaknya.


3. Faktor internal
Selain faktor eksternal, faktor internal (faktor dalam diri anak) juga berpengaruh terhadap anak yang underachiever. Butler-Por (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberapa hal dari dalam diri anak yang menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Anak tidak menyadari potensi yang dimilikinya, sehingga mereka kurang memahami dirinya dan orang lain.
b. Mempunyai harapan/target yang terlalu rendah, sehingga membuat anak tidak mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.
c. Mempunyai self-esteem yang rendah dan menjadi peka terhadap penilaian orang lain.
Ramadhan (2008) mengemukakan beberapa hal dalam diri anak yang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik anak. Salah satunya adalah penilaian anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian anak terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian dirinya terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang menilai dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada tidak termotivasinya anak untuk meraih prestasi yang lebih tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for achievement). Anak yang memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya untuk berprestasi akan selalu berusaha meraih prestasi tertinggi dan pantang menyerah terhadap masalah yang dihadapi. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang dilakukaknnya.
c. Locus of control
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya dapat menyebabkan tercapainya preatsi yang tinggi. Anak dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak dapat dikontrolnya. Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha yang dilakukannya berarti anak tersebut memiliki lokus kontrol (locus of control) internal, dan sebaliknya anak disebut memiliki lokus kontrol eksternal jika penyebab prestasi belajarnya karena pengaruh dari orang lain. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai bahwa angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal akan mengatakan karena guru yang sentimen pada dirinya.
d. Pola dan strategi belajar
Pola dan strategi belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi anak. Ada anak yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian tetapi ada pula anak yang hanya belajar jika ada ujian. McClelland, Yewchuk dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberpa hal dalam strategi belajar yang menyebabkan anak menjadi underachiever, yaitu:
1). Tidak dapat menampilkan performa yang baik dalam situasi tes
2). Mengumpulkan tugas yang belum selesai atau yang dikerjakan dengan tidak sepenuh hati
3). Tidak mau mencoba hal-hal baru
4). Mempunyai kecenderungan perfeksionis dan self-critism
5). Tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan latihan teratur, mengingat dan yang membutuhkan penguasaan keahlian tertentu
6). Sulit untuk memberikan atensi dan berkonsentrasi dalam tugas.


C. Karakteristik Anak Underachiever
Saefurohman (2008) mengemukakan bahwa untuk mengenali siswa underachiever ada beberapa karakteristik yang dapat kita pahami, yaitu:
1. Karakteristik utama (primer)
Karakteristik utama yang dihubungkan dengan anak underachiever adalah rendahnya self-esteem (penghargaan terhadap diri) anak tersebut (Preckle & Vock, 2006; Trevallion, 2008, dalam Tarmidi, 2008). Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh Butler-Por & Kratzer (Saefurohman, 2008) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik kepribadian siswa underachiever adalah rendahnya konsep diri (konsep penghargaan terhadap diri sendiri). Siswa biasanya menutupi hal tersebut dengan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) seperti bertindak agresif atau membuat keributan dan lelucon di kelas (berkelakar).
2. Karakteristik sekunder
Karakteristik sekunder berhubungan dengan kecenderungan anak memperlihatkan perilaku menghindar (avoidance behavior). Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah. Kaufman (Saefurohman, 2008) menyatakan bahwa karakteristik menghindar pada anak underachiever diwujudkan dalam dua arah yaitu agresi atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
3. Karakteristik tersier
Karakteristik tersier siswa underachiever antara lain buruknya kemampuan anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak dapat mengatur diri baik di rumah maupun di sekolah, mudah bosan, meninggalkan atau mengabaikan kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik tetapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabar, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.
D. Konsep Diri Akademik
ReisDel Siegle & McCoah (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri, karenanya underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan underachievement. Salah satu faktor yang sering muncul pada siswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem (Clark, 1992; Davis & Rimm, dalam Tarmidi, 2008). Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi belajar yang diraih anak (Gallager, dalam Tarmidi, 2008). Hasil tinjauan literatur yang dilakukan Lau dan Chan (Tarmidi, 2008) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik siswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik.
Dalam konteks demikian, hubungan konsep diri akademik dengan kecenderungan underachievement bersifat resiprokal (Bynre, 1984; Marsh & Yeung, 1997 dalam Tarmidi, 2008). Anak yang underachiever tidak percaya bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karena itu mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kegagalan dalam bidang akademik akan membuat anak tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola underachievement sulit diputus.
E. Konsep Teoretis Penanganan Underachiever
Model trifokal yang diajukan Rim (Saefurohman, 2008; Tarmidi, 2008) adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Bakers, Bridger & Evans (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa aplikasi model ini melibatkan individu sendiri (anak underachiever), lingkungan rumah, dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan lebih komprehensif. Agar dapat mengatasi siswa underachiever dengan tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus karena menurut Hansford (Tarmidi, 2004) underachievement sangat spesifik pada masing-masing anak.
Gallagher (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan dapat diubah melalui upaya-upaya tertentu. Coyle (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle (Tarmidi, 2008) juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi siswa underachiever dapat dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan moral siswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap siswa underachiever atau kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola underachievement pada siswa tersebut.

BIBLIOGRAFI

Admin. 2007. “Underachiever” (Online). (http://en.wikipedia.org/wiki/Underachie ver, diakses 12 Juni 2009).

Ramadhan, T. 2008. “Underachiever” (Online). (http://tarmizi.wordpress.com/ 2008/11/19/underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

Redaksi. 2008. “Anak Cerdas , Mengapa Prestasi Di Sekolah Rendah” (Online). (http://minmalangsatu.net/detail-artikel-128/ANAK_CERDAS___MENGAPA _PRESTASI_DI_SEKOLAH_RENDAH.html, diakses 12 Juni 2009).

Runikasari, S. 2009. “Memotivasi Remaja Underachiever” (Online). (http://www.lptui.com/artikel.php?fl3nc=1¶m=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwNzcmZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail, diakses 12 Juni 2009).

Saefurohman, U. 2008. “Memahami Siswa Underachiever” (Online). (http://sd.binamuda.net/index.php?option=com_content&view=article&id=49:memahami-siswa-underachiever&catid=37:artikel&Itemid=18, diakses 12 Juni 2009).

Tarmidi, 2008. “Konsep Diri Siswa Underachiever” (Online). (http://tarmidi. wordpress.com/2008/05/27/konsep-diri-siswa-underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

6.03.2009

dasar Hukum ekonomi Syariah

1. Landasan syariah
Pada dasarnya, setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan berusaha dalam rangka memperoleh penghidupan yang layak. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan prinsip-prinsip tertentu serta sejalan tujuan awal, yaitu mencapai kesejahteraan hidup.
Islam sebagai agama yang sempurna pun tidak hanya mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah semata, melainkan juga bekerja untuk memperoleh rezeki dengan cara yang benar menurut aturan syariat. Kegiatan ekonomi bukan semata-mata dilandai oleh motif ekonomi semata, melainkan lebih dari itu, kegiatan ekonomi dalam perspektif ekonomi syariah merupakan wujud perbadatan kepada Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menegaskan bahwa implikasi kegiatan ekonomi bukan hanya dalam konteks duniawi semata, melainkan juga implikasi ukhrawi (ibadah).
Dalam lingkup muamalat, salah satu kaidah yang berlaku adalah al-ashl fil-muâmalat al ibâhah illâ mâ harrama alaih, yaitu asal dari segala aktivitas muamalat adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah tersebut sering diistilahkan dengan the principle of permissibility. Mengingat bahwa ekonomi dan perdagangan termasuk bidang muamalat, maka semua bentuk transaksi hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang jelas-jelas mengharamkannya. Dalam konteks inilah, hukum Islam memegang prinsip terbuka, termasuk dalam perbankan dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Penyelenggaraan ekonomi syariah memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an. Dalam QS Al Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan muamalah, Setiap individu dilarang untuk saling merugikan, berbuat curang, dan melakukan tindakan penipuan. Penegasan ini merupakan landasan kuat penyelenggaran ekonomi syariah yang sejatinya mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan prinsip saling menguntungkan.
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa dalam ekonomi syariah, harta merupakan amanat dari Allah SWT, karena itu harta tersebut harus diperoleh dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan umat. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
2. Landasan konstitusional
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain:
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro,
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito,
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah,
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham,
f. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna’, dan
g. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh) .
Menilik secara historis, kegiatan ekonomi syariah diakui secara yuridis sejak lahirnya UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut merupakan perundangan yang memberikan jalan bagi lembaga perbankan-bank umum dan bank perkreditan rakyat-untuk memberikan layanan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 6 huruf m ditegaskan bahwa bank umum konvensional dapat menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank-bank umum konvensional diizinkan untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil. Ketentuan tersebut dilandasi oleh kecenderungan di masyarakat yang menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 13 huruf c UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat merupakan salah satu bentuk usaha bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit dan pembiayaan tertentu kepada masyarakat. Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi BPR untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah sebagai upaya menjawab keinginan masyarakat, khususnya nasabah untuk mengimplementasikan sistem pembiayaan berbasis syariah.
UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara eksplisit melegitimasi kegiatan usaha berbasis syariah. Bahkan, dalam penjelasan pasal I angka 37 huruf i menegaskan bahwa kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syariah meliputi:
a. perbankan syariah,
b. lembaga keuangan mikro syariah,
c. asuransi syariah,
d. reasuransi syariah,
e. reksadana syariah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. pembiayaan syariah,
i. pegadaian syariah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
k. bisnis syariah.
Meski undang-undang ini tidak secara khusus mengatur tentang ekonomi syariah, namun klausul pasal 49 dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan usaha berbasis syariah.
Pada tanggal 16 Juli 2008, RUU Perbankan Syariah disahkan menjadi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan jawaban dari desakan berbagai pihak yang selama ini menginginkan satu regulasi utuh mengenai perbankan syariah. Selama ini, regulasi perbankan syariah masih diatur dalam UU Perbankan yang tidak secara akumulatif merepresentasikan sistem perbankan syariah nasional. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan Syariah, berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan.
Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja melalui program sosial. Sedang dari sisi komersial, hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.Undang-undang ini memuat segala ketentuan tentang perbankan syariah, yaitu:
a. Asas, tujuan, dan fungsi,
b. Perizinan, badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan,
c. Jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS),
d. Pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing,
e. Tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah,
f. Rahasia bank,
g. Pembinaan dan pengawasan,
h. Penyelesaian sengketa,
i. Sanksi administratif,
j. Ketentuan pidana, dan
k. Ketentuan peralihan.
Eksistensi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah. Beberapa poin penting Undang-Undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional.
Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS), dan 114 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Dengan kekuatan ini, perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang.
Dalam konteks operasionalisasi kegiatan penghimpunan dana dan pembiayaan berdasar prinsip syariah, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut yang termaktub dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Beberapa peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan usaha berdasar prinsip syariah adalah:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Lahirnya UU Perbankan Syariah diharapkan diikuti pula dengan lahirnya undang-undang lain yang mengatur secara tegas mengenai usaha-usaha ekonomi syariah yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan usaha ekonomi syariah selain perbankan syariah selama ini hanya mengacu pada fatwa DSN-MUI yang kekuatan hukumnya tidak mengikat dan memaksa, karena fatwa dalam konteks hukum Indonesia merupakan aturan yang bebas untuk ditaati atau tidak. Bagaimanapun, jaminan akan kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha berbasis syariah adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda lagi.
Payung hukum berupa undang-undang sangat dibutuhkan sebagai pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Progresifitas ekonomi syariah sangat tergantung pada perundang-undangan yang ada, karena dengan demikian maka legalitas ekonomi syariah bukan lagi menjadi persoalan yang menghambat kemajuan ekonomi syariah selama ini.

6.01.2009

akad (perikatan) dalam hukum perdata

Akad atau perikatan dalam ekonomi syariah tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Perikatan pada dasarnya terdiri atas dua, yaitu perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.
Perikatan merupakan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut. Setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, juga karena ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa unsur yang termuat dalam perikatan, yaitu:
a. Perikatan merupakan suatu hubungan hukum;
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua orang (pihak) atau lebih;
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak atau lebih, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal 1233 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan pasal 1313 KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak atau lebih melahirkan perikatan tertentu (perikatan yang lahir dari perjanjian).
a. Asas-asas umum dalam perjanjian
Dalam perjanjian, termuat beberapa asas yang menjadi landasan suatu perjanjian. Asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak dalam melakukan suatu perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian.
KUHPdt menetapkan beberapa asas dalam perjanjian sebagai koridor bagi para pihak yang membuat perjanjian hingga menjadi suatu perikatan yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Asas-asas dalam perjanjian tersebut adalah:
1) Asas personalia
Asas personalia dapat ditemukan dalam ketentuan dalam ketentuan pasal 1315 KUHPdt:
“Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”

Berdasar rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh seseorang sebagai subjek hukum hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Secara spesifik, ketentuan tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi untuk bertindak atas namanya sendiri.
Bila merujuk pada ketentuan dalam pasal 1315 KUHPdt tersebut, maka kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:
a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
b) Sebagai wakil dari pihak tertentu, yang dapat dibedakan dalam:
1) Merupakan suatu badan hukum dimana orang per orang tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga.
2) Merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, wali dari anak dibawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit.
c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
2) Asas konsensualitas
Substansi asas konsensualitas adalah pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua pihak atau lebih telah mengikat dan karena itu melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut setelah para pihak mencapai kesepakatan. Berdasar asas ini, perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Ketentuan mengenai asas konsensualitas terdapat pasal 1320 KUHPdt yang menyatakan:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c) Suatu pokok persoalan tertentu;
d) Suatu sebab yang tidak terlarang.”

3) Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengatur ketentuan bahwa pada dasarnya para pihak dapat membuat perjanjian atau kesepakatan yang melahirkan kewajiban apa saja sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan pasal 1337 menyebutkan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Perjanjian yang dilarang adalah perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang atau kesusilaan.
4) Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pacta Sunt Servande)
Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Berdasar ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sadar dan berdasar atas kesepakatan masing-masing pihak merupakan undang-undang (peraturan) yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian tersebut.
b. Unsur-unsur dalam perjanjian
Perjanjian yang dibuat sebagai suatu kesepakatan yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian memiliki unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur pada suatu perjanjian merupakan penopang bagi suatu perjanjian sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Unsur-unsur dalam perjanjian adalah:
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia dalam perjanjian mencakup ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensiali ini umumnya digunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.
2) Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian setelah unsur esensial diketahui secara pasti. Sebagai contoh, dalam perjanjian yang mengandung unsur esensial jual beli akan mendapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat barang atau jasa yang tersembunyi.
3) Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak, misalnya dalam jual beli, ada ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan benda yang dijual atau dibeli

5.28.2009

akad (perikatan dalam hukum Islam)

Ekonomi syariah sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya merupakan sistem ekonomi yang bersumber pada syariat Islam. Dalam konteks ini, syariat sebagai sumber dan dasar ekonomi syariah mencakup beberapa aspek, yaitu prinsip, akad, nilai, dan maqâsîd al syarî’ah. Aspek-aspek syariat tersebut secara kumulatif menjadi pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian dalam perspektif syariah adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan profit tertentu dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam dan terciptanya pemerataan ekonomi pada segenap lapisan masyarakat, serta sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lain dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah . Prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang atau memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

Penyelenggaraan usaha berbasis ekonomi syariah ini harus selaras dengan prinsip-prinsip syariah, karena eksistensi prinsip syariah tersebut adalah sebagai koridor yang harus dilalui oleh setiap pelaku usaha.

Perjanjian dalam Islam dikenal dengan istilah al ‘aqd (akad) yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”. Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain

Akad merupakan ikatan atau kontrak antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha yang sama. Dalam pasal 1 ayat 13 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Bila digeneralisasikan, maka akad merupakan kesepakatan tertulis antara lembaga keuangan syariah dengan pihak lain mengenai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan prinsip syariah.

Suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi beberapa rukun dan syarat tertentu agar perikatan yang dibuat tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai dikutip oleh Abdul Mannan mengemukakan bahwa suatu perikatan harus memenuhi empat rukun, yaitu ijab qabul, mahallul ‘aqd, al ‘aqidain, dan maudhu’ul ‘aqd.

a. Ijab qabul
Ijab qabul merupakan rukun pertama dan utama dalam suatu perikatan. Ijab qabul merupakan entitas yang melandasai perikatan yang dibuat oleh para pihak dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha, baik secara individu maupun secara berkelompok. Pelaksanaan ijab qabul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara lisan (dengan ucapan), tulisan, juga dengan isyarat tertentu bagi pihak yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab qabul dipandang sah dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Pertama, jalâ’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul itu jelas sehingga dapat dipahami dengan mudah mengenai jenis perikatan yang dikehendaki. Kedua, tawâfuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Ketiga, jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan pihak lain dan melaksanakannya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan

b. Mahallul ‘aqd (objek perikatan)
Objek perikatan dalam konteks muamalah sangat luas dan bentuk serta sifatnya tergantung dari jenis perikatan yang dibuat. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, perikatan harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Kedua, dibenarkan oleh syara’; sesuatu yang tidak dapat menerima hukum perikatan tidak dapat menjadi objek perikatan. Ketiga, objek perikatan harus dapat diserahkan pada saat terjadi akad atau dapat diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam akad. Keempat, objek perikatan harus jelas atau dapat ditentukan dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perikatan. Apabila tidak ada kejelasan tentang objek perikatan, maka hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas harus dipahami dan diaplikasikan oleh para pihak dalam membuat perikatan.

c. Al ‘aqidaîn (pihak yang melaksanakan perikatan)
Pihak-pihak yang melaksanakan perikatan merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum dimaksud dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau badan hukum tertentu yang mengikatkan diri pada suatu perikatan. Pihak yang melaksanakan perikatan harus cakap secara hukum, sehingga perikatan tersebut sah secara hukum. Islam telah mengamanahkan bahwa orang-orang yang tidak sehat akalnya atau berada dalam pengampuan tidak boleh melaksanakan perikatan, karena yang bersangkutan tidak memahami substansi perikatan tersebut. Orang-orang demikian tidak boleh melaksanakan perikatan secara individual, melainkan harus didampingi oleh orang lain sebagai kuasa yang sah secara hukum.

d. Maudhu’ul ‘aqd (tujuan dan akibat hukum perikatan)
Dalam suatu perikatan, tujuan menjadi sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan dari suatu perikatan sangat menentukan akibat hukum bagi para pihak, terutama dalam konteks keperdataan. Dengan demikian, para pihak harus mengetahui dan memahami secara massif tujuan dan akibat hukum dari perikatan yang dibuatnya.
Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa tujuan suatu perikatan dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, tujuan perikatan bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas para pihak yang bersangkutan tanpa perikatan yang diadakan. Tujuan perikatan dinyatakan sah jika tujuan tersebut ditetapkan pada saat melakukan perikatan. Kedua, tujuan perikatan merupakan tujuan yang temporal, yaitu tujuan yang berlangsung selama dan hingga berakhirnya masa perikatan. Ketiga, tujuan kontrak harus benar menurut syara’, yaitu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tuntunan al Qur’an dan hadis

Akad (perikatan) dalam hukum Islam memiliki beberapa asas yang harus diketahui dan ditaati oleh para pihak yang membuat akad. Fathurrahman Djamil, sebagai dikutip oleh Abdul Manan mengemukakan bahwa perikatan memiliki minimal lima asas, yaitu:

a. Asas kebebasan (Al Hurriyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, mencakup objek dan syarat-syarat perjanjian serta cara penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 256:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tujuan asas ini pada dasarnya untuk menjaga agar para pihak tidak saling menzalimi dalam pembuatan kontrak. Asas ini juga dimaksudkan untuk menghindari semua bentuk pemaksaan (ikrâh), tekanan, dan penipuan dari pihak yang berkepentingan dengan perikatan yang dibuat. Jika dalam perikatan terdapat unsur pemaksaan yang merugikan salah satu pihak, maka legalitas perikatan tersebut tidak sah. Dengan demikian, maka klausul dalam akad tidak dapat mengikat kedua belah pihak secara hukum dan tidak ada prestasi yang harus dijalankan oleh para pihak.

b. Asas persamaan dan kesetaraan (Al Musawah)
Substansi asas ini adalah setiap pihak memiliki kedudukan dan andil yang sama dalam perikatan yang dibuat. Asas ini kemudian menjadi begitu penting karena berimplikasi pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pemenuhan prestasi berdasar perikatan yang telah dibuat. Asas ini tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu pihak lebih aktif dalam menyiapkan atau membuat rumusan klausul perikatan yang harus disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan pihak lain yang terlibat di dalamnya.

c. Asas keadilan (Al ‘Adalah)
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus menunjukkan rasa keadilan yang menjamin kepentingan masing-masing pihak. Keadilan merupakan entitas yang multi dimensional yang mencakup nilai-nilai kebenaran. Keadilan dalam perikatan akan menjamin terpenuhinya hak-hak individu dan menjamin pula terlaksananya akad secara konsekuen, karena masing-masing pihak merasakan ketenangan dan kepastian terjaminnya hak-hak individu.

d. Asas kerelaan (Al Ridha)
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kerelaan para pihak yang berkontrak merupakan entitas yang menjiwai setiap perikatan dalam Islam sekaligus melandasi semia transaksi yang terjadi. Bila asas ini tidak terpenuhi dalam perikatan yang dibuat, maka perikatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bathil (al akl bil bâthil).
Kerelaan merupakan sikap batin abstrak yang membutuhkan indikator tertentu untuk merefleksikannya dalam suatu perikatan yang dibuat. Klausul ijab qabul merupakan representasi dari kerelaan para pihak dalam melakukan suatu perikatan. Dengan demikian, klausul ijab qabul harus transparan dan berimbang, sehingga mampu merepresentasikan kerelaan para pihak untuk melakukan perikatan.

e. Asas perikatan tertulis (Al Kitabah)
Salah satu asas yang sangat fundamental dalam perikatan Islam adalah asas tertulis. Perikatan yang dilakukan oleh para pihak harus ditulis dalam suatu akta atau bentuk formal lainnya untuk menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Asas perikatan tertulis ini termuat dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 282:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

bibliografi
http://www.syariahmandiri.co.id/syariah/banksyariah.php
http://yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/perbandingan-hukum-perjanjian-dalam_30.html
Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah: Tantangan Masa yang Akan Datang, Suara Uldilag, Vol. 3 No.XII, Maret 2008.
Abdul Manan. Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Tahun XXI No.247, Juni 2006. h.39-42
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2004. h. 83-84

prinsip dasar dan nilai-nilai ekonomi syariah

Ekonomi syariah merupakan jargon yang cukup baru dalam dunia ekonomi. Ekonomi syariah muncul sebagai sebuah kekuatan baru ekonomi dunia; sebagai upaya memecahkan polemik ekonomi yang melanda dunia saat ini. Gerakan ekonomi syariah hadir seiring dengan semangat untuk menghidupkan syariat dalam setiap dimensi kehidupan manusia.
Ekonomi syariah sebagai sebuah sistem ekonomi berlandaskan pada al Qur’an dan hadis. Gerakan pembaruan ekonomi berlabel ekonomi syariah telah berjalan sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Gerakan ini dipicu oleh keprihatinan oleh beberapa ilmuwan Islam-khususnya ilmuwan ekonomi-terhadap berbagai polemik yang melanda perekonomian dunia, terutama perekonomian negara-negara muslim. Konsensus para ilmuwan mengarah pada satu faktor pemicu, yaitu masih diterapkannya sistem ekonomi konvensional dalam aktivitas ekonomi negara-negara di dunia, termasuk negara-negara muslim.
Pertengahan abad ke-20 tercatat sebagai reinkarnasi atau kelahiran kembali apa yang dicanangkan sebagai Islamic economics (ekonomi Islam). Kelahiran ekonomi Islam (ekonomi syariah) dilandasi keinginan untuk mengembalikan aktivitas perekonomian umat agar sesuai dengan prinsip syariat Islam. Dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, para pendukung ekonomi Islam telah mendirikan lembaga internasional. Salah satunya adalah International Centre for Islamic Economics yang bermarkas di King Abdul Aziz University Jeddah. Tercatat salah satu institusi Islam yang menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi syariah adalah Nasser Social Bank (Mesir). Nasser Social Bank didirikan sebagai bank komersial tanpa bunga pada tahun 1971 pada masa presiden Anwar Sadat, yang beroperasi sebagai sebuah otoritas publik dengan status otonom, namun tidak secara spesifik menyebutkan Islam dalam anggaran dasarnya.
Dalam konteks Indonesia, penerapan syariat Islam-sebagai basis ekonomi syariah-telah terjadi jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Pada abad XIV Masehi, penerapan dan penyebaran hukum Islam dilakukan oleh Sultan Malikul Zahir dari kerajaan Samudera Pasai.
Pada awal terbentuknya wacana ekonomi syariah, banyak di kalangan masyarakat yang beranggapan salah terhadap ekonomi syariah. Ekonomi syariah saat itu dianggap sebagai sistem yang konservatif, mengekang kreatifitas dan kebebasan berkarya dan berusaha, serta aturan-aturan dogmatis yang membuat pelaku-pelaku ekonomi tidak bebas untuk berinovasi dalam menjalankan roda perekonomian bangsa. Hal ini dapat kita sadari, mengingat realitas yang ada menunjukkan ada indikasi Islam dikonotasikan secara negatif, Islam dianggap sebagai agama yang ajarannya membatasi usaha manusia dalam menggunakan hak-haknya. Banyak pula yang meragukan sistem bagi hasil yang diusung ekonomi syariah dengan menghindari sistem bunga.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, prinsip-prinsip hukum Islam mendapatkan kedudukannya dalam tata hukum Indonesia, dan yang paling aktual adalah lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai amandemen UU No.7 Tahun 1989. Perlu pula dicatat bahwa di Indonesia juga telah dikeluarkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai amandemen UU No.1 Tahun 1995. Perkembangan paling mutakhir dalam konteks ekonomi syariah di Indonesia adalah lahirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan regulasi utama dalam operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia.
1. Prinsip dasar ekonomi syariah
Ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi memiliki dua karakter dasar, yaitu sebagai sistem ekonomi Rabbani dan Insani. Ekonomi syariah dikatakan sebagai sistem ekonomi rabbani karena secara teoretik maupun secara praktis, ekonomi syariah senantiasa berlandaskan pada syariat dan nilai-nilai ketuhanan. Setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan harus senantiasa berpedoman pada aturan-aturan syariat sehingga tidak keluar dari koridor Islam. Karakter Insani dalam ekonomi syariah bermakna sistem ekonomi syariah diselenggarakan dengan tujuan untuk kemakmuran segenap umat manusia. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi tidak hanya bersifat pragmatis dan oportunis, melainkan juga bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu terwujudnya keadilan masyarakat secara sosio-ekonomi.
Metwally, sebagai dikutip oleh Arifin, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi syariah adalah:
a. Berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan. Dengan prinsip demikian maka manusia sebagai pengelola alam akan merasa bertanggung jawab atas kelestarian dan sedapat mungkin menghindari eksploitasi atas kekayaan alam tertentu untuk kepentingan pribadi sekaligus merugikan kepentingan umum.
b. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Ekonomi syariah bukan sistem kapitalis yang mengakui kepemilikan alat maupun faktor produksi tanpa batas atau sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi. Ekonomi syariah adalah sistem yang mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi secara relatif dan berimbang, sehingga tidak bergesekan dengan kepentingan umum.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Kerja sama sebagai yang kita ketahui adalah metode terbaik dalam usaha mencapai tujuan. Ekonomi syariah sejak dahulu telah menekankan pentingnya kerja sama dalam aktifitas ekonomi, karena dengan demikian manfaat atas kerja sama tersebut dapat dirasakan bersama diserta dengan pemerataan atas keadilan ekonomi yang digalakkan secara bersama.
d. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
e. Seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari akhirat. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang tidak hanya berimplikasi duniawi, melainkan menuntut pertanggungjawaban di hari akhirat.
f. Seorang muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat. Inilah yang menjadi aksentuasi utama ekonomi syariah dalam penciptaan keadilan ekonomi. Prinsip zakat adalah prinsip fitrah yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, seperti dimensi sosial, dimensi ubudiyah, dan dimensi psikis manusia.
g. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman. Ini adalah prinsip yang sejak awal kemunculan Islam telah ditetapkan melalui beberapa ayat yang secara tegas menyebutkan kedudukannya dalam syari’at. Riba tidak hanya merugikan perekonomian, akan tetapi lebih jauh riba dapat menimbulkan penyakit-penyakit masyarakat yang semakin memperparah kondisi dan stabilitas sosial, misalnya budaya pemeras, sifat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya diatas penderitaan orang lain, dan hilangnya sensitifitas sosial.
Ekonomi syariah selayaknya dijalankan dengan mengacu pada prinsip di atas. Jika seluruh prinsip tersebut dijalankan dengan sebaik mungkin, maka pemerataan dan kemajuan ekonomi masyarakat bukanlah sebuah utopia atau idealitas belaka. Dengan menjalankan prinsip-prinsip diatas, keterpurukan ekonomi bangsa dapat diatasi dan optimisme akan kemajuan dan kejayaan bangsa dapat terwujud di tengah pergaulan dunia yang semakin kompetitif.
2. Nilai-nilai ekonomi syariah
Implementasi sistem ekonomi syariah berangkat dari sebuah tatanan nilai yang dibangun atas dasar ketetapan-ketetapan dalam al Qur’an dan hadis. Nilai-nilai yang dibangun secara substansial bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu menciptakan tatanan kehidupan perekonomian yang berlandaskan Ketuhanan dan pemerataan ekonomi di masyarakat. Menurut Antonio, ada beberapa nilai dalam sistem ekonomi syariah, yaitu perekonomian masyarakat luas, keadilan dan persaudaraan menyeluruh, keadilan distribusi pendapatan, dan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
a. Perekonomian masyarakat luas
Islam mendorong penganutnya berjuang untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Islam juga mendorong manusia untuk berusaha sekuat mungkin dalam mendapatkan harta dengan cara yang etis dan halal, sehingga kemakmuran dan kemashlahatan di bumi tetap terjaga hingga akhir zaman.
b. Keadilan dan persaudaraan menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang ibarat sebuah keluarga. Persaudaraan tersebut adalah persaudaraan yang universal dan tidak didasarkan atas kesamaan pada aspek tertentu, sebab pada dasarnya manusia adalah satu keluarga besar.
c. Keadilan distribusi pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi. Untuk mewujudkan pemerataan pendapatan dalam masyarakat, sistem ekonomi Islam menawarakan beberapa cara, yaitu:
1) Penghapusan monopoli, kecuali oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu yang menyangkut kepentingan masyarakat umum,
2) Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi,
3) Menjamin basic need fulfillment setiap anggota masyarakat.
d. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial
Prinsip-prinsip Islam dalam konteks kesejahteraan sosial adalah:
1) Kepentingan masyarakat harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
2) Melepas kesulitan harus diprioritaskan daripada memberi manfaat, meski secara substansial keduanya merupakan tujuan syariah.
3) Manfaat yang besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang kecil dan bahaya yang lebih harus dapat diterima atau diambil untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

bibliografi
Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Arifin, Z. 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet.
Asnawi, M.N. 2007. Ekonomi Syariah sebagai Sistem Ekonomi Nasional: Dialektika Paradigma Ekonomi Syariah dengan Realitas Ekonomi Nasional Menuju Sistem Ekonomi yang Rabbani. Makalah dalam lomba karya tulis ilmiah mahasiswa berprestasi tingkat UIN Alauddin Makassar tahun 2007 (tidak diterbitkan).

5.11.2009

kesehatan mental

A. Konsep Dasar Sehat dan Sakit
Sehat dan sakit merupakan keadaan biopsikososial yang inheren dalam kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep tersebut memungkinkan pengenalan secara utuh terhadap kondisi dirinya (Notosoedirdjo & Latipun, 2007). Konsep sehat dan sakit pada dasarnya merupakn konsep yang universal dan kedua jargon tersebut telah menjadi bagian yang integratif dalam dinamika kehidupan kita. Aksentuasi pada permasalahan ini adalah menentukan batasan sehat dan sakit bagi individu. Penentuan batas sehat dan sakit merupakan sesuatu yang cukup kompleks, mengingat paradigma sehat dan sakit tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor, misalnya faktor psikologis, sosial, dan budaya serta tata nilai setempat.
Salah satu acuan untuk memahami konsep tentang sehat adalah definisi dari World Health Organization (WHO). WHO merumuskan sehat (health) sebagai keadaan yang paripurna, baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan (cacat). Dalam definisi tersebut, sehat tidak terbatas pada terbebasnya individu dari penyakit, melainkan lebih dari itu, individu harus memiliki keadaan yang sempurna, secara fisik, mental, maupun sosial (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Selain sehat, ada juga konsep tentang sakit. Sakit dalam bahasa Inggris diungkap dalam 3 istilah berbeda, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah tersebut mencerminkan bahwa sakit mengandung tiga pengertian dalam kerangka dimensi biologis, psikologis, dan sosial (biopsikososial). Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis (Calhoun, dkk., dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Disease (penyakit) berarti suatu penyimpangan yang simptomnya diketahui melalui diagnosis, berdimensi biologis dan objektif, serta bersifat independen dari pertimbangan-pertimbangan psikososial. Illness (sakit/nyeri) merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasakan tidak nyaman. Karena bersifat subjektif, maka tidak menutup kemungkinan sakit (nyeri) yang dirasakan individu tersebut juga dirasakan sebagai sakit (nyeri) oleh individu lain. Sickness (kesakitan) merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan. Dalam keadaan sickness demikian, individu dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran, maupun kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena adanya kondisi ketidaksehatan tersebut. Kesakitan dalam konsep sosiologis ini menyangkut peran khusus individu sehubungan dengan perasaan kesakitan tersebut sekaligus mencari tanggung jawab baru, yaitu upaya penyembuhan.
Lyttle & Pacther (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa peran sakit hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika kondisi tersebut paralel dengan paradigma dan tata nilai yang berlaku. Selain itu, justifikasi sakit juga sangat tergantung dengan keyakinan lokal dan norma sosial serta keagamaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal tersebut juga berlaku untuk jenis gangguan mental (mental illness).
Meski pengertian sakit bersifat relatif, pada dasarnya dapat ditemukan beberapa definisi operasional tentang sakit. Lyttle (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa sakit merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan atau kehilangan fungsi dan dapat merupakan keadaan yang berada dalam rentangan ketidaksenangan hingga ketidakcakapan atau ketidakmampuan serta mati.
B. Konsep Dasar Kesehatan Mental (Mental Hygiene)
1. Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental dalam terminologi psikologi sering disebut dengan mental hygiene, meski dalam aplikasinya sering pula disamakan dengan psychological medicine, nervous health, dan mental health. Meski memiliki maksud yang sama, namun substansi dari keempat istilah tersebut berbeda. Mental health, meski dalam terminologi bahasa Indonesia berarti kesehatan mental, namun substansinya berbeda dengan mental hygiene, karena mental health berarti keadaan jiwa yang sehat dan bersifat statis, sedangkan mental hygiene bersifat dinamis dan ditunjukkan dengan adanya usaha peningkatan kualitas kesehatan mental melalui intervensi tertentu. Pun demikian, mental health cenderung lebih populer dan diaplikasikan secara massif, termasuk oleh WHO sendiri (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Kartono & Andari (1989) berpendapat bahwa mental hygiene tidak hanya dapat diartikan sebagai kesehatan mental belaka. Lebih jauh, menurut Kartono & Andari, mental hygiene adalah ilmu pengetahuan tentang kesehatan mental. Mental hygiene merupakan ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental, bertujuan untuk mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental, penyembuhan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa secara komprehensif. Dengan demikian, maka mental hygiene menggambarkan adanya usaha untuk mendapatkan:
a. Keseimbangan jiwa;
b. Menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik; dan
c. Mampu memecahkan segal kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian.
Wiramihardja (2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tumbuh dan berkembang dan didasari motivasi yang kuat untuk meraih kualitas diri yang lebih baik dalam berbagai dimensi kehidupan. Michael dan Kirk Patrick (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah kondisi dimana mental individu terbebas dari gejala psikiatris dan individu tersebut berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
World Federation for Mental Health, dalam konvensi tahun 1948 di London merumuskan definisi kesehatan mental sebagai suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dari aspek emosional yang mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak hanya bebas dari gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya (Wiramihardja, 2004).
Definisi kesehatan mental juga diungkap oleh beberapa ahli, yaitu:
a. Karl Menninger (Wiramihardja, 2004), seorang psikiater mendefinisikan kesehatan mental sebagai penyesuaian (adjusment) manusia terhadap lingkungan sekitarnya dan dengan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan optimal. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang siap digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.
b. HB. English (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah keadaan yang secara relatif menetap dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan berusaha mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal.
c. Killander (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan yang ditunjukkan dengan kematangan secara emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup dalam masa-masa sulit dalam hidupnya.
d. Coleman dan Broen Jr (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa ada enam sifat orang yang dikatakan sehat mental, yaitu:
1). Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positive attitude toward self), menekankan pada penerimaan diri (self-acceptance), identitas yang adekuat, dan apresiasi realistik terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
2). Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan yang realistik atas diri sendiri dan dunia serta lingkungan sekitarnya.
3). Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, kemampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), serta toleransi yang baik terhadap stres.
4). Kompetensi, yaitu adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah kehidupan. Kompetensi mengandung keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan adekuat.
5). Otonomi, yaitu keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri (self-control) yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian dalam konteks pengaruh sosial.
6). Pertumbuhan atau aktualisasi diri yang menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
2. Karakteristik kesehatan mental
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan mental memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu:
a. Adequate contact with reality (interaksi yang adekuat dengan lingkungan)
Interaksi dengan lingkungan merupakan aktualisasi sikap terhadap lingkungan yang dapat berupa penerimaan realitas, penolakan, dan penghindaran. Individu yang terlalu menekankan diri pada masa lalunya cenderung tidak dapat menerima realitas. Kurangnya orientasi individu terhadap realitas sangat mungkin diasosiasikan dengan maladjusment (kegagalan dalam penyesuaian diri) dan gangguan neurotis. Penyesuaian yang baik dan mental yang sehat membutuhkan kontak yang menyeluruh dengan lingkungan sekitar, yaitu orang-orang, kejadian, dan realitas lainnya.
b. Healthy attitudes (sikap yang sehat)
Sikap yang sehat dalam terminologi psikologi merupakan asumsi (sikap) terhadap pekerjaan, teman, agama, kelompok ras, kematian, dan hal-hal lainnya yang menjadi bagian dari kehidupan individu sehari-hari. Sikap yang sehat lahir dari interaksi secara menyeluruh terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap yang sehat berakar dari tata nilai yang dianut individu dan pembentukan sikap yang sehat sangat tergantung pemenuhan tata nilai tersebut.
c. Control of thought and imagination (kontrol terhadap pikiran dan imajinasi)
Kontrol terhadap pemikiran dapat membantu pengembangan sikap yang sehat serta membentuk perspektif yang komprehensif terhadap dunia. Bila kontrol tersebut hilang, maka individu akan mudah terobsesi, kemandegan ide atau gagasan, fobia, pikiran yang tidak terfokus, dan simptom lain yang menunjukkan kepribadian yang neurotik dan psikotik.
d. Mental efficiency (efisiensi mental)
Kontrol terhadap pikiran dan kemampuan mental lainnya merupakan dasar bagi terbentuknya efisiensi mental. Kemampuan untuk mendayagunakan berbagai faktor mental, seperti inteligensi, kekuasaan, dan ingatan secara efektif mendukung terciptanya stabilitas mental. Gangguan-gangguan emosional seperti pada individu yang neurotik atau psikotik merupakan karakteristik dari individu yang kurang efisiensi mentalnya. Dengan demikian, efisiensi mental diasosiasikan dengan stabilitas mental individu.
e. Integration of thought and conduct (integrasi antara pikiran dan perilaku)
Kesenjangan antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tidak mendukung terciptanya stabilitas mental. Kesatuan antara pikiran dan perilaku sangat ditentukan oleh perilaku yang konsisten dan reliabel yang mencakup kesetiaan, kepercayaan, dan kepercayaan diri. Individu yang pembohong, perampok, psikopat, dan pelaku kriminal merupakan pribadi yang utuh dan merupakan karakteristik dari patologi mental.
f. Adequate concept of self (konsep diri yang cukup)
Mental yang sehat membutuhkan konsep diri yang cukup. Individu yang mentalnya sehat melihat sesuatu dari berbagai perspektif dan mempersepsinya secara objektif. Perasaan bahwa individu tersebut serba kekurangan, ketidakberdayaan, atau ketidakamanan tidak mendukung perkembangan mental yang sehat.
Sementara itu, Maslow dan Mittlemenn (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa karakteristik mental yang sehat adalah:
a. Adequate feeling of security, yaitu perasaan individu yang aman dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya.
b. Adequate self-evaluation, yaitu mencakup harga diri yang memadai dan memiliki perasaan bahwa dirinya berguna untuk dirinya dan orang lain
c. Adequate spontanity and emotionality, yaitu kemampuan untuk membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, memberi ekspresi yang cukup terhadap perasaan ketidaksukaan terhadap sesuatu tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain.
d. Efficient contact with reality, ditandai dengan tidak adanya fantasi yang berlebihan, mempunyai pandangan yang realistis dan komprehensif terhadap dunia disertai kemampuan menghadapi kesulitan hidup, dan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
e. Adequate bodily desires and ability to gratify them, ditandai dengan beberapa hal, yaitu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, kemampuan memperoleh kenikmatan dari aktivitas-aktivitas fisik, kehidupan sosial yang wajar, kemampuan bekerja, dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
f. Adequate self-knowledge, yaitu mengetahui dengan baik dinamika psikologis dalam dirinya serta penilaian yang realistis terhadap kelebihan dan kelemahan dirinya.
g. Integration and consistency of personality, ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis yang baik, prinsip moral dan tata nilai yang cenderung sama dengan kelompoknya, mampu berkonsentrasi, serta tidak adanya konflik intra-personal yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan kejiwaannya.
h. Adequate life goal, yaitu adanya tujuan hidup yang jelas dan realistis, usaha untuk mencapai tujuan tersebut, dan tujuan tersebut baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
i. Ability to learn from experience, yaitu alastisitas dan kemauan menerima kenyataan, tidak takut terhadap kegagalan, serta kemampuan untuk belajar secara spontan.
j. Ability to satisfy the requirements of the group, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan baik pada kelompoknya, terutama dalam hal tata nilai dan budaya kelompok serta perilaku sosial dalam kelompok.
k. Adequate emancipation from the group or culture, ditandai dengan kemampaun menghargai perbedaan budaya dan paradigma, tidak memanfaatkan orang atau kelompok lain, serta kemampuan menilai secara objektif.
C. Ruang Lingkup Kesehatan Mental
Notosoedirdjo & Latipun (2007) mengemukakan bahwa kalangan ahli kesehatan mental membatasi ruang lingkup kesehatan mental pada dua aspek, yaitu: (a) pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu dan masyarakat dan (b) prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan mental. Ruang lingkup kesehatan mental tidak hanya mencakup perawatan kesehatan individu (individual health care) tetapi juga pelayanan kesehatan masyarakat (public health care).
Caplan (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa lingkup kerja kesehatan mental mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan mental
Promosi kesehatan mental adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan mental, baik individu maupun masyarakat. Usaha demikian berangkat dari asumsi bahwa kesehatan mental ditingkatkan secara optimal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Prevensi primer
Prevensi primer merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan dan sakit mental. Usaha demikian dilakukan sebagai perlindungan terhadap kesehatan mental individu maupun masyarakat agar gangguan dan sakit mental tersebut tidak terjadi.
3. Prevensi sekunder
Prevensi sekunder adalah usaha kesehatan mental melalui penemuan kasus sedini mungkin (early case detection) dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment) terhadap gangguan dan sakit mental. Usaha tersebut dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah jangan sampai terjadi cacat pada seseorang atau masyarakat.
4. Prevensi tersier
Prevensi tersier merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Usaha ini bertujuan untuk mencegah disabilitas atau ketidakmampu. an mental yang dapat menjadi kecacatan permanen.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan entitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Kesehatan mental tidak dapat tercapai jika tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, karena secara substantif faktor-faktor tersebut memainkan peran yang signifikan dalam dinamika kesehatan mental.
1. Faktor biologis
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah faktor biologis. Faktor biologis ini mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Otak
Otak merupakan pusat dari segala aktivitas tubuh, baik aktivitas fisiologik maupun aktivitas psikologis. Otak merupakan pusat keseimbangan, motivasi, afeksi, dan beberapa dimensi lainnya psikologis lainnya.
Perkembangan fisiologis otak sejalan dengan perkembangan mental manusia dan bahwa perkembangan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lima tahun awal. Terjadinya kerusakan pada otak sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu. Beberapa jenis gangguan mental yang berhubungan dengan kerusakan otak adalah demensia, epilepsi, general parasis, sindroma Korsakoff, dan sindroma Kluver-Bucy (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Sistem endokrin
Kelenjar endokrin merupakan senyawa kimiawi yang mengeluarkan hormon dan diangkut ke seluruh tubuh. Kelenjar endokrin mencakup tujuh macam kelenjar, yaitu kelenjar pituitari, tiroid, paratiroid, adrenal, gonad, timus, dan pankreas. Gangguan mental yang disebabkan abnormalitas fungsi kelenjar endokrin prevalensinya masih sedikit, akan tetapi hal tersebut perlu mendapat perhatian dan dapat dicegah melalui pengaturan pola makan dan mengaplikasikan pola hidup bersih dan sehat (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
c. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor dalam pewarisan sifat-sifat manusia kepada keturunannya. Riset Gregor Mendel membuktikan bahwa faktor gen sangat berpengaruh terhadap pembantukan sifat dan karakter manusia yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Kecenderungan psikosis seperti skizofrenia dan manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis dari induknya. Gangguan mental lain yang bersifat genetis adalah alzheimer, phenylketunurine, huntington, dan adiksi alkohol serta obat-obatan terlarang (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
2. Faktor psikologis
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, aspek psikis senantiasa terlibat dalam dinamika kemanusiaan yang multi aspek. Ada beberapa aspek psikis yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, yaitu (Notosoedirdjo & Latipun, 2007):
a. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan keseluruhan pengalaman maupun kejadian yang dialami seseorang yang mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mentalnya. Psikolog bahkan menganggap pengalaman awal sebagai bagian penting dari perkembangan fisik dan mental seseorang dan akan sangat menentukan kondisi dan kesehatan mentalnya di kemudian hari.
b. Proses pembelajaran
Perilaku manusia sebagian besar adalah merupakan produk dari aktivitas belajar melalui pelatihan dan pengalaman sehari-hari. Terdapat tiga saluran belajar, yaitu:
1). Belajar dengan asosiasi (learning by association)
Belajar dengan asosiasi sering diistilahkan dengan classical conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov. Menurut Pavlov, interaksi antara lingkungan dengan individu sangat penting karena dari interaksi tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan kematangan kepribadian seseorang. Lebih lanjut, Pavlov mengemukakan bahwa ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu organisme selalu berinteraksi dengan lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleks.
2). Belajar dengan konsekuensi (learning by consequencies)
Belajar dengan konsekuensi dikemukakan oleh BF. Skinner. Skinner mengemukakan bahwa lingkungan memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui mekanisme konsekuensi penyertaan atas perilaku tertentu, yaitu punishment (hukuman) dan reward (hadiah).

3). Belajar dengan mencontoh (learning by modelling)
Konsep belajar dengan mencontoh dikemukakan oleh Albert Bandura melalui teori social learning. Menurut Bandura, anak-anak berperilaku agresif setelah mencontoh perilaku model yang dilihatnya. Kegiatan mencontoh dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
c. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri (orang yang telah mengeksploitasi segenap kemampuan, bakat, dan keterampilan secara massif) akan mencapai suatu tingkatan yang disebut dengan peak experience. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh Abraham Maslow, ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental-khususnya yang menderita neurosis- disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berangkat dari hasil penelitian tersebut Maslow menyimpulkan bahwa gangguan dan penyakit mental-psikosis dan neurosis- merupakan implikasi dari defisiensi (ketidakmampuan memenuhi dan memuaskan) kebutuhan, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan lanjutan (kebutuhan untuk tumbuh kembang).
3. Faktor sosial budaya
a. Stratifikasi sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Holingshead dan Redlich (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) menemukan bahwa stratifikasi sosial yang ada di masyarakat ternyata berhubungan dengan jenis gangguan mentalnya. Terdapat distribusi gangguan mental secara berbeda antara kelompok masyarakat yang berada pada strata sosial tinggi dengan strata sosial yang rendah. Dalam berbagai studi dipahami bahwa kelompok strata sosial rendah memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan psikiatrik dibanding dengan kelompok kelas sosial tinggi (Heller, dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Interaksi sosial
Dinamika sosial seperti interaksi sosial banyak dikaji dalam kaitannya dengan gangguan mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial dengan gangguan mental. Pertama, teori psikodinamika mengemukakan bahwa individu yang mengalami gangguan emosional dapat berimplikasi pada pengurangan interaksi sosial yang dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua, bahwa rendahnya interaksi sosial yang berimplikasi pada gangguan mental.
Faris dan Dunham (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kualitas interaksi sosial individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya. Lingkungan kehidupan serta tatanan sosial sedikit banyak mempengaruhi dinamika dan kesehatan mental individu. Dalam berbagai studi terungkap bahwa hubungan interpersonal memiliki implikasi yang signifikan dalam peningkatan kesehatan mental individu.
c. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdkat dengan individu yang berperan besar dalam membentuk karakter serta mempengaruhi perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta dapat membentuk homeostatis dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya serta peningkatan resistensi terhadap berbagai gangguan dan penyakit mental.
Dalam pandangan psikodinamika, keluarga merupakan entitas yang secara langsung mempengaruhi pola pikir dan perkembangan psikologis individu. Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem yang menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Dengan demikian, keluarga merupakan lingkungan yang sangat penting dari keseluruhan sistem lingkungan.
E. Penyesuaian Diri (Self-Adjusment)
Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan perilaku individu yang berusaha mengatasi masalah-masalah dalam dirinya, seperti kebutuhan-kebutuhan, ketegangan diri, frustrasi, dan konflik-konflik dan untuk menciptakan situasi konformis (selaras) antara kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri (self adjusment) adalah usaha individu untuk mencapai harmoni atau keselarasan pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa pernusuhan, dengki, prasangka, depresi, kemarahan, dan emosi negatif lainnya dapat diminimalisir, sehingga dihasilkan pribadi yang sehat, baik secara fisik maupun secara mental.
Lebih lanjut, Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa dalam konteks kesehatan mental, penyseuaian diri (adjusment) dapat dijabarkan dalam beberapa perspektif sebagai berikut:
1. Adjusment berarti adaptasi atau penyesuaian diri, yaitu kemampuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani.
2. Adjusment dapat diartikan sebagai konformitas, yaitu kesesuaian dengan norma-norma hati nurani dan tata nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Adjusment dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengorganisir respon-respon sedemikian rupa, sehingga dapat menguasai dan merespon dengan tepat dan efisien segala konflik yang dihadapi, kesulitan-kesulitan hidup, dan rasa frustrasi dalam diri.
4. Adjusment dalam konteks keluarga, yaitu memiliki hubungan interpersonal yang baik dan matang dengan seluruh anggota keluarga.
5. Adjusment sebagai bentuk penyesuaian kultural, yaitu kemampuan menghargi tata nilai, hukum, adat dan kebiasaan, norma sosial, dan entitas kultural lainnya.

Kartono, K. & Andari, J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Notosoedirdjo, M. & Latipun. 2007. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press.

Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Wiramihardja, S. A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.

3.07.2009

contoh eksepsi dalam perkara perdata

EKSEPSI 1
TIM KUASA HUKUM TERGUGAT
DALAM GUGATAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
Antara

(1) MUH. GUSRI DAMAR ULANG, sebagai wakil kelompok I
(2) DARWIN, sebagai wakil kelompok II
Sebagai PENGGUGAT
Melawan
(1) KPU Prop. Sulawesi Selatan, sebagai TERGUGAT I
(2) Menteri Dalam Negeri RI cq. Gubernur Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, sebagai TERGUGAT II
(3) PT. PICARVI, berkedudukan di Makassar, sebagai TERGUGAT III

I. PENDAHULUAN
Bahwa dalam perkara ini, TERGUGAT, sesuai dengan gugatan yang diajukan pihak PENGGUGAT No. 245/Pdt.G/2007/PN.Mks, dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan PENGGUGAT tidak dapat memberikan suara/mengikuti tahap pencoblosan pada Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 5 Nopember 2007.
Bahwa setelah kami menerima salinan gugatan class action tersebut dan mempelajarinya secara cermat dan seksama, kami selaku tim kuasa hukum tergugat menemukan beberapa kejanggalan dan ketidakjelasan (obscuur libel) dalam guagatan tersebut.
Bahwa dalam gugatan class action tersebut terdapat kekaburan mengenai kapasitas PENGGUGAT I sebagai class representative dari kelompok I dan PENGGUGAT II sebagai class representative kelompok II.
Bahwa dalam gugatan tersebut, kami juga menemukan kejanggalan mengenai class members dalam kelompok I dan kelompok II karena tidak didukung dengan data-data yang akurat dan verivikatif.
Bahwa untuk hal tersebut kami mengajukan eksepsi atau keberatan atas gugatan yang diajukan oleh PENGGUGAT dan tim kuasa hukumnya. Berbagai kejanggalan yang terdapat dalam gugatan tersebut menyebabkan guagatan tersebut tidak memenuhi syarat formil, dan karena itu gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantlijk Verklaard).
II. KEDUDUKAN DAN KEPENTINGAN WAKIL KELOMPOK
Dalam gugatan class action ini, penggugat terdiri atas dua kelompok yang masing-masing diwakili oleh Muh. Gusri Damar Ulang sebagai wakil kelompok I dan Darwin sebagai wakil kelompok II. Penggugat mendalilkan dalam gugatannya bahwa tergugat telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang berupa tindakan melawan hukum yang menyebabkan penggugat tidak dapat memberikan suara/mengikuti tahap pencoblosan pada pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan.
Bahwa untuk hal tersebut, kami selaku tim kuasa hukum tergugat menemukan sejumlah kekaburan. Pertama, class representative, dalam hal ini sdr. Gusri Damar dan Darwin diragukan kapasitasnya sebagai class representative. Dalam surat dakwaan dikemukakan bahwa Gusri Damar dan class member-nya memiliki kerugian yang sama, yaitu tidak dapat menyalurkan hak suara karena tidak terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 5 Nopember 2007. Kemudian, sdr. Darwin dan class member-nya memiliki kerugian yang sama, yaitu tidak dapat menyalurkan hak suara karena tidak mendapatkan undangan atau kartu pemilih dalam Pemilu Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, tanggal 5 Nopember 2007. Pertanyaan paling mendasar adalah, bagaimana kedua class representative tersebut mengetahui bahwa masing-masing anggota kelompoknya tidak dapat memberikan hak suaranya?. Secara logika, tidak mungkin kedua class representative tersebut melakukan diskusi atau mewawancarai semua orang yang dicantumkan dalam surat dakwaan untuk mengetahui bahwa mereka tidak dapat memberikan hak suaranya. Kami justru menduga, dibalik semua hal tersebut ada kepentingan politik tertentu yang digandeng yang menguntungkan pihak-pihak lain. Kedua, dalam surat gugatan disebutkan bahwa kejujuran dan kesungguhan Penggugat tidak diragukan lagi untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompoknya. Bagaimana mereka dapat menjamin bahwa Penggugat sebagai class representative jujur dan bersungguh-sungguh, padahal hal tersebut tidak dibuktikan dengan pernyataan tertentu secara tertulis dan disetujui oleh semua class member?. Ketiga, bahwa dalam surat gugatan tersebut disebutkan bahwa Penggugat mewakili class member yang berjumlah diperkirakan sedikitnya mencapai 622.187 orang, dimana Penggugat I mewakili class member yang berjumlah diperkirakan mencapai 298.000 dan Penggugat II mewakili class member yang berjumlah mencapai 324.187 orang. Klaim jumlah class member tersebut sangat tidak masuk akal karena tidak didasari dengan bukti-bukti yang autentik berupa pendataan secara akurat yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Lagi pula, adanya kata diperkirakan mencapai menunjukkan bahwa jumlah anggota kelompok tersebut tidak jelas, sehingga secara formil, gugatan class action yang diajukan tidak sah dan harus dinyatakan NO (Niet onventlijk verklaard).
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasar keterangan-keterangan yang telah diuraikan sebelumnya, kami menyimpulkan bahwa surat gugatan class action yang dibuat oleh Penggugat dan tim kuasa hukumnya tidak memenuhi beberapa syarat formil gugatan class action, yaitu tidak jelasnya kapasitas penggugat sebagai class representative dan ketidakjelasan jumlah anggota dalam kelompok yang diwakili. Dengan demikian, maka gugatan tersebut dapat dianggap kabur (obscuur libel) sehingga harus dinyatakan NO.
B. DIKTUM
Berdasar uraian dan kesimpulan yang telah diuraikan, kami selaku pihak Tergugat dan tim kuasa hukum memohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan:
PRIMAIR
1. Menerima eksepsi tergugat.
2. Menyatakan bahwa gugatan class action yang diajukan oleh Penggugat dan tim kuasa hukumnya kabur (obscuur libel) dan tidak memenuhi syarat formil gugatan class action.
3. Menyatakan bahwa gugatan class action yang diajukan oleh Penggugat dan tim kuasa hukumnya tidak dapat diterima (Niet ontventlijk verklaard).

SUBSIDAIR
Bila majelis hakim berpendapat lain dan persidangan tetap dilanjutkan sampai pada tahap akhir, mohon majelis hakim memerintahkan kepada pihak Penggugat untuk memutakhirkan data mengenai jumlah pasti anggota kelompoknya.
MAKASSAR, 20 OKTOBER 2008
Hormat Kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat
M. NATSIR ASNAWI, SHI., M. H., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.


EKSEPSI 2
Atas Gugatan tentang Perbuatan Ingkar Janji No.202/Pdt.G/2007/PN.Mks
Yang diajukan oleh H. Parenrengi
Kepada
KSU BINA DUTA (Tergugat I)
Walikota Makassar (Tergugat II)
PT. HAJI LATUNRENG L & K (Tergugat III)

I. PENDAHULUAN
Majelis hakim yang kami hormati.
Kami selaku tim kuasa hukum, bertindak untuk dan atas nama H. Parenrengi, berdasar surat kuasa khusus tertanggal 30 Oktober 2007 dengan ini bermaksud mengajukan eksepsi berdasar surat gugatan yang diajukan oleh tim kuasa hukum penggugat No.202/Pdt.G/2007/PN.Mks.
Sebagai warga negara yang baik, sudah selayaknya menjalankan dan menaati aturan hukum sebagaimana mestinya. Tergugat dalam hal ini terdiri atas tiga pihak merasa telah menaati aturan dan menjalankan aturan tersebut sebagaimana mestinya. Bahwa tergugat dalam hal ini berpendapat bahwa gugatan penggugat pada dasarnya tidak tepat, karena mencantumkan beberapa hal yang menurut kami sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi sebenarnya.
Bahwa setelah kami membaca dengan seksama dan teliti mengeni materi gugatan, kami menemukan sejumlah kejanggalan dan/atau kekeliruan yang substansial, yang menyebabkan gugatan tersebut cacat dan harus dinyatakan Nietonvankelijk Verklaard (NO). Kekeliruan-keleiruan tersebut, manurut kami sudah sangat merugikan pihak tergugat, karena materi gugatan yang dibuat tidak memenuhi syarat gugatan, yaitu gugatan dibuat secara jelas dan cermat. Akan tetapi, dalam gugatan penggugat kami menemukan sejumlah keterangan yang menurut kami sangat manipulatif dan tentunya merugikan pihak tergugat, sehinggat gugatan tersebut mengandung cacat hukum.
Karena itu, perkenankanlah kami memaparkan materi eksepsi kami.
II. EXCEPTIO OBSCUUR LIBEL
Salah satu asas dalam membuat surat gugatan adalah bahwa surat gugatan harus jelas dan cermat. Gugatan dinyatakan memiliki keabsahan jika dibuat berdasar fakta-fakta yang ada serta tidak memanipulasi data-data yang dimasukkan dalam posita. Akan tetapi, kami menemukan sejumlah kejanggalan dan kekaburan gugatan penggugat.
Bahwa dalam gugatan penggugat disebutkan bahwa keuntungan rata-rata setiap bulan yang diperoleh oleh penggugat adalah Rp.65.000.000, padahal dalam gugatan tersebut tidak dicantumkan keterangan dari mana angka tersebut diperoleh. Kami justru menduga bahwa penetapan nilai tersebut hanya dilakukan secara simultan tanpa memberikan data dan fakta bahwa angka tersebut benar-benar angka riil keuntungan penggugat setiap bulannya. Karena itu, kami berpendapat bahwa posita yang diajukan oleh penggugat kabur dan tidak transparan karena tidak disertai dengan fakta-fakta empirik yang signifikan.
Bahwa dalam gugatan tersebut, penggugat mendalilkan bahwa kerugian bunga yang diderita karena tidak mendepositokan uangnya di bank adalah Rp.60.520.000 dengan estimasi bunga 1% per bulan. Kami sekali lagi menemukan kekaburan materi gugatan dalam posita karena estimasi tersebut sangat timpang dan tidak disertai keterangan-keterangan pelengkap mengenai bank mana yang dimaksud dan depsito seperti apa yang diaplikasikan. Karenanya, kami menegaskan sekali lagi bahwa gugatan penggugat mengandung unsur obscuur libel, sehingga karenanya harus dinayatakan NO.
III. EXCEPTIO ERROR IN PERSONA
Tergugat II sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di kota Makassar memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan publik, tidak terkecuali kebijakan mengenai peremajaan pasar Butung. Tergugat II dalam hal ini menjadi pihak pertama yang menginisiatifkan peremajaan pasar butung untuk kepentingan penjual dan pembeli, sehingga tercipta lingkungan pasar yang lebih kondusif dan representatif.
Sebagai inisiator, tergugat II melaksanakan kebijakannya dengan penuh ketelitian dan menyerahkan pelaksanaannya pada pengembang yang memenangkan tender. Artinya, secara faktual, yang bertanggung jawab atas terlaksananya proyek adalah pihak pengembang, termasuk PT. SULWOOD UTAMA CORPORATION, karena pihak pengembang telah menyetujui perjanjian kerjasama yang dibuat. Implikasinya, pengembang harus menaati perjanjian tersebut dan melaksanakannya hingga selesai. Akan tetapi, pihak pengembang melakukan ingkar janji (wanprestasi), sehingga penggugat merasa dirugikan.
Akhirnya, kami menyimpulkan bahwa ditariknya tergugat II sebagai tergugat adalah tidak tepat (error inpersona), karena pada dasarnya tergugat II bukan pihak yang terlibat dalam pengerjaan langsung proyek tersebut. Lagi pula, tidak ada indikasi bahwa penghentian sepihak pengerjaan proyek peremajaan tersebut merupakan inisiatif tergugat II. Karenanya, kami menganggap gugatan penggugat mengandung error in persona, sehingga harus dinyatakan NO.
IV. EXCEPTIO EX JURI TERTI
Bahwa berdasarkan surat gugatan yang diajukan oleh penggugat, kami berpendapat bahwa gugatan penggugat mengandung cacat ex juri terti karena ada pihak ketiga yang sebenarnya terlibat dan bertanggung jawab atas masalah yang diutarakan penggugat dalam gugatannya tidak ditarik sebagai tergugat. Padahal, menurut kami, masalah tersebut timbul akibat perbuatan pihak ketiga yang kemudian secara berentetan menyebabkan masalah-masalah yang timbul kemudian.
Bahwa kami menganggap tidak ditariknya PT. SULWOOD UTAMA CORPORATION menyebabkan gugatan penggugat mengandung cacat ex juri terti. Kami menilai bahwa perbuatan wanprestasi sebenarnya adalah akar dari perbuatan PT. SULWOOD UTAMA CORPORATION yang secara sepihak melanggar perjanjian kerja sama yang dibuat. Inilah yang menurut kami kekeliruan terbesar dalam gugatan ini, sehingga kami berpendapat bahwa gugatan penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima (NO).
V. PENUTUP
Berdasar keterangan-keterangan yang telah kami paparkan sebelumnya, kami memohon kepada majelis hakim untuk:
PRIMAIR
1. Menerima eksepsi tergugat,
2. Menyatakan bahwa gugatan penggugat mengandung cacat obscuur libel, error in persona, dan ex juri terti.
3. Menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima,
SUBSIDAIR
Atau jika majelis hakim berpendapat lain, dan pemeriksaan perkara ini dilanjutkan sampai pada tahap akhir, mohon putusan yang seadil-adilnya.
Demikian eksepsi kami, atas perkenannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalam.

MAKASSAR, 31 OKTOBER 2007

Hormat kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat
M. NATSIR ASNAWI, SHI., M. H., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.


EKSEPSI 3
PIHAK TERGUGAT
ATAS
GUGATAN KEWARISAN YANG DIAJUKAN OLEH
PIHAK PENGGUGAT
NO.1002/Pdt.G/2008/PA.Mks

I. PENDAHULUAN
Majelis hakim yang terhormat.
Pada kesempatan ini, bersamaan dengan penyampaian jawaban pihak tergugat atas gugatan pihak penggugat, kami selaku kuasa hukum tergugat, berdasar surat kuasa khusus pertanggal 9 Pebruari 2008, juga ingin mengajukan eksepsi atas gugatan pihak penggugat.
Sebagai warga negara, pihak tergugat memiliki hak dan kewajiban dalam hukum yang setara dengan warga negara yang lain. Dalam konteks ini, tegugat berhak untuk melakukan upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingannya, termasuk eksepsi sebagai refleksi analisis pihak tergugat terhadap materi gugatan penggugat.
Setelah membaca dengan seksama gugatan pihak penggugat, kami menemukan beberapa kejanggalan dan kekeliruan yang mendasar dalam gugatan tersebut. Secara hukum, kekeliruan tersebut jelas merugikan pihak tergugat karena telah mengganggu dan mengancam hak dan ketenangan pihak tergugat.
Bahwa dalam gugatan penggugat terdapat beberapa kekeliruan yang menurut kami cukup untuk menyatakan bahwa gugatan penggugat Nietonvankelijk Verklaard (NO), maka pada kesempatan ini, kami mengajukan beberapa eksepsi atas gugatan penggugat tersebut.
Perkenankanlah kami mengajukan materi eksepsi ini.
II. EXCEPTIO OBSCUUR LIBEL
Dalam konsep hukum acara perdata Indonesia, suatu gugatan harus dibuat secara jelas dan cermat. Gugatan harus memenuhi syarat formil gugatan, yaitu posita dalam gugatan harus memuat keterangan-keterangan dan/atau fakta yang jelas dan cermat.
Bahwa dalam postia gugatan tersebut, kami menemukan beberapa kekaburan dan/atau kekeliruan yang sangat mendasar.
Bahwa dalam gugatan tersebut, salah satu pihak yang menjadi penggugat dipertanyakan kapasitasnya sebagai penggugat. Andi Anwar bin A.B. Puang Ropu dalam gugatan tersebut bertindak selaku ahli waris dari almarhumah St. Aisyah Rauf Dg. Ngugi bin Abd. Rauf Dg. Tawang padahal dalam posita tidak diterangkan fakta bahwa yang bersangkutan merupakan ahli waris dari pewaris. Tidak dijelaskan pula apa landasan hukum sehingga yang bersangkutan mengaku dirinya selaku ahli waris, padahal dalam pihat turut tergugat ada nama AB. Puang Ropu yang merupakan suami dari St. Aisyah Rauf Dg. Ngugi bin Abd. Rauf Dg. Tawang, sehingga secara hukum, seharusnya yang menjadi ahli waris pertama dan utama adalah AB. Puang Ropu. Selain itu, dalam posita juga dijelaskan bahwa St. Aisyah Rauf Dg. Ngugi bin Abd. Rauf Dg. Tawang yang menikah dengan AB. Puang Ropu melahirkan dua anak, yaitu Andi Anwar dan St. Salmah. Artinya, untuk menjadi ahli waris harus ada kuasa dari saudara-saudaranya, sedangkan dalam posita tidak dicantumkan keterangan dan atau fakta bahwa Andi Anwar bin AB. Puang Ropu mendapatkan kuasa secara tertulis maupun lisan dari saudara-saudaranya.
Bahwa objek sengketa sebagaimana dimaksud dalam gugatan penggugat batas-batasnya tidak jelas. Seperti disebutkan, bahwa batas sebelah selatan objek sengketa adalah Tembok Rumah Warga. Letak kekaburannya adalah rumah warga siapa yang dimaksud? Padahal, suatu objek yang dimiliki secara keperdataan harus memiliki batas yang jelas. Kemudian batas sebelah timur adalah Rumah Dg. Nyampa/Masjid/Rumah Warga. Letak kekaburannya adalah maksud garis miring tersebut apa? Apakah dan, atau, atau maksud lainnya. Selain itu, masjid dimaksud tidak jelas nama masjidnya apa dan rumah warga yang dimaksud juga tidak jelas rumah warga yang mana, nama warga tersebut siapa?. Karena itu, gugatan tersebut mengandung cacat obscuur libel, karenanya dapat dikatakan bahwa gugatan yang diajukan penggugat NO.
III. EXCEPTIO ERROR IN PERSONA
Gugatan kewarisan yang diajukan oleh pihak penggugat setelah kami baca dan teliti dengan seksama, kami menemukan sejumlah cacat error in persona.
Bahwa dalam gugatan tersebut, Hj. St. Zubaedah Abdullah Dg. Tonji binti Abdullah Dg. Nappa ditarik sebagai tergugat I. Adalah kekeliruan yang besar karena dalam posita tidak ada satu keterangan dan/atau fakta yang menyebutkan bahwa Tergugat I turut terlibat dalam penjualan dan/atau penguasaan objek sengketa. Fakte demikian menunjukkan bahwa gugatan penggugat mengandung cacat error inpersona. Pencantuman nama Tergugat I merupakan ccacat yang menyebabkan gugatan penggugat dapat dinyatakan NO.
Bahwa dalam pihak turut tergugat, St. Salmah binti AB. Puang Ropu ditarik sebagai pihak Turut Tergugat IV. Turut Tergugat IV merupakan saudara dari Andi Anwar bin AB. Puang Ropu, sehingga secara hukum, seharusnya Turut Tergugat IV menjadi Penggugat. Kekeliruan tersebut merupakan cacat error in persona yang mendasar, karena pihak yang ditarik sebagai Turut Tergugat secara hukum harusnya menjadi Penggugat.
Bahwa ditariknya Manshur Abdullah Dg. Taba bin Abdullah Dg. Nappa sebagai Turut Tergugat I dan Chadijah Abdullah Dg. Tasa binti Abdullah Dg. Nappa sebagai Turut Tergugat II merupakan kekeliruan besar karena ahli waris pertama dari Patjo Dg. Tombong bin Mongka adalah orang tua dari kedua Turut Tergugat tersebut yang masih hidup. Selain itu, yang melakukan perbuatan hukum menjual dan menguasai objek sengketa adalah Tergugat II dan Tergugat III, sehingga dengan demikian sangat keliru penarikan keduanya sebagai Turut Tergugat. Karena itu, gugatan penggugat mengandung cacat error in persona.
Bahwa kapasitas Andi Anwar bin AB. Puang Ropu sebagai penggugat tidak sah secara hukum karena dia mnarik ayahnya sendiri, yaitu AB. Puang Ropu sebagai pihak Turut Tergugat III. Dalam gugatan disebutkan bahwa Andi Anwar bin AB. Puang Ropu menjadi ahli waris dari almarhumah St. Aisyah Rauf Dg. Ngugi bin Abd. Rauf Dg. Tawang yang merupakan isteri dari AB. Puang Ropu. Logikanya, yang menjadi ahli waris pertama dan utama adalah AB. Puang Ropu bukan Andi Anwar bin AB. Puang Ropu (menjadi penggugat, bukan turut tergugat III), sehingga dengan demikian ditariknya AB. Puang Ropu sebagai Turut Tergugat III merupakan cacat error in persona, sehingga gugatan dapat dikatakan NO.
Bahwa ditariknya St. Salmah binti AB Puang Ropu sebagai Turut Tergugat IV merupakan cacat error in persona. Pasalnya, Turut Tergugat IV merupakan saudara dari Penggugat, yaitu Andi Anwar bin AB. Puang Ropu, sehingga seharusnya Turut Tergugat IV menjadi pihak Penggugat. Lagi pula, tidak ada landasan hukum yang digunakan untuk menarik St. Salmah binti AB. Puang Ropu sebagai Turut Tergugat IV. Kami justru mempertanyakan mengapa yang bersangkutan ditarik sebagai Turut Tergugat IV? Padahal, dalam posita dijelaskan bahwa ditariknya para pihak sebagai Turut Tergugat karena orang tua yang bersangkutan ditarik sebagai Tergugat, sementara ayah Turut Tergugat IV ditarik sebagai Turut Tergugat III. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa gugatan penggugat mengalami cacat error in persona, sehingga dapat dikatakan NO.
IV. PENUTUP
Sebagai penutup, kami dari pihak tergugat memohon kepada majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk:
PRIMAIR
1. Mengabulkan eksepsi tergugat,
2. Menyatakan bahwa gugatan penggugat cacat obscuur libel dan cacat error in persona, karena itu gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (nietovankelijk verklaard).
SUBSIDAIR
Atau bila majelis hakim berpendapat lain, dan pemeriksaan perkara dilanjutkan sampai pada tahap akhir, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian eksepsi kami,
Atas perkenannya kami ucapkan terima kasih
Wassalam.

Makassar, 23 Maret 2008
Hormat kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat,



M. NATSIR ASNAWI, SHI., MH., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.



EKSEPSI GUGATAN 4
H. ABDUL MUIS MAMMA, SH.(penggugat)
terhadap
KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA MAKASSAR (tergugat)


I. PENDAHULUAN
MAJELIS HAKIM YANG KAMI HORMATI
Sesuai dengan surat gugatan yang diajukan oleh H. Abdul Muis Mamma, SH., yang diwakili oleh Tim Kuasa Hukumnya, kami selaku Tim Kuasa Hukum Pihak tergugat, bersamaan dengan penyampaian jawaban pertama kami, bermaksud mengajukan eksepsi atas gugatan penggugat.

Setelah membaca dengan seksama dan teliti mengenai materi gugatan penggugat, kami berpendapat bahwa terdapat beberapa kekaburan dalam gugatan penggugat tersebut. Kekaburan tersebut bersifat prinsipil karena secara hukum merugikan pihak tergugat.

Pihak tergugat merasa bahwa penyampaian fakta dalam gugatan tersebut dinilai kabur karena cenderung dipolitisir dan tidak didukung dengan data yang verifikatif dan transparan.
Karena itu, perkenankanlah kami menyampaiakan materi eksepsi kami.
II. EXCEPTIO OBSCUUR LIBEL
Majelis hakim yang kami hormati.
Terhadap gugatan penggugat, setelah kami periksa secara mendalam dan teliti, kami menemukan sejumlah kekaburan dalam gugatan tersebut.

Bahwa dalam gugatan penggugat. Disebutkan bahwa pada tahun 1989, sebagian tanah sertipikat hak Milik No.497/Panaikang, GS No.1433/1980 tanggal 22-7-1980, dibebaskan untuk proyek pengaturan dan pemeliharaan sungai Jeneberang, yaitu untuk pembuatan jalan dan kanal Racing Centre seluas 480,90 m2, dimana penggugat telah menerima pembayaran ganti rugi untuk proyek tersebut pada tanggal 28-11-1989.

Bahwa dari fakta tersebut, kami menemukan sejumlah kekaburan. Pertama, pernyataan pembebasan lahan seluas 480,90 m2 tidak disertai dengan keterangan, fakta, dan/atau bukti pembebasan lahan yang dimaksud, baik berupa akta jual beli lahan, atau alat bukti tertulis lain yang sah menurut hukum. implikasinya, kami menganggap bahwa pernyataan penggugat tersebut mengandung cacat obscuur libel. Kedua, pernyataan penggugat bahwa penggugat telah menerima pembayaran ganti rugi untuk proyek tersebut pada tanggal 28-11-1989 tidak jelas. Pasalnya, jumlah ganti rugi yang diterima serta bukti penerimaan ganti rugi tidak dicantumkan sebagai bukti dan/atau fakta yang menguatkan pernyataan tersebut. Karena itu, kami menganggap pernyataan tersebut mengalami kekaburan.

Bahwa dalam gugatan penggugat disebutkan bahwa untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap batas-batas tanah milik penggugat, penggugat kemudian memohon pengukuran/ penetapan batas kembali ke kantor tergugat. Pernyataan tersebut kami anggap kabur karena tidak dijelaskan siapa yang melakukan pengukuran (nama pejabatnya) serta pada tanggal berapa pengukuran tersebut dilakukan dan siapa saja saksinya. Kemudian, tidak dijelaskan pula siapa-siapa yang bertanda tangan dalam berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud oleh penggugat dalam positas gugatannya. Artinya, dalil yang diungkapkan penggugat tidak jelas dan cenderung dibuat-buat.

Bahwa dalam gugatan tersebut, disebutkan bahwa di atas sertipikat hak milik No.497/Panaikang, GS No.1433/1980 telah terbit sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001, dengan luas 491 m2. Pernyataan tersebut menurut kami mengalami kekaburan, karena tidak diutarakan mengenai batas-batas tanah, sebagaimana dimaksud dalam sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001. Kami justru menduga, kalau tanah tersebut terletak di luar tanah sebagai dimaksud dalam sertipikat hak milik No.497/Panaikang, GS No.1433/1980. Lagi pula, luas tanah sebagai dimaksud dalam sertipikat hak milik No.497/Panaikang, GS No.1433/1980 berbeda dengan luas tanah sebagai dimaksud dalam sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001, sehingga kami berkesimpulan bahwa anggapan penggugat sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001 diterbitkan di atas sertipikat hak milik penggugat tidak berdasar.

Bahwa dalam gugatan tergugat tidak dipaparkan mengenai keadaan sebenarnya dari tanah sebagai dimaksud dalam sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001. Penggugat tidak memaparkan keadaan yang sesungguhnya dari tanah sebagai dimaksud sertipikat tersebut, sehingga kami berpendapat bahwa penggugat mungkin salah sangka mengenai objek dari sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001 tersebut.

Bahwa dalam posita 6 disebutkan bahwa tindakan tergugat yang telah menerbitkan sertipikat objek gugat di atas tanah milik penggugat adalah keputusan yang tidak cermat dan merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dalil penggugat tersebut sangat tidak beralasan, karena pada posita sebelumnya tidak dipaparkan fakta mengenai kondisi real objek sebagaimana dimaksud sertipikat hak milik No.20407/Karampuang, SU No.132/2001 atas nama Azhar Arsyad, SH. Sehingga, kami berpendapat bahwa dalil pada posita dimaksud mengandung cacat obscuur libel.
Berdasar apa yang telah kami uraikan, kami berpendapat bahwa gugatan penggugat mengandung cacat obscuur libel, dan karenanya dapat dinyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima (Nietonvankelijk verklaard).

III. PENUTUP
Berdasar pada fakta dan argumentasi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kami dari pihak tergugat memohon kepada majelis hakim untuk:
PRIMAIR
1. Mengabulkan eksepsi tergugat,
2. Menyatakan bahwa gugatan penggugat cacat secara obscuur libel, karena itu gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Nietonvankelijk verklaard).
SUBSIDAIR
atau bila majelis hakim berpendapat lain, dan pemeriksaan perkara dilanjutkan sampai pada tahap akhir, kami memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequa et bono)

demikian eksepsi kami,
atas perkenannya kami ucapkan banyak terima kasih
wassalam.

Makassar, 21 Pebruari 2007.

Hormat kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat,

M. NATSIR ASNAWI, SHI., MH., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.



EKSEPSI 5
Terhadap Gugatan Wanprestasi
Yang diajukan oleh Johan Panorama


Makassar, 20 Agustus 2008

i. PENDAHULUAN
Majelis hakim yang kami hormati.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, kami selaku tim kuasa hukum tergugat bertindak untuk dan atas nama Baco dg. Tuppu bin Subu dan Frans, berdasar surat kuasa khusus pertanggal 15 Agustus 2008 yang dibuat di dean notaris Candra Winoto Projodikoro, SH., hendak mengajukan eksepsi gugatan wanpretasi No.175/Pdt.G/2008/PN.Mks yang diajukan oleh Johan Panorama selaku penggugat.
Pada kesempatan ini, kami bermaksud memaparkan beberapa hal yang penting berkaitan dengan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat.
Berdasar surat gugatan yang telah kami terima, kami membaca secara seksama dan teliti hal-hal yang diungkap dalam gugatan tersebut. Bahwa setelah kami baca dan teliti secara seksama, kami menemukan beberapa kekaburan yang mendasar dalam gugatan tersebut yang menyebabkan gugatan penggugat dapat dinyatakan NO (Nietonvankelijk verklaard).
Majelis hakim yang terhormat,
Perkenankanlah kami menguraikan materi eksepsi kami.



ii. EXCEPTIO OBSCUUR LIBEL
Berdasar surat gugatan yang telah kami terima dan telah kami periksa secara cermat dan teliti, kami selaku pihak tergugat menemukan sejumlah kekaburan dan/atau kekeliruan dalam gugatan tersebut.
Bahwa dalam gugatan penggugat disebutkan bahwa penggugat dan tergugat I memiliki hubungan hukum dalam perikatan jual beli atas sebidang tanah yang luasnya kurang lebih 7000 m2.
Bahwa dalil posita di atas menurut kami kabur karena beberapa hal. Pertama, dalam pernyataannya, penggugat tidak menyebutkan letak pasti tanah (objek sengketa) sebagaimana dimaksud dalam surat gugatan, serta tidak mencantumkan batas-batas tanah yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian jual beli antara penggugat dengan tergugat I. Karena itu, mengingat objek sengketa sebagaimana dimaksud tidak jelas letak dan batas-batasnya, maka cukup untuk mengatakan bahwa dalil yang diungkapkan penggugat mengalami cacat obscuur libel. Kedua, dalam pernyataan itu pula, disebutkan bahwa luas tanah dimaksud kurang lebih 7000 m2. kata-kata “kurang lebih” sebagai tercantum dalam gugatan tersebut semakin menambah kekaburan mengenai objek sengketa sebagaimana dimaksud dalam gugatan penggugat. Artinya, tanah tersebut diketahui luasnya secara pasti dan tidak pernah dikuru luasnya secara resmi oleh pihak berwenang, dalam hal ini BPN. Karena itu, gugatan penggugat dapat dikatakan cacat secara obscuur libel.
Bahwa klausul jaminan perjanjian jual beli antara penggugat dengan tergugat I disebutkan, “...mengikatkan diri untuk menyerahkan 3 kapling tanah dalam lokasi tersebut (dekat Sekolah Dasar Inpres) sebagai bentuk kompensasi...”. klausul tersebut kabur dan tidak jelas, karena 3 kapling tanah dimaksud tidak jelas letaknya serta batas-batasnya, juga luas tanah yang dimaksud. Dengan demikian, maka klausul tersebut kabur dan cacat obscuur libel.
Bahwa dalam gugatan penggugat disebutkan terjadinya pengalihan tanah milik tergugat I kepada pihak ketiga, yaitu tergugat II tanpa seizin dan persetujuan penggugat. Akan tetapi, penggugat tidak menyertakan fakta dan atau/bukti bahwa pengalihan dimaksud benar-benar terjadi, sehingga pernyataan tersebut kabur.
Bahwa dalam gugatan disebutkan adanya penelitian data fisik dan data yuridis dari BPN yang menemukan bahwa sebelumnya sudah ada pihak ketiga/pihak lain yang memiliki dan menguasai tanah seluas 660 m2 pada bagian depan dari tanah dimaksud. Letak kekaburannya adalah tidak diungkapkannya kapan dan siapa (nama pejabat) yang melakukan penelitian data fisik dan data yuridis dari BPN. Selain itu, redaksi “bagian depan” dari tanah dimaksud tidak jelas, apakah bagian utara, selatan, timur, atau barat.
Bahwa dalam surat gugatan penggugat, penggugat mendalilkan bahwa tergugat I belum menunjukkan iktikad baiknya untuk merehabilitasi hak-hak penggugat seperti semula, yaitu sebagaimana yang diatur dan terkandung dalam perikatan jual beli, baik yang bersifat pokok maupun yang bersifat tambahan. Tidak jelas, mana yang penggugat maksud dengan hak-hak pokok dan hak-hak tambahan karena tidak dibedakan secara jelas dalam klausul perjanjian tersebut.
Bahwa dalam gugatan tersebut, penggugat mendalilkan hilangnya hak yang semestinya diperoleh dan dinikmati di atas tanah dimaksud. Padahal, pembelian yang dilakukan oleh penjual belum selesai (belum lunas), dan perjanjian tersebut belum menimbulkan hak bagi penggugat karena masih berupa perjanjian jual beli dan belum didukung dengan sertipikat hak milik yang menjadi bukti positif bahwa penggugat memiliki hak atas tanah tersebut.

iii. PENUTUP
Berdasar apa yang telah kami uraikan, kami memohon kepada majelis hakim untuk:
PRIMAIR
1. Mengabulkan eksepsi tergugat,
2. Menyatakan bahwa gugatan penggugat cacat obscuur libel, karenanya gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Nietonvankelijk verklaard).
SUBSIDAIR
Atau bila majelis hakim memiliki pertimbangan lain, dan perkara ini dilajutkan sampai pada tahap akhir, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Demikian eksepsi kami,
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih
Wassalam.

Hormat Kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat


M. NATSIR ASNAWI, SHI., MH., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.



EKSEPSI 6
TERHADAP GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
NO.01/Pdt.G/2008/PN.SINJAI



I. PENDAHULUAN
Majelis hakim yang kami hormati.
Pada kesempatan, bersamaan dengan penyampaian jawaban pihak tergugat atas gugatan pihak penggugat, kami selaku kuasa hukum tergugat, berdasar surat kuasa khusus pertanggal 9 Januari 2008, juga ingin mengajukan eksepsi atas gugatan pihak penggugat.
Sebagai warga negara, pihak tergugat memiliki hak dan kewajiban dalam hukum yang setara dengan warga negara yang lain. Dalam konteks ini, tegugat berhak untuk melakukan upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingannya, termasuk eksepsi sebagai refleksi analisis pihak tergugat terhadap materi gugatan penggugat.
Setelah membaca dengan seksama gugatan pihak penggugat, kami menemukan beberapa kejanggalan dan kekeliruan yang mendasar dalam gugatan tersebut. Secara hukum, kekeliruan tersebut jelas merugikan pihak tergugat karena telah mengganggu dan mengancam hak dan ketenangan pihak tergugat.
Bahwa dalam gugatan penggugat terdapat beberapa kekeliruan yang menurut kami cukup untuk menyatakan bahwa gugatan penggugat Nietonvankelijk Verklaard (NO), maka pada kesempatan ini, kami mengajukan beberapa eksepsi atas gugatan penggugat tersebut.
Perkenankanlah kami mengajukan materi eksepsi ini.

II. EXCEPTIO OBSCUUR LIBEL
Berdasar hasil analisis kami, kami menemukan sejumlah kekaburan dalam gugatan penggugat yang sangat mendasar.
Bahwa dalam posita gugatan poin 4, penggugat mengemukakan bahwa kekalahan yang dialami oleh penggugat dalam pilkades disebabkan karena penyelenggaraan pilkades telah berjalan dengan tidak benar (unfair) serta terjadinya pelanggaran-pelanggaran dan kecurangan-kecurangan akibat perbuatan kelalaian tergugat I. Pernyataan tersebut sangat tidak berdasar, karena penggugat mengklaim kekalahannya disebabkan karena proses yang berlangsung, padahal dalam pernyataan itu, penggugat tidak mendasari pernyataannya dengan fakta-fakta dan/atau keterangan yang valid mengenai hal tersebut. Lagipula, klaim penggugat bahwa proses penyelenggaraan pilkades tidak fair sungguh tidak beralasan, karena pernyataan tersebut tidak didukung dengan fakta.
Bahwa penggugat menyatakan kalau tergugat I dalam melakukan pendaftaran dan pemutkahiran data pemilih hanya mengunjungi kediaman kepala dusun di desa Era Baru dengan maksud untuk memperoleh data penduduk pemilih. Penggugat tidak menyertakan fakta yang mendukung pernyataannya tersebut, sehingga kami menganggapnya sebagai pernyataan yang kabur dan tidak dapat diterima.
Bahwa dalam posita no.6.2, disebutkan bahwa pada tahap pemungutan suara/pencoblosan terdapat pemilih yang ikut mencobos dalam TPS tetapi belum cukup umum. Pernyataan penggugat tersebut mengandung kekaburan, karena tidak diperjelas dengan keterangan dan/atau fakta siapa yang melakukan pencoblosan tetapi masih di bawah umur, berapa jumlahnya, dan tidak pula disertai keterangan bahwa penggugat melihat langsung kejadian tersebut.
Bahwa dalam posita no.6.3, disebutkan bahwa terdapat pemilih yang ikut mencoblos dalam TPS tetapi bertindak mewakili orang lain/pemilih lain yang berhalangan hadir. Lagi-lagi kami menemukan kekaburan dalam gugatan penggugat, karena pernyataan tersebut tidak diserta dengan keterangan dan/atau fakta yang transparan mengenai siapa yang mewakili, siapa yang diwakili, dan berapa jumlah orang melakukan hal tersebut. Karena itu, kami menganggap gugatan penggugat mengandung cacat obscuur libel.
Bahwa dalam posita no.8, disebutkan bahwa M. Amir, yang merupakan calon No.1 melakukan mobilisasi pemilih dari luar desa Era Baru kemudian melakukan pencoblosan pada TPS yang kemudian mendongkrak perolehan suara dan berhasil mengalahkan penggugat. Ditambahkannya lagi, penggugat merasa yakin mendapat dukungan laus dari warga desa Era Barudan akan memenangkan pilkades tersebut. Klaim penggugat bahwa calon no.1 telah melakukan mobilisasi sangat kabur, karena hanya diutarakan sebagai sebuah pernyataan tanpa dibarengi dengan fakta-fakta empirik mengenai siapa saja yang dimobilisasi, berapa jumlahnya, dan di TPS mana saja mereka melakukan pencoblosan.
Bahwa keyakinan penggugat dapat memenangkan pilkades sama sekali tidak beralasan dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan atau dasar dari gugatan tersebut, karena keyakinan penggugat sangat subjektif dan tidak didukung dengan fakta dan/atau keterangan yang valid.
Bahwa dalam posita no.10, disebutkan bahwa menurut informasi yang diterima secara dari ketua BPD mengenai perolehan suara ketiga calon yang mengalami perubahan tanpa melakukan penghitungan kertas suara dari hasil pemilihan pemilih yang tersimpan dalam kotak suara. Pernyataan tersebut kabur, karena tidak dijelaskan siapa yang menerima informasi, dimana, dan kapan informasi tersebut diterima, karenanya, kami menganggap bahwa gugatan penggugat mengandung cacat obscuur libel dan karenanya harus dinyatakan NO (Nietonvankelijk verklaard).

III. EXCEPTIO ERROR IN PERSONA
Bahwa dalam gugatan tersebut, Bupati Kabupaten Sinjai ditarik sebagai pihak turut tergugat II, padahal dalam fundamentum potendi, tidak ada satu keterangan pun yang diungkap pihak penggugat bahwa turut tergugat II memiliki andil dalam masalah yang sedang diperkarakan oleh penggugat. Lagi pula, pada saat diajukan gugatan tersebut, hasil pilkades belum sampai kepada Bupati Sinjai danBUpati pun belum melakukan pelantikan dan atau tindakan lainnya dalam kapasitasnya sebagai Bupati Sinjai. Karena itu, penarikan Bupati Sinjai sebagai turut tergugat II adalah sangat tidak tepat dan tidak beralasan, karenanya kami menganggap gugatan penggugat mengandung cacat error in persona, sehingga gugatan penggugat harus dinyatakan NO.

IV. PENUTUP
Sebagai penutup, kami dari pihak tergugat memohon kepada majelis hakim yang mengadili perkara ini untuk:
PRIMAIR
1. Mengabulkan eksepsi tergugat,
2. Menyatakan bahwa gugatan penggugat cacat obscuur libel dan cacat error in persona, karena itu gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (nietovankelijk verklaard).
SUBSIDAIR
Atau bila majelis hakim berpendapat lain, dan pemeriksaan perkara dilanjutkan sampai pada tahap akhir, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Demikian eksepsi kami,
Atas perkenannya kami ucapkan terima kasih
Wassalam.
Sinjai, 22 Januari 2008
Hormat kami,
Tim Kuasa Hukum Tergugat,
M. NATSIR ASNAWI, SHI., MH., LLM.
AGUS ARDIAN SUSANTO, SH., MH., M. Kn.
HERU SASTRANEGARA, SHI., MH.