7.29.2010

SEJARAH HUKUM (Rekonstruksi Sistemik Menuju Supremasi Hukum)

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAHASISWA PS MH PASCASARJANA UMI MAKASSAR
PENELITI PADA LPH VRIJSPRAAK

A. Pendahuluan

Menapaki jejak sejarah tentang eksistensi hukum akan membawa kita pada satu kesimpulan dasar bahwa hukum merupakan ranah yang maha luas nan kompleks. Hukum kemudian tidak dipandang sebagai realitas tunggal, melainkan berkaitan dan berinteraksi satu sama lain dengan subsistem-subsistem sosial. Kedirian hukum tidak akan terlepas dari karakter dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat tempat dimana hukum itu berada. Pada konteks pemikiran a quo, sejarah hukum kemudian menjadi penting artinya, terutama untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum, aspek-aspek yang mempengaruhinya, dan peranan hukum dalam jagad ketertiban.
Sejarah hukum merupakan bidang studi yang mengkaji bagaimana hukum tumbuh, berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual .
Sebagai sebuah disiplin ilmu, sejarah hukum sejatinya mengkaji fakta-fakta sejarah tentang hukum pada masa lampau serta keterkaitannya dengan fakta hukum kontemporer serta proyeksi hukum masa depan (future of law). Ini pulalah yang dikemukakan oleh Soedjono D . bahwa Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa studi historisitas atas hukum sejatinya bersifat interdisipliner. Karenanya, Sejarah Hukum menggunakan berbagai macam pendekatan sekaligus, termasuk di dalamnya, pendekatan sosiologis, antropologis, dan positivistis .
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar yang dapat dijawab oleh Sejarah Hukum, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga hukum dan bagaimana proses pembentukannya?
2. Faktor-faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan suatu lembaga hukum?
3. Bagaimanakah proses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil dari sistem hukum asing?
4. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama? Apakah terjadi perubahan fungsi dan apa penyebabnya? Apakah perubahan a quo bersifat formal atau informal?
5. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan suatu lembaga hukum ditiadakan?
6. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu?
Ungkapan Satjipto tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa studi kesejarahan mengenai hukum akan bermuara pada tiga konstruk tanya, yaitu apa, mengapa, dan bagaimana suatu fakta hukum sebagaimana adanya. Artinya, Sejarah Hukum coba mengurai sekalian dinamika yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum, misalnya pembentukan suatu aturan perundang-undangan, pembentukan lembaga hukum tertentu, serta terbentuknya suatu kultur hukum dalam masyarakat. Pada tataran yang lebih kompleks, Sejarah Hukum juga melihat sejauh mana efektifitas suatu hukum, apa penyebabnya, dan bagaimana implementasinya di masyarakat.
Penulis teringat dengan seruan Thibaut agar Jerman mengadaptasi Code Napoleon Prancis dalam kitab undang-undang hukum perdata mereka. Seruan ini kemudian mendapat kritikan dan pertentangan luas di kalangan masyarakat Jerman, khususnya para penstudi hukum saat itu, termasuk di dalamnya Friederich Karl von Savigny. Seruan Thibaut tersebut dinilai bertentangan secara diametral dengan semangat Aufklarung (nasionalisme bangsa Jerman) yang saat itu sedang membara untuk bangkit dari keterpurukan akibat masa lalu. Savigny menganggap seruan Thibaut tersebut mencederai jiwa rakyat Jerman, karena sejatinya, menurut Savigny, jiwa rakyat Jerman berbeda dengan di Prancis sehingga hukum Jerman berbeda dengan hukum yang ada di Prancis. Inilah yang melatari lahirnya mazhab Sejarah Hukum yang dipelopori Savigny; bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang di dalam masyarakat (jiwa rakyat) . Ajaran Savigny ini kemudian memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan studi-studi hukum lanjutan; bahwa rakyat dengan sekalian nilai yang hidup di dalamnya harus mendapat perhatian lebih, karena itulah yang menjadi elemen mendasar bagi pembentukan dan pengimplementasian suatu hukum.
Sebagai sebuah perbandingan, penulis coba mengungkap kembali latar belakang dibentuknya KPK. KPK dibentuk karena didasari beberapa alasan. Alasan utamanya adalah karena lembaga-lembaga hukum yang ada saat itu (Kepolisian dan Kejaksaaan) ternyata tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan pemberantasan korupsi secara tuntas dan menyelamatkan uang Negara dari pengemplang-pengemplang yang tidak bertanggung jawab. Tercetus ide untuk membentuk suatu komisi independen dengan kekuatan luar biasa untuk memberantas korupsi yang telah mengakar secara sistemik. Inilai yang kemudian dikenal KPK. Seiring perjalanannya, KPK ternyata juga mendapat masalah, terutama upaya pelemahan secara sistematis oleh kekuatan-kekuatan luar (external authority) yang tidak senang dengan kinerja dan sepak terjang KPK. Inilah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, baik di masyarakat awam maupun bagi kalangan penstudi hukum. Hal tersebut dapat terjawab dengan menelusuri aspek kesejarahannya yang kemudian memberikan suatu gambaran secara utuh serta proyeksi futuristik mengenai bagaimana menjadikan KPK sebagai lembaga pengawal penegakan hukum; pengawal demokrasi, bagaimana KPK dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang begitu besar akan tuntasnya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Gambaran demikian agaknya cukup memberikan pemahaman bahwa studi kesejarahan terhadap dinamika hukum sangat signifikan artinya, terutama untuk mengurai permasalahan-permasalahan mendasar, penyebabnya, serta upaya penanganan efektif yang mungkin dapat diambil. Sejarah Hukum sejatinya dapat menjadi patron bagi penstudi-penstudi hukum guna merumuskan kembali idealitas sistem hukum nasional kita menuju pembaharuan hukum secara komprehensif.

B. Hukum dalam Lintasan Sejarah

Diskursus tentang hukum tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sejarah yang menguak dinamika hukum. Ini dapat dimaklumi, karena pada dasarnya, perkembangan pemikiran dan pemahaman mengenai hukum merupakan sesuatu yang sifatnya berkelanjutan dan saling terhubung antara satu dengan lainnya (interlinked paradigm of law). Pemikiran hukum primordial yang awalnya hanya menyentuh dimensi-dimensi abstrak perlahan mulai mengalami pergeseran ke dimensi-dimensi empiris dan praktis dari hukum itu sendiri, misalnya aturan hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1. Pemikiran hukum: diferensiasi dan unifikasi
Berbicara mengenai pemikiran hukum, tidak akan terlepas dari apa yang telah digagas oleh penstudi-penstudi hukum terdahulu, yang, suka atau tidak, telah berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan studi-studi kritis tentang hukum. Bergerak ke belakang, ke beberapa ratus tahun yang lalu, kita berjumpa dengan aliran hukum alam yang melihat hukum sebagai sebuah fenomena “kodrat”, dalam arti bahwa hukum itu berasal dari Tuhan dengan sekalian turunannya, termasuk keadilan. Hukum sebagaimana adanya, memiliki sifat universal yang melingkupi sekalian dimensi kehidupan manusia. Hukum alam menempatkan hukum pada kedudukannya yang tertinggi sehingga hukum tidak dilihat sebagai sekumpulan aturan-aturan positif, melainkan sebagai meta aturan (abstrak) yang melekat dalam penciptaan kehidupan.
Dari hukum alam, pemikiran sedikit bergerak ke arah yang lebih positivistik. Beberapa tokoh utamanya antara lain John Austin (Analytical Jurisprudence) dan Hans Kelsen (Pure Legal Theory/Reine Rechts Lehre). Pada ranah ini, pemikiran akan kodifikasi peraturan-peraturan, nilai, dan norma ke dalam satu kitab perundang-undangan mulai bermunculan. Katalisnya adalah pandangan positivisme sosiologis Auguste Comte yang mengajarkan perlunya pembuktian secara positif terhadap argumentasi-argumentasi yang akan dijadikan sebagai preferensi dalam mengambil tindakan-tindakan tertentu. Pandangan Comte ini yang kemudian mempengaruhi alam berpikir sebagian penstudi hukum untuk mulai mem-positif-kan aturan-aturan, nilai, dan norma yang hidup di masyarakat ke dalam undang-undang. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum di masyarakat sebagai imbas dari perkembangan masyarakat yang kian cepat dan kompleks, sehingga membutuhkan pengaturan (regulasi) yang lebih terorganisir dan menjamin kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing warga negara .
Sebagai reaksi atas pandangan positivistik tersebut, Savigny muncul dengan gagasan volkgeist-nya yang mengkritik habis positivisme hukum. Menurutnya, positivisme telah mencederai nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat karena banyak peraturan yang termaktub di dalamnya tidak mencerminkan kehendak masyarakat, bahkan bertentangan secara diametral. Deviasi demikian yang dianggap Savigny sebagai “kecelakaan” dalam hukum, karena dengan sengaja telah mengangkangi jiwa rakyat. Karenanya, Savigny menawarkan suatu paradigma yang dinamakannya “Mazhab Sejarah”, yaitu suatu pandangan yang melihat hukum sebagai entitas organis. Hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang di masyarakat .
Pandangan Savigny boleh jadi merupakan gagasan yang revolusioner pada saat itu di tengah euforia positivisme. Gagasan Savigny menyadarkan betapa pentingnya kedudukan rakyat dalam hukum karena sejatinya rakyat lah pemegang kedaulatan hukum tertinggi. Namun, gagasan ini mendapat pertentangan dari sebagian pemikir hukum lainnya, karena Savigny mengabaikan pentingnya undang-undang sebagai instrument utama dalam penegakan hukum. Penulis agaknya sepakat dengan sebagian muatan kritik atas pengabaian undang-undang tersebut karena bagaimanapun, eksistensi undang-undang tidak terbantahkan dalam penegakan hukum, salah satunya karena menjamin kepastian undang-undang dan menjadi landasan bagi tindakan-tindakan hukum yang diambil oleh aparat.
Pada beberapa dekade terakhir, pandangan tentang hukum bergerak ke ranah yang lebih progresif dan inklusif, yaitu melihat hukum secara lebih komprehensif. Hukum juga coba dikaji dari sudut pendang berbeda yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadikan hukum lebih manusiawi, tidak sekedar entitas mekanistik yang mengalir berdasar alur berpikir yang logis dan tertutup (closed logical system). Penulis mengambil contoh di Amerika Serikat yang pada 1970-an muncul aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang salah satu pelopornya adalah Roberto M. Unger. Aliran ini mengkritik secara tajam pemikiran-pemikiran hukum yang hanya melihat hukum secara artifisial. Critical Legal Studies ingin menempatkan hukum sebagaimana adanya, dalam arti bahwa mengkaji hukum tidak dapat dilepaskan dari anasir-anasir non yuridis yang senantiasa melingkupinya. Pemahaman yang baik mengenai hukum dibangun dari kesatuan sekalian unsur-unsur yang melekat dan terkait dengan dinamika hukum itu sendiri. Sebagai contoh, masalah pemberantasan korupsi tidak dapat dikaji secara tuntas bila tidak berusaha memahami kultur dan dinamika sosial yang melingkupinya. Korupsi bukanlah fenomena hukum belaka, melainkan sebagai fenomena sistemik yang saling bertalian dengan aspek lainnya, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Selain Critical Legal Studies, paradigma-paradigma kontemporer antara lain Feminisme Hukum, Semiotika Hukum, dan Hukum Progresif. Fenimisme Hukum lebih menekankan pada aspek peran gender dalam sistem dan penegakan hukum. Hukum yang selama ini dianggap terlalu bercirikan maskulin telah menerabas aspek feminitas hukum itu. Peran perempuan dalam pembentukan dan penegakan hukum dianggap belum signifikan, sehingga perlu semacam kerja “rekonstruksi” untuk mengakomodir hal tersebut. Berbeda dengan Feminisme Hukum, Semiotika Hukum lebih menekankan pengkajiannya pada “otoritas teks” undang-undang. Teks dipandang memiliki dunia pemaknaan yang kompleks dengan konfigurasi esoteristik. Teks undang-undang seringkali ditafsirkan secara atbitratif karena substansinya yang abstrak. Kata “Melawan Hukum” misalnya, dapat ditafsirkan dalam berbagai derivasi, misalnya melawan atau bertentangan dengan undang-undang, bertentangan dengan asas kepatutan, melanggar hukum agama, dan melanggar norma sosial.
Beragamnya penafsiran atas teks suatu undang-undang tidak hanya disebabkan kekayaan makna teks itu sendiri tetapi juga konteks yang melingkupi teks a quo. Karenanya, melihat teks undang-undang harus memperhatikan muatan substantif dan kontekstualitasnya. Sementara itu, hukum progresif lebih menekankan pada penegakan hukum. Asumsi dasarnya, aparat hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) tidak boleh hanya menjadi “tukang-tukang” dari undang-undang yang mengeja dan menginput materi tekstual ke dalam kasus yang sedang dihadapi. Sikap apriori terhadap “nyawa” dari undang-undang tidak dibenarkan, dan mereka (penegak hukum) sedapat mungkin melakukan penemuan hukum secara progresif. Hukum progresif menekankan pentingnya mencari keadilan, karena sebagaimana adanya, hukum itu ada tetapi masih harus ditemukan meskipun undang-undang telah mengatur hal tersebut.
Diferensiasi paradigma hukum, sebagai disebut di atas, disebabkan oleh cara pandang (perspective) yang berbeda. Sejatinya, perbedaan tersebut dilatari oleh konteks ruang dan waktu para penstudinya. Pun demikian, berbagai pemikiran dengan sudut pandang berbeda agaknya mengalami semacam pendekatan (unifikasi), dimana teori-teori terbaru coba merangkum substansi dari teori-teori primordial untuk melahirkan suatu sintesa baru yang lebih komprehensif. Werner Mensky misalnya, mengajukan suatu gagasan baru tentang paradigma hukum. Menurutnya, mengkaji hukum tidak boleh sekedar sebagai pengkajian normative, melainkan juga harus melihat konteks hukum tersebut (penduduk, kondisi geografis, budaya, dan tata nilai) atau dikenal dengan kajian kontekstual. Mensky kemudian mengusulkan suatu jargon baru yaitu “The Triangular Concept of Legal Pluralism”. Sebagai diurai sebelumnya, Mensky sangat menekankan pentingnya mengkaji dan memahami hukum secara kontekstual, karena bagaimanapun, budaya, penduduk, dan tata nilai di tiap negara berbeda yang menyebabkan hukum yang dianut pun berbeda. Mensky sangat menentang pemikiran-pemikiran yang mengabaikan aspek kontekstual tersebut karena hasil pengkajiannya sangat artifisial dan tidak menyentuh substansi hukum itu sendiri.
Inilah kemudian yang penulis sebagai gejala “kesejarahan” berupa unifikasi atau penyatuan teori-teori primordial ke dalam teori baru yang lebih komprehensif, akseptabel, dan responsif. Unifikasi ini pada akhirnya mengantar, baik penstudi hukum maupun masyarakat awam untuk melihat hukum secara utuh dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran hukum di masyarakat. Pun demikian, penulis tidak menampik adanya diferensiasi massif terhadap teori-teori baru yang lahir kemudian sebagai sebuah gejala “kompartementalisasi” , khususnya dalam pengkajian hukum praktis.
2. Tata hukum dalam potret sejarah
Dalam kerangka berpikir kita, kita mungkin sepakat bahwa pada dasarnya, potret tata hukum sejak zaman purba hingga zaman modern-positivistik mengikuti suatu postulat sederhana, yaitu dari tata hukum tradisional (non positivistik, kebiasaan-kebiasaan) yang arbiter (arbitrary) menuju tata hukum yang positivistik atau sarat dengan keteraturan (ordered). Dalam tata hukum tradisional, keberadaan peraturan tertulis (perundang-undangan) masih belum terpikirkan atau belum dianggap penting. Dalam kajian antropologis, hal ini disebabkan pola kehidupan masyarakat masih sederhana dan dijalankan atas dasar kesamaan visi dan kepatuhan secara ketat terhadap aturan-aturan (nilai) yang telah disepakati bersama. Karenanya, mereka juga tidak membutuhkan institusi peradilan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi.
Tata hukum modern yang cenderung positivistik sangat concern dengan kodifikasi dan jargon “kepastian hukum”. Positivisme, dengan sekalian doktrinnya, tidak mengakui hukum yang tidak tertulis. Hanya undang-undang yang memiliki legalitas dan legitimasi dan wajib ditaati masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari kenyataan bahwa dinamika kehidupan masyarakat berkembang sangat cepat dan kian kompleks hingga membutuhkan aturan-aturan secara tertulis untuk menciptakan ketertiban. Memang, dan harus diakui, di zaman yang kian maju dengan kompleksitas masyarakat yang demikian membutuhkan pengaturan secara lebih sistematis (rigid) untuk menciptakan suasana tertib.

C. Hukum Visioner: Gagasan Rekonstruktif

Hukum nasional kini menunjukkan rupa yang hampir dapat dikatakan terburuk sepanjang sejarah. Beberapa alasan yang mendukung asumsi ini antara lain integritas lembaga peradilan yang mengalami degradasi hingga pada tingkat yang sangat memprihatinkan, fenomena makelar kasus (markus) yang menggerogoti sekalian proses hukum, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di persidangan. Keprihatinan demikian salah satunya mengusik penulis untuk memikirkan akar permasalahannya dan coba membuat sebuah sintesis baru mengenai hukum itu sendiri; sebuah sintesis yang berusaha melihat hukum secara komprehensif dan menggerakkan hukum untuk memiliki daya luar biasa dalam memainkan perannya sebagai panglima dalam kehidupan masyarakat.
Hukum visioner merupakan konsep yang coba dibangun penulis berdasar pada beberapa argumentasi dasar. Pertama, konsep atau teori hukum selama ini masih partikularis, dalam arti bahwa tidak mampu melihat segenap aspek yang berpengaruh dan menjadi determinan dalam sistem hukum nasional. Teori yang ada tidak dapat melepaskan diri dari status quo latar belakang pencetusnya dan bahkan cenderung bersifat eksklusif.
Kedua, aturan-aturan hukum yang dibuat dan dijalankan selama ini belum menunjukkan apresiasi tertinggi terhadap nilai-nilai humanistik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pemberian kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk memberikan apresiasi dan masukan terhadap peraturan perundang-undangan baru yang akan dibuat. Masyarakat seakan hanya dijadikan sebagai objek tak bertuan dari undang-undang itu sendiri. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk melaksanakan undang-undang tersebut tanpa proses kritis dan tanpa disertai penyadaran secara mendalam terhadap setiap butir aturan dalam perundang-undangan tersebut.
Ketiga, konsep penegakan hukum yang cenderung mekanistik dalam aplikasi nya, sadar atau tidak, telah mematikan potensi-potensi psikologis manusia, baik intelektual, emosional, maupun spiritualitas. Ambil contoh di kepolisian, penentuan suatu kejadian telah memenuhi unsur pidana atau tidak, dapat dikerjakan melalui suatu perangkat lunak (software). Hanya dengan meng-input beberapa data, maka akan keluar hasil analisis “komputer” apakah kejadian ini sudah memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Ini jelas “kebrutalan intelektual” karena telah membunuh kreatifitas dan daya analisis penyelidik maupun penyidik sekaligus melupakan suatu keniscayaan bahwa masing-masing kejadian atau kasus memiliki keunikannya tersendiri yang cenderung esoterik, dan hal ini sama sekali tidak dapt diungkap oleh “intelektualitas” perangkat lunak tadi. Karenanya, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang, sejatinya, tidak bersalah kemudian divonis bersalah oleh pengadilan hanya karena perangkat lunak tersebut.
Keempat, satu aspek yang sering terlupakan adalah aspek psikologis yang senantiasa melekat dalam setiap gerak penegakan hukum. Penegak hukum yang baik adalah penegak hukum yang memahami, tidak hanya kondisi psikologisnya, melainkan juga individu sebagai subjek hukum yang dianggapnya melakukan pelanggaran. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, banyak penegak hukum yang cenderung menegakkan hukum dengan cara represif tanpa berusaha menggali lebih dalam mengapa seseorang melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, proses edukasi atau pendidikan kepada masyarakat tentang hukum hanya dijalankan secara “serampangan” dalam arti bahwa penegak hukum tidak mendidik masyarakat secara elegan, tidak berusaha menyentuh nurani masyarakat dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dan argumentatif. Penegak hukum, tidak semuanya, hanya berdiri pada landasan mekanistiknya yang melihat fungsinya hanya sebagai penindak terhadap setiap bentuk pelanggaran, bukan sebagai “pendidik” masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk mengetahui, memahami, menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam aturan, serta menjalankan aturan tersebut secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Kelima, teori hukum yang dibangun selama ini hanya berorientasi kekinian. Padahal, jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai perekayasa sosial, maka sejatinya hukum harus selangkah lebih maju dibanding dengan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mengarahkan masyarakatnya pada bentuk kehidupan yang lebih bercirikan keadilan. Hal ini hanya dapat dicapai jika hukum memiliki orientasi yang visioner (futuristik). Hukum harus dapat meneropong kemana arah gerak dinamika sosial dan melakukan suatu perancangan atas asas, norma, maupun kaidah atau aturan hukum yang dapat mengantisipasi segenap perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka jargon “hukum sebagai panglima”, “hukum sebagai kontrol sosial”, dan “hukum sebagai perekayasa sosial” bukan lagi sekedar idealitas belaka, melainkan sebagai konsep empirik yang aplikatif. Inilah substansi dari konsep hukum visioner yang diajukan penulis.
Konsep hukum visioner pada dasarnya dapat diuraikan secara sistematis dalam poin-poin berikut:
1. Perlu ditetapkan asas-asas umum (meta aturan umum) yang dapat menjangkau setiap dinamika yang muncul di masyarakat. Dasar dari pemikiran ini adalah aturan-aturan yang ditetapkan dalam al Qur’an senantiasa tidak lekang oleh perkembangan zaman. Aturan-aturan tersebut bersifat umum dan karenanya, tidak pernah tertinggal oleh zaman, apapun bentuk perubahan itu, aturan-aturan yang ada tetap dapat diberlakukan. Nilai-nilai universalitas agaknya menjadi preferensi utama dalam penetapan asas-asas ini, bahkan tidak menutup kemungkinan, aturan-aturan dalam Islam sebagai termaktub dalam al Qur’an dapat dijadikan sebagai patron.
2. Asas-asas umum tersebut harus diejawantahkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang lebih khusus. Antara asas dan peraturan khusus tidak boleh ada pertentangan. Kembali melihat pada aturan-aturan dalam Islam, aturan-aturan umum dalam al Qur’an terejawantahkan dalam konsep-konsep khusus seperti fiqh, dimana masalah-masalah aktual di masyarakat senantiasa dikembalikan pada al Qur’an lalu melalui suatu ijtihad berusaha ditemukan hukumnya. Ijtihad ini merupakan interaksi antara meta aturan (al Qur’an) dengan potensi-potensi intelektual dan bathiniah para mujtahid untuk melahirkan suatu hukum atas suatu kasus yang secara eksplisit baru terjadi. Hal ini dimungkinkan karena al Qur’an memang merupakan aturan yang universal, sehingga dengan penjelasan yang umum tersebut dapat menjangkau setiap gerak alir dari dinamika sosial kemasyarakatan.
3. Reorientasi konsep penegakan hukum dari represif ke edukatif-elaboratif-represif. Konsep penegakan represif, suka atau tidak, telah menghegemoni sebagian besar aparat hukum kita. Banyak bentuk pelanggaran yang langsung ditindak secara represif, padahal tindak pelanggaran tersebut dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan mengenai mengapa dia melakukan pelanggaran. Ini berlaku untuk pelanggaran-pelanggaran ringan yang tidak harus masuk ke meja pengadilan. Penegak hukum, sejatinya melakukan proses-proses edukatif kepada masyarakat dengan memperhatikan aspek psikologis mereka. Masyarakat harus diberi penyadaran secara psikologis mengenai aturan perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum tidak hanya menjelaskan apa aturannya, tetapi mengapa aturan itu dibuat dan apa manfaat yang akan diperoleh masyarakat. Penulis yakin, dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat, tidaklah sulit untuk mengkomunikasikan suatu aturan dan mendapati masyarakat begitu antusias dalam menyambut dan menjalankan aturan tersebut secara sadar dan dilandasi perasaan tulus. Konsep penyadaran secara psikologis ini berangkat dari pandangan Humanistik sebagai dikemukakan oleh Abraham Maslow; bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya untuk mencapai taraf aktualisasi diri. Pilihan manusia sangat dipengaruhi oleh tata nilai yang dianutnya serta keyakinan-keyakinan yang diperpeganginya. Karenanya, cara terbaik untuk membuat seseorang mematuhi suatu aturan adalah dengan melakukan penyadaran intelektual sehingga nilai-nilai dalam aturan dpat terinternalisasi dalam konstruk berpikir orang tersebut. Tanpa dipaksa pun, seseorang akan dengan senang hati mematuhi suatu aturan karena nilai dalam aturan tersebut telah terinternalisasi dalam dirinya. Inilah yang menurut H.C Kelman dan L. Pospisil dikategorikan sebagai ketaatan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan yang didasari oleh kesadaran tertinggi individu mengenai suatu aturan; mengenai suatu nilai yang terkandung di dalamnya yang sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang diperpeganginya.

D. Penutup

Berdasar uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sejarah hukum merupakan studi yang sangat penting dalam ilmu hukum, karena memegang peranan penting, terutama dalam mengungkap fakta-fakta penting dalam sejarah hukum, mengurai permasalahan hukum masa kini, dan membuat kerangka ideal hukum ke depan (outlooking the future of law).
2. Dalam konteks sejarah hukum, dapat dipahami bahwa paradigma (pemikiran) tentang hukum mengalami perubahan (diferensiasi dan unifikasi) yang disebabkan oleh perkembangan dinamika masyarakat dan perubahan kebutuhan akan hukum. Ini juga dipengaruhi oleh pencitraan hukum di masyarakat dan harapan tentang hukum yang ideal (ius constituendum). Begitupun dengan tata hukum, dari hukum yang tradisional (tidak tertulis) ke hukum modern yang positivistik dipengaruhi hal-hal tersebut di atas.
3. Hukum visioner Hukum visioner merupakan sebuah gagasan yang lahir dari keprihatinan atas kondisi ber-hukum kita di Indonesia. Konsep ini pada dasarnya lahir untuk memberikan suatu perspektif baru dalam teori hukum; bahwa hukum tidak hanya melihat dirinya dalam teropong masa lalu dan masa kini, tetapi lebih dari itu, hukum harus melihat dirinya dri teropong masa depan, karena hanya dengan cara itulah, fungsi hukum sebagai perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat berjalan dengan baik dan tidak berakhir sebagai apologi belaka.








Catatan Akhir

http://www.id.wikipedia.org/sejarah_hukum

Rabiatul Syahriah. 2004. Sejarah Hukum Mengungkapkan Fakta Hukum Masa Lampau dalam Hubungannya dengan Fakta Hukum Masa Kini. USU Digital Library.

Satjipto Rahardjo. 1991.

Ibid.

Konsep Savigny mengenai “jiwa rakyat” dikenal dengan jargon “volksgeist”. Volksgeist dalam pandangan Savigny ini bersifat organis, artinya dia ditemukan (tumbuh secara alamiah di masyarakat), tidak dibuat karena sejatinya memang jiwa itu ada, melekat, tumbuh, berkembang, dan mati bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke ). Lihat Otje Salman. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan dinamika masalah. Bandung: Refika Aditama, h. 44.

Kepastian hukum belakangan banyak mendapat perhatian, terutama mengenai apa hakikat kepastian hukum itu sendiri? Satjipto Rahardjo pernah menuturkan bahwa kepastian hukum yang selama ini dipahami sebagian akademisi maupun praktisi hukum bukanlah kepastian hukum melainkan kepastian undang-undang. Pasalnya, dalih kepastian hukum yang didasarkan pada pandangan kesesuaian antara aturan hukum (rule of law) dengan penerapan hukumnya, dengan tidak melihat dinamika yang ada di dalamnya (Lihat Satjipto Rahardjo. 2008. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis atas Pergulatan Manusia dengan Hukum. Jakarta: Kompas Gramedia). Ini jelas pandangan keliru, karena hukum sejatinya bukan hanya yang termaktub dalam undang, melainkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Apa jadinya ketika aturan dalam perundang-undangan bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai di masyarakat? Maka friksi dan pergolakan yang akan terjadi, terlebih jika penerapan aturan tersebut dibingkai dengan “pemaksaan” terhadap masyarakat (pencari keadilan). Karenanya, kepastian hukum bukanlah sesuatu yang instan, spontan, atau mekanis, melainkan sebagai entitas yang “organis” yang dinamis dan mengalami tahapan-tahapan perkembangan hingga mencapai suatu tingkat kematangan tertentu. Inilah kepastian hukum yang sesungguhnya yang lahir dari proses secara sadar untuk menemukan dan menggali sekalian aturan dan norma serta melaksanakannya secara inklusif yang dilandasi atas kesadaran intelektual dan moral.

Paradigma yang dekat dengan Mazhab Sejarah adalah Mazhab Kebudayaan sebagai digagas oleh Sir Henry Maine. Mazhab ini juga menekankan pada pentingnya peranan budaya di masyarakat sebagai basis pembentukan dan penegakan hukum. Hukum harus selaras dengan budaya masyarakat dan karenanya hukum yang ada senantiasa mengalir mengikuti alur perkembangan budaya di masyarakat. Tegasnya, budaya memiliki arti penting dalam membentuk karakter hukum suatu masyarakat.
Kompartementalisasi adalah suatu gejala terbaginya sesuatu ke dalam unit-unit yang lebih kecil dan membentuk sistemnya masing-masing secara otonom. Dalam konteks filsafat ilmu, kompartementalisasi adalah terbaginya suatu disiplin ilmu induk menjadi beberapa disiplin ilmu turunan yang masing-masing membentuk logika otonom dan cenderung terjebak dalam anarkisme rasional. Masing-masing disiplin membuat semacam bingkai maya yang membentengi dirinya dari intervensi displin ilmu lain meski masih dalam satu induk ilmu.

7.06.2010

Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup(Suatu Kajian dalam Konteks Hukum Visioner)

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAHASISWA PROGRAM STUDI MH PASCASARJANA UMI MAKASSAR


PENANAMAN MODAL DAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pendahuluan


Ekonomi sebagai salah satu distrik kehidupan manusia, pada setiap kesempatan, hampir selalu menjadi headline pembicaraan, baik formal maupun nonformal. Setiap kali ada diskursus, aspek ekonomi nyaris tidak pernah absen dalam mewarnai setiap dinamikanya, bahkan, hukum sekalipun tidak sanggup melepaskan anasir ekonomi dalam sekalian proses dialektisnya. Inilah kemudian yang mendasari penulis untuk berasumsi bahwa, sekalipun kehidupan ini memiliki sejumlah distrik, namun ekonomi dipandang sebagai salah satu distrik utama yang memiliki pengaruh massif terhadap distrik kehidupan lainnya, bahkan hukum sekalipun.
Konteks demikian mengantar penulis – dan mungkin penstudi hukum lainnya – bahwa asepk ekonomi sangat mungkin dikaji secara linier dengan hukum. Mungkin ini pulalah yang menjadi latar (trigger) bagi munculnya sekalian kajian bertajuk hukum dan ekonomi, terkhusus hukum dan penanaman modal.
Penanaman modal, sebagai disebut terakhir, dalam kajian hukum kontemporer mulai mendapat perhatian luas. Menurut penulis, ada beberapa hal yang mendasarinya. Pertama, penanaman modal sebagai bagian dari dinamika ekonomi dari waktu ke waktu kian kompleks, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, semisal penanaman modal dalam negeri, regional, dan internasional, derivasi yang beragam, mulai dari sektor pertambangan hingga perbankan sampai pada transaksi derivatif nan rumit. Kondisi demikian membutuhkan pengaturan (regulasi) secara signifikan demi menciptakan ketertiban (orde) dan penyelarasan antara berbagai kepentingan yang berbeda.
Kedua, penanaman modal dalam abad modern telah melingkupi kepentingan khalayak, khususnya masalah pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, penanaman modal, salah satu filosofinya adalah perolehan ekonomis yang massif melalui kerja-kerja produktif. Ini tentunya melibatkan banyak individu yang berarti menentukan sebagian dari masa depan mereka. Karenanya, untuk menjamin hal demikian, diperlukan semacam regulasi yang akomodatif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak yang melekat pada individu sekaligus menjaga produktifitas dan profitabilitas pemodal. Inilah yang disebut hukum; suatu konstruk yang lahir dari proses sadar serta berlandaskan pada intelektualitas dan moralitas untuk menciptakan ketertiban dalam jagad penanaman modal.
Ketiga, aspek praksis dari penanaman modal, salah satunya adalah implikasi ekonomis dan ekologis. Diketahui bersama, bahwa penanaman modal, tidak selalu berdampak positif bagi perekonomian suatu negara, tetapi sebaliknya, dapat menjadi katalis bagi kemunduran ekonomi, khususnya pada sektor riil. Di Indonesia misalnya, penanaman modal asing tidak jarang menerabas akses bagi pengusaha kecil menengah untuk mengembangkan usahanya. Kalah dalam kecanggihan teknologi serta kualitas produk menyebabkan mereka menjadi inferior dan kurang memiliki daya saing, baik lokal maupun internasional. Alih-alih memberi lapangan lapangan kerja baru bagi pribumi, penanaman modal asing justru menjelma menjadi penindas dan bahkan menghilangkan lapangan kerja mereka selama ini. Fakta demikian sangat nyata, terutama di bidang pertambangan, dimana penambang-penambang tradisional cenderung tergusur oleh kekuatan pemodal asing. Inilah yang harus disadari; bahwa penanaman modal bukan sekedar urusan ekonomi, melainkan juga merangsek ke wilayah sosial, budaya, dan hukum. Lagi-lagi, hukum menjadi teramat penting untuk, selain untuk menciptakan ketertiban, juga untuk membantu pemenuhan hak-hak masyarakat serta menjamin kepastian terlaksananya kewajiban bagi pemodal untuk tidak apriori dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitar.
Lebih jauh, penanaman modal dalam abad modern sering dikaitkan dengan masalah lingkungan hidup. Bila dilihat keterkaitan keduanya, dapat dikatakan sebagai keterkaitan secara tidak langsung karena penanaman modal pada awalnya hanya sebagai “kerja ekonomis”, namun sengaja atau tidak aktifitas dari penanaman modal itu nyatanya berdampak serius terhadap lingkungan. Terakhir, kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko oleh kilang minyak lepas pantai British Petroleum telah menyebabkan pencemaran parah di laut tersebut dan kian menyebar luas. Presiden Barack Obama mengecam keras musibah tersebut dan menuntut BP untuk menghentikan dampak buruk pencemaran tersebut . Kasus-kasus di dalam negeri seperti Newmont Minahasa, Freeport, Exxon Mobil, dan beberapa kasus pencemaran lainnya kian menguatkan korelasi antara penanaman modal dengan kerusakan lingkungan, terutama jika konsep awal penanaman modal tersebut memang tidak memasukkan penyelamatan lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama operasionalisasinya.

B. Definisi Penanaman Modal

Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia . Reilly & Brown mendefinisikan investasi (penanaman modal). sebagai komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan penghasilan yang mampu mengkompensasikan pengorbanan investor berupa:
1. Keterikatan aset pada waktu tertentu
2. Tingkat inflasi
3. Ketidaktentuan penghasilan dimasa mendatang
Berdasar pengertian tersebut diketahui bahwa penanaman modal memiliki tiga unsur, yaitu modal (fresh money, skill, teknologi, nilai/value), penanam modal (penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri), dan kegiatan usaha (profit oriented). Penanaman modal lebih sering diartikan sebagai penanaman modal dalam bentuk fresh money dan/atau saham atau derivasi surat berharga lainnya. Sementara penulis melihat penanaman modal dalam cakupan yang lebih luas, yaitu penanaman modal yang tidak hanya melingkupi modalitas fisik (money, saham) tetapi juga modalitas nilai, etik, dan social welfare. Artinya, penanaman modal dalam konstruk ideal penulis adalah penanaman modal yang tidak hanya menekankan pada dimensi fisik belaka, tetapi juga dimensi nonfisik (nilai, norma atau tatanan sosial), dan karenanya penulis menyebutnya sebagai penanaman modal inklusif .
Pengertian tentang penanaman modal tersebut mencakup dua jenis penanaman modal, yaitu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal luar negeri. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sementara penanaman modal luar negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri .
Penanaman modal dalam praktiknya di Indonesia mencakup berbagai macam bidang usaha, mulai dari pertambangan, industri manufaktur, jasa, hingga bidang perbankan. Bidang pertambangan merupakan salah satu bidang penanaman modal yang paling banyak diaplikasikan di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional banyak yang mempercayakan dananya diparkir dan diinvestasikan di Indonesia, sebut saja Freeport, Newmont, dan Exxon Mobil.
Dalam UU No. 25 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa penanam modal di Indonesia dapat berupa perorangan maupun badan usaha. Penanam modal asing dapat berupa perorangan maupun badan usaha atau pemerintah asing. Kegiatan penanaman modal, sebagai diatur dalam UU tersebut, memberi akses seluas-luasnya, tidak hanya perorangan, tetepi juga badan hukum, untuk menanamkan modalnya dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kemajuan ekonomi nasional, baik makro maupun mikro. Inilah sesungguhnya idealitas dan filosofi penanaman modal Indonesia; bahwa penanaman modal bukan hanya masalah perolehan keuntungan secara signifikan, tetapi juga pada pemberdayaan dan peningkatan ekonomi nasional, penanaman modal justru jangan dijadikan sebagai aksi ambil untung (profit taking) semata, alih-alih peningkatan ekonomi nasional, justru kemerosotan yang terjadi.

C. Penanaman Modal dalam Konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia

Sejatinya, penanaman modal yang dicanangkan pemerintah diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Penanaman modal (investment) diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan potensi-potensi ekonomis dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara berkembang, Indonesia memang membutuhkan stimulus investasi untuk mempercepat laju perekonomian negara. Investasi, baik domestik maupun asing, diarahkan agar semaksimal mungkin meningkatkan partisipasi masyarakat pribumi dalam kegiatan ekonomi. Penanaman modal pada dasarnya diarahkan untuk menjadi jembatan bagi kelanjutan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi berkelanjutan didasarkan pada demokrasi ekonomi yang menekankan pada pemerataan faktor-faktor produksi serta keadilan dalam distribusi pendapatan . Inilah yang menjadi amanat UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Bahwa untuk mencapai hal tersebut, pemerintah kemudian menjadikan penanaman modal sebagai salah satu instrumen dasarnya. Inilah filosofi penanaman modal yang diterapkan di Indonesia.
Kebijakan penanaman modal di Indonesia memiliki landasan operasional yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN, ditetapkan bahwa penanaman modal dimungkinkan pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan tertentu. Penanaman modal asing sebagai salah satu bentuk penanaman modal di Indonesia diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangkan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa pembahasan mengenai penanaman modal akan selalu dikaitkan dengan pembangunan dan rencana pembangunan ekonomi (economic planning) Indonesia, karenan sejatinya penanaman modal memang merupakan salah satu faktor dalam pembangunan ekonomi nasional .
Setiap negara pada dasarnya selalu berusaha meningkatkan pembangunan ekonominya, termasuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya. Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri . Dalam rangka mewujudkan idealitas tersebut, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri.
Masuknya modal asing dalam tata perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan, baik ekonomi maupun politik. Alternatif penghimpunan dana pembangunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung dipandang jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar negeri. Filosofi demikian yang diperpegangi hingga kini sehingga penanaman modal dijadikan sebagai salah satu pilihan utama untuk menstimulasi pembangunan ekonomi nasional.
Penanaman modal asing sebagai salah satu bentuk penanaman modal di Indonesia memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut adalah:
1. Merupakan kegiatan menanam modal
2. Untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
3. Dilakukan oleh penanam modal asing,
4. Menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri .
Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam berbagai cara. Hal ini diatur dalam Pasal 5 angka (3) UU No. 25 Tahun 2007, yaitu:
1. Mengambil bagian saham pada saat pendirian Perseroan Terbatas,
2. Membeli saham, dan
3. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan yang didalamnya terdapat Modal Asing, tanpa melihat batasan jumlah modal tersebut dapat dikategorikan sebagai PMA. Sebagai contoh, sebuah perusahaan lokal (PT ABC) menjual 45% sahamnya dalam rangka penambahan modal. Selanjutnya sebuah perusahaan asing (XYZ Co. Ltd) bermaksud membeli saham tersebut. Maka setelah beralihnya saham tersebut kepada XYZ Co. Ltd, PT. ABC akan berubah menjadi PT PMA setelah melalui prosedur tertentu.
Dalam GBHN, ditetapkan bahwa kebijakan dan pengelolaan penanaman modal, khususnya PMA ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang diwujudkan dalam suatu instumen kebijakan, yaitu perundang-undangan. Kebijakan PMA masih diperlukan dalam pembangunan pada berbagai bidang, khususnya pada produksi barang dan jasa, dan mendorong alih teknologi untuk memperkuat basis ekonomi nasional .
Kebijakan pemerintah terhadap penanaman modal asing dari waktu ke waktu mengalami pasang surut, dalam arti bahwa kebijakan yang dibuat kadang dibuat ketat dan kadang dibuat selonggar mungkin, tentunya diringi dengan berbagai alasan. Keadaan tersebut tergambar dari berbagai fakta, misalnya kebijakan pemerintah pada tanggal 22 Januari 1974 yang mensyaratkan kepada setiap penanaman modal asing melakukan usaha berbasis joint venture (patungan) dengan modal nasional. Kebijakan tersebut diikuti dengan penetapan bidang-bidang usaha yang dinyatakan sama sekali tertutup untuk penanaman modal asing, terbuka tetapi tetap harus bekerja sama (patungan) dengan modal nasional .

D. Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup

Kajian penanaman modal dan lingkungan hidup, seperti dijelaskan sebelumnya, dewasa ini mendapat perhatian luas, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat awam. Korelasi antara penanaman modal dengan gejala kerusakan dan degradasi kualitas lingkungan kian kuat seiring dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan yang massif yang “diduga” disebabkan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia memang merupakan gejala sistemik, artinya tidak hanya disebabkan oleh eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab, tetapi juga andil dari pemerintah dan masyarakat. Birokrasi yang “njlimet” ditambah budaya korup pejabat serta kultur masyarakat yang belum maju menjadi setumpuk masalah yang memicu kerusakan lingkungan hidup yang kian parah.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa kegiatan penanaman modal yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi justru memberi dampak buruk terhadap lingkungan? Apakah kebijakan penanaman modal yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan amanat UUD 1945? Apakah arah kebijakan penanaman modal tidak sejalan dengan program pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup?.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diuraikan terlebih dahulu bidang-bidang usaha yang dapat diterapkan penanaman modal. Dalam praktiknya, bidang-bidang usaha yang dapat diterapkan penanaman modal adalah pertanian, kehutanan, kelautan, industri manufaktur, jasa (termasuk perbankan), dan pertambangan . Berdasar hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya, semua bidang usaha ekonomi dapat diterapkan penanaman modal, kecuali yang memang telah ditentukan oleh perundang-undangan sebagai bidang yang tidak boleh dimasuki penanaman modal.
Pasal 22 UU PM mengatur tentang tenggang waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pengaturan tersebut ternyata menimbulkan polemik dalam pelaksanaannya, karena lamanya masa berlaku HGU rentan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, eksploitasi alam di Papua oleh PT. Freeport telah menyebabkan kerusakan alam yang sangat parah, dan bahkan telah meratakan beberapa gunung di sekitar lokasi produksinya. Lamanya masa HGU telah menyebabkan eksploitasi berkepanjangan tanpa adanya fungsi kontrol dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan usaha.
Masalah lamanya tenggang waktu ternyata bukan satu-satunya polemik dalam penanaman modal. Kewenangan pemerintah untuk memperpanjang sekaligus di muka tenggang waktu HGU telah menerabas akses masyarakat untuk turut dalam kegiatan penanaman modal. Dengan ketentuan tersebut, pemerintah, sengaja atau tidak, telah mengabaikan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Perpanjangan masa HGU sekaligus di muka kian mengecilkan fungsi pengawasan. Sejatinya, perpanjangan masa HGU harus didasarkan pada evaluasi pelaksanaan HGU sebelumnya, jika tidak memenuhi syarat operasional yang baik serta pertanggungjawaban terhadap upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Kenyataannya tidak demikian, bahkan ada kesan pemerintah acuh terhadap hal tersebut.
Ini pulalah yang mendasari Diah Astuti, dkk. untuk mengajukan permohonan uji materil Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c UU PM. Sedangkan Daipin, dkk. dalam perkara 22/PUU-V/2007 mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan (3) Pasal 12 ayat (1) dan (3) Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PM .
Menurut MK, dari keseluruhan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, ternyata hanya sebagian ketentuan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan konstitusi. Argumentasi MK terkait dengan sebagian ketentuan tersebut adalah meskipun terhadap Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai—yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu—negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 ayat (4) UU PM. Dengan kata lain, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas negara. Padahal, perusahaan penanaman modal dapat mempersoalkan secara hukum keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Sehingga, bagi MK, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi .
Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berbunyi:
1. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
2. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing,
b. Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan,
c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas,
d. Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara, dan
e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
3. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
4. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Poin 4 merupakan poin terpenting dari uji materil tersebut, karena telah menyentuh jauh ke substansi permasalahan. Bahwa kemudian, korelasi antara penanaman modal dengan lingkungan hidup mendapat legitimasinya. Aktivitas penanaman modal harus dihentikan jika ternyata mengabaikan kelestarian dan kesuburan tanah serta menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah sesungguhnya amanat UUD 1945, bahwa pengelolaan potensi-potensi ekonomi harus senantiasa memperhatikan kelestarian linkungan hidup karena dengan demikian akan menjamin kelangsungan hidup umat manusia.
Ahmad Sodikin, pakar di bidang agraria, menyatakan proses pembangunan itu memakan atau memerlukan tanah yang luas sehingga banyak konversi lahan-lahan subur menjadi lahan-lahan industri dan sebagainya. Dalam hal ini kemudian para pemodal malah diberi kesempatan yang sangat luas, 95 tahun dan sebagainya, ini akan semakin mempertajam perebutan penguasaan pemilikan tanah
Berbeda pendekatan dengan Ahmad Sodikin, Revrisond Baswir memulai penjelasannya dari sejarah. Baswir mengatakan bangsa ini lahir dari satu latar belakang terjajah, oleh karena itu bangsa ini membangun satu struktur perekonomian yang sesuai dengan kepentingan pihak penjajah .
Dalam konteks perdebatan Undang-Undang Penanaman Modal, Bambang M. Fajar berargumen bahwa argumentasi Pemerintah tentang fairness atas Pasal 4 ayat (2) huruf a yang menyatakan: "Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional" adalah tidak relevan, karena fairness harus ditempatkan secara proporsional. Negara ini yang memiliki property rights, tidak selayaknya pemilik memiliki hak yang sama dengan yang menyewa .
Disinilah letak titik singgung antara kebijakan penanaman modal dengan lingkungan hidup. Penanaman modal yang dicanangkan harus mencirikan kesungguhan untuk memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, disebutkan:
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”

Pembangunan nasional yang berkelanjutan sejatinya memadukan segala aspek yang berkaitan di dalamnya, termasuk aspek pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Strategi pembangunan yang salah satunya adalah penanaman modal (asing dan domestik), harus menjadikan pelestarian lingkungan sebagai salah satu agenda utama.
Penanaman modal harus terencana dan sistematis, melingkupi semua aspek yang berkaitan di dalamnya, termasuk aspek sosial, peningkatan kesejahteraan masyarakat, penghargaan terhadap nilai-nilai lokal (kearifan lokal), hukum, dan pelestarian lingkungan hidup. Demikian seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .
Meski telah ada regulasi yang mengatur tentang penanaman modal dan pengelolan dan perlindungan lingkungan hidup, tetapi kenyataan menunjukkan aktivitas penanaman modal di Indonesia sering mengabaikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

E. Hukum Visioner: Meretas Jalan bagi Penanaman Modal yang Berwawasan Lingkungan Hidup

Hukum visioner merupakan konsep yang coba penulis bangun berlandas pada beberapa prinsip dasar, salah satunya adalah prinsip bahwa substansi atau poros dari hukum adalah manusia itu sendiri, karenanya berbicara masalah hukum maka kita akan bersentuhan dengan manusia dengan sekalian dimensi yang melingkupinya.
Hukum visioner menganggap bahwa inti dari penegakan hukum atau tegaknya hukum adalah manusia itu sendiri, karenan sejatinya manusia lah yang membuat, dan menjalankan aturan itu. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Taverne, “berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya akan membuat putusan yang baik”. Inti dari pernyataan Taverne ini adalah bahwa manusia merupakan determinan terpenting bagi tegaknya suatu hukum. Aturan-aturan hukum yang tidak lengkap atau kurang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melahirkan putusan yang bercirikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perundang-undangan, sejatinya adalah entitas mati dan hanya akan berfungsi ketika manusia mendayagunakannya.
Atas dasar asumsi tersebut, hukum visioner berpandangan bahwa untuk mewujudkan penanaman modal yang berwawasan lingkungan hidup dan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi nasional, maka yang harus diperbaiki adalah kualitas manusianya, meskipun aturan juga harus senantiasa di-upgrade. Kualitas manusia dimaksud tidak hanya mencakup skill tetapi juga moralitas. Harus diakui, permasalahan penanaman modal dan lingkungan hidup yang dihadapi selama ini berakar dari kualitas manusia yang buruk. Dekadensi moral, manipulasi, dan kebiasaan-kebiasaan untuk menelikung aturan hukum telah menjadikan penanaman modal sebagai monster yang menakutkan bagi perekonomian nasional dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang kian parah. Bukankah Allah SWT telah menegaskan bahwa penyebab kerusakan lingkungan hidup (di darat dan di laut) disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, sebagai visi ke depan, peningkatan kualitas manusia merupakan agenda wajib yang harus dicanangkan saat ini. Pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pendekatan secara persuasive oleh pemerintah diharapkan dapat menyadarkan manusia bahwa bumi ini menangis menanti kearifan tangan-tangan manusia. Bahkan, lebih jauh, nilai-nilai keagamaan harus diinternalisasikan dalam program-program penanaman modal sehingga lebih berwawasan lingkungan dan bercirikan humanisme.

Catatan Akhir

http://www.tempointeraktif.com/

Pasal 1 angka (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Kata ‘”inklusif” dipahami sebagai kondisi menyeluruh yang menginternalisasikan sekalian dimensi, baik fisik maupun non fisik untuk mencapai ke-paripurna-an dalam pembangunan. Dengan demikian, penanaman modal tidak hanya berorientasi pada profitabilitas usaha (profit oriented) tetapi juga pertanggungjawaban moral atas pelestarian nilai-nilai moral dan etik yang hidup di masyarakat (social responsibility).

Pasal 1 angka (2) dan (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Lihat UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Aminuddin Ilmar. 2007. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ibid.

Inilah agaknya, menurut penulis, imbas dari industrialisasi massal yang secara global mempengaruhi arah kebijakan ekonomi di hampir setiap Negara di dunia. Bahwa kemudian indsutri dianggap sebagai determinan terpenting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan mengingat sangat sulit bagi suatu Negara untuk menomorduakan aspek industri ini. Masih segar dalam ingatan kita betapa industrialisasi yang berawal di Inggris, sebagai dipelopori oleh temuan mesin uap James Watt, telah mengubah cara pandang terhadap proses produksi yang beralih dari produksi skala rumahan menjadi produksi berskala missal. Kapitalisasi pun mencuat seiring dengan patron ekonomi yang bergerak kea rah industrialisasi. Namun, di sisi lain, gejala industrialisasi tersebut tidak sedikit memberi dampak negatif terhadap pemerataan ekonomi di masyarakat karena industrialisasi secara perlahan mulai menciptakan jurang yang kian dalam antara pemodal besar dengan kaum proletar; bahwa si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. Gejala demikian memicu Karl Marx untuk mengkritik habis-habisan konsep pembangunan ekonomi berbasis industrialisasi. Marx menekankan pada pentingnya memperjuangkan nasib kaum proletar yang kian tertindas akibat arus ekonomi global yang menerabas akses rakyat kecil untuk memperjuangkan dan meningkatkan taraf hidupnya. Demikian yang kemudian kita dengan jargon “masyarakat tanpa kelas”; suatu tatanan masyarakat yang “berkeadilan”, menurut Mrax, karena capital (modal) terbagi secara merata di masyarakat hingga mencirikan keadilan ekonomi secara komprehensif.

Lihat Pasal 1 angka (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Aminuddin Ilmar, op. cit.

Kebijakan patungan yang diterapkan pemerintah, hemat penulis dimaksudkan sebagai pelaksanaan fungsi control atas pelaksanaan penanaman modal asing. Dapat dimaklumi, mengingat, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap penjagaan stabilitas ekonomi nasional, pemerintah, paling tidak harus memiliki modal yang ditanamkan dalam aktivitas penanaman modal asing. Ini juga dimaksudkan untuk mengawasi pelaksanaannya, termasuk pembagian devideen agar Negara dan masyarakat dapat merasakan buah dari kegiatan penanaman modal yang telah dilaksanakan.

Aminuddin Ilmar, op. cit.

Ibid.

http://www.tempointeraktif.com/

Ibid.

Pandangan tersebut disampaikan dalam sidang uji materil Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lihat Bambang M. Fajar. 2008. “Perdebatan Seputar Undang-Undang Penanaman Modal” (Online). (http://www.hmi.or.id/, diakses 23 Juni 2010).

Ibid.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka (2)).

5.30.2010

QUO VADIS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA?

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAGISTER HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR

Gaung pemberantasan korupsi telah ditabuh, bahkan sejak Negara Indonesia merdeka. Korupsi menjelma sebagai musuh bersama yang begitu giat menggerogoti sekalian dinamika kehidupan masyarakat; menjadikan masyarakat miskin kian miskin, menyuburkan feodalisme birokrasi, hingga ketidakadilan dalam bidang hukum. Semua itu berakar dari korupsi; perilaku yang tidak hanya berimplikasi dosa, tetapi lebih dari itu, merupakan perbuatan yang “murahan”.

Korupsi adalah musuh bersama, say no to corruption. Ya, itulah salah satu tagline yang sering kita dengar, baik di media cetak maupun elektronik. Semboyan sederhana nan mendalam, mengajak kepada setiap lapisan masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi dan menjadikan korupsi sebagai musuh bersama yang harus diberantas dari jagad kehidupan karena sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, terutama sekali karena menjadikan upaya mensejahterakan masyarakat mandeg.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda nasional yang mendapat perhatian luas dari segenap lapisan masyarakat. Tidak hanya LSM-LSM anti korupsi yang berteriak memperjuangkan pemberantasan korupsi, tetapi juga mahasiswa sebagai kalangan cendekia. Bahkan, masyarakat awam sekalipun memberi perhatian lebih terhadap pemberantasan korupsi ini. Masyarakat, dengan caranya sendiri, mencoba mengamati dan melakukan fungsi pengawalan dan pengawasan terhadap segenap proses hukum bagi mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Inilah yang kemudian mewarnai dinamika pemberantasan korupsi dewasa ini; sebuah gejala ketidakpuasan masyarakat terhadap tindakan hukum bagi mereka yang telah mengemplang uang Negara hingga menyengsarakan bangsa ini.
Korupsi: Sebuah Fenomena Klasik
Korupsi, sejatinya merupakan fenomena klasik dan senantiasa menjadi bagian dari dinamika kehidupan manusia (human lifetime partner). Namun, perlu digarisbawahi, pernyataan tersebut tidak berarti menganggap korupsi sebagai sunnatullah yang tidak dapat ditangkal atau diatasi, melainkan sebagai refleksi keresahan intelektual dan moral terhadap fenomena korupsi yang menerjang sekalian dimensi kehidupan manusia; tidak kenal kalangan atas maupun bawah, kaya miskin, hingga yang beragama sekalipun, banyak yang tidak sanggup melepaskan diri dari jeratan korupsi.
Parahnya, di tengah genta pemberantasan korupsi membahana di seantero negeri, korupsi justru berkamuflase dan semakin produktif dalam menelurkan variabel-variabel dan korban baru dalam praktiknya. Tidak peduli apa statusnya, hingga seorang hakim sekalipun, yang notabene benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi, tidak sanggup mengelak dari buaian korupsi. Gerakan moral yang dicanangkan oleh LSM-LSM antikorupsi maupun masyarakat memang memberikan semacam “pressure” yang massif kepada pemerintah, tetapi hal itu ternyata tidak cukup untuk menjadi dapur pacu bagi pemberantasan korupsi secara signifikan.
Sebagai fenomena klasik, disadari memang, memberantas korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Korupsi menjadi gejala sistemik, dia tidak berdiri sendiri; melibatkan banyak pihak hingga kemudian menjadi gurita yang sulit diberantas. Tidak hanya itu, korupsi juga telah menjadi semacam budaya (nilai) yang terkonstruksi dalam paradigma sebagian masyarakat hingga mempengaruhi perilaku, tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga birokrat. Terbentuknya mental korup inilah yang sesungguhnya menjadi akar permasalahannya yang menjadikan korupsi sangat susah diberantas.
Susno Duadji: The Whistle Blower
Di tengah geliat upaya pemberantasan korupsi, Susno Duadji tiba-tiba booming, muncul dengan sejumlah kejutan yang membuat sebagian kalangan panas telinga, sementara sebagian lagi senang dan tidak segan memberikan dukungan moril secara penuh. Kemunculan Susno dengan kejutan-kejutannya tersebut, perlahan mulai membongkar borok yang selama ini tertutupi atau sengaja ditutupi. Tanpa tedeng aling-aling, Susno berani mendobrak kemapanan dan tembok keras untuk mengungkap sejumlah kasus yang terindikasi korupsi serta Makelar Kasus (markus) yang bersarang di institusi Polri dan Dirjen Pajak.
Susno mungkin paham benar siapa yang dia hadapi, dan karenanya, penulis berpendapat, Susno tidak akan mem-blow up sesuatu tanpa landasan yang kuat, karena konsekuensinya fatal, jika ternyata Susno melakukan pembohongan publik. Fenomena Susno dalam dinamika pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya dapat dipahami dalam beberapa hal. Pertama, sebagai perwira tinggi Polri, tindakan Susno patut diapresiasi, terlepas dari apapun motifnya, karena telah berani membuka sebagian tabir borok institusi yang selama ini rapi diselipkan dibawah meja tanpa diketahui oleh pihak luar. Kedua, Susno membuktikan kepada publik, bahwa masih ada pejabat Negara yang memiliki keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus atau mega skandal yang menggerogoti insitusi-institusi di Negara ini. Susno menciptakan sebuah anomali yang bergerak di alurnya sendiri, keluar dari kebiasaan pejabat-pejabat teras selama ini yang cenderung takut atau tidak memiliki keberanian untuk mengungkap suatu riak kebenaran. Ketiga, pernyataan Susno tentang adanya mafia pajak di Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan kepada kita betapa pengelolaan dan pengawasan pajak selama ini sangat tidak professional dan dipenuhi dengan intrik dan manipulasi yang merugikan, tidak hanya Negara, tetapi juga masyarakat sebagai pihak yang secara langsung membayar dan menjadi objek pemanfaatan (pengelolaan) pajak. Pengemplangan dana pajak dan penyelewenangan dana denda bagi wajib pajak yang mbalelo praktis berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan karena dana pembangunan sebagian berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Mekanisme pengawasan yang selama ini diterapkan di Dirjen Pajak terbukti tidak mampu mencegah atau paling tidak meminimalisir pelanggaran-pelanggaran dan penyelewenangan dana pajak oleh oknum tertentu, seperti pada kasus Gayus Tambunan.
Karenanya, sebagai whistle blower alias peniup peluit dalam pengungkapan makelar kasus pajak, Susno patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya untuk istiqamah dalam jalan yang telah dirintisnya. Susno harus didukung sepenuhnya untuk tidak gentar dalam mengungkap kasus ini, betapa pun beratnya ancaman atau intimidasi yang diterima.
KPK dan Bank Century: Quo Vadis?
Eksistensi KPK dalam menuntaskan kasus Century belakangan kian marak dipertanyakan, tidak hanya pengamat dan praktisi hukum, tetapi juga masyarakat luas. Pasalnya, selain penanganan yang lamban, ada indikasi bargaining yang menyelinap dalam penuntasan kasus ini. Meski masih sebatas asumsi, lambannya penanganan kasus Century oleh KPK sedikit banyak menggerus kepercayaan masyarakat akan kapabilitas dan kredibilitas KPK dalam menuntaskan kasus ini.
Pemberitaan akhir-akhir ini menunjukkan adanya sejumlah keraguan yang begitu besar terhadap KPK hingga muncul seloroh yang mempertanyakan apakah kasus Century akan menguap? Tim Pengawas kasus Century bahkan mempertanyakan keseriusan KPK untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR mengenai sejumlah penyelewengan yang diduga terjadi selama proses merger hingga bail out Bank Century.
Penanganan kasus Bank Century bahkan terancam benar-benar mandeg menyusul pengunduran Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Sepintas memang tampak tidak ada masalah, namun jika melihat dari sudut pandang berbeda, pengunduran ini akan semakin menyulitkan KPK karena SM akan bertugas di Bank Dunia. Bukankah SM masih memiliki kewajiban untuk turut menuntaskan kasus Bank Century ini? Jika SM merasa sebagai negarawan, seharusnya dia tidak serta merta menerima tawaran Bank Dunia tersebut, karena masih harus menyelesaikan masalah besar yang mengaitkan namanya.
Kasus Hakim Muhtadi Asnun: Integritas Hakim Dipertanyakan
Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus, berdasar pemeriksaan oleh komisioner KY mengakui pernah menerima uang sebesar Rp. 50 juta dari Gayus Tambunan. Perbuatan tersebut menurut penilaian KY telah melanggar kode etik profesi hakim yang antara lain mengatur tentang larangan bagi hakim menerima sejumlah hadiah, pemberian, maupun gratifikasi dari pihak-pihak yang berperkara karena dapat mengganggu objektifitas hakim dalam menilai suatu perkara serta menggiring hakim untuk memihak kepada salah satu pihak atau berlaku tidak adil.
Buntut dari kasus Muhtadi ini, KY mengusulkan agar Hakim Muhtadi Asnun dipecat dari jabatannya secara tidak hormat. Usulan KY ini didasarkan pada beberapa bukti yang diperoleh berkaitan dengan keterlibatan Muhtadi dalam skandal vonis bebas Gayus Tambunan. Pemberian vonis bebas kepada Gayus tersebut dinilai penuh dengan intrik dan rekayasa berbalut skandal suap Gayus kepada Ketua Majelis Hakim yang memeriksanya, yaitu Muhtadi Asnun. Usulan dan bukti-bukti yang dimiliki akan segera diajukan KY kepada Majelis Kehormatan Hakim untuk disidangkan.
Apa yang menimpa Hakim Muhtadi tadi, terlepas dari pengakuan tersebut murni atau karena tekanan, perlahan mulai menggerogoti integritas hakim di mata publik. Publik memberikan perhatian lebih terhadap kasus ini, terlebih karena yang terlibat skandal adalah hakim yang notabene adalah the last gater dalam pemberantasan korupsi. Kalau palang pintu terakhir sudah tidak kredibel dan jujur, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Inilah sesungguhnya ironi dalam penegakan hukum kita; bahwa di satu sisi genta pemberantasan korupsi digaungkan sekeras mungkin, sementara di sisi lain, penegak hukum yang sejatinya menjadi tumpuan justru “memble” menghadapi kekuatan ekstra dari koruptor-koruptor yang menjadi aktornya.
Kalau kemudian dikatakan bahwa peradilan di Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi ke arah yang lebih baik, tidak sepenuhnya salah, karena memang di sana sini terdapat beberapa kemajuan. Namun, ketika menyangkut kualitas putusan, dedikasi para hakim, keberpihakan pada keadilan, serta orientasi pada good and clean governance, maka pertanyaan besar pun muncul. Segala transformasi yang terjadi dalam lingkup institusi peradilan seolah tertutup oleh “kebusukan” maha dahsyat yang selama ini tertutupi. Memang, tidak semua hakim menerima suap dan berlaku menyimpang dari aturan, karena masih ada hakim yang memegang teguh idealismenya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi, kenyataan yang menunjukkan bahwa ada sebagian oknum hakim yang menyimpang dari prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan loyalitas pada hukum praktis membuat pemikiran dan pandangan kepada hakim menurun.
Karenanya, integritas hakim dipertanyakan saat ini. Bukankah seseorang yang diangkat menjadi hakim adalah orang-orang pilihan? Adalah mereka yang dianggap mampu dan memiliki kecakapan intelektual dan keluhuran moral untuk memutus perkara dan menentukan hukum suatu peristiwa. Sehingga, adanya kasus demikian, sangatlah wajar menjadikan kita bertanya, masihkah hakim memiliki integritas?
Penutup
Korupsi merupakan masalah yang sistemik, ia tidak berdiri secara sendiri-sendiri, melainkan tercakup dalam suatu pertalian satu sama lain. Korupsi bukanlah perkara satu orang semata, melainkan melibatkan beberapa orang yang memiliki kepentingan strategis di dalamnya. Korupsi merupakan masalah yang luar biasa (extraordinary case) dan karenanya, meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo, membutuhkan cara-cara penanganan yang luar biasa pula. Masalah korupsi sejatinya bukan hanya masalah birokrasi (struktur hukum), tetpai juga masalah kultur (kultur aparat dan kultur masyarakat), termasuk masalah kesadaran hukum yang masih rendah.
Pemberantasan korupsi yang ditunjukkan institusi penegak hukum selama ini masih mengecewakan, bahkan sampai pada satu enigma, quo vadis pemberantasan korupsi? Haruskah rakyat yang turun langsung, dengan logikanya sendiri, mengadili koruptor-koruptor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan rakyat? Biarlah mereka yang menjawab semua.

3.17.2010

POSITIVISME HUKUM: Kodifikasi Hukum dan Polemik Penerapannya

M. NATSIR ASNAWI, SHI

MAHASISWA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR

Kontributor dan Layouter Lembaga Pengkajian Hukum "VRIJSPRAAK"


A. Paradigma Positivisme Hukum

Positivisme hukum lahir pada abad ke-19 di tengah pergulatan teoretisi hukum Eropa. Positivisme hukum lahir sebagai kritik atas paradigma berhukum saat itu yang dianggap terlalu idealis dan tidak mempu memenuhi hasrat kepastian hukum (law certainty) karena mengabaikan aspek kodifikatif dari hukum yang menurutnya merupakan jantung penegakan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Abad ke-19 menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang idealis, semisal paradigma hukum alam. Dinamika masyarakat abad itu menunjukkan suatu kecenderungan karakter berpikir yang semakin kritis dan mengarah ke positivisme kebenaran terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Positivisme hukum menganggap betapa pemikiran hukum a priori telah gagal menghadirkan suatu sintesa berhukum yang baik dan falsifikatif karena berangkat dari penalaran yang buruk (Dias, dalam Satjipto Rahardjo, 1991).
Positivisme sebagai dasar dari positivisme hukum berpangkal pada filsafat Immanuel Kant yang mengaggap bahwa manusia tidak dapat menangkap realitas alam selain dengan ilmu pengetahuan. Munculnya negara modern yang semakin memisahkan domain politik dan hukum secara simultan melahirkan kelas-kelas sosial yang menuntut pengorganisasian secara elegan oleh suatu otoritas yang legitimatif, yaitu hukum (Saifullah, 2007). Disinilah letak dasar pemikiran positivistik; bahwa hukum harus dikodifikasi agar hukum dapat menjalankan fungsi sebagai otoritas yang mengatur dan mensinergikan segenap kelas dan kepentingan sosial di masyarakat serta menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Tokoh penting dalam positivisme hukum adalah John Austin dan Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murni-nya. John Austin, sebagai salah satu perintis mazhab ini mendefinisikan hukum sebagai:
“a rule laid down for the guidance of intelligent being by an intelligent being having power over him”
“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berkuasa atasnya” (Saifullah, 2007; Otje Salman, 2009)

Theo Huijbers (1982) mengemukakan bahwa paradigma positivisme terbagi atas tiga poros pemikiran, yaitu:
1. Positivisme sosiologis, yang memandang hukum sekedar sebagai gejala sosial, sehingga hukum hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru, yaitu Sosiologi.
2. Positivisme yuridis, yang melihat dan mengkaji hukum secara esoteristik, yaitu mempersoalkan pemaknaan hukum sebagai gejala (fenomena) tunggal. Pelopor metode (aliran) ini adalah Rudolf von Jhering.
3. Positivisme umum (ajaran umum), dipelopori oleh Adolf Merkl, Karl Bergbohm, Ernst Bierling, dan John Austin. Termasuk pula dalam aliran ini adalah Hans Kelsen (Reine rechts lehre atau Pure legal theory) dan HLA. Hart dengan neopositivisme.
HLA Hart (Rahardjo, 1991; Achmad Ali, 1996) mengemukakan beberapa pengertian positivisme hukum sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah (that laws are commands of human beings).
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum merupakan sesuatu yang patut dilakukan secara signifikan dan komprehensif. Analisis yang berbeda dengan analisis sosiologis, antropologis, maupun penilaian kritis terhadap hukum.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan dalam secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu serta tidak menjadikan tujuan-tujuan sosial, aspek kebijakan, dan moralitas sebagai patron.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, maupun pengujian karena berkaitan dengan dimensi psikologis yang tidak terukur.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, dan positum (ius constitutum) harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan yang diinginkan (ius constituendum). Menurut Hart, inilah substansi positivisme itu sendiri.
John Austin, sebagai salah satu pilar dari positivisme hukum mengemukakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain dianggap sebagai sumber yang rendah atau lemah (subordinate sources) dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang aturan dari penguasa ada. Sumber-sumber yang lebih rendah tersebut (penulis menyebutnya sebagai sumber inferior), bagi Austin sejatinya tidak dianggap sama sekali oleh Austin karena baginya sumber itu tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Salah satu konsep dasar dari Austin yang juga menjadi episentrum positivisme hukum adalah sifat otonom hukum dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient) (Rahardjo, 1991). Ini mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai entitas yang independen dan adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus dipinggirkan agar tidak mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri, serta menjaga wibawa dan efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga anasir-anasir non hukum dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu (Imran Nating, 2008; Otje Salman, 2009):
1. Perintah
2. Sanksi (sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
3. Kedaulatan
4. Kewajiban
Achmad Ali (1996) mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat (law was the command of the sovereign).
2. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, dengan tidak melihat aspek kebaikan dan keburukannya (aspek moralitas).
3. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan ajaran John Austin. Konsep tersebut terjabarkan sebagai berikut:
a. Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal.
b. Sifat eksternal dari kedaulatan negara tergambar dalam hukum internasional, sedangkan sifat internalnya tergambar dari hukum positif (hukum yang berlaku di negara itu).
c. Pelaksanaan kedaulatan sebagai dimaksud tersebut membutuhkan ketaatan.
d. Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan terhadap faktor eksternal lainnya, misalnya dalam kasus penodongan. Ketaatan terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi (didasarkan pada undang-undang dan diakui secara sah) sementara dalam faktor lain (misalnya penodongan) tidak demikian, melainkan lebih karena ketakutan dan keterpaksaan.
John Austin menyebut ajarannya sebagai positivisme analitik dan menamakannya konsepnya The Imperative School. Konsep ini membagi hukum menjadi dua, yaitu (Saifullah, 2007):
1. Law set by God to men atau hukum yang berasal dari Tuhan dan diperuntukkan bagi manusia.
2. Law set by men to men atau hukum yang diciptakan oleh manusia dan diperuntukkan bagi manusia. Hukum ini terbagi atas:
a. Hukum dalam arti yang sebenarnya (hukum positif, laws properly so called), memiliki empat unsur, yaitu:
1). Perintah
2). Sanksi
3). Kewajiban
4). Kedaulatan
Segala ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus dipisahkan dari konsep moralitas.
b. Hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called), karena tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum; tidak dibuat oleh penguasa. Austin berpendapat bahwa sumber hukum satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi sedangkan sumber yang lain rendah.
Rudolf von Jhering merupakan generasi pelanjut ajaran John Austin. Aksentuasinya pada rasionalitas-utilitarisme hukum. Hukum, selain sebagai peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat, dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, sehingga eksistensi hukum bergantung pada paksaan dan kewenangan memaksa mutlak milik negara (Saifullah, 2007).
Rasionalisasi hukum berlangsung dalam dua tahap, yaitu (Saifullah,2007:
1. Niedere jurisprudence, yaitu teknik hukum dengan penyederhanaan dari kuantitas yang berarti pengurangan jumlah kaidah hukum dengan analisis yuridis, konsentrasi logis, sistematik-yuridis, penentuan terminologidan ekonomi yuridis.
2. Begriffjurisprudence, yaitu teknik penyederhanaan bahan hukum dari segi kualitas yang berarti peningkatan hukum menjadi gagasan dan institusi-institusi.
Konsep von Jhering tentang Rasionalitas-Utilitarianisme menempatkan “kepentingan” sebagai tujuan hukum dengan deskripsi yang menggabungkan pandangan Jeremy Bentham dan John Austin. Von Jhering mengartikan “kepentingan” sebagai upaya yang sistematis dan komprehensif dalam memperoleh kesenangan dan menghindari penderitaan, dan kepentingan individu dijadikan sebagai bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan-tujuan pribadi tersebut dengan kepentingan pribadi lainnya (Saifullah, 2007).
Selain John Austin dan Rudolf von Jhering, tokoh penting yang patut ditelaah ajarannya adalah Hans Kelsen dengan Pure Legal Theory-nya. Bagi Kelsen, sistem hukum merupakan sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat ditemui sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang menjadi puncak dari segala kaidah ini disebut dengan grundnorm (Otje Salman, 2009).
Konsep yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan hukum positif yang berbeda-beda membentuk suatu konsep dasar yang merepresentasikan suatu komunitas hukum. Masalah utama dalam teori umum adalah normah hukum, elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, struktur, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam pluralitas tata hukum. Teori Hukum Murni membedakan secara jelas antara hukum empiris (hukum yang berlaku) dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas ¬super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia (Jimly Ash Shiddieqy & Ali Safa’at, 2006).


B. Kritik atas Positivisme Hukum

Positivisme hukum berangkat dari pandangan awal bahwa hukum harus dikodifikasikan dalam suatu konstruk perundangan untuk memisahkannya dengan norma-norma lainnya sekaligus mencirikan positivisme hukum yang bermuara pada terciptanya kepastian hukum. Kepastian dimaksud adalah adanya keyakinan yang kuat bahwa aturan-aturan yang ditaati serta dijalankan oleh aparatur negara benar-benar sesuai dengan amanat undang-undang, tidak didasarkan pada analisis meta undang-undang, yaitu nilai-nilai abstrak yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat.
Positivisme sejatinya memiliki iktikad baik, terutama dalam mengakomodir perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan sistem hukum yang lebih sistematis dan positivistik. Kepastian hukum menjadi harga mati untuk membangun negara yang mengedepankan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima. Akan tetapi, positivisme mengabaikan dan bahkan menganggap tidak penting norma-norma di luar hukum yang sejatinya hidup dan berkembang di masyarakat. Bahkan, secara diametral, Satjipto Rahardjo (2008) pernah mengemukakan bahwa dalam jagad ketertiban, hukum bukanlah ototritas tunggal yang bermain di dalamnya. Sekalian norma dan nilai yang hidup di masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja perannya dalam menciptakan ketertiban dan “keteraturan” hukum di masyarakat. Beliau mencontohkan Jepang yang hidup dengan prinsip “kokoro” atau “hati nurani”. Hukum kemudian tidak dipandang sebagai otoritas tertinggi, melainkan kesadaran internal dan nurani lah yang dapat menciptakan ketertiban dan kehidupan masyarakat yang bercirikan keadilan. Bahkan, dalam bahasa yang sedikit “nakal”, Satjipto Rahardjo pernah berseloroh, kalau di Jepang tidak ada hukum, maka Jepang akan baik-baik saja, berbeda dengan di Amerika Serikat, bila tidak tidak ada hukum, maka negara tersebut akan menjadi “the wild wild west” atau liarnya barat yang liar.
Apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme-mekanisme sosial yang yang senantiasa bekerja, apakah berbarengan atau berjalan sendiri-sendiri dengan hukum, untuk menciptakan situasi masyarakat yang aman dan damai. Meski diakui hukum positif memiliki legitimasi yang kuat, tetapi tidak berarti kehadirannya menyebabkan matinya mekanisme sosial yang secara alamiah bekerja dalam masyarakat.
Karl Marx (R. Herlambang Wiratraman, 2008) bahkan pernah mengkritik habis-habisan doktrin posititivisme hukum. Menurutnya, proses-proses hukum sejatinya merupakan proses yang dialektis dan dinamis serta diwarnai dengan berbagai konflik. Konflik antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya merupakan hal yang antitesis dengan paradigma positivisme hukum. Marx kemudian mencurigai bekerjanya hukum sebagai dikendalikan oleh kalangan elit yang kemudian mencederai aspirasi masyarakat yang tergambar dalam akomodasi secara massif kepentingan-kepentingan elit sekaligus mengabaikan kepentingan masyarakat. Hukum kemudian berubah dari kerangka mewujudkan keadilan sosial menjadi kerangka pengakomodasian kepentingan-kepentingan elit. Implikasi lebih lanjut, masyarakat tetap menjadi kaum “papa” yang terlindas oleh kaum elit melalui ekspansi kekuasaan yang secara vulgar mengangkangi habitat aspirasi masyarakat. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai mitra dalam penegakan hukum, melainkan sebagai objek yang senantiasa berada dalam posisi inferior. Inilah yang menjadikan Marx sangat menentang doktrin positivisme hukum yang divonisnya sebagai permainan “picik” dari kaum elit untuk mengakomodir kepentingan-kepentingannya.
Bahwa kemudian positivisme hukum dianggap dapat menciptakan kepastian hukum tidaklah salah, akan tetapi, tidak sepenuhnya benar. Karena sekali lagi, Charles Sampford (Satjipto Rahardjo, 2008) menganggap bahwa hukum penuh dengan ketidakaturan. Kepastian hukum bukanlah proses yang instan, melainkan secara gradual (bertahap) tercapai melalui dialektika proses-proses internal dalam hukum dengan mekanisme-mekanisme sosial yang bekerja dalam masyarakat. Sementara positivisme menganggap eksistensi undang-undang menjamin kepastian hukum, penulis, dengan menyimpulkan pendapat Charles Sampford tadi lebih menganggapnya sebagai kepastian undang-undang, karena kepastian hukum tidak hanya tercermin dari ada tidaknya undang-undang yang mengaturnya, melainkan terinternalisasinya aturan-aturan tersebut dalam masyarakat serta kesejajarannya dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.


KEPUSTAKAAN

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama.

Ashshiddiqie, J. & Safa’at, A. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Nating, I. 2008. “Perkembangan Pemikiran Hukum dari Berbagai Mazhab/Aliran” (Online). (http://www.solusihukum.com/artikel/artikel18.php, diakses 25 Pebruari 2010).

Rahardjo, S. 1991. Ilmu Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, S. 2008. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dengan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Salman, O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

Huijbers, T. 1982. Filsafat dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.

2.24.2010

Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan Dekonstruksi Hukum Nasional

M. NATSIR ASNAWI, SHI.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UMI MAKASSAR


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poros pewacanaan hukum, sebagai sebuah sistem maupun sebagai sub sistem sosial, mengalami perkembangan yang signifikan. Dari mazhab Hukum alam, sebagai digalang oleh Socrates, Plato, Agustinus, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Locke, dan Hobbest hingga paradigma Critical Legal Studies yang digalang oleh Roberto M. Unger telah mewarnai proses dialektis dalam membuat sintesis mengenai hakikat atau substansi hukum. Di Indonesia, poros pewacanaannya diwarnai dengan gerakan hukum Progresif sebagai digagas Satjipto Rahardjo yang mengkritik secara tajam positivisme hukum yang dianggap telah mencerabut hukum dari akar sosiologisnya, yaitu masyarakat. Orientasi pewacanaan hukum mengalami diferensiasi mulai dari melihat sumber hukum hingga eksistensi hukum sebagai sebuah gejala multi anasir.
Hukum, sejatinya merupakan ranah diskursus maha luas karena mencerap sekalian dimensi kehidupan manusia. Hukum tidak hanya sebagai tatanan yang otonom dan legitimatif, melainkan juga secara aktif membaur dengan tatanan kehidupan lainnya dan secara bersama mewujudkan tujuan-tujuan masyarakat, yaitu pencapaian keadilan tertinggi. Konteks demikian menyebabkan hukum harus dipandang sebagai holistik, tidak fragmentatif.

Idealitas hukum sebagai disebut sebelumnya – dipandang sebagai holistik – secara faktual memang masih jauh dari nyata. Kompartementalisasi perspektif dari ahli-ahli hukum dalam menalar hukum menyebabkan disparitas konsep dan orientasi. Ini kemudian tertuang dalam sekalian konsep yang meski memiliki objek kajian yang sama, yaitu hukum, tetapi menghasilkan pandangan yang tidak jarang bertentangan secara diametral satu sama lain.

Dalam konteks hukum Indonesia misalnya, begawan hukum Satjipto Rahardjo (alm) tampil dengan gagasan Hukum Progresif yang mengkritik secara diametral paradigma positivisme hukum yang telah mengkotak-kotakkan hukum dalam perundang-undangan yang secara eksplisit membangun logikanya secara estoeristik, sekaligus menyisihkan peranan dinamika sosial sebagai wadah eksistensi hukum itu sendiri. Gagasan tersebut pada dasarnya dilatari oleh keprihatinannya terhadap praktik hukum selama ini, khususnya para yuris, yang coba “menganaktirikan” peran gejolak-gejolak dan fakta sosial yang sejatinya, mempengaruhi proses dan fenomena hukum yang terjadi. Alih-alih hukum sebagai mekanisme kontrol dalam masyarakat, hukum justru dibentuk karakternya sebagai liberal yang berseberangan dengan kehendak-kehendak, tujuan, dan kesadaran hukum di masyarakat.

Apa yang kemudian diwacanakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut pada dasarnya selaras dengan konsep yang dibangun oleh Friedrich Karl von Savigny. Savigny merupakan penggagas mazhab Sejarah yang poros argumentasinya menganggap bahwa hukum sejatinya hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum itu ada di masyarakat dan senantiasa berkembang secara organis mengikuti gerak perubahan sosial dan budaya yang ada. Undang-undang sebagai dianggap selama ini merepresentasikan hukum hanyalah instrumen atau bagian kecil dari hukum yang tidak jarang bertentangan dengan jiwa masyarakat (volksgeist).

Asumsi kaum Positivis bahwa hukum harus diejawantahkan dalam undang-undang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, otokritik terhadap asumsi tersebut kurang, dan bahkan cenderung a priori. Pasalnya, meski undang-undang dimaksud dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa undang-undang cenderung mengabaikan aspirasi sosial yang muncul dan tidak jarang membangun logika hukum yang bertentangan secara diametral dengan aspirasi tersebut. Terlalu banyak contoh untuk mengurai hal ini, salah satunya adalah pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang telah “gagal” mengekspresikan kehendak masyarakat tentang hakikat pencurian itu sendiri. Inipun tidak dapat dianggap sebagai relitas tunggal pada satu sub sistem hukum (substansi hukum atau perundang-undangan), melainkan lebih jauh, juga merupakan “anomali” yang menimpa struktur hukum dan budaya hukum masyarakat . Kasus Bu Minah yang didakwa mencuri tiga biji kakao, kasus pencurian sebiji semangka adalah segelintir fakta yang menunjukkan bahwa hukum, kasus Jaksa Ester, “Istana dalam Penjara” ala Arthalita Suryani, dan kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menunjukkan hukum telah gagal melaksanakan fungsinya dan telah menabrak perasaan keadilan di masyarakat.

Menampik asumsi tersebut di atas, Savigny coba membuat sebuah antitesa bahwa hukum itu pada dasarnya tidak dibuat (misalnya oleh legislator) melainkan hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum lebih dilihat sebagai organis adanya; bahwa hukum bukanlah realitas yang statis melainkan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan tatanan, struktur, dan nilai-nilai di masyarakat itu sendiri. Antitesis ini, menurut penulis juga didasari oleh keprihatinan Savigny bahwa eksistensi undang-undang sebagai elemen “premium” dalam hukum telah jauh meninggalkan akar sosiologisnya, yaitu masyarakat yang dibuktikan dengan ketidakberdayaan hukum dalam mengawal proses-proses sosial yang memiliki implikasi hukum.

Terlepas dari disparitas mazhab atau pendekatan hukum tersebut, penulis menganggap, dalam praktiknya, masing-masing memiliki domainnya sendiri. Domain demikian, sejatinya dapat disatukan dalam suatu kebulatan sistem. Mazhab sejarah, khususnya penulis pandang sebagai salah satu mazhab yang brilian (landmark concept) dalam menalar hukum. Meski pada beberapa segi bertentangan dengan mazhab lain, mazhab ini memiliki satu jargon eksklusif yang secara implisit “diakui” oleh mazhab lainnya, yaitu volksgeist atau jiwa rakyat. Inilah yang menjadi alas pikir mazhab Sejarah, khususnya Savigny sebagai pencetusnya, untuk melahirkan suatu antitesa yang menerjang status quo positivisme yang merangkul undang-undang sebagai patron utama dalam berhukum. Masyarakat dianggap sebagai pilar utama dalam suatu sistem hukum, karenan di dalamnya terdapat jiwa yang menggerakkan dinamika sosial budaya serta menentukan konstruksi nilai yang kemudian diperpegangi sebagai ukuran moral dan keadilan.

Karenanya, mengacu pada prawacana tersebut di atas, menarik kiranya untuk mendudukkan pandangan Savigny, yaitu mazhab Sejarah dalam memotret cara berhukum di masyarakat, meski bukan sebagai satu-satunya patron dalam melihat hukum. Tetapi, paling tidak apa yang diuraikan Savigny, meski muncul pada awal abad ke-19, masih relevan dengan kondisi berhukum saat ini. Bahkan, penulis menganggap, pandangan Savigny ini perlu dijadikan sebagai salah satu patron dalam merumuskan kembali hukum sebagai bagian dari gagasan untuk melakukan semacam dekonstruksi hukum menuju penciptaan hukum yang lebih ajeg (andal) dan komprehensif.

B. Rumusan Masalah

Berdasar tema makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya mazhab Sejarah?
2. Bagaimanakah pandangan mazhab Sejarah tentang hukum?
3. Bagaimanakah implikasi mazhab Sejarah dalam pembangunan hukum nasional?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang lahirnya mazhab Sejarah.
2. Mengetahui pandangan mazhab Sejarah tentang hukum.
3. Mengetahui implikasi mazhab Sejarah dalam pembangunan hukum nasional.

D. Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis
Pembahasan dalam makalah ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengkajian hukum, khususnya pengkajian pada wilayah mazhab Sejarah. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru yang lebih komprehensif mengenai esensi mazhab Sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dalam dialektika hukum.
2. Manfaat praktis
Mezhab Sejarah, sebagai diurai dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan dalam melakukan semacam “dekonstruksi” atas kondisi berhukum saat ini; kondisi berhukum yang menjadikan masyarakat sebagai patronase dengan sekalian nilai dan falsafah yang hidup di dalamnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Mazhab Sejarah

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .

Kelahiran mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku yang berjudul “L’ esprit des Lois” (Semangat Hukum) karangan Montesquieu (1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang diperpegangi dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan demikian bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan lain perkataan, dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.

Saifullah mengemukakan inti ajaran Montesquieu dalam bukunya “L’ esprit des lois” sebagai berikut:
1. Ajaran Montesquieu mempunyai dua definisi sentral, yaitu:
a. Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.
b. Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.
2. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara sebagai pelaksana hukum.
3. Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat, sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.
4. Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
5. Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat istiadat. Menurut Montesquieu, hukum itu diselenggarakan sementara adat istiadat diilhamkan.
6. Hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
7. Hukum merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.
8. Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Selain buku Montesquieu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) . Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda. Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .

B. Pandangan Mazhab Sejarah tentang Hukum

Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul . Hukum merupakan tatanan yang lahir dari pergaulan masyarakat, di dalamnya tercakup nilai-nilai dan tatanan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut.
Friedrich Karl von Savigny, sebagai perintis mazhab ini mengemukakan bahwa hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum, sejatinya berasal dari adat-istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan bukan berasal dari pembuat undang-undang (legislator). Pandangan Savigny ini dilatari oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron. Padahal, menurutnya, kodifikasi tersebut sangat sering bertentangan, bahkan secara diametral, dengan semangat dan jiwa (kesadaran hukum) masyarakat Jerman. Inilah yang kemudian menjadikan Savigny berpikir bahwa hukum bukan berasal dari pembuat undang-undang, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis .

Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .

Substansi ajaran mazhab Sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum tidak dibuat melainkan ditemukan
Hukum sejatinya bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, hukum bersifat organis . Hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum . Hukum akan senantiasa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
2. Undang-undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas . Curzon mengemukakan:
“Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”

“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.

Dalam konteks Indonesia misalnya, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan secara universal ke bangsa lain. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia sendiri. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan dan/atau kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Savigny, sebagai dikutip Achmad Ali dari Curzon , mengemukakan:
“...there was an organic connection between law and people’s nature and character as developed through history. The true living law is customary law; it does not emerge from the arbitrary will od a law-giver, but from internal, silently operating forces within the community. Law is rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness, the faith and customs of the people”.

“...terdapat hubungan yang organis (dinamis) antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Hukum yang hidup adalah hukum adat; hukum tersebut tidak dihasilkan oleh pembuat hukum (legislator) melainkan dari masyarakat itu sendiri, ditegakkan oleh masyarakat itu pula. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”

G. Puchta, salah seorang murid Savigny mengemukakan bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist) . Lebih lanjut, Puchta, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari Dias, mengemukakan:

“Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”

Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat. Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .

Satjipto Rahardjo memberikan contoh yang sangat sejalan dengan konsep mazhab Sejarah ini. Beliau menuturkan:

“Pada tanggal 2 Agustus 1985, sebuah Jumbo Jet Delta Airlines jatuh di Dallas dan menewaskan 137 orang. Segera sesudah malapetaka tersebut para lawyers dari kedua pihak, yaitu dari pihak korban dan perusahaan penerbangan, terjun ke lapangan dengan begitu cepat dan agresif. Suatu peperangan sengit dengan saling menuduh secara pahit dan imoral merupakan pemandangan yang menyusul tahun-tahun berikutnya. Ilustrasi yang bagus tentang cara berhukum di Amerika Serikat...Sepuluh hari sesudah peristiwa di Dallas tersebut, sebuah Jumbo Jet milik Japan Airlines jatuh di Gunung Ogura di Kepulauan Honshu. Tidak ada lawyers yang dengan agresif turun ke tempat kejadian, bagaikan burung gagak melihat bangkai. Hari-hari yang menyusul hanya diisi dengan suasan duka yang mendalam. Perusahaan Japan Airlines, secara penuh berusaha untuk mengevakuasi dan menolong baik korban maupun keluarganya. Sesudah semua beres, Presiden Japan Airlines menghadap kepada deretan korban dan keluarganya, membungkuk dalam-dalam, meminta maaf dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatan. Anak-anak dari korban juga mendapat beasiswa dari perusahaan penerbangan tersebut. Itulah potret cara berhukum di Jepang”.

Apa yang dikemukakan Satjipto tersebut merupakan representasi dari konsep volksgeist sebagai digagas mazhab Sejarah. Perbedaan cara berhukum antara AS dengan Jepang dilatari oleh faktor kesejarahan mereka. Perilaku agresif dan cenderung imoral yang ditunjukkan oleh lawyers AS menunjukkan bahwa jiwa rakyat mereka didasarkan pada rasionalisme; suatu konstruk berpikir yang didasarkan pada kebenaran akal, sehingga aspek nurani cenderung terabaikan. Ini ditunjukkan dengan sikap saling curiga, menuduh satu sama lain, dan keinginan untuk menjatuhkan pihak lawan. Sementara di Jepang, kejadian tersebut ditanggapi secara positif, dengan berlandaskan pada keyakinan, ketulusan dan instrospeksi diri. Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang mendasarkan pikiran dan perilakunya pada kokoro (nurani). Karenanya, tidak mengherankan jika terjadi kasus hukum seperti tersebut di atas, maka secara sukarela, masing-masing pihak berusaha saling menolong, memaafkan, dan berupaya menempuh rekonsiliasi semaksimal mungkin, karena tujuan hukum tertinggi mereka adalah kedamaian.
Inilah yang kemudian dipahami sebagai volksgeist atau jiwa rakyat. Jiwa suatu bangsa sangat menentukan bagaimana cara berhukum mereka, bagaimana mereka melihat, menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentas mazhab Sejarah, bahwa hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum, secara a priori tidak dapat dipisahkan dari sejarah suatu bangsa. Hukum yang berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya, hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring ketidakadilan dalam masyarakat. Memahami hukum sebagai suatu kajian akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum tersebut.
Adalah merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat. Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.

C. Implikasi Mazhab Sejarah dalam Pembangunan Hukum Nasional

Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Pembangunan hukum nasional sebagai salah satu sub tema dalam makalah ini coba dibahas dan dilakukan semacam dekonstruksi paradigmatik. Hukum nasional saat ini penulis anggap masih jauh dari kondisi ideal, masih belum cukup (not sufficient) untuk mewujudkan keadilan hukum tertinggi. Penulis mengacu pada beberapa argumentasi.

Pertama, mengutip pendapat Charles Stamford, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo , yang mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat. Pendapat Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.

Kedua, perundangan-undangan sebagai instrumen utama hukum (the ultimate law instrument) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan. Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras. Ambil contoh, RUU tentang Perkawinan yang baru memuat aturan tentang pemidanaan bagi pelaku nikah siri (nikah yang tidak tercatat di KUA atau nikah di bawah tangan) dan nikah mut’ah (nikah kontrak). Pelaku kedua bentuk nikah tersebut akan dikenakan sanksi pidana di kisaran 3 – 6 bulan penjara dan/atau denda minimal Rp. 5.000.000. Belum lagi disahkan, RUU ini telah mendapat kecaman dari berbagai pihak dengan berbagai dalih. Sebut saja, perzinaan akan makin marak, melanggar hak konstitusional individu untuk menikah, bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebagainya. Diakui atau tidak, RUU ini sebanarnya punya maksud yang baik, yaitu melindungi harkat dan martabat wanita dan anak-anak, yang sejauh ini diklaim sebagai pihak yang paling dirugikan atas kedua bentuk praktik nikah tersebut. Pun demikian, dasar argumantasi dimaksud tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat, bahkan secara diametral menentang habis-habisan draft RUU tersebut. Apa yang salah dengan RUU ini? Tampaknya, pengkajian secara massif di wilayah filosofis-sosiologis serta share informasi yang belum signifikan antara pemerintah yang menjadi akar masalahnya. Karena, sekali lagi undang-undang ini dibuat untuk mengatur kepentingan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat selaiknya dijadikan sebagai patron.
Ketiga, penegakan hukum oleh yuris banyak menunjukkan indikasi yang “tidak humanis” alias “tidak bijaksana”. Bagaimanapun, masyarakat adalah elemen terpenting dalam penegakan hukum dan, karenanya, masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang laik. Yuris tidak seharusnya memperlakukan masyarakat secara bias humanis, melainkan harus melihat apa keinginan mereka, harapan-harapan, dan kebangunan relasi resiprokal antara masyarakat dengan yuris. Dengan mengacu pada kondisi-kondisi demikian, jiwa rakyat (volksgeist) akan menjadi bingkai yang mengawal penegakan hukum dan mengarahkan kebangunan relasi yang sinergi antara yuris dengan masyarakat sebagai bagian penguatan hukum (empowering of law).

Ketiga argumentasi dasar tersebut yang dikemukakan penulis pada dasarnya merupakan pengejawantahan poros pemikiran mazhab sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist) yang dinamis. Jiwa rakyat, dalam konteks ini dijadikan sebagai aras misi “dekonstruksi” hukum nasional. Dekonstruksi dimaksud tidak secara frontal merombak dan meruntuhkan tatanan hukum yang telah ada, melainkan evaluasi dan perbaikan pada beberapa sisi masing-masing sub sistem hukum, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Upaya dekonstruksi ini lebih kepada upaya untuk memberdayakan hukum (empowerment) agar hukum benar-benar dapat menjadi panglima bagi pencapaian visi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini pulalah yang oleh Satjipto Rahardjo dibahasakan sebagai negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, karena menjadikan rakyat sebagai subjek utama yang terhormat dalam pembangunan hukum nasional.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar apa yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Mazhab ini dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny melalui suatu manuskrip yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Kelahiran mazhab Sejarah ini dilatari oleh dua faktor, yaitu buku yang ditulis oleh Montesquieu yang berjudul “L’ esprit des Lois” dan samangat nasionalisme pada abad ke-19. Sebagai pelopor, Savigny mengkritisi usulan Thibaut yang menganjurkan kodifikasi hukum perdata Jerman dengan mengacu pada Code Napoleon Prancis.
2. Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat. Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting.
3. Sebagai isu sentral dalam makalah ini, dekonstruksi hukum nasional sebagai upaya memberdayakan dan menguatkan hukum secara sistemik (empowerment of law) mengacu pada konsep dasar mazhab Sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist) sebagai satu-satunya sumber hukum yang dapat dipercaya. Pembangunan hukum nasional harus menjadikan semangat dan tata nilai yang dianut bangsa Indonesia sebagai patronase utama, sehingga hukum dapat membantu tercapainya visi bangsa Indonesia, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Saran

Apa yang telah dipercakapkan dalam makalah ini menunjukkan betapa jiwa rakyat (volksgeist) sangat penting kedudukannya dalam pembangunan hukum nasional. Karenanya, baik yuris maupun legislator harus memperhatikan betul aspek ini, baik dalam konteks pembuatan aturan perundang-undangan maupun penegakan hukum nasional. Ke depan, diharapkan, misi “dekonstruksi” hukum nasional benar-benar dapat mengantarkan bangsa ini lebih maju dan lebih berkeadilan; menjadikan negara Indonesia sebagai negara hukum yang dapat membahagiakan rakyatnya.


BIBLIOGRAFI

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Cet. I. Bandung: Chandra Pratama.

. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana.

Rahardjo, S. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

. 2009. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Jakarta: Genta Publishing.

Salman, H.R.O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Soekanto, S. 2006. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.