6.18.2009

undeachiever dan konsep keberbakatan

A. Definisi Underachiever
Ramadhan (2008) mengemukakan bahwa underachiever adalah anak (siswa) berprestasi rendah dibandingkan tingkat kecerdasan yang dimilikinya. Sementara itu, Prayitno dan Amti (Ramadhan, 2008) menyebutkan bahwa underachiever identik dengan keterlambatan akademik yang berarti bahwa keadaan siswa yang diperkirakan memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal, sehingga prestasi akademik yang diraih di bawah kemampuan yang dimilikinya.
Underachiever adalah anak dan khsusunya siswa yang gagal meraih prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya serta apa yang diharapkan oleh orang-orang di sekitarnya (Admin, 2007). Reis & McMoach (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement merupakan kesenjangan akut antara potensi prestasi (expected achievement) dan prestasi yang diraih (actual achievement). Robinson (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa untuk dapat diklasifikasikan sebagai underachiever, kesenjangan antara potensi dan prestasi tersebut bukan merupakan hasil diagnosa kesulitan belajar (learning disability) dan terjadi secara menetap pada anak (siswa) dalam periode yang panjang.
Runikasari (2009) menyebutkan bahwa underachiever merupakan anak atau siswa yang memilki potensi tinggi tetapi prestasi yang mereka tampilkan berada dibawah potensi yang dimiliki. Secara operasional, underachievement dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara skor tes inteligensi dan hasil yang diperoleh siswa di sekolah (Peters & VanBoxtel, dalam Tarmidi, 2008).
Anak underachiever merupakan anak yang pada dasarnya memiliki potensi yang tinggi untuk meraih prestasi gemilang (anak cerdas). Anak cerdas cenderung menjadi anak yang nakal jika berada di kelas yang dianggapnya tidak memberikan tantangan. Dia akan mempunyai banyak waktu untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan pelajaran untuk menghilangkan perasaan bosan yang dialami di dalam kelas (Redaksi, 2008).


B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Tergolong Underachiever
Prestasi belajar rendah yang dialami anak underachiever tidak disebabkan oleh adanya hambatan dalam menguasai pelajaran yang diberikan dalam proses belajar mengajar di kelas. Menurut Gustian (Ramadhan, 2008), underachiever dapat disebabkan oleh oleh faktor lingkungan, baik lingkungan luar rumah (lingkungan sekolah), lingkungan rumah, maupun dari individu itu sendiri. Masing-masing faktor tersebut atau secara bersamaan dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab underachiever, orang tua dapat melakukan tindakan-tindakan untuk menangani anak yang mengalami underachiever.
Butler-Por (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement bukan disebabkan karena ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, tetapi lebih disebabkan karena pilihan-pilihan yang dilakukan anak, baik secara sadar maupun tidak sadar. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh penelitian McClelland, Yewchuk, dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) yang menyatakan bahwa ada dua set utama yang mempengaruhi performa underachiever, yaitu (a) faktor emosi dan motivasi, dan (b) faktor yang berhubungan dengan strategi belajar. McClelland dan rekannya percaya bahwa ketika faktor-faktor pada kedua set tersebut berkombinasi dan saling berinteraksi maka faktor tersebut dapat menjadi konsekuensi yang paling kuat untuk mencegah siswa menjadi underachiever.
1. Faktor lingkungan sekolah
Sekolah merupakan faktor yang sangat berperan yang menyebabkan anak menjadi underachiever. Metode pengajaran, kuantitas dan kualitas materi pelajaran yang diberikan, dan parameter-parameter keberhasilan dan kemampuan guru dapat menjadi penyebab anak mengalami underachiever (Ramadhan, 2008).
Edy Gustian (Redaksi, 2008) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya underachiever. Faktor tersebut mencakup cara pengajaran, materi-materi yang diberikan, ukuran-ukuran keberhasilan dan kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar di kelas. Sebagai contoh, Edy mengemukakan fakta yang terjadi pada Albert Einstein. Menurutnya, saat di sekolah dasar, nilai-nilai pelajaran Einstein sangat buruk, sehingga dia disebut sebagai anak bodoh oleh guru dan teman-temannya. Salah satu penyebab prestasi Einstein sangat buruk di sekolahnya adalah karena Einstein harus mengulang hal-hal yang sudah diketahuinya yang menurutnya tidak bermanfaat. Einstein baru berhasil menangani masalahnya dengan bantuan pamannya.
Dapat dibayangkan kerugian seperti apa yang dialami oleh dunia jika Einstein tidak dapat mengatasi permasalahannya di sekolah. Hal yang perlu diperhatikan mengenai kasus tersebut adalah Albert Einstein berhasil mengatasi permasalahannya dengan bantuan orang lain, pamannya, bukan karena dia mampu mengatasi sendiri permasalahan tersebut (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan anak menjadi underachiever antara lain:
a. Anak bersekolah di sekolah yang memiliki standar tinggi dalam hal prestasi akademik peserta didik, sehingga membuat kepercayaan diri anak menjadi turun karena yang bersangkutan jarang memiliki pengalaman berhasil dalam kehidupan akademiknya.
b. Perlakuan guru, baik di kelas maupun di luar kelas dapat menjadi salah satu penyebab anak menjadi underachiever. Guru yang cenderung memiliki ekspektasi tinggi, bertindak otoriter atau kurang memberi penghargaan bagi siswa dapat menjadi salah satu pemicu anak menjadi underachiever.
c. Kesalahan anak dalam memilih teman dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever. Pada usia remaja, teman menjadi segalanya bagi mereka dan pada saat ini pula mereka sangat sulit menolak pengaruh dari teman. Berdasar hal tersebut, maka anak memegang prinsip dari pada ditinggalkan teman, mereka lebih baik mengabaikan kegiatan belajar yang berimplikasi pada penurunan prestasi akademiknya.
2. Faktor keluarga
Selain sekolah, lingkungan rumah juga dapat menyebabkan anak menjadi underachiever. Bagaimana orang-orang terdekat memperlakukan anak akan mempengaruhi pencapaian anak dalam berprestasi. Keluarga adalah faktor terpenting yang dapat menyebabkan anak mengalami underachiever. Misalnya: kurangnya perhatian, dukungan, dan kesiapan orang tua untuk membantu anaknya dalam belajar di rumah serta mengatasi masalah-masalah akademik yang dihadapinya. Ekspektasi orang tua yang terlampau tinggi terhadap anaknya dapat berdampak pada munculnya pertentangan pendapat antara orang tua dengan anak. Selain itu, orang tua terkadang kurang menghargai prestasi belajar yang telah dicapai oleh anak. Sikap orang tua yang demikian kurang memacu anak untuk belajar lebih giat. Anak merasa prestasi belajar yang telah dicapai kurang dihargai dan anak juga akan merasa dirinya tidak mampu berprestasi dalam belajar. Keretakan hubungan antara orang tua (ayah dan ibu) sering menimbulkan percekcokan dalam rumah tangga yang pada akhirnya menjurus pada perceraian. Kondisi demikian dapat menyebabkan anak kurang berkonsentrasi dalam belajar. Anak akan mengalami underachiever juga terjadi jika suasana rumah gaduh dan tidak kondusif untuk belajar (Ramadhan, 2008).
Runikasari (2009) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan anak menjadi underachiever adalah:
a. Situasi keluarga yang tidak stabil, misalnya si anak mengetahui bahwa ayahnya selingkuh sehingga hubungan kedua orangtuanya sudah tidak harmonis.
b. Anak kurang mendapat kesempatan dalam pengayaan sosial dan pendidikan keluarga.
c. Dominasi Ayah dalam keluarga sehingga penghargaan terhadap anak sangat kurang dan seringnya Ayah memberi hukuman berat kepada anak ketika melakukan kesalahan.
d. Orangtua tidak realistis dalam menetapkan target dan memaksakan nilai-nilai tertentu terhadap anak-anaknya, misalnya anak merasa sudah belajar seharian tetap dianggap belum belajar kalau di rumah dia hanya membaca komik.
e. Orangtua tidak pernah atau jarang memberi penghargaan atas prestasi yang diraih anaknya.
f. Orangtua jarang berbagi ide, kepercayaan, kasih sayang dan kesepakatan dengan anaknya.


3. Faktor internal
Selain faktor eksternal, faktor internal (faktor dalam diri anak) juga berpengaruh terhadap anak yang underachiever. Butler-Por (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberapa hal dari dalam diri anak yang menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Anak tidak menyadari potensi yang dimilikinya, sehingga mereka kurang memahami dirinya dan orang lain.
b. Mempunyai harapan/target yang terlalu rendah, sehingga membuat anak tidak mempunyai tujuan dan nilai yang jelas.
c. Mempunyai self-esteem yang rendah dan menjadi peka terhadap penilaian orang lain.
Ramadhan (2008) mengemukakan beberapa hal dalam diri anak yang dapat menyebabkan anak tersebut menjadi underachiever, yaitu:
a. Persepsi diri
Tidak tercapainya prestasi sekolah yang baik juga sangat ditentukan oleh karakteristik anak. Salah satunya adalah penilaian anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Penilaian anak terhadap kemampuannya berpengaruh banyak terhadap pencapaian prestasi sekolah. Anak yang merasa dirinya mampu akan berusaha untuk mendapatkan prestasi sekolah yang baik sesuai dengan penilaian dirinya terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sebaliknya, anak yang menilai dirinya sebagai anak yang tidak mampu atau anak yang bodoh akan menganggap nilai-nilai kurang yang didapatkannya sebagai hal yang sepatutnya dia dapatkan. Hal tersebut kemudian berimplikasi pada tidak termotivasinya anak untuk meraih prestasi yang lebih tinggi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
b. Hasrat berprestasi
Faktor lain dalam diri anak yang menentukan prestasi yang akan dicapainya adalah faktor keinginan untuk berprestasi (need for achievement). Anak yang memiliki dorongan kuat dari dalam dirinya untuk berprestasi akan selalu berusaha meraih prestasi tertinggi dan pantang menyerah terhadap masalah yang dihadapi. Keinginan untuk berprestasi adalah hasil dari pengalaman-pengalaman anak dalam mengerjakan sesuatu. Anak yang sering gagal dalam mengerjakan sesuatu akan mengalami frustasi dan tidak mengharapkan hasil yang baik dan tindakan-tindakan yang dilakukaknnya.
c. Locus of control
Bagaimana anak menilai penyebab prestasi yang dimilikinya dapat menyebabkan tercapainya preatsi yang tinggi. Anak dapat menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi tersebut karena faktor usaha yang dilakukannya atau karena faktor-faktor di luar yang tidak dapat dikontrolnya. Anak yang menilai bahwa penyebab terjadinya prestasi karena faktor usaha yang dilakukannya berarti anak tersebut memiliki lokus kontrol (locus of control) internal, dan sebaliknya anak disebut memiliki lokus kontrol eksternal jika penyebab prestasi belajarnya karena pengaruh dari orang lain. Anak yang memiliki lokus kontrol internal akan menilai bahwa angka 4 yang didapatnya dalam pelajaran matematika adalah karena ia kurang belajar, sedangkan mereka yang memiliki lokus kontrol eksternal akan mengatakan karena guru yang sentimen pada dirinya.
d. Pola dan strategi belajar
Pola dan strategi belajar anak sangat mempengaruhi pencapaian prestasi anak. Ada anak yang terbiasa belajar secara teratur walaupun besok harinya tidak ada tes atau ujian tetapi ada pula anak yang hanya belajar jika ada ujian. McClelland, Yewchuk dan Mulcahy (Tarmidi, 2008) mengemukakan beberpa hal dalam strategi belajar yang menyebabkan anak menjadi underachiever, yaitu:
1). Tidak dapat menampilkan performa yang baik dalam situasi tes
2). Mengumpulkan tugas yang belum selesai atau yang dikerjakan dengan tidak sepenuh hati
3). Tidak mau mencoba hal-hal baru
4). Mempunyai kecenderungan perfeksionis dan self-critism
5). Tidak menyukai kegiatan yang membutuhkan latihan teratur, mengingat dan yang membutuhkan penguasaan keahlian tertentu
6). Sulit untuk memberikan atensi dan berkonsentrasi dalam tugas.


C. Karakteristik Anak Underachiever
Saefurohman (2008) mengemukakan bahwa untuk mengenali siswa underachiever ada beberapa karakteristik yang dapat kita pahami, yaitu:
1. Karakteristik utama (primer)
Karakteristik utama yang dihubungkan dengan anak underachiever adalah rendahnya self-esteem (penghargaan terhadap diri) anak tersebut (Preckle & Vock, 2006; Trevallion, 2008, dalam Tarmidi, 2008). Pernyataan tersebut juga dipertegas oleh Butler-Por & Kratzer (Saefurohman, 2008) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik kepribadian siswa underachiever adalah rendahnya konsep diri (konsep penghargaan terhadap diri sendiri). Siswa biasanya menutupi hal tersebut dengan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) seperti bertindak agresif atau membuat keributan dan lelucon di kelas (berkelakar).
2. Karakteristik sekunder
Karakteristik sekunder berhubungan dengan kecenderungan anak memperlihatkan perilaku menghindar (avoidance behavior). Mereka sering mengatakan bahwa pelajaran di sekolah tidak relevan atau tidak penting karena itu mereka biasanya lebih tertarik kegiatan selain kegiatan sekolah. Kaufman (Saefurohman, 2008) menyatakan bahwa karakteristik menghindar pada anak underachiever diwujudkan dalam dua arah yaitu agresi atau menghindar. Mereka juga akan memperlihatkan ketergantungan seperti tergantung pada orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
3. Karakteristik tersier
Karakteristik tersier siswa underachiever antara lain buruknya kemampuan anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah, kebiasaan belajar yang buruk, memiliki masalah penerimaan oleh teman sebaya, konsentrasi yang buruk dalam aktivitas sekolah, tidak dapat mengatur diri baik di rumah maupun di sekolah, mudah bosan, meninggalkan atau mengabaikan kegiatan kelas, memiliki kemampuan berbahasa oral yang baik tetapi buruk dalam menulis, mudah terdistraksi dan tidak sabar, sibuk dengan pikirannya sendiri, kurang jujur, sering mengkritik diri sendiri, mempunyai hubungan pertemanan yang kurang baik, suka bercanda di kelas (membuat keributan), ramah terhadap orang yang lebih tua, dan berperilaku yang tidak biasa.
D. Konsep Diri Akademik
ReisDel Siegle & McCoah (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa underachievement terjadi karena kegagalan individu untuk merealisasikan diri, karenanya underachievement dapat dilihat sebagai dampak dari perkembangan emosi yang berinteraksi dengan status kognisi yang mengarahkan ke keadaan underachievement. Salah satu faktor yang sering muncul pada siswa underachiever adalah rendahnya self-image dan buruknya self-esteem (Clark, 1992; Davis & Rimm, dalam Tarmidi, 2008). Konsep diri yang positif terbentuk dari prestasi belajar yang diraih anak (Gallager, dalam Tarmidi, 2008). Hasil tinjauan literatur yang dilakukan Lau dan Chan (Tarmidi, 2008) juga menunjukkan hal yang sama, bahwa dari berbagai karakteristik siswa underachiever yang diajukan oleh berbagai peneliti, temuan yang paling konsisten adalah rendahnya konsep diri atau self-esteem mereka, terutama pada area konsep diri akademik.
Dalam konteks demikian, hubungan konsep diri akademik dengan kecenderungan underachievement bersifat resiprokal (Bynre, 1984; Marsh & Yeung, 1997 dalam Tarmidi, 2008). Anak yang underachiever tidak percaya bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk berprestasi, karena itu mereka tidak berusaha keras untuk belajar dan mudah menyerah ketika menghadapi kegagalan. Kegagalan dalam bidang akademik akan membuat anak tidak percaya diri dalam belajar sehingga mereka kehilangan konsep dirinya. Hubungan yang negatif antara konsep diri akademik dengan prestasi menjadi lingkaran yang membuat pola underachievement sulit diputus.
E. Konsep Teoretis Penanganan Underachiever
Model trifokal yang diajukan Rim (Saefurohman, 2008; Tarmidi, 2008) adalah salah satu pendekatan yang paling komprehensif untuk mengatasi siswa yang underachiever. Bakers, Bridger & Evans (Tarmidi, 2008) mengemukakan bahwa aplikasi model ini melibatkan individu sendiri (anak underachiever), lingkungan rumah, dan sekolah. Masing-masing pihak yang terlibat tersebut diikutsertakan dalam program trifokal ini, sehingga setiap orang yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah underachiever dapat menyelesaikan masalah anak dengan lebih komprehensif. Agar dapat mengatasi siswa underachiever dengan tepat, maka diperlukan intervensi yang berbeda pada setiap kasus karena menurut Hansford (Tarmidi, 2004) underachievement sangat spesifik pada masing-masing anak.
Gallagher (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa underachievement adalah pola perilaku yang dipelajari dan dapat diubah melalui upaya-upaya tertentu. Coyle (Tarmidi, 2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan prestasi anak underachiever dapat dilakukan dengan membangun self-esteem, meningkatkan konsep diri, meningkatkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik, mengajari cara belajar (study skills), manajemen waktu dan mengatasi kekurangannya dalam hal akademik. Pringle (Tarmidi, 2008) juga menyatakan hal yang sama, bahwa untuk mengatasi siswa underachiever dapat dilakukan oleh guru dengan meningkatkan konsep diri dan moral siswa, memberikan dukungan, memberikan kesempatan untuk mengerjakan sesuatu dengan bebas, ataupun membuat suasana belajar yang menyenangkan. Jika guru bersikap negatif terhadap siswa underachiever atau kurang memperhatikan mereka, akan berakibat makin menguatnya pola underachievement pada siswa tersebut.

BIBLIOGRAFI

Admin. 2007. “Underachiever” (Online). (http://en.wikipedia.org/wiki/Underachie ver, diakses 12 Juni 2009).

Ramadhan, T. 2008. “Underachiever” (Online). (http://tarmizi.wordpress.com/ 2008/11/19/underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

Redaksi. 2008. “Anak Cerdas , Mengapa Prestasi Di Sekolah Rendah” (Online). (http://minmalangsatu.net/detail-artikel-128/ANAK_CERDAS___MENGAPA _PRESTASI_DI_SEKOLAH_RENDAH.html, diakses 12 Juni 2009).

Runikasari, S. 2009. “Memotivasi Remaja Underachiever” (Online). (http://www.lptui.com/artikel.php?fl3nc=1¶m=c3VpZD0wMDAyMDAwMDAwNzcmZmlkQ29udGFpbmVyPTY2&cmd=articleDetail, diakses 12 Juni 2009).

Saefurohman, U. 2008. “Memahami Siswa Underachiever” (Online). (http://sd.binamuda.net/index.php?option=com_content&view=article&id=49:memahami-siswa-underachiever&catid=37:artikel&Itemid=18, diakses 12 Juni 2009).

Tarmidi, 2008. “Konsep Diri Siswa Underachiever” (Online). (http://tarmidi. wordpress.com/2008/05/27/konsep-diri-siswa-underachiever/, diakses 12 Juni 2009).

6.03.2009

dasar Hukum ekonomi Syariah

1. Landasan syariah
Pada dasarnya, setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan berusaha dalam rangka memperoleh penghidupan yang layak. Kegiatan ekonomi dilakukan dengan prinsip-prinsip tertentu serta sejalan tujuan awal, yaitu mencapai kesejahteraan hidup.
Islam sebagai agama yang sempurna pun tidak hanya mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah semata, melainkan juga bekerja untuk memperoleh rezeki dengan cara yang benar menurut aturan syariat. Kegiatan ekonomi bukan semata-mata dilandai oleh motif ekonomi semata, melainkan lebih dari itu, kegiatan ekonomi dalam perspektif ekonomi syariah merupakan wujud perbadatan kepada Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan prinsip ekonomi syariah yang menegaskan bahwa implikasi kegiatan ekonomi bukan hanya dalam konteks duniawi semata, melainkan juga implikasi ukhrawi (ibadah).
Dalam lingkup muamalat, salah satu kaidah yang berlaku adalah al-ashl fil-muâmalat al ibâhah illâ mâ harrama alaih, yaitu asal dari segala aktivitas muamalat adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah tersebut sering diistilahkan dengan the principle of permissibility. Mengingat bahwa ekonomi dan perdagangan termasuk bidang muamalat, maka semua bentuk transaksi hukumnya boleh, kecuali ada dalil yang jelas-jelas mengharamkannya. Dalam konteks inilah, hukum Islam memegang prinsip terbuka, termasuk dalam perbankan dan lembaga keuangan non bank lainnya.
Penyelenggaraan ekonomi syariah memiliki landasan yang kuat dalam Al Qur’an. Dalam QS Al Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan muamalah, Setiap individu dilarang untuk saling merugikan, berbuat curang, dan melakukan tindakan penipuan. Penegasan ini merupakan landasan kuat penyelenggaran ekonomi syariah yang sejatinya mengaktualisasikan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan prinsip saling menguntungkan.
Zainuddin Ali mengemukakan bahwa dalam ekonomi syariah, harta merupakan amanat dari Allah SWT, karena itu harta tersebut harus diperoleh dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan umat. Dalam konteks ini, Allah SWT berfirman:
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
2. Landasan konstitusional
Penyelenggaraan kegiatan usaha berbasis syariah di Indonesia dilandasi oleh fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI mengenai kebolehan melakukan aktivitas usaha berbasis syariah, misalnya perbankan syariah, asuransi, reksadana syariah, obligasi, dan pembiayaan syariah. DSN-MUI adalah lembaga yang dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berwenang untuk menetapkan fatwa produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasar prinsip syariah. Hingga saat ini, DSN-MUI telah mengeluarkan 53 fatwa mengenai kegiatan ekonomi syariah. Fatwa tersebut antara lain:
a. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro,
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan,
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.03/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Deposito,
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Murabahah,
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.05/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Saham,
f. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.06/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Jual Beli Istishna’, dan
g. Fatwa Dewan Syariah Nasional No.07/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Pembiayaan Mudharabah (qiradh) .
Menilik secara historis, kegiatan ekonomi syariah diakui secara yuridis sejak lahirnya UU No.7 Tahun 1992 yang kemudian diubah menjadi UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut merupakan perundangan yang memberikan jalan bagi lembaga perbankan-bank umum dan bank perkreditan rakyat-untuk memberikan layanan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 6 huruf m ditegaskan bahwa bank umum konvensional dapat menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank-bank umum konvensional diizinkan untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil. Ketentuan tersebut dilandasi oleh kecenderungan di masyarakat yang menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pembiayaan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal 13 huruf c UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Perkreditan Rakyat merupakan salah satu bentuk usaha bank yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kredit dan pembiayaan tertentu kepada masyarakat. Pasal tersebut memberikan kesempatan bagi BPR untuk melakukan pembiayaan berdasar prinsip syariah sebagai upaya menjawab keinginan masyarakat, khususnya nasabah untuk mengimplementasikan sistem pembiayaan berbasis syariah.
UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara eksplisit melegitimasi kegiatan usaha berbasis syariah. Bahkan, dalam penjelasan pasal I angka 37 huruf i menegaskan bahwa kegiatan usaha yang termasuk dalam ekonomi syariah meliputi:
a. perbankan syariah,
b. lembaga keuangan mikro syariah,
c. asuransi syariah,
d. reasuransi syariah,
e. reksadana syariah,
f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
g. sekuritas syariah,
h. pembiayaan syariah,
i. pegadaian syariah,
j. dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
k. bisnis syariah.
Meski undang-undang ini tidak secara khusus mengatur tentang ekonomi syariah, namun klausul pasal 49 dapat dijadikan sebagai dasar penyelenggaraan usaha berbasis syariah.
Pada tanggal 16 Juli 2008, RUU Perbankan Syariah disahkan menjadi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan jawaban dari desakan berbagai pihak yang selama ini menginginkan satu regulasi utuh mengenai perbankan syariah. Selama ini, regulasi perbankan syariah masih diatur dalam UU Perbankan yang tidak secara akumulatif merepresentasikan sistem perbankan syariah nasional. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah menjadi UU Perbankan Syariah, berarti kini perbankan syariah memiliki payung hukum yang selama ini didambakan.
Hadirnya UU Perbankan Syariah sangat diharapkan dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta pembukaan lapangan kerja melalui program sosial. Sedang dari sisi komersial, hadirnya UU Perbankan Syariah diharapkan makin memperkuat pijakan hukum perbankan syariah sehingga bisa setara dengan bank konvensional.Undang-undang ini memuat segala ketentuan tentang perbankan syariah, yaitu:
a. Asas, tujuan, dan fungsi,
b. Perizinan, badan hukum, anggaran dasar, dan kepemilikan,
c. Jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana, dan larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS),
d. Pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing,
e. Tata kelola, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko perbankan syariah,
f. Rahasia bank,
g. Pembinaan dan pengawasan,
h. Penyelesaian sengketa,
i. Sanksi administratif,
j. Ketentuan pidana, dan
k. Ketentuan peralihan.
Eksistensi UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah. Beberapa poin penting Undang-Undang Perbankan Syariah ini salah satunya adalah memberikan kewenangan pembinaan dan pengawasan perbankan syariah kepada Bank Indonesia. Kewenangan pengawasan dan kepatuhan juga dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan Dewan Pengawas Syariah yang wajib dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah bank umum konvensional.
Prospek perbankan syariah ke depannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Kekuatan yang dimiliki bank syariah sampai akhir 2007, menurut laporan Bank Indonesia adalah tiga bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS), dan 114 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Dengan kekuatan ini, perbankan syariah berhasil membukukan 2,8 juta rekening nasabah, sedangkan volume usaha bank syariah hingga akhir 2007 baru mencapai Rp. 36,5 triliun atau sekitar 1,8 persen dari aset perbankan nasional. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang.
Dalam konteks operasionalisasi kegiatan penghimpunan dana dan pembiayaan berdasar prinsip syariah, Bank Indonesia mengeluarkan beberapa peraturan menyangkut penyelenggaraan kegiatan usaha tersebut yang termaktub dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Beberapa peraturan yang mengatur tentang penyelenggaraan usaha berdasar prinsip syariah adalah:
1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/46/PBI/2005 tanggal 14 November 2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi yang Melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Lahirnya UU Perbankan Syariah diharapkan diikuti pula dengan lahirnya undang-undang lain yang mengatur secara tegas mengenai usaha-usaha ekonomi syariah yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggaraan usaha ekonomi syariah selain perbankan syariah selama ini hanya mengacu pada fatwa DSN-MUI yang kekuatan hukumnya tidak mengikat dan memaksa, karena fatwa dalam konteks hukum Indonesia merupakan aturan yang bebas untuk ditaati atau tidak. Bagaimanapun, jaminan akan kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha berbasis syariah adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditunda lagi.
Payung hukum berupa undang-undang sangat dibutuhkan sebagai pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Progresifitas ekonomi syariah sangat tergantung pada perundang-undangan yang ada, karena dengan demikian maka legalitas ekonomi syariah bukan lagi menjadi persoalan yang menghambat kemajuan ekonomi syariah selama ini.

6.01.2009

akad (perikatan) dalam hukum perdata

Akad atau perikatan dalam ekonomi syariah tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Perikatan pada dasarnya terdiri atas dua, yaitu perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang.
Perikatan merupakan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut. Setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, juga karena ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa unsur yang termuat dalam perikatan, yaitu:
a. Perikatan merupakan suatu hubungan hukum;
b. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua orang (pihak) atau lebih;
c. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;
d. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak atau lebih, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) pasal 1233 yang menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan ketentuan pasal 1313 KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”

Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh dua pihak atau lebih melahirkan perikatan tertentu (perikatan yang lahir dari perjanjian).
a. Asas-asas umum dalam perjanjian
Dalam perjanjian, termuat beberapa asas yang menjadi landasan suatu perjanjian. Asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak dalam melakukan suatu perjanjian, sehingga perjanjian yang dibuat memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian.
KUHPdt menetapkan beberapa asas dalam perjanjian sebagai koridor bagi para pihak yang membuat perjanjian hingga menjadi suatu perikatan yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Asas-asas dalam perjanjian tersebut adalah:
1) Asas personalia
Asas personalia dapat ditemukan dalam ketentuan dalam ketentuan pasal 1315 KUHPdt:
“Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”

Berdasar rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian yang dibuat oleh seseorang sebagai subjek hukum hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Secara spesifik, ketentuan tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi untuk bertindak atas namanya sendiri.
Bila merujuk pada ketentuan dalam pasal 1315 KUHPdt tersebut, maka kewenangan bertindak seseorang sebagai individu dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:
a) Untuk dan atas namanya serta bagi kepentingan dirinya sendiri.
b) Sebagai wakil dari pihak tertentu, yang dapat dibedakan dalam:
1) Merupakan suatu badan hukum dimana orang per orang tersebut bertindak dalam kapasitasnya selaku yang berhak dan berwenang untuk mengikat badan hukum tersebut dengan pihak ketiga.
2) Merupakan perwakilan yang ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaan orang tua, wali dari anak dibawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit.
c) Sebagai kuasa dari orang atau pihak yang memberikan kuasa.
2) Asas konsensualitas
Substansi asas konsensualitas adalah pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua pihak atau lebih telah mengikat dan karena itu melahirkan kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut setelah para pihak mencapai kesepakatan. Berdasar asas ini, perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Ketentuan mengenai asas konsensualitas terdapat pasal 1320 KUHPdt yang menyatakan:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c) Suatu pokok persoalan tertentu;
d) Suatu sebab yang tidak terlarang.”

3) Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengatur ketentuan bahwa pada dasarnya para pihak dapat membuat perjanjian atau kesepakatan yang melahirkan kewajiban apa saja sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan pasal 1337 menyebutkan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Perjanjian yang dilarang adalah perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang atau kesusilaan.
4) Perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pacta Sunt Servande)
Asas ini diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPdt yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Berdasar ketentuan tersebut, maka dapat dipahami bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sadar dan berdasar atas kesepakatan masing-masing pihak merupakan undang-undang (peraturan) yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian tersebut.
b. Unsur-unsur dalam perjanjian
Perjanjian yang dibuat sebagai suatu kesepakatan yang mengikat masing-masing pihak yang membuat perjanjian memiliki unsur-unsur tertentu. Unsur-unsur pada suatu perjanjian merupakan penopang bagi suatu perjanjian sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Unsur-unsur dalam perjanjian adalah:
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia dalam perjanjian mencakup ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur esensiali ini umumnya digunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari suatu perjanjian.
2) Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian setelah unsur esensial diketahui secara pasti. Sebagai contoh, dalam perjanjian yang mengandung unsur esensial jual beli akan mendapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat barang atau jasa yang tersembunyi.
3) Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakikatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak, misalnya dalam jual beli, ada ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan benda yang dijual atau dibeli