5.28.2009

akad (perikatan dalam hukum Islam)

Ekonomi syariah sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya merupakan sistem ekonomi yang bersumber pada syariat Islam. Dalam konteks ini, syariat sebagai sumber dan dasar ekonomi syariah mencakup beberapa aspek, yaitu prinsip, akad, nilai, dan maqâsîd al syarî’ah. Aspek-aspek syariat tersebut secara kumulatif menjadi pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian dalam perspektif syariah adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan profit tertentu dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam dan terciptanya pemerataan ekonomi pada segenap lapisan masyarakat, serta sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lain dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah . Prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang atau memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

Penyelenggaraan usaha berbasis ekonomi syariah ini harus selaras dengan prinsip-prinsip syariah, karena eksistensi prinsip syariah tersebut adalah sebagai koridor yang harus dilalui oleh setiap pelaku usaha.

Perjanjian dalam Islam dikenal dengan istilah al ‘aqd (akad) yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”. Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain

Akad merupakan ikatan atau kontrak antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha yang sama. Dalam pasal 1 ayat 13 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Bila digeneralisasikan, maka akad merupakan kesepakatan tertulis antara lembaga keuangan syariah dengan pihak lain mengenai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan prinsip syariah.

Suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi beberapa rukun dan syarat tertentu agar perikatan yang dibuat tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai dikutip oleh Abdul Mannan mengemukakan bahwa suatu perikatan harus memenuhi empat rukun, yaitu ijab qabul, mahallul ‘aqd, al ‘aqidain, dan maudhu’ul ‘aqd.

a. Ijab qabul
Ijab qabul merupakan rukun pertama dan utama dalam suatu perikatan. Ijab qabul merupakan entitas yang melandasai perikatan yang dibuat oleh para pihak dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha, baik secara individu maupun secara berkelompok. Pelaksanaan ijab qabul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara lisan (dengan ucapan), tulisan, juga dengan isyarat tertentu bagi pihak yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab qabul dipandang sah dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Pertama, jalâ’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul itu jelas sehingga dapat dipahami dengan mudah mengenai jenis perikatan yang dikehendaki. Kedua, tawâfuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Ketiga, jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan pihak lain dan melaksanakannya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan

b. Mahallul ‘aqd (objek perikatan)
Objek perikatan dalam konteks muamalah sangat luas dan bentuk serta sifatnya tergantung dari jenis perikatan yang dibuat. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, perikatan harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Kedua, dibenarkan oleh syara’; sesuatu yang tidak dapat menerima hukum perikatan tidak dapat menjadi objek perikatan. Ketiga, objek perikatan harus dapat diserahkan pada saat terjadi akad atau dapat diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam akad. Keempat, objek perikatan harus jelas atau dapat ditentukan dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perikatan. Apabila tidak ada kejelasan tentang objek perikatan, maka hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas harus dipahami dan diaplikasikan oleh para pihak dalam membuat perikatan.

c. Al ‘aqidaîn (pihak yang melaksanakan perikatan)
Pihak-pihak yang melaksanakan perikatan merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum dimaksud dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau badan hukum tertentu yang mengikatkan diri pada suatu perikatan. Pihak yang melaksanakan perikatan harus cakap secara hukum, sehingga perikatan tersebut sah secara hukum. Islam telah mengamanahkan bahwa orang-orang yang tidak sehat akalnya atau berada dalam pengampuan tidak boleh melaksanakan perikatan, karena yang bersangkutan tidak memahami substansi perikatan tersebut. Orang-orang demikian tidak boleh melaksanakan perikatan secara individual, melainkan harus didampingi oleh orang lain sebagai kuasa yang sah secara hukum.

d. Maudhu’ul ‘aqd (tujuan dan akibat hukum perikatan)
Dalam suatu perikatan, tujuan menjadi sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan dari suatu perikatan sangat menentukan akibat hukum bagi para pihak, terutama dalam konteks keperdataan. Dengan demikian, para pihak harus mengetahui dan memahami secara massif tujuan dan akibat hukum dari perikatan yang dibuatnya.
Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa tujuan suatu perikatan dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, tujuan perikatan bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas para pihak yang bersangkutan tanpa perikatan yang diadakan. Tujuan perikatan dinyatakan sah jika tujuan tersebut ditetapkan pada saat melakukan perikatan. Kedua, tujuan perikatan merupakan tujuan yang temporal, yaitu tujuan yang berlangsung selama dan hingga berakhirnya masa perikatan. Ketiga, tujuan kontrak harus benar menurut syara’, yaitu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tuntunan al Qur’an dan hadis

Akad (perikatan) dalam hukum Islam memiliki beberapa asas yang harus diketahui dan ditaati oleh para pihak yang membuat akad. Fathurrahman Djamil, sebagai dikutip oleh Abdul Manan mengemukakan bahwa perikatan memiliki minimal lima asas, yaitu:

a. Asas kebebasan (Al Hurriyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, mencakup objek dan syarat-syarat perjanjian serta cara penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 256:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tujuan asas ini pada dasarnya untuk menjaga agar para pihak tidak saling menzalimi dalam pembuatan kontrak. Asas ini juga dimaksudkan untuk menghindari semua bentuk pemaksaan (ikrâh), tekanan, dan penipuan dari pihak yang berkepentingan dengan perikatan yang dibuat. Jika dalam perikatan terdapat unsur pemaksaan yang merugikan salah satu pihak, maka legalitas perikatan tersebut tidak sah. Dengan demikian, maka klausul dalam akad tidak dapat mengikat kedua belah pihak secara hukum dan tidak ada prestasi yang harus dijalankan oleh para pihak.

b. Asas persamaan dan kesetaraan (Al Musawah)
Substansi asas ini adalah setiap pihak memiliki kedudukan dan andil yang sama dalam perikatan yang dibuat. Asas ini kemudian menjadi begitu penting karena berimplikasi pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pemenuhan prestasi berdasar perikatan yang telah dibuat. Asas ini tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu pihak lebih aktif dalam menyiapkan atau membuat rumusan klausul perikatan yang harus disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan pihak lain yang terlibat di dalamnya.

c. Asas keadilan (Al ‘Adalah)
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus menunjukkan rasa keadilan yang menjamin kepentingan masing-masing pihak. Keadilan merupakan entitas yang multi dimensional yang mencakup nilai-nilai kebenaran. Keadilan dalam perikatan akan menjamin terpenuhinya hak-hak individu dan menjamin pula terlaksananya akad secara konsekuen, karena masing-masing pihak merasakan ketenangan dan kepastian terjaminnya hak-hak individu.

d. Asas kerelaan (Al Ridha)
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kerelaan para pihak yang berkontrak merupakan entitas yang menjiwai setiap perikatan dalam Islam sekaligus melandasi semia transaksi yang terjadi. Bila asas ini tidak terpenuhi dalam perikatan yang dibuat, maka perikatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bathil (al akl bil bâthil).
Kerelaan merupakan sikap batin abstrak yang membutuhkan indikator tertentu untuk merefleksikannya dalam suatu perikatan yang dibuat. Klausul ijab qabul merupakan representasi dari kerelaan para pihak dalam melakukan suatu perikatan. Dengan demikian, klausul ijab qabul harus transparan dan berimbang, sehingga mampu merepresentasikan kerelaan para pihak untuk melakukan perikatan.

e. Asas perikatan tertulis (Al Kitabah)
Salah satu asas yang sangat fundamental dalam perikatan Islam adalah asas tertulis. Perikatan yang dilakukan oleh para pihak harus ditulis dalam suatu akta atau bentuk formal lainnya untuk menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Asas perikatan tertulis ini termuat dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 282:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

bibliografi
http://www.syariahmandiri.co.id/syariah/banksyariah.php
http://yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/perbandingan-hukum-perjanjian-dalam_30.html
Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah: Tantangan Masa yang Akan Datang, Suara Uldilag, Vol. 3 No.XII, Maret 2008.
Abdul Manan. Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Tahun XXI No.247, Juni 2006. h.39-42
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2004. h. 83-84

prinsip dasar dan nilai-nilai ekonomi syariah

Ekonomi syariah merupakan jargon yang cukup baru dalam dunia ekonomi. Ekonomi syariah muncul sebagai sebuah kekuatan baru ekonomi dunia; sebagai upaya memecahkan polemik ekonomi yang melanda dunia saat ini. Gerakan ekonomi syariah hadir seiring dengan semangat untuk menghidupkan syariat dalam setiap dimensi kehidupan manusia.
Ekonomi syariah sebagai sebuah sistem ekonomi berlandaskan pada al Qur’an dan hadis. Gerakan pembaruan ekonomi berlabel ekonomi syariah telah berjalan sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Gerakan ini dipicu oleh keprihatinan oleh beberapa ilmuwan Islam-khususnya ilmuwan ekonomi-terhadap berbagai polemik yang melanda perekonomian dunia, terutama perekonomian negara-negara muslim. Konsensus para ilmuwan mengarah pada satu faktor pemicu, yaitu masih diterapkannya sistem ekonomi konvensional dalam aktivitas ekonomi negara-negara di dunia, termasuk negara-negara muslim.
Pertengahan abad ke-20 tercatat sebagai reinkarnasi atau kelahiran kembali apa yang dicanangkan sebagai Islamic economics (ekonomi Islam). Kelahiran ekonomi Islam (ekonomi syariah) dilandasi keinginan untuk mengembalikan aktivitas perekonomian umat agar sesuai dengan prinsip syariat Islam. Dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, para pendukung ekonomi Islam telah mendirikan lembaga internasional. Salah satunya adalah International Centre for Islamic Economics yang bermarkas di King Abdul Aziz University Jeddah. Tercatat salah satu institusi Islam yang menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi syariah adalah Nasser Social Bank (Mesir). Nasser Social Bank didirikan sebagai bank komersial tanpa bunga pada tahun 1971 pada masa presiden Anwar Sadat, yang beroperasi sebagai sebuah otoritas publik dengan status otonom, namun tidak secara spesifik menyebutkan Islam dalam anggaran dasarnya.
Dalam konteks Indonesia, penerapan syariat Islam-sebagai basis ekonomi syariah-telah terjadi jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia. Pada abad XIV Masehi, penerapan dan penyebaran hukum Islam dilakukan oleh Sultan Malikul Zahir dari kerajaan Samudera Pasai.
Pada awal terbentuknya wacana ekonomi syariah, banyak di kalangan masyarakat yang beranggapan salah terhadap ekonomi syariah. Ekonomi syariah saat itu dianggap sebagai sistem yang konservatif, mengekang kreatifitas dan kebebasan berkarya dan berusaha, serta aturan-aturan dogmatis yang membuat pelaku-pelaku ekonomi tidak bebas untuk berinovasi dalam menjalankan roda perekonomian bangsa. Hal ini dapat kita sadari, mengingat realitas yang ada menunjukkan ada indikasi Islam dikonotasikan secara negatif, Islam dianggap sebagai agama yang ajarannya membatasi usaha manusia dalam menggunakan hak-haknya. Banyak pula yang meragukan sistem bagi hasil yang diusung ekonomi syariah dengan menghindari sistem bunga.
Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, prinsip-prinsip hukum Islam mendapatkan kedudukannya dalam tata hukum Indonesia, dan yang paling aktual adalah lahirnya UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai amandemen UU No.7 Tahun 1989. Perlu pula dicatat bahwa di Indonesia juga telah dikeluarkan UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai amandemen UU No.1 Tahun 1995. Perkembangan paling mutakhir dalam konteks ekonomi syariah di Indonesia adalah lahirnya UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang merupakan regulasi utama dalam operasionalisasi perbankan syariah di Indonesia.
1. Prinsip dasar ekonomi syariah
Ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi memiliki dua karakter dasar, yaitu sebagai sistem ekonomi Rabbani dan Insani. Ekonomi syariah dikatakan sebagai sistem ekonomi rabbani karena secara teoretik maupun secara praktis, ekonomi syariah senantiasa berlandaskan pada syariat dan nilai-nilai ketuhanan. Setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan harus senantiasa berpedoman pada aturan-aturan syariat sehingga tidak keluar dari koridor Islam. Karakter Insani dalam ekonomi syariah bermakna sistem ekonomi syariah diselenggarakan dengan tujuan untuk kemakmuran segenap umat manusia. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi tidak hanya bersifat pragmatis dan oportunis, melainkan juga bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu terwujudnya keadilan masyarakat secara sosio-ekonomi.
Metwally, sebagai dikutip oleh Arifin, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ekonomi syariah adalah:
a. Berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan. Dengan prinsip demikian maka manusia sebagai pengelola alam akan merasa bertanggung jawab atas kelestarian dan sedapat mungkin menghindari eksploitasi atas kekayaan alam tertentu untuk kepentingan pribadi sekaligus merugikan kepentingan umum.
b. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Ekonomi syariah bukan sistem kapitalis yang mengakui kepemilikan alat maupun faktor produksi tanpa batas atau sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi. Ekonomi syariah adalah sistem yang mengakui kepemilikan pribadi atas alat maupun faktor produksi secara relatif dan berimbang, sehingga tidak bergesekan dengan kepentingan umum.
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Kerja sama sebagai yang kita ketahui adalah metode terbaik dalam usaha mencapai tujuan. Ekonomi syariah sejak dahulu telah menekankan pentingnya kerja sama dalam aktifitas ekonomi, karena dengan demikian manfaat atas kerja sama tersebut dapat dirasakan bersama diserta dengan pemerataan atas keadilan ekonomi yang digalakkan secara bersama.
d. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
e. Seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari akhirat. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang tidak hanya berimplikasi duniawi, melainkan menuntut pertanggungjawaban di hari akhirat.
f. Seorang muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat. Inilah yang menjadi aksentuasi utama ekonomi syariah dalam penciptaan keadilan ekonomi. Prinsip zakat adalah prinsip fitrah yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan, seperti dimensi sosial, dimensi ubudiyah, dan dimensi psikis manusia.
g. Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman. Ini adalah prinsip yang sejak awal kemunculan Islam telah ditetapkan melalui beberapa ayat yang secara tegas menyebutkan kedudukannya dalam syari’at. Riba tidak hanya merugikan perekonomian, akan tetapi lebih jauh riba dapat menimbulkan penyakit-penyakit masyarakat yang semakin memperparah kondisi dan stabilitas sosial, misalnya budaya pemeras, sifat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya diatas penderitaan orang lain, dan hilangnya sensitifitas sosial.
Ekonomi syariah selayaknya dijalankan dengan mengacu pada prinsip di atas. Jika seluruh prinsip tersebut dijalankan dengan sebaik mungkin, maka pemerataan dan kemajuan ekonomi masyarakat bukanlah sebuah utopia atau idealitas belaka. Dengan menjalankan prinsip-prinsip diatas, keterpurukan ekonomi bangsa dapat diatasi dan optimisme akan kemajuan dan kejayaan bangsa dapat terwujud di tengah pergaulan dunia yang semakin kompetitif.
2. Nilai-nilai ekonomi syariah
Implementasi sistem ekonomi syariah berangkat dari sebuah tatanan nilai yang dibangun atas dasar ketetapan-ketetapan dalam al Qur’an dan hadis. Nilai-nilai yang dibangun secara substansial bermuara pada satu tujuan luhur, yaitu menciptakan tatanan kehidupan perekonomian yang berlandaskan Ketuhanan dan pemerataan ekonomi di masyarakat. Menurut Antonio, ada beberapa nilai dalam sistem ekonomi syariah, yaitu perekonomian masyarakat luas, keadilan dan persaudaraan menyeluruh, keadilan distribusi pendapatan, dan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
a. Perekonomian masyarakat luas
Islam mendorong penganutnya berjuang untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Islam juga mendorong manusia untuk berusaha sekuat mungkin dalam mendapatkan harta dengan cara yang etis dan halal, sehingga kemakmuran dan kemashlahatan di bumi tetap terjaga hingga akhir zaman.
b. Keadilan dan persaudaraan menyeluruh
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang ibarat sebuah keluarga. Persaudaraan tersebut adalah persaudaraan yang universal dan tidak didasarkan atas kesamaan pada aspek tertentu, sebab pada dasarnya manusia adalah satu keluarga besar.
c. Keadilan distribusi pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial-ekonomi. Untuk mewujudkan pemerataan pendapatan dalam masyarakat, sistem ekonomi Islam menawarakan beberapa cara, yaitu:
1) Penghapusan monopoli, kecuali oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu yang menyangkut kepentingan masyarakat umum,
2) Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi,
3) Menjamin basic need fulfillment setiap anggota masyarakat.
d. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial
Prinsip-prinsip Islam dalam konteks kesejahteraan sosial adalah:
1) Kepentingan masyarakat harus didahulukan dari kepentingan pribadi.
2) Melepas kesulitan harus diprioritaskan daripada memberi manfaat, meski secara substansial keduanya merupakan tujuan syariah.
3) Manfaat yang besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang kecil dan bahaya yang lebih harus dapat diterima atau diambil untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

bibliografi
Antonio, M.S. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Arifin, Z. 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet.
Asnawi, M.N. 2007. Ekonomi Syariah sebagai Sistem Ekonomi Nasional: Dialektika Paradigma Ekonomi Syariah dengan Realitas Ekonomi Nasional Menuju Sistem Ekonomi yang Rabbani. Makalah dalam lomba karya tulis ilmiah mahasiswa berprestasi tingkat UIN Alauddin Makassar tahun 2007 (tidak diterbitkan).

5.11.2009

kesehatan mental

A. Konsep Dasar Sehat dan Sakit
Sehat dan sakit merupakan keadaan biopsikososial yang inheren dalam kehidupan manusia. Pengenalan manusia terhadap kedua konsep tersebut memungkinkan pengenalan secara utuh terhadap kondisi dirinya (Notosoedirdjo & Latipun, 2007). Konsep sehat dan sakit pada dasarnya merupakn konsep yang universal dan kedua jargon tersebut telah menjadi bagian yang integratif dalam dinamika kehidupan kita. Aksentuasi pada permasalahan ini adalah menentukan batasan sehat dan sakit bagi individu. Penentuan batas sehat dan sakit merupakan sesuatu yang cukup kompleks, mengingat paradigma sehat dan sakit tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor, misalnya faktor psikologis, sosial, dan budaya serta tata nilai setempat.
Salah satu acuan untuk memahami konsep tentang sehat adalah definisi dari World Health Organization (WHO). WHO merumuskan sehat (health) sebagai keadaan yang paripurna, baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan (cacat). Dalam definisi tersebut, sehat tidak terbatas pada terbebasnya individu dari penyakit, melainkan lebih dari itu, individu harus memiliki keadaan yang sempurna, secara fisik, mental, maupun sosial (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Selain sehat, ada juga konsep tentang sakit. Sakit dalam bahasa Inggris diungkap dalam 3 istilah berbeda, yaitu disease, illness, dan sickness. Ketiga istilah tersebut mencerminkan bahwa sakit mengandung tiga pengertian dalam kerangka dimensi biologis, psikologis, dan sosial (biopsikososial). Secara khusus, disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis (Calhoun, dkk., dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Disease (penyakit) berarti suatu penyimpangan yang simptomnya diketahui melalui diagnosis, berdimensi biologis dan objektif, serta bersifat independen dari pertimbangan-pertimbangan psikososial. Illness (sakit/nyeri) merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh yang dirasakan tidak nyaman. Karena bersifat subjektif, maka tidak menutup kemungkinan sakit (nyeri) yang dirasakan individu tersebut juga dirasakan sebagai sakit (nyeri) oleh individu lain. Sickness (kesakitan) merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan. Dalam keadaan sickness demikian, individu dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran, maupun kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat karena adanya kondisi ketidaksehatan tersebut. Kesakitan dalam konsep sosiologis ini menyangkut peran khusus individu sehubungan dengan perasaan kesakitan tersebut sekaligus mencari tanggung jawab baru, yaitu upaya penyembuhan.
Lyttle & Pacther (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa peran sakit hanya dilakukan dan diakui oleh masyarakatnya jika kondisi tersebut paralel dengan paradigma dan tata nilai yang berlaku. Selain itu, justifikasi sakit juga sangat tergantung dengan keyakinan lokal dan norma sosial serta keagamaan yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal tersebut juga berlaku untuk jenis gangguan mental (mental illness).
Meski pengertian sakit bersifat relatif, pada dasarnya dapat ditemukan beberapa definisi operasional tentang sakit. Lyttle (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa sakit merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya gangguan atau kehilangan fungsi dan dapat merupakan keadaan yang berada dalam rentangan ketidaksenangan hingga ketidakcakapan atau ketidakmampuan serta mati.
B. Konsep Dasar Kesehatan Mental (Mental Hygiene)
1. Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental dalam terminologi psikologi sering disebut dengan mental hygiene, meski dalam aplikasinya sering pula disamakan dengan psychological medicine, nervous health, dan mental health. Meski memiliki maksud yang sama, namun substansi dari keempat istilah tersebut berbeda. Mental health, meski dalam terminologi bahasa Indonesia berarti kesehatan mental, namun substansinya berbeda dengan mental hygiene, karena mental health berarti keadaan jiwa yang sehat dan bersifat statis, sedangkan mental hygiene bersifat dinamis dan ditunjukkan dengan adanya usaha peningkatan kualitas kesehatan mental melalui intervensi tertentu. Pun demikian, mental health cenderung lebih populer dan diaplikasikan secara massif, termasuk oleh WHO sendiri (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
Kartono & Andari (1989) berpendapat bahwa mental hygiene tidak hanya dapat diartikan sebagai kesehatan mental belaka. Lebih jauh, menurut Kartono & Andari, mental hygiene adalah ilmu pengetahuan tentang kesehatan mental. Mental hygiene merupakan ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental, bertujuan untuk mencegah timbulnya gangguan atau penyakit mental, penyembuhan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa secara komprehensif. Dengan demikian, maka mental hygiene menggambarkan adanya usaha untuk mendapatkan:
a. Keseimbangan jiwa;
b. Menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik; dan
c. Mampu memecahkan segal kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian.
Wiramihardja (2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tumbuh dan berkembang dan didasari motivasi yang kuat untuk meraih kualitas diri yang lebih baik dalam berbagai dimensi kehidupan. Michael dan Kirk Patrick (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah kondisi dimana mental individu terbebas dari gejala psikiatris dan individu tersebut berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
World Federation for Mental Health, dalam konvensi tahun 1948 di London merumuskan definisi kesehatan mental sebagai suatu kondisi yang optimal dari aspek intelektual, yaitu siap untuk digunakan, dari aspek emosional yang mantap atau stabil, sehingga perilakunya tidak mudah tergoncang oleh situasi yang berubah di lingkungannya, tidak hanya bebas dari gangguan kejiwaan, sepanjang tidak mengganggu lingkungannya (Wiramihardja, 2004).
Definisi kesehatan mental juga diungkap oleh beberapa ahli, yaitu:
a. Karl Menninger (Wiramihardja, 2004), seorang psikiater mendefinisikan kesehatan mental sebagai penyesuaian (adjusment) manusia terhadap lingkungan sekitarnya dan dengan orang-orang lain dengan keefektifan dan kebahagiaan optimal. Dalam mental yang sehat terdapat kemampuan untuk memelihara watak, inteligensi yang siap digunakan, perilaku yang dipertimbangkan secara sosial, dan disposisi yang bahagia.
b. HB. English (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental adalah keadaan yang secara relatif menetap dimana seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan terpelihara, dan berusaha mencapai aktualisasi diri atau realisasi diri yang optimal.
c. Killander (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa kesehatan mental merupakan keadaan yang ditunjukkan dengan kematangan secara emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup dalam masa-masa sulit dalam hidupnya.
d. Coleman dan Broen Jr (Wiramihardja, 2004) mengemukakan bahwa ada enam sifat orang yang dikatakan sehat mental, yaitu:
1). Sikap terhadap diri sendiri yang positif (positive attitude toward self), menekankan pada penerimaan diri (self-acceptance), identitas yang adekuat, dan apresiasi realistik terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
2). Persepsi atas realitas (perception of reality), yaitu suatu pandangan yang realistik atas diri sendiri dan dunia serta lingkungan sekitarnya.
3). Keutuhan (integration), yaitu kesatuan dari kepribadian, kemampuan menghadapi konflik dalam diri (inner conflict), serta toleransi yang baik terhadap stres.
4). Kompetensi, yaitu adanya perkembangan kompetensi, baik fisik, emosional, dan sosial untuk menanggulangi masalah kehidupan. Kompetensi mengandung keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang sesuai dan adekuat.
5). Otonomi, yaitu keyakinan diri, rasa tanggung jawab, dan pengaturan diri (self-control) yang adekuat, bersama-sama dengan kemandirian dalam konteks pengaruh sosial.
6). Pertumbuhan atau aktualisasi diri yang menekankan pada kecenderungan terhadap kematangan yang meningkat, perkembangan potensialitas, dan kepuasan sebagai pribadi.
2. Karakteristik kesehatan mental
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan mental memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu:
a. Adequate contact with reality (interaksi yang adekuat dengan lingkungan)
Interaksi dengan lingkungan merupakan aktualisasi sikap terhadap lingkungan yang dapat berupa penerimaan realitas, penolakan, dan penghindaran. Individu yang terlalu menekankan diri pada masa lalunya cenderung tidak dapat menerima realitas. Kurangnya orientasi individu terhadap realitas sangat mungkin diasosiasikan dengan maladjusment (kegagalan dalam penyesuaian diri) dan gangguan neurotis. Penyesuaian yang baik dan mental yang sehat membutuhkan kontak yang menyeluruh dengan lingkungan sekitar, yaitu orang-orang, kejadian, dan realitas lainnya.
b. Healthy attitudes (sikap yang sehat)
Sikap yang sehat dalam terminologi psikologi merupakan asumsi (sikap) terhadap pekerjaan, teman, agama, kelompok ras, kematian, dan hal-hal lainnya yang menjadi bagian dari kehidupan individu sehari-hari. Sikap yang sehat lahir dari interaksi secara menyeluruh terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap yang sehat berakar dari tata nilai yang dianut individu dan pembentukan sikap yang sehat sangat tergantung pemenuhan tata nilai tersebut.
c. Control of thought and imagination (kontrol terhadap pikiran dan imajinasi)
Kontrol terhadap pemikiran dapat membantu pengembangan sikap yang sehat serta membentuk perspektif yang komprehensif terhadap dunia. Bila kontrol tersebut hilang, maka individu akan mudah terobsesi, kemandegan ide atau gagasan, fobia, pikiran yang tidak terfokus, dan simptom lain yang menunjukkan kepribadian yang neurotik dan psikotik.
d. Mental efficiency (efisiensi mental)
Kontrol terhadap pikiran dan kemampuan mental lainnya merupakan dasar bagi terbentuknya efisiensi mental. Kemampuan untuk mendayagunakan berbagai faktor mental, seperti inteligensi, kekuasaan, dan ingatan secara efektif mendukung terciptanya stabilitas mental. Gangguan-gangguan emosional seperti pada individu yang neurotik atau psikotik merupakan karakteristik dari individu yang kurang efisiensi mentalnya. Dengan demikian, efisiensi mental diasosiasikan dengan stabilitas mental individu.
e. Integration of thought and conduct (integrasi antara pikiran dan perilaku)
Kesenjangan antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan tidak mendukung terciptanya stabilitas mental. Kesatuan antara pikiran dan perilaku sangat ditentukan oleh perilaku yang konsisten dan reliabel yang mencakup kesetiaan, kepercayaan, dan kepercayaan diri. Individu yang pembohong, perampok, psikopat, dan pelaku kriminal merupakan pribadi yang utuh dan merupakan karakteristik dari patologi mental.
f. Adequate concept of self (konsep diri yang cukup)
Mental yang sehat membutuhkan konsep diri yang cukup. Individu yang mentalnya sehat melihat sesuatu dari berbagai perspektif dan mempersepsinya secara objektif. Perasaan bahwa individu tersebut serba kekurangan, ketidakberdayaan, atau ketidakamanan tidak mendukung perkembangan mental yang sehat.
Sementara itu, Maslow dan Mittlemenn (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa karakteristik mental yang sehat adalah:
a. Adequate feeling of security, yaitu perasaan individu yang aman dalam menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya.
b. Adequate self-evaluation, yaitu mencakup harga diri yang memadai dan memiliki perasaan bahwa dirinya berguna untuk dirinya dan orang lain
c. Adequate spontanity and emotionality, yaitu kemampuan untuk membentuk ikatan emosional secara kuat dan abadi, memberi ekspresi yang cukup terhadap perasaan ketidaksukaan terhadap sesuatu tanpa kehilangan kontrol, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain.
d. Efficient contact with reality, ditandai dengan tidak adanya fantasi yang berlebihan, mempunyai pandangan yang realistis dan komprehensif terhadap dunia disertai kemampuan menghadapi kesulitan hidup, dan kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
e. Adequate bodily desires and ability to gratify them, ditandai dengan beberapa hal, yaitu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, kemampuan memperoleh kenikmatan dari aktivitas-aktivitas fisik, kehidupan sosial yang wajar, kemampuan bekerja, dan tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.
f. Adequate self-knowledge, yaitu mengetahui dengan baik dinamika psikologis dalam dirinya serta penilaian yang realistis terhadap kelebihan dan kelemahan dirinya.
g. Integration and consistency of personality, ditandai dengan perkembangan fisik dan psikis yang baik, prinsip moral dan tata nilai yang cenderung sama dengan kelompoknya, mampu berkonsentrasi, serta tidak adanya konflik intra-personal yang dapat mengganggu stabilitas dan perkembangan kejiwaannya.
h. Adequate life goal, yaitu adanya tujuan hidup yang jelas dan realistis, usaha untuk mencapai tujuan tersebut, dan tujuan tersebut baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
i. Ability to learn from experience, yaitu alastisitas dan kemauan menerima kenyataan, tidak takut terhadap kegagalan, serta kemampuan untuk belajar secara spontan.
j. Ability to satisfy the requirements of the group, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan baik pada kelompoknya, terutama dalam hal tata nilai dan budaya kelompok serta perilaku sosial dalam kelompok.
k. Adequate emancipation from the group or culture, ditandai dengan kemampaun menghargai perbedaan budaya dan paradigma, tidak memanfaatkan orang atau kelompok lain, serta kemampuan menilai secara objektif.
C. Ruang Lingkup Kesehatan Mental
Notosoedirdjo & Latipun (2007) mengemukakan bahwa kalangan ahli kesehatan mental membatasi ruang lingkup kesehatan mental pada dua aspek, yaitu: (a) pemeliharaan dan promosi kesehatan mental individu dan masyarakat dan (b) prevensi dan perawatan terhadap penyakit dan kerusakan mental. Ruang lingkup kesehatan mental tidak hanya mencakup perawatan kesehatan individu (individual health care) tetapi juga pelayanan kesehatan masyarakat (public health care).
Caplan (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa lingkup kerja kesehatan mental mencakup beberapa dimensi sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan mental
Promosi kesehatan mental adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk peningkatan kesehatan mental, baik individu maupun masyarakat. Usaha demikian berangkat dari asumsi bahwa kesehatan mental ditingkatkan secara optimal, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Prevensi primer
Prevensi primer merupakan usaha kesehatan mental untuk mencegah timbulnya gangguan dan sakit mental. Usaha demikian dilakukan sebagai perlindungan terhadap kesehatan mental individu maupun masyarakat agar gangguan dan sakit mental tersebut tidak terjadi.
3. Prevensi sekunder
Prevensi sekunder adalah usaha kesehatan mental melalui penemuan kasus sedini mungkin (early case detection) dan penyembuhan secara tepat (prompt treatment) terhadap gangguan dan sakit mental. Usaha tersebut dilakukan untuk mengurangi durasi gangguan dan mencegah jangan sampai terjadi cacat pada seseorang atau masyarakat.
4. Prevensi tersier
Prevensi tersier merupakan usaha rehabilitasi awal yang dapat dilakukan terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Usaha ini bertujuan untuk mencegah disabilitas atau ketidakmampu. an mental yang dapat menjadi kecacatan permanen.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental merupakan entitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor internal maupun eksternal. Kesehatan mental tidak dapat tercapai jika tidak memperhatikan faktor-faktor tersebut, karena secara substantif faktor-faktor tersebut memainkan peran yang signifikan dalam dinamika kesehatan mental.
1. Faktor biologis
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah faktor biologis. Faktor biologis ini mencakup beberapa hal, yaitu:
a. Otak
Otak merupakan pusat dari segala aktivitas tubuh, baik aktivitas fisiologik maupun aktivitas psikologis. Otak merupakan pusat keseimbangan, motivasi, afeksi, dan beberapa dimensi lainnya psikologis lainnya.
Perkembangan fisiologis otak sejalan dengan perkembangan mental manusia dan bahwa perkembangan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lima tahun awal. Terjadinya kerusakan pada otak sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu. Beberapa jenis gangguan mental yang berhubungan dengan kerusakan otak adalah demensia, epilepsi, general parasis, sindroma Korsakoff, dan sindroma Kluver-Bucy (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Sistem endokrin
Kelenjar endokrin merupakan senyawa kimiawi yang mengeluarkan hormon dan diangkut ke seluruh tubuh. Kelenjar endokrin mencakup tujuh macam kelenjar, yaitu kelenjar pituitari, tiroid, paratiroid, adrenal, gonad, timus, dan pankreas. Gangguan mental yang disebabkan abnormalitas fungsi kelenjar endokrin prevalensinya masih sedikit, akan tetapi hal tersebut perlu mendapat perhatian dan dapat dicegah melalui pengaturan pola makan dan mengaplikasikan pola hidup bersih dan sehat (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
c. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor dalam pewarisan sifat-sifat manusia kepada keturunannya. Riset Gregor Mendel membuktikan bahwa faktor gen sangat berpengaruh terhadap pembantukan sifat dan karakter manusia yang diturunkan dari ayah atau ibunya. Kecenderungan psikosis seperti skizofrenia dan manis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara genetis dari induknya. Gangguan mental lain yang bersifat genetis adalah alzheimer, phenylketunurine, huntington, dan adiksi alkohol serta obat-obatan terlarang (Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
2. Faktor psikologis
Aspek psikis manusia pada dasarnya merupakan satu kesatuan dengan sistem biologis. Sebagai sub sistem dari eksistensi manusia, aspek psikis senantiasa terlibat dalam dinamika kemanusiaan yang multi aspek. Ada beberapa aspek psikis yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, yaitu (Notosoedirdjo & Latipun, 2007):
a. Pengalaman awal
Pengalaman awal merupakan keseluruhan pengalaman maupun kejadian yang dialami seseorang yang mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mentalnya. Psikolog bahkan menganggap pengalaman awal sebagai bagian penting dari perkembangan fisik dan mental seseorang dan akan sangat menentukan kondisi dan kesehatan mentalnya di kemudian hari.
b. Proses pembelajaran
Perilaku manusia sebagian besar adalah merupakan produk dari aktivitas belajar melalui pelatihan dan pengalaman sehari-hari. Terdapat tiga saluran belajar, yaitu:
1). Belajar dengan asosiasi (learning by association)
Belajar dengan asosiasi sering diistilahkan dengan classical conditioning yang dikemukakan oleh Ivan Pavlov. Menurut Pavlov, interaksi antara lingkungan dengan individu sangat penting karena dari interaksi tersebut akan mempengaruhi perkembangan dan kematangan kepribadian seseorang. Lebih lanjut, Pavlov mengemukakan bahwa ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu organisme selalu berinteraksi dengan lingkungan dan dalam interaksi itu organisme dilengkapi dengan refleks.
2). Belajar dengan konsekuensi (learning by consequencies)
Belajar dengan konsekuensi dikemukakan oleh BF. Skinner. Skinner mengemukakan bahwa lingkungan memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kepribadian seseorang melalui mekanisme konsekuensi penyertaan atas perilaku tertentu, yaitu punishment (hukuman) dan reward (hadiah).

3). Belajar dengan mencontoh (learning by modelling)
Konsep belajar dengan mencontoh dikemukakan oleh Albert Bandura melalui teori social learning. Menurut Bandura, anak-anak berperilaku agresif setelah mencontoh perilaku model yang dilihatnya. Kegiatan mencontoh dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
c. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang. Individu yang telah mencapai aktualisasi diri (orang yang telah mengeksploitasi segenap kemampuan, bakat, dan keterampilan secara massif) akan mencapai suatu tingkatan yang disebut dengan peak experience. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh Abraham Maslow, ditemukan bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental-khususnya yang menderita neurosis- disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berangkat dari hasil penelitian tersebut Maslow menyimpulkan bahwa gangguan dan penyakit mental-psikosis dan neurosis- merupakan implikasi dari defisiensi (ketidakmampuan memenuhi dan memuaskan) kebutuhan, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan lanjutan (kebutuhan untuk tumbuh kembang).
3. Faktor sosial budaya
a. Stratifikasi sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Holingshead dan Redlich (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) menemukan bahwa stratifikasi sosial yang ada di masyarakat ternyata berhubungan dengan jenis gangguan mentalnya. Terdapat distribusi gangguan mental secara berbeda antara kelompok masyarakat yang berada pada strata sosial tinggi dengan strata sosial yang rendah. Dalam berbagai studi dipahami bahwa kelompok strata sosial rendah memiliki prevalensi yang lebih tinggi terhadap gangguan psikiatrik dibanding dengan kelompok kelas sosial tinggi (Heller, dalam Notosoedirdjo & Latipun, 2007).
b. Interaksi sosial
Dinamika sosial seperti interaksi sosial banyak dikaji dalam kaitannya dengan gangguan mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial dengan gangguan mental. Pertama, teori psikodinamika mengemukakan bahwa individu yang mengalami gangguan emosional dapat berimplikasi pada pengurangan interaksi sosial yang dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua, bahwa rendahnya interaksi sosial yang berimplikasi pada gangguan mental.
Faris dan Dunham (Notosoedirdjo & Latipun, 2007) mengemukakan bahwa kualitas interaksi sosial individu sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya. Lingkungan kehidupan serta tatanan sosial sedikit banyak mempengaruhi dinamika dan kesehatan mental individu. Dalam berbagai studi terungkap bahwa hubungan interpersonal memiliki implikasi yang signifikan dalam peningkatan kesehatan mental individu.
c. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdkat dengan individu yang berperan besar dalam membentuk karakter serta mempengaruhi perkembangannya, baik secara fisik maupun psikis. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta dapat membentuk homeostatis dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarganya serta peningkatan resistensi terhadap berbagai gangguan dan penyakit mental.
Dalam pandangan psikodinamika, keluarga merupakan entitas yang secara langsung mempengaruhi pola pikir dan perkembangan psikologis individu. Keluarga merupakan lingkungan mikrosistem yang menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Dengan demikian, keluarga merupakan lingkungan yang sangat penting dari keseluruhan sistem lingkungan.
E. Penyesuaian Diri (Self-Adjusment)
Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan respon mental dan perilaku individu yang berusaha mengatasi masalah-masalah dalam dirinya, seperti kebutuhan-kebutuhan, ketegangan diri, frustrasi, dan konflik-konflik dan untuk menciptakan situasi konformis (selaras) antara kebutuhan-kebutuhan tersebut dengan lingkungan sekitarnya. Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa penyesuaian diri (self adjusment) adalah usaha individu untuk mencapai harmoni atau keselarasan pada diri sendiri dan pada lingkungannya, sehingga rasa pernusuhan, dengki, prasangka, depresi, kemarahan, dan emosi negatif lainnya dapat diminimalisir, sehingga dihasilkan pribadi yang sehat, baik secara fisik maupun secara mental.
Lebih lanjut, Kartono dan Andari (1989) mengemukakan bahwa dalam konteks kesehatan mental, penyseuaian diri (adjusment) dapat dijabarkan dalam beberapa perspektif sebagai berikut:
1. Adjusment berarti adaptasi atau penyesuaian diri, yaitu kemampuan untuk dapat mempertahankan eksistensinya dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani.
2. Adjusment dapat diartikan sebagai konformitas, yaitu kesesuaian dengan norma-norma hati nurani dan tata nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Adjusment dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk merencanakan, mengorganisir respon-respon sedemikian rupa, sehingga dapat menguasai dan merespon dengan tepat dan efisien segala konflik yang dihadapi, kesulitan-kesulitan hidup, dan rasa frustrasi dalam diri.
4. Adjusment dalam konteks keluarga, yaitu memiliki hubungan interpersonal yang baik dan matang dengan seluruh anggota keluarga.
5. Adjusment sebagai bentuk penyesuaian kultural, yaitu kemampuan menghargi tata nilai, hukum, adat dan kebiasaan, norma sosial, dan entitas kultural lainnya.

Kartono, K. & Andari, J. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Notosoedirdjo, M. & Latipun. 2007. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press.

Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Wiramihardja, S. A. 2004. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika Aditama.