1.26.2010

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR


PENDAHULUAN

Tersemat dalam benak kita sebuah wilayah kajian dialektis maha luas manakala jargon “hukum” merasuki tatanan logis. Hukum – sebagai disiplin ilmu sekaligus sebagai norma – sejatinya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, sebuah sintesa logis patut diajukan; bahwa tidak sejengkal pun kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh “jamah hukum”. Inilah yang mendasari penulis kemudian berkeyakinan bahwa pengkajian (dialektika) hukum merupakan suatu derivasi dialektis yang maha luas dengan kompleksitasnya yang massif.
Merunut ke belakang, kepada aspek primordial hukum, dapat ditemukan bahwa para pakar hukum memiliki perspektif berbeda dalam menafsir dan berupaya mengajukan suatu sintesa tentang idealitas dan implementasi hukum. Dengan lain perkataan, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang kaku, bukan pula konsep apriori yang dibuat tanpa melalui sebuah perenungan (kontemplasi) untuk mencipta suatu tatanan hukum yang, paling tidak, dapat mewujudkan tujuan hukum. Seperti Gustav Radbruch yang mengajukan tiga tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Berbeda lagi dengan konsep hukum timur jauh yang diwakili Jepang dengan menjadikan “perdamaian” (peace) sebagai tujuan tertinggi hukum.
Teori-teori hukum primordial berusaha merumuskan hukum sesederhana dan seaplikatif mungkin dengan maksud agar hukum dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik dalam mengawal dinamika kemasyarakatan. Masing-masing berdiri pada pondasi pemikirannya, yang tidak jarang esoterik, karena ketika diperhadapkan pada kenyataan masyarakat, konsep yang diajukan ternyata menemui kegamangan; suatu gejala dimana konsep hukum tidak dapat mengawal dan mengendalikan aspek-aspek non yurdiis di masyarakat. Ketidakmampuan ini, antara lain ditunjukkan dengan tertinggalnya hukum oleh perubahan masyarakat – yang dalam makalah ini diistilahkan sebagai perubahan sosial – yang bergitu cepat dan signifikan hingga menyentuh dimensi nilai yang abstrak, dan bahkan universal.
Pada konteks inilah, mempercakapkan hukum dan perubahan sosial mendapatkan momentumnya. Tak pelak, baik akademisi maupun praktisi hukum dipaksa untuk melakukan semacam ritual intelektual yang berbeda untuk mengoreksi kembali teori atau doktrin-doktrin hukum yang diajukan oleh pakar-pakar hukum terdahulu. Menjadi sebuah keniscayaan, manakala melihat realitas, bahwa hukum senantiasa tertatih dalam mengawal kehidupan masyarakat yang tidak lain adalah subjeknya. Oleh sebagian orang, yang diibaratkan dalam sebuah anekdot, bahwa dinamika masyarakat (perubahan sosial) seperti mobil yang berusaha dikejar oleh hukum yang diibaratkan seperti sepeda ontel yang tertatih dan kehabisan akal untuk berusaha, paling tidak, beriringan dengan mobil tersebut.
Hukum dan perubahan sosial dewasa ini menjadi kajian yang sering dipercakapkan oleh intelektual hukum, tidak terkecuali di Indonesia. Kesadaran bahwa perubahan sosial sebagai determinan utama dalam menentukan bentuk dan karakter hukum yang seharusnya diterapkan berkembang seiring dengan keprihatinan sebagian pihak bahwa hukum cenderung tidak mampu mengawal perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum, sementara sebagian pihak masih menilai cukup baik, menunjukkan kecenderungan massif ke arah positivisme hukum yang telah jauh meninggalkan akar historisnya, yaitu masyarakat. Tidak perlu jauh mencari contoh, karena dalam konteks Indonesia sekalipun, contoh demikian sangat banyak. Satu contoh misalnya, hukum pidana Indonesia yang masih menjadikan KUHP Belanda (Wetoboek van Strafrecht) sebagai patron sudah sangat tidak up to date dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. KUHP sudah jauh tertinggal oleh rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi dapat mengakomodir aspirasi hukum masyarakat bertajuk “kesadaran hukum”.
Serangan positivisme hukum yang diwakili oleh pandangan Analytical Jurisprudence (teori hukum analitik), Pure Legal Theory (teori hukum murni), Legisme, dan Realisme Hukum menyebabkan hukum secara perlahan tercerabut dari akar sosiologisnya, yaitu masyarakat. Kala hukum dipandang sebagai entitas yang mekanistik yang didasarkan pada postulat-postulat undang-undang sekaligus mengabaikan dimensi kenyataan sosial (social affairs), maka saat itulah hukum tidak lagi berorientasi pada keadilan tertinggi hukum, melainkan hanya berorientasi pada “kepastian hukum” yang secara umum tidak bersesuaian dengan nilai-nilai – hukum, sosial, agama, maupun budaya – yang hidup dalam masyarakat.
Karenanya, mempercakapkan hukum tanpa melihat aspek-aspek non yuridis, khususnya aspek sosiologis adalah sebuah “tsunami hukum” yang, sadar atau tidak, akan semakin menenggelamkan hukum dalam ketidakberdayaannya menjalankan fungsi idealnya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Penulis teringat dengan salah satu ujaran yang dikemukakan oleh mantan hakim agung RI, Bismar Siregar, dalam sebuah diskusi panel di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau berujar:
“Bila saya diperhadapkan pada suatu pilihan, apakah kepastian hukum atau keadilan, maka saya akan memilih keadilan”

Begitupun dengan ungkapan Taverne, seorang pakar hukum, sebagai dikutip dari Satjipto Rahardjo. Taverne berujar:
“Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”

Kemudian ucapan Bismar Siregar, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo:
“Keadilan ada di atas hukum”
Ketiga ungkapan yang dikemukakan oleh praktisi dan pakar hukum tersebut menunjukkan bahwa, melihat hukum hanya dengan meneropong aspek legalitasnya (undang-undang) adalah “tragedi”, karena demikian, upaya tersebut telah mencerabut hukum dari aspek dasarnya, yaitu kenyataan-kenyataan faktual di masyarakat. Putusan hukum sebagai salah satu jembatan menuju terciptanya keadilan di masyarakat – berdasar pandangan tersebut di atas – menempatkan posisi penegakan hukum pada kedudukan yang mulia, karena mengarahkan keduanya untuk mengelaborasi potensi intelektualnya secara signifikan sekaligus menempatkan hati nurani sebagai “patronase” dalam membuat keputusan. Karena, sejatinya keadilan bukanlah sesuatu yang tertulis, melainkan hidup dan berkembang dalam nurani masyarakat, juga dalam nurani para penegak hukum.
Ini pulalah yang mengusik Satjipto Rahardjo, begawan hukum Indonesia, untuk membangun suatu konsep hukum yang ingin mengembalikan hukum kepada leluhurnya, yaitu masyarakat. Dengan “hukum progresif”-nya, beliau mengemukakan bahwa hukum progresif ingin menyingkap tabir dan menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang dilandasi oleh filsafat positivistik, legalistik, dan linier untuk menjawab persoalan hukum sebagai manusia dan kemanusiaan.
Karenanya, mempercakapkan hukum dan perubahan sosial adalah tindakan tepat, terutama ketika kita bergerak pada satu visi penciptaan tatanan hukum yang berkeadilan. Hukum dan perubahan sosial ibarat dua sisi mata uang yang mekanismenya berdiri di atas prinsip resiprokal. Perubahan sosial sejatinya merupakan dimensi pendukung bagi terciptanya hukum yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Berpijak dari hal ini, kajian atasnya adalah sesuatu yang profesional dan bergerak ke arah perumusan hukum yang komprehensif.

HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL

Diskursus mengenai perubahan hukum dan perubahan sosial dimulai dari sebuah pertanyaan klasik: apakah perubahan hukum yang mempengaruhi perubahan sosial atau sebaliknya, perubahan sosial yang mempengaruhi perubahan hukum? Pertanyaan sederhana ini, paling tidak, akan menjadi guide dalam mempercakapkan tema “hukum dan perubahan sosial”.
Asumsi pertama untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum menyesuaikan diri terhadap perubahan di masyarakat. Penulis mengajukan ungkapan yang dikemukakan oleh Hugo Sinzheimer, sebagai dikutip oleh Achmad Ali, yang mendukung asumsi tersebut bahwa:
“Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogiyanya diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya”.

Perubahan hukum dalam konteks sebagai dimaksud di atas adalah perubahan pada wilayah hukum tertulis atau perundang-undangan (law in books). Perubahan demikian dikarenakan perundang-undangan bersifat statis dan kaku. Eksistensi hukum positif di masyarakat yang direpresentasikan dalam konstruk perundang-undangan dimaksudkan untuk menjaga harmonitas antara sistem-sistem dan dinamika sosial dengan harapan-harapan masyarakat akan suatu tatanan kehidupan yang berkeadilan. Eksistensi ini juga akan mengukuhkan anasir-anasir non yuridis lain dalam suatu sistem hukum yang legitimatif. Karenanya, hukum harus senantiasa peka dan akomodatif dengan setiap perubahan sosial yang terjadi. Ini pulalah yang oleh Philip Nonet dan Philip Selznick diistiahkannya dengan hukum responsif; suatu sistem hukum yang tanggap dengan setiap gerak perubahan yang terjadi di masyarakat sekaligus tanggap dengan harapan-harapan dan kesadaran hukum masyarakat.
Asumsi kedua adalah bahwa hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (law as a tool of social engineering). Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum, sebagai dianggap perekayasa sosial, merupakan sesuatu yang lumrah, terutama karena aksentuasi kajian saat ini sudah pada wilayah hukum modern yang memang menganggap hukum, secara ideal, sebagai perekayasa sosial. Hukum sebagai perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) pada dasarnya merupakan upaya penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kemampuan demikian identik dilekatkan pada hukum modern, pasalnya hukum modern-lah yang mencoba melihat realitas, baik yuridis maupun non yuridis, sebagai sebuah kesatuan dan saling berinteraksi secara resiprokal dalam sistem hukum.
Konsep law as a tool of social engineering diperkenalkan oleh Roscoe Pound (sociological jurisprudence). Substansi dari konsep tersebut adalah bahwa untuk menjadikan hukum sebagai alat perekayasa sosial, maka harus diaksentuasikan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari institusi-institusi dan ajaran-ajaran hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam pembuatan undang-undang. Kooptasi anasir-anasir non yuris seperti anasir sosiologis menjadikan perundang-undangan sejalan dengan kenyataan faktual di masyarakat sekaligus dapat menciptakan harmonisasi antara hukum sebagai patron dengan harapan-harapan dan kesadaran hukum masyarakat.
3. Studi tentang pembuatan undang-undang yang efektif merupakan keniscayaan. Pemahaman yang komprehensif mengenai teknik pembuatan undang-undang yang baik (legal drafting) akan menghasilkan peraturan yang akseptabel, akuntabel, dan efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum, yaitu studi yang tidak hanya melihat aspek kekinian dari sistem hukum yang dibangun (melalui perundang-undangannya) melainkan juga melihat implikasi sosial yang ditimbulkan pada masa lalu dan bagaimana pemunculannya. Refleksi atas dimensi historis hukum akan memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana seharusnya hukum dibuat dan bagaimana agar hukum dapat bekerja secara efektif.
5. Kreatifitas dan kepekaan para yuris (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara) pada setiap kasus yang ditangani harus senantiasa dipertajam. Kereatifitas dan kepekaan yuris sangat dibutuhkan demi pencapaian tujuan hukum tertinggi, yaitu keadilan. Bagaiamanapun, masing-masing kasus memiliki keunikannya tersendiri, sehingga membutuhkan analisis secara lintas sektoral, tidak hanya analisis yang normtif-dogmatis, melainkan juga analisis sosiologis, psikologis, budaya, dan anasir-anasir non yuris lain. Kereatifitas dan kepekaan dimaksud harus sejalan dengan aturan-aturan umum yang mengikat yuris.
Sejalan dengan argumentasi Roscoe Pound, Adam Podgorecki, sebagai dikutip Achmad Ali, mengemukakan empat asas utama yang harus diperhatikan dalam mewujudkan hukum sebagai alat perekayasa sosial (law as a tool of social engineering), yaitu:
1. Penguasaan yang baik dan menyeluruh terhadap situasi-situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan hirarki. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan lebih memperburuk keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, misalnya apakah suatu metode yang digunakan nantinya memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah apakah fungsi hukum sebagai perekayasa sosial sekedar idealitas belaka atau memang konsep yang dapat diaplikasikan dalam sistem hukum modern? Bukankah keyakinan dan realitas selama ini menunjukkan bahwa hukum tertatih dalam mengejar, atau paling tidak mengimbangi dinamika sosial kemasyarakatan yang kompleks dan cepat berubah? Tidakkah hukum positif senantiasa mengalami kesulitan dalam menafsir dan mengawal setiap gerak perubahan di masyarakat?
Perubahan yang ditimbulkan oleh hukum pada dasarnya berlangsung secara bertahap. Karenanya, dapat dibuat suatu kerangka sosiologis yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan terjadinya perubahan sosial melalui suatu proses yang cukup kompleks dan bukan lahir dari satu faktor tunggal. Hukum, meskipun bukan entitas tunggal, merupakan agen penting dalam rangka perubahan sosial menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dapat dimaklumi, mengingat hukum memiliki kekuatan legitimatif dan memaksa yang harus dipatuhi masyarakat, sehingga keberadaan hukum – dengan tidak melupakan dimensi lain – sejatinya merupakan landasan kuat bagi tercapainya suatu cita, yaitu terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Fungsi hukum sebagai perekayasa sosial pada dasarnya bukanlah idealisme belaka, karena pada dasarnya hukum dapat bekerja secara efektif di masyarakat bila dilandasi oleh interaksi massif antar tiap komponen dan kepekaan masing-masing untuk memberi umpan balik (feedback) terhadap setiap masalah yang dihadapi yang menyebabkan fungsi hukum tidak berjalan secara efektif. Hal ini yang kemudian digambarkan oleh Seidman, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo, sebagai unifikasi elemen-elemen dalam sistem hukum untuk menciptakan tatanatan hukum yang dapat mengarahkan masyarakat pada bentuk kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan.
Aksentuasi argumentasi hukum dalam fungsi perekayasaan sosial (social engineering) adalah efektivitas hukum. Karenanya, bekerjanya hukum tidak terlepas dari tingkah laku pemegang peranan, dalam hal ini masyarakat, tentang bagaimana mereka memposisikan aturan-aturan hukum dalam aktivitas kesehariannya, tentang bagaimana sebaiknya aturan hukum itu serta bagaimana penegakannya. Inilah yang kemudian mendasari pemikiran bahwa masyarakat harus senantiasa memberikan umpan balik (feedback) kepada pembuat dan pelaksana undang-undang untuk mencapai keajegan (reliability) undang-undang.

BIBLIOGRAFI

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama.
. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Pasamai, S. 2009. Sosiologi dan Sosiologi Hukum: Suatu Pengetahuan Praktis dan Terapan. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika.

Rahardjo, S. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis dan Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Salman, O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

HUKUM VISIONER

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR

Hukum visioner merupakan konsep yang coba dibangun penulis berdasar pada beberapa argumentasi dasar. Pertama, konsep atau teori hukum selama ini masih partikularis, dalam arti bahwa tidak mampu melihat segenap aspek yang berpengaruh dan menjadi determinan dalam sistem hukum nasional. Teori yang ada tidak dapat melepaskan diri dari status quo latar belakang pencetusnya dan bahkan cenderung bersifat eksklusif.
Kedua, aturan-aturan hukum yang dibuat dan dijalankan selama ini belum menunjukkan apresiasi tertinggi terhadap nilai-nilai humanistik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pemberian kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk memberikan apresiasi dan masukan terhadap peraturan perundang-undangan baru yang akan dibuat. Masyarakat seakan hanya dijadikan sebagai objek tak bertuan dari undang-undang itu sendiri. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk melaksanakan undang-undang tersebut tanpa proses kritis dan tanpa disertai penyadaran secara mendalam terhadap setiap butir aturan dalam perundang-undangan tersebut.
Ketiga, konsep penegakan hukum yang cenderung mekanistik dalam aplikasi nya, sadar atau tidak, telah mematikan potensi-potensi psikologis manusia, baik intelektual, emosional, maupun spiritualitas. Ambil contoh di kepolisian, penentuan suatu kejadian telah memenuhi unsur pidana atau tidak, dapat dikerjakan melalui suatu perangkat lunak (software). Hanya dengan meng-input beberapa data, maka akan keluar hasil analisis “komputer” apakah kejadian ini sudah memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Ini jelas “kebrutalan intelektual” karena telah membunuh kreatifitas dan daya analisis penyelidik maupun penyidik sekaligus melupakan suatu keniscayaan bahwa masing-masing kejadian atau kasus memiliki keunikannya tersendiri yang cenderung esoterik, dan hal ini sama sekali tidak dapt diungkap oleh “intelektualitas” perangkat lunak tadi. Karenanya, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang, sejatinya, tidak bersalah kemudian divonis bersalah oleh pengadilan hanya karena perangkat lunak tersebut.
Keempat, satu aspek yang sering terlupakan adalah aspek psikologis yang senantiasa melekat dalam setiap gerak penegakan hukum. Penegak hukum yang baik adalah penegak hukum yang memahami, tidak hanya kondisi psikologisnya, melainkan juga individu sebagai subjek hukum yang dianggapnya melakukan pelanggaran. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, banyak penegak hukum yang cenderung menegakkan hukum dengan cara represif tanpa berusaha menggali lebih dalam mengapa seseorang melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, proses edukasi atau pendidikan kepada masyarakat tentang hukum hanya dijalankan secara “serampangan” dalam arti bahwa penegak hukum tidak mendidik masyarakat secara elegan, tidak berusaha menyentuh nurani masyarakat dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dan argumentatif. Penegak hukum, tidak semuanya, hanya berdiri pada landasan mekanistiknya yang melihat fungsinya hanya sebagai penindak terhadap setiap bentuk pelanggaran, bukan sebagai “pendidik” masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk mengetahui, memahami, menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam aturan, serta menjalankan aturan tersebut secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Kelima, teori hukum yang dibangun selama ini hanya berorientasi kekinian. Padahal, jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai perekayasa sosial, maka sejatinya hukum harus selangkah lebih maju dibanding dengan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mengarahkan masyarakatnya pada bentuk kehidupan yang lebih bercirikan keadilan. Hal ini hanya dapat dicapai jika hukum memiliki orientasi yang visioner (futuristik). Hukum harus dapat meneropong kemana arah gerak dinamika sosial dan melakukan suatu perancangan atas asas, norma, maupun kaidah atau aturan hukum yang dapat mengantisipasi segenap perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka jargon “hukum sebagai panglima”, “hukum sebagai kontrol sosial”, dan “hukum sebagai perekayasa sosial” bukan lagi sekedar idealitas belaka, melainkan sebagai konsep empirik yang aplikatif. Inilah substansi dari konsep hukum visioner yang diajukan penulis.
Konsep hukum visioner pada dasarnya dapat diuraikan secara sistematis dalam poin-poin berikut:
1. Perlu ditetapkan asas-asas umum (meta aturan umum) yang dapat menjangkau setiap dinamika yang muncul di masyarakat. Dasar dari pemikiran ini adalah aturan-aturan yang ditetapkan dalam al Qur’an senantiasa tidak lekang oleh perkembangan zaman. Aturan-aturan tersebut bersifat umum dan karenanya, tidak pernah tertinggal oleh zaman, apapun bentuk perubahan itu, aturan-aturan yang ada tetap dapat diberlakukan. Nilai-nilai universalitas agaknya menjadi preferensi utama dalam penetapan asas-asas ini, bahkan tidak menutup kemungkinan, aturan-aturan dalam Islam sebagai termaktub dalam al Qur’an dapat dijadikan sebagai patron.
2. Asas-asas umum tersebut harus diejawantahkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang lebih khusus. Antara asas dan peraturan khusus tidak boleh ada pertentangan. Kembali melihat pada aturan-aturan dalam Islam, aturan-aturan umum dalam al Qur’an terejawantahkan dalam konsep-konsep khusus seperti fiqh, dimana masalah-masalah aktual di masyarakat senantiasa dikembalikan pada al Qur’an lalu melalui suatu ijtihad berusaha ditemukan hukumnya. Ijtihad ini merupakan interaksi antara meta aturan (al Qur’an) dengan potensi-potensi intelektual dan bathiniah para mujtahid untuk melahirkan suatu hukum atas suatu kasus yang secara eksplisit baru terjadi. Hal ini dimungkinkan karena al Qur’an memang merupakan aturan yang universal, sehingga dengan penjelasan yang umum tersebut dapat menjangkau setiap gerak alir dari dinamika sosial kemasyarakatan.
3. Reorientasi konsep penegakan hukum dari represif ke edukatif-elaboratif-represif. Konsep penegakan represif, suka atau tidak, telah menghegemoni sebagian besar aparat hukum kita. Banyak bentuk pelanggaran yang langsung ditindak secara represif, padahal tindak pelanggaran tersebut dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan mengenai mengapa dia melakukan pelanggaran. Ini berlaku untuk pelanggaran-pelanggaran ringan yang tidak harus masuk ke meja pengadilan. Penegak hukum, sejatinya melakukan proses-proses edukatif kepada masyarakat dengan memperhatikan aspek psikologis mereka. Masyarakat harus diberi penyadaran secara psikologis mengenai aturan perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum tidak hanya menjelaskan apa aturannya, tetapi mengapa aturan itu dibuat dan apa manfaat yang akan diperoleh masyarakat. Penulis yakin, dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat, tidaklah sulit untuk mengkomunikasikan suatu aturan dan mendapati masyarakat begitu antusias dalam menyambut dan menjalankan aturan tersebut secara sadar dan dilandasi perasaan tulus.

1.22.2010

MEMBEDAH PARADIGMA PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF

M. NATSIR ASNAWI, SHI
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana UMI

I. Pendahuluan
Gaung penegakan hukum telah ada sejak manusia mulai mengadakan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sejatinya, hukum lahir ketika individu mulai mengadakan interaksi dengan individu lain, misalnya mengadakan perikatan atau perjanjian atas suatu objek atau perbuatan yang melahirkan prestasi bagi kedua belah pihak.
Menilik sejarah dan perjalanan hukum kita di Indonesia, paling tidak dapat dikemukakan beberapa faktor yang menggerakkan semangat penegakan hukum. Pertama, substansi hukum di Indonesia (undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang) cenderung pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa substansi-substansi hukum tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang melahirkan banyak persoalan baru yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Hal tersebut merupakan suatu cerminan bahwa hukum positif di Indonesia masih “klasik” dan tidak visioner. Terlebih dalam pasal 1 ayat (2) RUU KUHP yang sampai saat ini belum rampung pembahasannya, secara tegas disebutkan bahwa dalam penetapan adanya tindak pidana tidak boleh diterapkan analogi. Artinya, bahwa jika suatu saat terjadi satu perbuatan yang diindikasikan sebagai perbuatan pidana di masyarakat tetapi tidak diatur dalam undang-undang dan/atau peraturan perundang-undangan di bawahnya, maka seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan atas perbuatan tersebut. Ini pulalah yang kemudian menyebabkan terjadinya kekosongan hukum yang akan menyulitkan aparat (hakim) untuk melakukan penemuan hukum. Implikasi lebih jauh adalah akan semakin banyak orang yang diduga “melakukan tindak pidana” tetapi tetap menghirup kebebasan dengan dalih bahwa tidak ada hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
Kedua, penegakan hukum di Indonesia cenderung permisif dan pasif (lemah) terhadap terdakwa yang notabene punya “nama” dan struktur kekuasaan yang cukup kuat, baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang mengarah pada kondisi tersebut adalah kurang aktifnya jaksa dalam mencari dan mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di persidangan. Sebut saja dalam penanganan kasus-kasus korupsi (selain yang ditangani di Pengadilan Tipikor) yang melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh cukup kuat cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan dengan kualifikasi kesalahan yang cukup berat. Bahkan, data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas. Berdasar analisis Prof. Surya Jaya (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor), banyaknya terdakwa yang divonis bebas di PN disebabkan karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat sehingga mudah dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut, dikatakan bahwa berbeda dengan bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih kuat dan minimal melampirkan dua alat bukti, sehingga sangat kecil kemungkinan bagi terdakwa untuk lolos dari jeratan hukum (Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009). Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tehadap kalangan elite masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat maupun keadilan hukum nasional.
Pada beberapa kasus, sangat jelas terpampang fenomena penegakan hukum yang “keliru” dan cenderung tidak humanis. Ambil contoh penahanan 10 orang anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro Bandara Tangerang, karena kasus “bermain” yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan kini kasusnya pergulir di pengadilan. Kasus serupa terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2×3 meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,- (empat ribu rupiah) (Rohman, 2009).
Kejadian tersebut membuat para pakar hukum kaget dan mempertanyakan proses penahana yang dilakukan aparat kepolisian. Betapa tidak, anak-anak yang berumur belasan tahun ditahan karena dugaan berjudi yang sama sekali tidak berdasar. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut murni sekadar permainan belaka, dan bukan judi seperti disangkakan oleh aparat. LSM-LSM pun serempak mengumbar kritik atas tindakan polisi tersebut, sebab bagaimanapun, anak seperti mereka sharusnya tidak ditahan dan ”dipenjarakan”.
Berhembusnya isu penghapusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan tendensi pengalihan penanganan perkara korupsi ke Pengadilan Negeri membuat pakar hukum, terlebih masyarakat Indonesia heran dan bertanya-tanya. Betapa tidak, gaung pemberantasan korupsi yang sudah dikumandangkan sejak lahirnya Pengadilan Tipikor terancam padam karena landasan hukum Pengadilan Tipikor, yaitu RUU Pengadilan Tipikor belum rampung pembahasannya, padahal masa aktif anggota dewan sudah hampir habis. Terlebih dalam RUU Tipikor tersebut terdapat beberapa pasal yang sangat tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Misalnya, pasal tentang kewenangan KPK yang dibatasi hanya sampai pada tahap penyidikan, bukan lagi sampai penuntutan di persidangan. Sangat patut dipertanyakan keseriusan anggota DPR untuk mempertahankan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia, mengingat beberapa terpidana korupsi yang diadili di Pengadilan Tipikor merupakan anggota dewan yang terhormat yang sepatutnya menjadi patron bagi masyarakat, bukan menjadi patologi sosial yang eksistensinya sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Adanya indikasi pelemahan institusi Pengadilan Tipikor dan KPK merupakan masalah yang sangat serius dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya menyangkut perkara korupsi. Hal tersebut diperparah dengan mentalitas sebagian penegak hukum pada institusi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak kuat dan cenderung mudah diintervensi kekuatan pihak ketiga yang menyebabkan proses penanganan perkara belangsung tidak fair yang berimplikasi pada penjatuhan vonis pengadilan yang sangat jauh dari pemenuhan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Wajah penegakan hukum yang saat ini diperpegangi oleh penegak hukum berakar pada paradigma legalistic positivism, yaitu pemahaman dan penafsiran hukum berdasar pada apa yang tertulis di undang-undang dan memberangus pemahaman konteks atas substansi undang-undang tersebut. Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa implikasi legalstic positivism adalah implementasi penegakan hukum yang hanya berkisar pada kegiatan “mengeja undang-undang” dan tidak pada konteks penafsiran kontekstual undang-undang. Senada dengan pendapat tersebut, Scholten (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa substansi hukum memang tercantum dalam undang-undang, akan tetapi hukum tetap harus ditemukan dalam prakteknya (kontekstualisasi hukum). Menemukan hukum dalam peraturan atau undang-undang adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara normatif.
Kondisi demikianlah yang sesungguhnya menjadi perhatian, tidak saja pakar-pakar hukum, tetapi juga masyarakat, mengenai apa sebenarnya yang tejadi dengan penegakan hukum kita di Indonesia. Mengapa semangat penegakan hukum tidak sejalan dengan implementasinya di lapangan? Adakah ini sebagai kesalahan konsep dan strategi penegakan hukum kita? Mungkinkah penegakan hukum progresif dimanivestasikan dalam tata dan struktur hukum Indonesia?
II. Konsep Dasar Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan abstraksi nilai, ide, dan cita menjadi tujuan hukum. Ufran mengemukakan bahwa tujuan hukum sebagai sasaran dari penegakan hukum mengandung nilai-nilai moral, seperti nilai kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks dinamika hukum masyarakat (Rahardjo, 2009:vii).
Soerjono Soekanto (Rahardjo, 2009:vii) mengemukakan bahwa aksentuasi penegakan hukum adalah upaya penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan pergaulan hidup masyarakat yang elegan dan tertib hukum. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya mewujudkan keselarasan antara das sollen (nilai-nilai dalam kaidah) dengan das sein (kenyataan dalam masyarakat).
Penegakan hukum sebagai representasi dari nilai-nilai abstrak dalam kaidah-kaidah baku melibatkan organisasi-organisasi atau kelompok masyarakat. Satjipto Rahardjo (2009:19) mengemukakan bahwa organisasi-organisasi yang berkaitan langsung dengan penegakan hukum adalah pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa masing-masing organisasi tersebut memiliki mekanisme tersendiri dalam menjalankan fungsinya, bahkan pada kondisi tertentu lembaga atau organisasi tersebut menjalani kehidupannya sendiri yang cenderung esoteristik dan berlawanan dengan mekanisme yang lazim. Pada taraf organisasi inilah, konsep dan ketentuan dalam penegakan hukum diinterpretasi dan dilaksanakan dalam bentuk kebijakan-kebijakan organisatoris yang dijalankan secara berkelanjutan.
Penegakan hukum sebagai jargon khusus dalam terminologi hukum memliki beberapa unsur. Chambliss & Seidman (Rahardjo, 2009:24) mengemukakan beberapa unsur yang terlibat dalam penegakan hukum. Unsur pertama adalah pembuatan undang-undang. Unsur ini dapat dipahami sebagai unsur yang paling awal dan menentukan berhasil tidaknya suatu penegakan hukum di masyarakat. Penegakan hukum merupakan suatu proses perwujudan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan di masyarakat, misalnya terwujudnya tertib hukum dan kesadaran hukum di masyarakat. Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang merepresentasikan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat, sebab undang-undang merupakan regulasi yang akan dipatuhi masyarakat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat maupun penegak hukum. Jika substansi undang-undang tidak mencerminkan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat maka dapat dipastikan bahwa penegakan hukum akan menemui banyak hambatan. Karakteristik undang-undang yang baik adalah mudah dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Unsur kedua adalah lingkungan. Unsur lingkungan dalam penegakan hukum mencakup lingkungan penegak hukum dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Lingkungan secara signifikan memegang peranan dalam penegakan hukum. sebagai contoh, seorang penegak hukum akan menjalankan fungsinya sesuai dengan latar belakang sosialnya. Begitupun dengan masyarakat, karakteristik sosial budaya akan menentukan tegaknya hukum yang berlaku. Misalnya, masyarakat yang menganut nilai patriarki, kaum laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dibanding dengan kaum perempuan, terutama dalam konteks keluarga. Implikasinya UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT kemungkinan besar sulit untuk ditegakkan, karena jika terjadi “pelanggaran”, sangat besar kemungkinan masalah tersebut diselesaikan secara adat atau pihak perempuan secara sukarela menerima hal tersebut sebagai “bukan pelanggaran” dan memunculkan kepasrahan dan diri.
Lawrence M. Friedman (Ali, 1996:213; Saifullah, 2007:26) mengemukakan bahwa penegakan hukum paling tidak berkaitan dengan tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu:
1. Struktur hukum
Struktur hukum merupakan pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini berkaitan dengan bagaimana institusi-institusi hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian melaksanakan fungsinya.
2. Substansi hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang digunakan oleh, baik penegak hukum maupun masyarakat sebagai subjek hukum dalam penegakan hukum dan perbuatan hukum. Substansi hukum mencakup undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat sehingga kehidupan masyarakat diharapkan sesuai dengan nilai-nilai hukum pada terwujudnya masyarakat madani yang tertib dan sadar hukum.
3. Kultur hukum
Kultur hukum berkaitan dengan pilihan hukum masyarakat dalam mengambil tindakan atau perbuatan hukum. Kultur hukum lahir dari kesadaran hukum masyarakat, yaitu keyakinan masyarakat tentang hukum yang ada atau yang seharusnya ada. Karena itu, dimensi kultur hukum sangat berkaitan dengan sejarah sosial masyarakat serta substansi hukum yang mengiringi dinamika sosial kemasyarakatan.
Penegakan hukum sebagai upaya sadar dari penegak hukum seyogiyanya memperhatikan tiga tujuan utama hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Kepastian hukum dimaksudkan sebagai keadaan yang menunjukkan dimana hukum berjalan sesuai dengan fungsinya dan masyarakat memahami dengan baik fungsi hukum sebagai regulator dalam dinamika masyarakat. Keadilan merupakan kondisi dimana hukum dapat menempatkan hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan proporsi dan peruntukannya. Hukum yang baik adalah hukum yang memberi akses bagi warganya untuk memperuangkan hak-hak dasarnya dan memperoleh kebahagiaan yang layak sesuai dengan kesempatan berusaha dan kemampuan yang dimilikinya.
Kemanfaatan sebagai tujuan hukum yang lain merupakan implikasi positif dari upaya penegakan hukum yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat, baik secara materil maupun non materil, misalnya terwjudnya ketertiban di masyarakat, perasaan aman dan tenteram, kebebasan dalan beraktivitas sehari-hari, serta terakomodirnya kepentingan-kepentingan dan aspirasi luhur masyarakat. Secara substantif, penegakan hukum bermuara pada terciptanya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tertib hukum, sadar hukum, serta berfungsinya semua organ dan struktur sosial yang saling mendukung dalam menciptakan dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat.
Penegakan hukum, sesuai dengan konsep dasarnya merupakan upaya sistemik yang melibatkan unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Paradigma hukum modern menganggap bahwa penegakan hukum bukan hanya monopoli penegak hukum semata, melainkan masyarakat diharapkan peran dan andil yang signifikan dalam mengawal proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Peran aktif masyarakat pada dasarnya dapat berupa peran persuasif dan peran kontrol. Peran persuasif dimaksudkan peran masyarakat dalam mengupayakan penyadaran hukum pada anggota masyarakat lain secara persuasif dengan menjelaskan esensi dan tujuan hukum dalam mencipta ketertiban dan kemashlahatan di masyarakat. Sedangkan peran kontrol merupakan peran yang dijalankan masyarakat dengan mengawasi dan melaporkan setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang lain. Fungsi ini sedikit lebih tinggi dari fungsi persuasif, karena masyarakat sudah mulai masuk ke dalam sistem penegakan hukum yang normatif.
Sinergitas antara masyarakat dengan penegak hukum dalam menjalankan proses penegakan hukum menjadi harga mati. Pasalnya, bila hanya salah satu pihak yang proaktif, maka dapat dipastikan, sasaran penegakan hukum dalam mewujudkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai hukum akan menemui karang terjal.
Sisi lain dari penegakan hukum yang perlu mendapat perhatian adalah perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam sistem hukum masyarakat. Artinya, secara kodrati, mekanisme penegakan hukum akan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pemenuhan rasa keadilan yang semakin kompleks. Inilah yang kemudian penulis istilahkan dengan “Dinamisasi Penegakan Hukum”.
Saifullah (2007:26) mengemukakan bahwa perubahan sosial di masyarakat menuntut adanya perubahan dalam sistem hukum. Salah satu alasan yang mendasari hal tersebut adalah tuntutan akan keajegan (reliabilitas, konsistensi) hukum dalam mencapai tujuan-tujuannya. Setali tiga uang dengan hal tersebut, maka dinamisasi mekanisme dan operasionalisasi penegakan hukum akan berubah seiring dengan berubahnya sistem hukum yang ada.
III. Penegakan Hukum Progresif
Diskursus penegakan hukum dewasa ini mengarah pada satu jargon hukum, yaitu penegakan hukum progresif. Paradigma ini lahir dari konsep hukum progresif, yang di Indonesia dipelopori oleh Satjipto Rahardjo, antara lain melalui pemikiran-pemikirannya mengenai substansi dan tujuan hukum progresif dalam menanamkan nilai-nilai hukum dan mencapai tujuan-tujuan hukum yang sebenarnya.
Penegakan hukum merupakan satu bentuk mainstream pemikiran hukum modern yang coba mendobrak kelaziman dan kekakuan sistem hukum modern yang sangat restriktif dan tidak mampu lagi mengawal perkembangan masyarakat. Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa penegakan progresif merupakan penegakan hukum yang tidak hanya membaca dan menafsir undang-undang secara normatif, melainkan menemukan hukum dalam undang-undang tersebut. Senada dengan argumentasi tersebut, Scholten (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya terbatas pada materi atau isi dari undang-undang, melainkan harus ditemukan nilai-nilainya dalam praksis hukum. Rohman (2009) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif merupakan penegakan hukum yang menghadirkan empati, determinasi, nurani, dan dedikasi terhadap kemanusiaan. Penegakan hukum demikian selaras dengan esensi hukum itu sendiri, yaitu mengabdi pada manusia atau rasa kemanusiaan.
Menemukan hukum dalam undang-undang sejatinya merupakan upaya untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai dan makna metafisis yang tekandung dalam peraturan. Konsep penegakan hukum yang selama ini hanya “membaca” atau meminjam istilah Satjipto Rahardjo, hanya “mengeja”, menyebabkan para penegak hukum tidak mampu menembus tabir makna dari peraturan tersebut (Rohman, 2009). Implikasinya dapat ditebak, penegakan hukum tidak lebih dari proses normatif yang sangat prosedural dan jauh dari kesan pencapaian tujuan hukum.
Dworking (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa dalam penegakan hukum progresif, penegak hukum dituntut untuk memiliki keterampilan “moral reading”, yaitu sebuah keterampilan pembacaan bermakna dengan dilandasi pemahaman filsafati, misalnya keadilan dan tujuan diadakannya hukum. Keterampilan sebagaimana dimaksud Dworking oleh penulis dianggap sebagai keterampilan dalam membaca kasus dan melihat lebih jauh implikasi dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi. Dengan demikian, maka nilai-nilai hukum akan terejawantahkan dalam penegakan hukum berkaitan dengan kasus, perbuatan, dan/atau peristiwa hukum tersebut.
Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) lebih jauh mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif sejatinya tidak hanya mendasarkan pandangannya pada normatifitas undang-undang (redaksi dan prosedur), melainkan harus pula menyandarkan pandangannya pada pencapaian rasa keadilan yang substantif sesuai dengan tujuan hukum primordial. Pada konteks demikian, lanjut Satjipto Rahardjo, pemecahan masalah dalam penegakan hukum harus melihat konteks permasalahannya, sehingga upaya demikian melahirkan empati, komitmen, dan dedikasi.
Seperti diutarakan sebelumnya, bahwa penegakan hukum progresif merupakan suatu bentuk pemberontakan terhadap sistem hukum modern yang positivistik. Wisnubroto (2008) mengemukakan bahwa sistem hukum modern yang berawal dari Eropa yang postivistik memiliki doktrin yang dikenal dengan istilah Rule of Law yang bercirikan:
1. Formal rules
Yang dimaksud dengan hukum menurut sistem hukum ini adalah hukum yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Dengan demikian, doktrin pertama ini mengabaikan living law sebagai hukum yang hidup di masyarakat dan memegang peranan penting dalam menciptakan kultur hukum masyarakat. Dogma ini sejatinya merupakan kekurangan terbesar dari sistem hukum positivistik, karena mengabaikan nilai-nilai dan perasaan hukum yang hidup di masyarakat.
2. Procedures
Hukum dilaksanakan menurut prosedur atau aturan main yang ketat dan kaku. Pada kenyataannya, dogma ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan, terutama pada kasus-kasus hukum yang tergolong dalam extra-ordinary crime, seperti pelanggaran HAM, korupsi, dan kejahatan lingkungan. Hal tersebut lebih disebabkan karena kondisi anomali (tidak biasa) pada kasus tersebut tidak terakomodir dalam prosedur atau aturan main yang ada.
3. Methodologist
Implementasi atau penerapan hukum hanya dianggap benar jika dilakukan atas dasar penalaran logis. Padahal, dalam banyak kasus, kalau penegak hukum hanya menyandarkan pandangannya pada penalaran logis, maka upaya mencapai tujuan hukum yang sebenarnya tidak akan tercapai.
4. Bureaucracy
Sistem hukum positivistik hanya meligitimasi lembaga-lembaga formal sebagai otoritas yang berwenang dalam membuat, melaksanakan, dan mengawasi hukum. Sadar atau tidak, pandangan ini mengkerdilkan peran aktif masyarakat dalam mengawal penegakan hukum serta memberangus hukum dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Roberto M. Unger (Wisnubroto, 2008) mengemukakan bahwa pada awal kemunculan sistem hukum modern di Eropa, sistem tersebut cukup ampuh dalam menangani permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di masyarakat. Akan tetapi, dalam perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai karakter sistem hukum modern berkurang keampuhannya dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial akibat pesatnya kemajuan teknologi. Pada konteks inilah, dialektika para pakar hukum dengan realitas hukum yang ada memunculkan suatu gagasan untuk melakukan pembaharuan paradigma hukum, terutama dalam konteks penegakan hukum, sehingga tujuan awal penegakan hukum – mencapai cita dan nilai-nilai hukum di masyarakat, menciptakan tertib hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum –dapat tercapai dengan baik.
Satjtipto Rahardjo (2009:xi) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif sebagai sebuah proses yang sistemik dan berkesinambungan memiliki beberapa dimensi yang saling terkait satu dengan lainnya. Dimensi-dimensi dalam penegakan hukum progresif adalah:
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku penegakan hukum progresif. Idealnya, pelaku penegakan hukum terdiri dari profesional hukum dengan visi baru yang lebih komprehensif dan substantif. Mereka (hakim, jaksa, advokat, dan lain-lain) menanggung ekspektasi masyarakat yang tinggi akan wajah penegakan hukum yang lebih progresif; penegakan hukum yang tidak hanya melihat hukum sebagai hitam putih belaka, melainkan melihat dan menerapkan hukum secara humanis, substantif, dan berkeadilan. Ekspektasi tersebut harus dilandasi dengan filsafat atau pemahaman hukum yang holistik, bukan pemahaman yang artifisial, partikular, dan lebih menonjolkan nilai-nilai kebenaran liberalis. Penegakan hukum pada konteks ini – sesuai dengan ekspektasi masyarakat –tidak boleh hanya disandarkan pada pemahaman normatif belaka, melainkan pada substansi hukum, yaitu nilai dan keadilan.
2. Kebutuhan akan kebangunan di kalangan akademisi, intelektual, ilmuwan, serta teoretisi hukum Indonesia. Sejarah memperlihatkan kepada kita betapa akademisi dan praktisi hukum Indonesia sebagian besar ditempa dengan konsep dan paradigma filsafat hukum yang cenderung liberal. Untuk konteks hukum saat ini, paradigma tersebut sudah kurang sesuai dan perlu pembaharuan secara massif dan radikal. Kini, mereka ditantang untuk membangun suatu konsep penegakan hukum yang baru yang lebih mengakomodir nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; sebagai upaya untuk keluar dari kungkungan doktrin liberal yang destruktif dan konservatif.
Selain kedua aspek tersebut di atas, penulis berpendapat masih ada aspek lain yang sangat penting, yaitu konstruksi kultur hukum progresif di masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat merupakan segmen terbesar dalam struktur penegakan hukum kita. Karena itu, adalah kurang bijaksana jika mengabaikan salah satu dimensi ini. Konstruksi kultur hukum sebagaimana dimaksud, merupakan upaya massif dan elaboratif untuk menciptakan budaya hukum di masyarakat sehingga masyarakat lebih sadar hukum dan nilai-nilai hukum terinternalisasi dengan baik dalam paradigma dan perilaku atau perbuatan hukum masyarakat. Konstruksi kultur hukum progresif antara lain dapat dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar, lokakarya, maupun penyuluhan kepada masyarakat mengenai hakikat dan nilai-nilai substantif dalam penegakan hukum. Selain itu, peran tokoh masyarakat dan aparat hukum dalam mengawal masyarakat harus lebih proaktif, tidak hanya melakukan tindakan atas pelanggaran belaka, melainkan memberikan pencerahan, pemahaman, dan memotivasi masyarakat untuk menegakkan hukum secara sadar dan menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, stigma penegakan hukum yang cenderung menakutkan (scary paradigm) dan manipulatif (manipulative paradigm) secara perlahan akan hilang dan tergantikan dengan optimisme dan dedikasi kuat untuk bersama-sama menegakkan hukum.
Dimensi-dimensi tersebut di atas merupakan keniscayaan untuk diimplementasikan dan dipertahankan agar penegakan hukum progresif benar-benar hidup dan dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi pengembangan kesejahteraan dan terciptanya keadilan di masyarakat. Dimensi-dimensi tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga kolektifitas penegakan hukum progresif dapat terwujud.
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo (2009:xii) menambahkan bahwa penegakan hukum progresif bertolak dari pilar utamanya, yaitu determinasi dan komitmen yang kuat dari segenap sub sistem peradilan untuk memerangi kejahatan dan pelanggaran, khususnya korupsi. Semua unsur penegakan hukum (hakim, jaksa, advokat, dan birokrasi) harus bekerja secara profesional dan padu. Meskipun masing-masing institusi memiliki independensi profesionalismenya, akan tetapi hal tersebut tidak boleh menghalangi kesatuan unit penegakan hukum. Koordinasi dan transparansi dari masing-masing unsur merupakan representasi kesatuan unit tersebut. Hal inilah yang membedakan pradigma penegakan hukum progresif dengan penegakan hukum yang bertradisi liberal yang sangat mendewakan independensi dan arogansi institusi yang berujung pada tidak padu dan efektifnya proses penegakan hukum yang dilakukan.
IV. Prospek Penegakan Hukum Progresif di Indonesia
Penegakan hukum di Indonesia merupakan entitas yang tidak terpisahkan dalam perkembangan tata dan sistem hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari riak sejarah bangsa, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Harus diakui bahwa mekanisme dan implementasi penegakan hukum kita masih banyak celah dan kekurangan. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran lalu lintas, penegakan hukum cenderung masih sangat lemah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan beberapa fakta bahwa ada sebagian oknum aparat (polisi) yang belum kebal dengan suap, aparat yang tidak bijaksana dalam melakukan tindakan, serta hubungan antara aparat kepolisian dengan pengendara yang cenderung resisten. Contoh lain dapat ditunjukkan dari beberapa kasus yang melibatkan oknum jaksa nakal, yang paling mendapat sorotan adalah Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dengan pidana penjara 20 tahun. Dari kasus Jaksa Urip, kita memperoleh gambaran – tanpa menggeneralisasi –bahwa masih ada oknum jaksa yang memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk memanipulasi hukum sehingga pihak-pihak yang berpotensi dijerat hukum karena pelanggaran pidana dapat dengan mudah lepas dan menghirup udara bebas tanpa ada rasa khawatir.
Salah satu permasalahan yang cukup riskan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah banyaknya aturan dalam hukum formil (hukum acara) yang menimbulkan banyak penafsiran, sehingga berdampak pada kekaburan peraturan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan aturan tersebut. Sebagai contoh, kasus PK oleh Jaksa dalam kasus Mukhtar Pakpahan pada tahun 1996 merupakan PK pertama yang diajukan oleh jaksa dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, kemudian PK jaksa terhadap vonis bebas Djoko Tjandra dan Sjahril Sabirin yang akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung. Banyak pihak yang mempertanyakan bahkan mengkritik keras tindakan jaksa tersebut, karena menurut mereka Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi, pendapat ini mendapat perlawanan dari beberapa pakar hukum. Paustinus Siburian (2009) misalnya mengemukakan bahwa jika dibaca dengan seksama ketentuan pasal 263 KUHAP, maka Jaksa dapat mengajukan PK dengan ketentuan bahwa terdakwa divonis bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Sementara itu, Wisnubroto (2009) mengemukakan bahwa PK dapat diajukan oleh jaksa jika situasi perkara adalah anomali atau tidak biasa (extraordinary crime), misalnya pelanggaran HAM berat, kejahatan lingkungan, dan korupsi. Kontroversi apakah jaksa berhak mengajukan PK atau tidak sudah cukup menggambarkan kepada kita bahwa betapa masih banyak aturan atau ketentuan dalam hukum acara yang multi tafsir dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian pelaksanaannya.
Pertanyaan saat ini adalah, mungkinkah paradigma penegakan hukum progresif diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu mengenai dimensi-dimensi perubahan atau pembaharuan hukum nasional. Ismail Saleh (Mannan, 2006:14) mengemukakan bahwa dalam rangka pembaharuan dan pengembangan hukum nasional, terdapat tiga dimensi utama, yaitu:
1. Dimensi pemeliharaan
Dimensi pemeliharaan adalah dimensi yang berkaitan dengan pemeliharaan (maintenance) tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan disini tidak diartikan sebagai mempertahankan tatanan hukum yang ada secara penuh, tetapi mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi atau kondisi yang sudah berubah. Penulis menyebut hal ini dengan kontekstualisasi hukum, yaitu memahami dan menerapkan hukum sesuai dengan konteks atau kapasitas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, penerapan hukum tidak bersandar pada penafsiran normatif belaka, melainkan sudah melibatkan dimensi eksternal hukum itu sendiri, yaitu konteks hukum. Inilah yang kemudian melahirkan pemahaman dan penerapan hukum secara holistik dalam rangka mencapai nilai-nilai dan tujuan substantif hukum.
2. Dimensi pembaruan
Aksentuasi dimensi pembaruan adalah peningkatan dan penyempurnaan pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembaruan ini dianut kebijaksanaan bahwa pembangunan hukum nasional disamping pembentukan peraturan-peraturan perundang-perundangan yang baru, dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang telah ada sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum. Pembaruan menurut Abdul Mannan (2006:14) tidak perlu dilakukan secara radikal atau membongkar semua aturan yang ada, tetapi cukup aturan yang dianggap sudah tidak relevan dengan situasi yang ada dan paradigma penegakan hukum nasional.
3. Dimensi penciptaan
Dimensi ini disebut juga dengan dimensi kreatifitas. Perkembangan yang pesat pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi yang melahirkan gagasan baru, lembaga baru, dan digitalisasi transaksi keuangan. Hal ini membutuhkan peraturan baru yang berarti bahwa harus diciptakan peraturan perundang-undangan baru yang mengakomodir hal tersebut, sehingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat terlaksana dengan baik.
Dengan melihat dimensi pembaharuan hukum nasional tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju hukum progresif merupakan proses yang sistemik dan berkelanjutan. Penegakan hukum progresif sebagai unit dari sistem hukum progresif; sebagai gagasan yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, sangat mungkin diterapkan di Indonesia, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan pemikiran penegakan hukum progresif sudah mengalami perkembangan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan. Kritik atas model penegakan hukum yang hanya “mengeja undang-undang” oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran (Rahardjo, 2009:xiii) mengemukakn bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional.
Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagaimitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam menegakkan hukum.
Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia. Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Bila fungsi ini dapat dijalankan dengan lebih baik lagi, konstruksi kultur hukum di masyarakat melalui pendidikan dan penyadaran (kontemplasi) hukum masyarakat.
Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.
V. Penutup
Berdasar uraian yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penegakan hukum progresif merupakan penegakan hukum yang tidak hanya tidak hanya membaca dan menafsir undang-undang secara normatif, melainkan menemukan hukum dalam undang-undang tersebut. Penegakan hukum progresif merupakan paradigma penegakan hukum yang menjujung nilai-nilai humanisme, empati, dan keadilan. Proses dalam penegakan hukum progresif dijalankan secara kreatif, inovatif, dan berorientasi pada pencapaian keadilan tertinggi.
2. Penegakan hukum memiliki dua dimensi sebagai dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, yaitu penegak hukum dan kultur akademik. Satu dimensi lain yang dianggap substantif oleh penulis adalah konstruksi kultur hukum progresif.
3. Penegakan hukum progresif di Indonesia pada dasarnya sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dalam tata dan struktur hukum Indonesia. Segmen-segmen dalam penegakan hukum telah menunjukkan progresifitas yang cukup baik dalam upaya penegakan hukum nasional secara progresif.

1.19.2010

FILSAFAT ILMU ISLAMI: Wacana Integrasi Nilai-Nilai Ke-Islam-an dalam Paradigma Filsafat Ilmu

M. NATSIR ASNAWI
MAGISTER HUKUM PASCASARJAN UMI

A. Pendahuluan
Mungkin kita sepakat jika postulat “filsafat adalah induk dari segala ilmu” dijadikan sebagai acuan dalam melakukan fungsi evaluatif terhadap ilmu. Fungsi evaluatif dimaksud adalah fungsi menelaah dan mengkritisi kebenaran suatu ilmu dan sinergitasnya dengan nilai-nilai yang ada. Filsafat, sejatinya dipandang sebagai patron bagi pengembangan keilmuan, baik teoretis maupun praksis, karena filsafat menyajikan sejumlah tatanan dan nilai-nilai (humanistik) yang akan membimbing ilmu selaras dengan kehidupan manusia.
Pewacanaan filsafat sebagai dialektika akademis menjadi sebuah keniscayaan, terutama pada agenda pencarian sebuah hakikat kebenaran – meski, sejatinya kebenaran hakiki tidak akan terjangkau oleh nalar manusia. Filsafat kemudian dipandang sebagai “hulu” bagi gerak alir sebuah penelurusuran fakta menuju “hilir” kebenaran. Diakui atau tidak, filsafat, terlepas dari kontoversinya, merupakan preferensi utama dalam upaya luhur untuk mencipta suatu sintesa tentang kebenaran ontologis, sebagai dikehendaki setiap gerak dinamis akal.
Filsafat tidak hanya berkutat pada dimensi esoteristiknya, namun, lebih dari itu, filsafat juga coba mengawal dinamika “ilmu” melalui serangkaian tesis-tesis dan koridor untuk membimbing ilmu mencapai kebenaran tertingginya. Inilah yang kemudian dalam keilmuan dikenal tiga jargon yang saling berkaitan, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi, berbicara pada wilayah hakikat suatu ilmu; apa dasar (substansi) ilmu tersebut serta mengapa ilmu tersebut harus dikembangkan. Epistemologi berbicara pada wilayah metode untuk mencapai kebenaran; metode ilmiah, sumber-sumber ilmu, dan sistematisasi pengetahuan. Sementara itu, aksiologi berbicara pada tujuan teoretis maupun praksis suatu ilmu; suatu pembicaraan yang mempersoalkan apa guna dan tujuan suatu ilmu, bahwa suatu ilmu dikatakan benar jika dapat member manfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kajian aksiologis ini, oleh penulis dianggap sejalan dengan paham kebenaran pragmatis; bahwa sesuatu dikatakan benar jika dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Karenanya, tidak mengherankan jika pembahasan mengenai filsafat merupakan kajian tak terpisahkan dalam diskursus keilmuan. Kecenderungan saat ini memperlihatkan bahwa ilmu bergerak semakin jauh dari induknya; semakin menspesifikkan diri pada kebenaran esoteristiknya dan berusaha membentuk karakternya yang bebas nilai. Oleh sebagian filosof, indikasi ini diistilahkan sebagai kompartementalisasi ilmu; suatu gejala diferensiasi massif ilmu-ilmu praksis maupun teoretis yang telah jauh meninggalkan akar akademisnya, yaitu filsafat.
Wacana pengarusutamaan filsafat ilmu sebagai patron dalam pengembangan keilmuan berhembus seiring dengan fenomena seperti disebutkan sebelumnya. Terkikisnya fundamentasi filosofis tidak hanya menyebabkan ilmu menjauh dari akarnya, melainkan lebih dari itu, fenomena tersebut secara perlahan mulai menarik diri dari pengabdian pada nilai-nilai humanistik, dan juga yang terpenting nilai-nilai Ilahiah. Sebagai contoh, pengembangan ilmu-ilmu praktis seperti teknologi nuklir, senjata biologis, otomotif, dan sebagainya mulai “melupakan” kodratnya; bahwa ilmu yang dikembangkan sejatinya mengabdi pada peruntukan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia (life sustainability).
Lebih lanjut, pada pengkajian ini, wacana filsafat ilmu Islami hadir dengan satu misi; menjawab tantangan di atas. Sebuah Tanya melandasi pemikiran ini, sanggupkah filsafat ilmu yang cenderung “sekuler” menjawab tantangan itu?. Atas dasar pemikiran bahwa Islam sebagai risalah universal, substansi ajarannya dipandang mampu dan cukup (sufficient) untuk menjawab dan memberikan sebuah sintesis baru dalam mengawal pengembangan keilmuan.
Pokok permasalahan saat ini adalah, apakah landasan ontologis dan metodologis filsafat ilmu Islami sudah cukup kuat? Bagaimana dengan konsep primordial yang telah dibangun oleh filsafat ilmu yang telah mengakar pada sebagian besar konstruk paradigma ilmu-ilmu modern? Adalah tantangan terberat bagi pewacanaan filsafat ilmu Islami pada ranah ini, sekaligus sebagai pembuktian awal bahwa, sejatinya Islam memang risalah yang universal dan karenanya tidak ada satu bagian pun dalam kehidupan manusia yang tidak dapat disentuh oleh kreasi ajaran Islam. Risalah Islam, sebagai hipotesis awal, dapat menjawab tantangan filosofis untuk menyajikan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang komprehensif, melampaui ajaran filsafat ilmu murni (beyond the pure of science phylosophy) yang cenderung artifisial.
B. Tinjauan Umum Filsafat
Filsafat, sebagai diurai sebelumnya, merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami mengingat filsafat menyajikan landasan-landasan formil dan materil bagi ilmu-ilmu yang ada, baik teoretis maupun praksis. Sejatinya, filsafat membimbing dan menggerakkan penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan baru dalam rangka pencapai visi kemanusiaan, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Pertanyaan kemudian muncul, apa sebenarnya filsafat itu? Mungkinkah kata “filsafat” itu didefinisikan? Sementara hingga saat ini belum ada satu definisi baku dan diterima semua kalangan mengenai apa sebenarnya filsafat itu?.
Mempercakapkan filsafat, sejatinya diawali dengan penguatan landasan yang definitif. Meski diakui, definisi filsafat sangat beragam dan belum ada satu definisi yang diterima semua pihak, sebuah upaya mensintesis definisi baru diharapkan menjadi faktor penguat menuju satu definisi tunggal yang komprehensif, akseptabel, dan universal.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab falsafat, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia, yang merupakan padanan dari dua kata, yaitu philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara etimologis, kata filsafat berarti “cinta kebijaksanaan”. Definisi kata filsafat dapat dikatakan merupakan sebuah masalah filsafat pula. Tetapi, paling tidak dapat dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk masalah itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa (www.id.wikipedia.org/filsafat).
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai dikutip Huda Lakoni (2007) adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang hakiki. Kemudian, Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu tentang metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Lakoni, 2007). Sementara itu, Aristoteles, sebagai dikutip oleh Soejono Koesoemo Sisworo (Otje Salman, 2009) mengemukakan bahwa filsafat merupakan ilmu atau ajaran tentang kebenaran yang meliputi metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika yang ruang lingkupnya paling tidak mencakup empat hal, yaitu:

1. Apa yang dapat kita ketahui?;
2. Apa yang harus kita perbuat?;
3. Apa yang dapat kita harapkan?; dan
4. Apakah manusia itu?.
Lebih lanjut, Otje Salman (2009) mengajukan lima pandangan mengenai definisi filsafat itu sendiri. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan keyakinan terhadap kehidupan alam yang biasanya diterima secara a priori (tidak kritis). Kedua, filsafat adalah proses kritis (dialektika, kontemplasi) terhadap keyakinan dan sikap yang diperpegangi. Ketiga, filsafat adalah usaha untuk memperoleh deskripsi yang komprehensif mengenai sesuatu yang dikaji atau dianalisis (pencarian pada sebuah sintesa umum). Keempat, filsafat sebagai analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti suatu atau beberapa kata dan konsep atau teori tertentu. Kelima, filsafat adalah sekumpulan masalah-masalah yang mendapat perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh para filsuf (ahli filsafat).
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini (www.id.wikipedia.org/filsafat). Filsafat, sejak kelahirannya dapat diasumsikan sebagai pemberontakan atas kemapanan paradigma primordial yang selalu menyandarkan ukuran kebenaran pada otoritas wahyu atau logika agama tanpa pemberian ruang yang cukup kepada “akal” untuk mensintesis sebuah kebenaran; sebagai preferensi lanjutan (advanced preference) atas timbangan kebenaran yang selama ini diperpegangi. Karenanya, kritis, evaluatif, dan radikal merupakan karakteristik khas dan inheren dari cara berpikir filsafati yang larut dalam pergulatan makna menuju hakikat kebenaran; meski sejatinya, kebenaran hakiki hanya dimiliki oleh penguasa kebenaran itu sendiri, yaitu Tuhan.
C. Filsafat Ilmu: Refleksi Kontemplatif
Filsafat ilmu, menurut hemat penulis merupakan acuan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Acuan tersebut mengacu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu ilmu, sehingga ilmu tersebut sejalan dengan kehendak kemanusiaan dan berjalan seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan. Ilmu dikatakan benar jika mampu mencakup ketiga aspek dasar tersebut diatas, karena pada asasnya, ilmu bukanlah entitas yang bebas nilai, melainkan sarat nilai, terutama nilai-nilai ilmiah dan humanisme.
Seperti dikutip dari asianbrain.com (www.anneahira.com), disebutkan:
“Filsafat ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab, filsafat ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua tentang hakikat ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.”

Dapat dipahami bahwa, hakikat suatu ilmu hanya akan tersingkap jika individu coba memahaminya ala pemikiran filsafati, dalam hal ini pemikiran filsafat ilmu. Filsafat ilmu, pada hakikatnya melakukan semacam verifikasi massif terhadap segenap sendi dasar suatu ilmu hingga jauh merangsek ke permasalahan nilai. Nilai, sebagai disebutkan terakhir, merupakan salah dimensi ilmu terpenting, karena aspek nilai berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Bila ilmu cenderung nir-nilai, maka tidak mengherankan jika ilmu tersebut telah melepaskan dirinya dari hakikat ontologisnya, yaitu manusia. Mengapa manusia? Karena ilmu sejatinya dibuat, dikembangkan, dan didayagunakan untuk sebesar-besar kepentingan manusia.
Mengenai definisi dari filsafat ilmu, penulis mengutip beberapa pendapat dari www.anneahira.com, sebagai berikut:
1. Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah.
2. Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah.
3. Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya.
4. Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan.
Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang berusaha mengungkap hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi, dan implikasi dari ilmu, termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Pada konteks ini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri (www.id.wikipedia.org/filsafat_ilmu).
Substansi filsafat ilmu mencakup mencakup beberapa dimensi, yaitu (www.anneahira.com):
1. Kebenaran
Filsafat ilmu menetapkan standar-standar kebenaran bagi suatu ilmu. Standar kebenaran dimaksud menjadi tolok ukur apakah variabel-variabel ilmu sudah dapat dikatakan “benar” atau belum dan aspek-aspek apakah yang perlu diperbaiki untuk mencapai tingkatan itu. Sejauh pemahaman penulis, ada beberapa paradigma mengenai ukuran atau standar kebenaran, yaitu empirisme (dapat diindera), positivisme (prinsip pembuktian secara positif), rasionalisme (logis, berdasar pada kebenaran akal), dan pragmatisme (prinsip kemanfaatan).
2. Fakta
Fakta merupakan salah satu dimensi penting dalam elaborasi filsafat ilmu. Fakta berperan sebagai entitas atau faktor pembenar (justifikasi) atas postulat-postulat atau konsep (teori) yang dikembangkan suatu disiplin ilmu. Kesesuaian antara fakta dengan konsep teoretik merupakan aksentuasi dalam menelusuri hakikat suatu ilmu.
3. Logika
Alat atau sarana utama dalam mencapai kebenaran menurut filsafat ilmu adalah logika. Logika, pada asasnya berusaha membimbing akal untuk dapat menganalisis dan menyimpulkan fakta-fakta atau pernyataan-pernyataan menuju pada kesimpulan akhir yang benar.
4. Konfirmasi
Filsafat ilmu selalu menekankan pada fungsi konfirmasi atas klaim-klaim kebenaran suatu ilmu. Konfirmasi ini perlu, karena sejatinya ilmu selalu mengalami perkembangan, sehingga perlu dilakukan konfirmasi atau verifikasi data-data agar klaim-klaim kebenaran senatiasa sejalan dengan perkembangan ilmu itu sendiri.
D. Filsafat Ilmu Islam: Sebuah Konstruksi Wacana dan Paradigma
Salah satu pertanyaan mendasar, sebagai landasan awal dalam dialektika filsafat ilmu Islami, adalah apakah landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis filsafat ilmu umum sama atau perlu disamakan dengan filsafat ilmu Islami? Perlukah dibuat suatu sintesa baru mengenai landasan-landasan keilmuan tersebut? Serta, sampai sejauhmanakah jangkauan filsafat ilmu Islami terhadap ilmu-ilmu, baik sains umum maupun sains Islami?.
Pertanyaan tersebut menjadi begitu penting karena, sejauh keyakinan saat ini, landasan dan susbtansi filsafat ilmu dianggap sudah komprehensif, ajeg (konsisten), verifikatif, dan valid. Sementara itu, filsafat ilmu Islami, yang oleh sebagian kalangan dianggap masih pada wilayah “pewacanaan” belum memiliki konsep sebaku dan selengkap filsafat ilmu umum. Untuk menjawab hal tersebut, penulis coba mengutip salah satu tulisan mengenai landasan pengembangan filsafat ilmu Islami.
Pada tahun 1985, Mash Ahmed mengadakan penelitian tentang Islam dan ilmuwan muslim. Studi ini meneliti tentang sikap ilmuwan-ilmuwan muda dan senior muslim terhadap sains modern, dan bagaimana tanggapan mereka tentang isu sains Islam (Anonim, 2009). Menurut Ziauddin Saddar (Anonim, 2009) dalam menghadapi sains modern, atau sikapnya terhadap sains Islam, ilmuwan muslim tebagi menjadi tiga kelompok.
1. Pertama, kelompok muslim yang apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari-cari ayat al-Quran yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut.
2. Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan
3. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya
Berbicara tentang sains Islam dan bagaimana proses membangunnya, kiranya tidak akan lepas dari adanya upaya Islamisasi ilmu. Walaupun dalam hal ini terdapat kontroversial antara yang setuju dan yang tidak. Diantara para ilmuwan ada yang setuju untuk menyesuaikan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dengan ajaran Islam dan ada pula yang tidak menyetujui gagasan islamisasi ilmu, karena menurut mereka yang harus diislamkan adalah manusianya, bukan ilmunya. Keengganan ini tampaknya disebabkan sensitivitas terminologi tersebut dari segi objektivitas ilmiah. Sedangkan kelompok yang setuju disebabkan oleh sensitivitasnya dari segi rasa keagamaan, sehingga harus diikuti kalau memang hendak bereksistensi sebagai seorang muslim (Bustanuddin, 1999).
Islamisasi ilmu merupakan suatu keharusan. Disamping Islam mempunyai pengarahan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, dan masuknya ajaran Islam dalam aktivitas ilmiah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah, Islamisasi ilmupun diharapkan dapat mengimbangi kemajuan Barat sekaligus sebagai pemberantas berbagai akibat sampingan dari perkembangan ilmu dan teknologi modern yang telah dirasakan membahayakan kehidupan. Disamping itu, Kemajuan Islam di zaman klasik atau abad pertengahan Masehi dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban telah dipahami sebagai hasil usaha merealisasikan ajaran islam itu sendiri, maka untuk keluar dari keterbelakangan dewasa ini adalah dengan semangat kembali kepada Islam (Anonim, 2009).
Para pemikir dan cendekiawan muslim di penghujung abad 20 ini juga berpendapat demikian. Misalnya, Muhammad Naquib al-Attas dalam The concept of Education in Islam serta Islam dan sekularisme. Ismail Raji al-Faruqi mengkritik ilmu pengetahuan barat yang berkembang dewasa ini sebagai telah terlepas dari nilai dan harkat Manusia, dari nilai-nilai spiritual dan hubungan dengan Tuhan. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf mengkritik ilmu barat sebagai yang tidak ditata untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjunjung tinggi kemuliaan manusia. Syed Hossein Nasr mengkritik ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat yang berkembang dewasa ini sebagai yang tidak mempunyai metode untuk lebih mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dalam kehidupan manusia karena harus didasarkan pada kenyataan empiris. Maka mereka berpendapat bahwa dalam rangka membawa kesejahteraan bagi umat manusia, pengembangan ilmu pengetahuan perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Ismail Raji al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Anonim, 2009).
Juhaya S. Praja (2000) mengemukakan bahwa dalam rangka pencanangan gerakan islamisasi ilmu, perlu dilakukan tahapan-tahapan berikut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern dengan menguraikannya kedalam ketegori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi, problem dan tema yang dominan di Barat.
2. Survey disiplin ilmu yang dibuat dalam bentuk essay untuk mengetahui garis besar asal-usul dan sejarah perkembangan dan metodologinya. Perluasan visi bidang kajiannya, dan konstribusi utamanya yang menyebabkan banyak penggemarnya.
3. Menguasai warisan Islam sebagai titik tolak Islamisasi pengetahuan.
4. Penyajian disiplin ilmu Islam yang relevan dan khas Islam.
5. Penilaian kritis atas disiplin ilmu
6. Penilaian kritis atas warisan ilmu
7. Melakukan survey atas masalah pokok umat Islam
8. Melakukan analisis kreatif dan sintesa yang hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai disiplin ilmu dan warisan Islam sekaligus serta melakukan analisis kritis terhadap keduanya
9. Melaksanakan berbagai konfrensi, seminar, workshop dan sebagainya sebagai faculty training.
Berangkat dari beberapa asumsi di atas, penulis berpendapat bahwa konsep Filsafat Ilmu Islami masih harus terus dimatangkan dengan penelitian dan diskursus-diskursus untuk mengelaborasi substnsi dan nilai paradigmatik yang akan dianut nantinya. Hal ini penting sebagai upaya mempertegas identitas filsafat ilmu Islam itu sendiri, selain juga sebagai pematangan secara metodis dan ilmiah. Karena, sejatinya, masalah terbesar dalam pewacanaan filsafat ilmu Islami adalah kendala metode dan standardsasi ilmiah sebagai telah dimiliki oleh filsafat ilmu umum.
Wacana pengintegrasian nilai-nilai ke-Islam-an dalam paradigma filsafat ilmu – meski masih dapat diperdebatkan apakah nilai-nilai Islam yang menyesuaikan dengan nilai-nilai dalam filsafat ilmu atau sebaliknya – merupakan tonggak awal dalam mengaktualkan konsep filsafat ilmu Islami. Oleh sebagian pihak yang memandang risalah Islam sebagai universal adanya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mematangkan konsep filsafat ilmu Islami. Pun demikian, perlu dipahami bahwa universalitas risalah Islam terejawantahkan dengan kalam-kalam Ilahi yang universal pula, sehingga untuk mengaktualkannya dalam suatu konsep teoretik maupun praksis, perlu adanya kontekstualiasi ayat maupun hadis nabi.
Sejatinya, bukan perkara mudah untuk menempatkan filsafat ilmu Islami sejajar dengan filsafat ilmu umum. Begitu mapannya konsep filsafat ilmu umum menyebabkan sulitnya untuk membuat sintesa filosofis baru mengenai hakikat ilmu. Hal ini pulalah yang membuat penulis berpikir, bahwa ke depan, pengembangan konsep dasar fisafat ilmu Islami tidak akan lepas dari intervensi filsafat ilmu umum. Karenanya, adalah kemudian bijak jika kita coba menempatkan keduanya secara linier, saling melengkapi, unipolar, dan tidak ada dikotomi paradigmatik.
Melalui makalah ini, penulis coba mengajukan satu sintesa, yang mudah – mudahan tidak esoterik – berkenaan dengan konsep dasar ilmu yang mencakup ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pertama, dalam filsafat ilmu, landasan ontologis ilmu terputus pada aspek metaempiris (metafisika). Karenanya, penulis mengajukan aspek transendensi (ke-Tuhanan, spiritualitas, mistisme) sebagai aspek yang integratif dalam landasan ontologis ilmu pengetahuan. Penulis mencontohkan, di bidang psikologi sekalipun – yang sebagian memandang sebagai sekuler – saat ini telah merintis jalan bagi psikologi transpersonal; suatu bidang baru dalam psikologi yang coba melihat, menganalisis, dan memahami realitas-realitas di luar ke-diri-an manusia yang mempengaruhi segenap dinamika psikologis yang terjadi pada manusia. Sebagai disebut sebelumnya, pengalaman-pengalaman spiritualitas, dunia ke-Tuhan-an, dan mistisme dianggap realitas meta rasio yang tidak dapat diaktualisasikan dalam bahasa logis-empiris. Padahal, seorang filsuf, Witgenstein, berdasar dialektika kontemplatifnya, mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman mistik dan spiritual, bahkan dunia ke-Tuhan-an sekalipun dapat diungkapkan dengan bahasa-bahasa logis. Bahasa logis dimaksud, mungkin tidak persis sama dengan bahasa logis-rasional, diungkap secara simbolis – representasional – rasional.
Kedua, orientasi amar ma’ruf nahiy munkar dan dimensi eskatologis (ukhrawi) menjadi salah satu standar kebenaran suatu ilmu. Sebagai diketahui, dalam filsafat ilmu umum, ukuran atau standar kebenaran yang dipakai kurang, atau bahkan tidak menyentuh sama sekali kedua aspek yang sebutkan sebelumnya. Mengapa ini perlu? Sebab, dengan menjadikan keduanya sebagai standar atau ukuran kebenaran, maka penulis yakin tidak ada lagi ilmu yang destruktif atau yang merugikan kepentingan dan kelangsungan hidup manusia. Pasalnya, orientasi kebenarannya sudah jauh melampaui standar kebenaran filsafat ilmu (beyond the science philosophy’s claim of truth) yang – hemat penulis – sangat artifisial dan tidak menyentuh dimensi terdalam dari nilai-nilai humanistik. Ketika standar kebenaran ilmu didasarkan pada komitmen untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi umat manusia dan keyakinan akan ganjaran di hari akhir nanti, maka ilmuwan-ilmuwan akan dengan sangat hati-hati menetapkan postulat sebagai ikhtisar kebenaran ilmunya. Karena standar itu pulalah, aplikasi ilmunya tidak akan berbenturan dengan kepentingan kemanusiaan, malah akan mendukung terwujudnya kualitas kehidupan manusia yang sejahtera dan berkeadilan.
Ketiga, dari sisi epistemologis, pengungkapan kebenaran-kebenaran materil pada dasarnya tidak ada masalah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana mengukur kebenaran pengalaman-pengalaman mistik? Sementara bahasa ungkapan empiris cenderung tidak mampu mengungkap realitas mistik individu. Pada konteks ini, penulis mengajukan logika bahasa – sebagai digagas oleh Witgenstein – untuk mengungkap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistik seseorang. Logika bahasa ini lebih cenderung pada pengungkapan yang bersifat representatif–simbolis, sehingga pengalaman-pengalaman tersebut dapat dipahami tanpa mempertentangkan apakah akal dapat menerimanya atau tidak, karena, sejatinya, logika bahasa telah membuka jalan bagi akal untuk menerima kebenaran-kebenaran mistik sebagai dia menerima kebenaran-kebenaran materil yang positivistik-empiris. Inilah sesungguhnya yang menjadi kekuatan dasar untuk mengembangkan filsafat ilmu Islami, sekaligus sebagai pembuktian keunggulan risalah Islam.
E. Bibliografi
Admin. 2005. “Filsafat” (Online). (http://www.id.wikipedia.org/filsafat, diakses 5 Januari 2010).

Admin. 2005. “Filsafat Ilmu” (Online). (http://www.id.wikipedia.org/filsafat_ ilmu, diakses 5 Januari 2010).

Anonim. 2009. Filsafat Ilmu Islam (Online). (http://www.kampusciamis.com/, diakses 6 Januari 2010).

AsianBrain Content Team. Tanpa tahun. “Filsafat Ilmu” (Online). (http://www.anneahira.com/, diakses 5 Januari 2010).

Lakoni, H. 2007. Filsafat Hukum dan Perannya dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.Makalah. Tidak diterbitkan. Surabaya: Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945.

Praja, J.S. Filsafat Ilmu Menelusuri Struktur Filsafat Ilmu dan Ilmu-ilmu Islam. Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN SGD.

Salman, H.R.O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

1.02.2010

Refleksi Vonis Bebas Prita

29 Desember 2009...menjadi sejarah baru dalam penegakan hukum Indonesia. Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang juga karyawati salah satu bank swasta divonis "bebas murni" oleh Majelis Hakim PN Kelas I A Tangerang dalam sidang pembacaan putusan tertanggal 29 desember 2009.

Prita yang sebelumnya didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dengan mengirimkan keluhan mengenai pelayanan RS Omni Internasional melalui e-mail kepada rekan-rekannya akhirnya mampu bernafas lega setelah majelis hakim menilai bukti-bukti yang diajukan jaksa berupa transkrip e-mail Prita beserta barang2 bukti lainnya tidak memenuhi syarat untuk mempidanakan Prita.
Prita yang dituntut 6 bulan penjara oleh JPU sempat mengajukan pleidoi (pembelaan) yang intinya mengemukakan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Keluhan prita via e-mail tersebut hanyalah sebagai ungkapan hati atas ketidaknyamanan pelayanan yang didapatkannya selama menjalani perawatan di RS tersebut.

Setali tiga uang dengan pembelaan Prita, Majelis Hakim menilai bahwa, meski Prita terbukti mengirim e-mail, namun substansi dari e-mail tersebut bukanlah sebuah pencemaran nama baik, melainkan kritik bagi pihak RS Omni untuk meningkatkan kualitas layanannya agar ke depan, tidak ada lagi pasien yang merasa dirugikan atau dilayani secara tidak patut.

Bila berpikir secara common sense, apa yang dilakukan Prita pada dasarnya merupakan hal biasa, terutama dalam konteks pelayanan jasa kesehatan. Complaint atau keluhan sejatinya, harus didengar pihak rumah sakit, karena selain berkaitan dengan nama baik rumah sakit bersangkutan, juga berkaitan dengan keselamatan pasien agar terhindar dari malpraktik. Tindakan RS yang cenderung mempidanakan pasiennya karena suatu complaint yang disampaikan pada orang lain terkesan berlebihan. Seharusnya, rumah sakit menjadi mitra bagi pasien, terutama dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

RS Omin, seharusnya berbenah, kasus Prita sepatutnya menjadi pelajaran bagi pihak rumah sakit agar melakukan introspeksi dan perbaikan pada sistem dan kualitas layanannya. Demi sebuah kemashlahatan, sudah saatnya ego dipinggirkan untuk memberi sedikit ruang pada nurani dalam menimbang baik dan benar serta mashlahat dan mudharat.

Melihat sisi lainnya, vonis ini semoga menjadi dahaga bagi penegakan hukum Indonesia. majelis hakim dituntut untuk lebih bijaksana dan bersandar pada visi keadilan hukum dalam memutus perkara.