3.17.2010

POSITIVISME HUKUM: Kodifikasi Hukum dan Polemik Penerapannya

M. NATSIR ASNAWI, SHI

MAHASISWA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR

Kontributor dan Layouter Lembaga Pengkajian Hukum "VRIJSPRAAK"


A. Paradigma Positivisme Hukum

Positivisme hukum lahir pada abad ke-19 di tengah pergulatan teoretisi hukum Eropa. Positivisme hukum lahir sebagai kritik atas paradigma berhukum saat itu yang dianggap terlalu idealis dan tidak mempu memenuhi hasrat kepastian hukum (law certainty) karena mengabaikan aspek kodifikatif dari hukum yang menurutnya merupakan jantung penegakan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Abad ke-19 menerima warisan pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang idealis, semisal paradigma hukum alam. Dinamika masyarakat abad itu menunjukkan suatu kecenderungan karakter berpikir yang semakin kritis dan mengarah ke positivisme kebenaran terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Positivisme hukum menganggap betapa pemikiran hukum a priori telah gagal menghadirkan suatu sintesa berhukum yang baik dan falsifikatif karena berangkat dari penalaran yang buruk (Dias, dalam Satjipto Rahardjo, 1991).
Positivisme sebagai dasar dari positivisme hukum berpangkal pada filsafat Immanuel Kant yang mengaggap bahwa manusia tidak dapat menangkap realitas alam selain dengan ilmu pengetahuan. Munculnya negara modern yang semakin memisahkan domain politik dan hukum secara simultan melahirkan kelas-kelas sosial yang menuntut pengorganisasian secara elegan oleh suatu otoritas yang legitimatif, yaitu hukum (Saifullah, 2007). Disinilah letak dasar pemikiran positivistik; bahwa hukum harus dikodifikasi agar hukum dapat menjalankan fungsi sebagai otoritas yang mengatur dan mensinergikan segenap kelas dan kepentingan sosial di masyarakat serta menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Tokoh penting dalam positivisme hukum adalah John Austin dan Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murni-nya. John Austin, sebagai salah satu perintis mazhab ini mendefinisikan hukum sebagai:
“a rule laid down for the guidance of intelligent being by an intelligent being having power over him”
“Peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berkuasa atasnya” (Saifullah, 2007; Otje Salman, 2009)

Theo Huijbers (1982) mengemukakan bahwa paradigma positivisme terbagi atas tiga poros pemikiran, yaitu:
1. Positivisme sosiologis, yang memandang hukum sekedar sebagai gejala sosial, sehingga hukum hanya dapat diselidiki melalui suatu ilmu pengetahuan yang baru, yaitu Sosiologi.
2. Positivisme yuridis, yang melihat dan mengkaji hukum secara esoteristik, yaitu mempersoalkan pemaknaan hukum sebagai gejala (fenomena) tunggal. Pelopor metode (aliran) ini adalah Rudolf von Jhering.
3. Positivisme umum (ajaran umum), dipelopori oleh Adolf Merkl, Karl Bergbohm, Ernst Bierling, dan John Austin. Termasuk pula dalam aliran ini adalah Hans Kelsen (Reine rechts lehre atau Pure legal theory) dan HLA. Hart dengan neopositivisme.
HLA Hart (Rahardjo, 1991; Achmad Ali, 1996) mengemukakan beberapa pengertian positivisme hukum sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah (that laws are commands of human beings).
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum merupakan sesuatu yang patut dilakukan secara signifikan dan komprehensif. Analisis yang berbeda dengan analisis sosiologis, antropologis, maupun penilaian kritis terhadap hukum.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan dalam secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu serta tidak menjadikan tujuan-tujuan sosial, aspek kebijakan, dan moralitas sebagai patron.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, maupun pengujian karena berkaitan dengan dimensi psikologis yang tidak terukur.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, dan positum (ius constitutum) harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan yang diinginkan (ius constituendum). Menurut Hart, inilah substansi positivisme itu sendiri.
John Austin, sebagai salah satu pilar dari positivisme hukum mengemukakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain dianggap sebagai sumber yang rendah atau lemah (subordinate sources) dan karenanya tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang aturan dari penguasa ada. Sumber-sumber yang lebih rendah tersebut (penulis menyebutnya sebagai sumber inferior), bagi Austin sejatinya tidak dianggap sama sekali oleh Austin karena baginya sumber itu tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa. Salah satu konsep dasar dari Austin yang juga menjadi episentrum positivisme hukum adalah sifat otonom hukum dan dapat mencukupi dirinya sendiri (self-sufficient) (Rahardjo, 1991). Ini mengindikasikan bahwa, Austin melihat hukum sebagai entitas yang independen dan adekuat sehingga anasir-anasir non hukum harus dipinggirkan agar tidak mengganggu prosesi internal dalam hukum itu sendiri, serta menjaga wibawa dan efektifitas hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Bagi John Austin, hukum merupakan perintah dari kekuasaan yang berdaulat. Kedaulatan itulah yang menyebabkan hukum memiliki kekuatan mengikat dan memaksa bagi setiap warga negara untuk mematuhinya dan memberikan sanksi bagi setiap pelanggaran yang dilakukan. Sejatinya, Austin memandang bahwa hukum harus dilembagakan dan dikodifikasi agar hukum benar-benar dapat menjadi patron. Dapat dibayangkan jika hukum tidak diundangkan atau dibuat dalam suatu peraturan tertulis, maka gesekan atau benturan legal reasoning menyebabkan hukum berada pada posisi inferior. Inilah yang sesungguhnya ditakutkan oleh Austin; bahwa hukum kemudian tidak memiliki wibawa untuk mengatur masyarakat.
Hukum merupakan perintah dari yang mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. John Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, sehingga anasir-anasir non hukum dianggap tidak penting. Hukum yang sebenarnya mengandung 4 unsur, yaitu (Imran Nating, 2008; Otje Salman, 2009):
1. Perintah
2. Sanksi (sesuatu yang buruk yang melekat pada perintah)
3. Kedaulatan
4. Kewajiban
Achmad Ali (1996) mengikhtisarkan ajaran John Austin sebagai berikut:
1. Hukum adalah perintah dari pihak yang berdaulat (law was the command of the sovereign).
2. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, dengan tidak melihat aspek kebaikan dan keburukannya (aspek moralitas).
3. Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovereignty) mewarnai hampir keseluruhan ajaran John Austin. Konsep tersebut terjabarkan sebagai berikut:
a. Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal.
b. Sifat eksternal dari kedaulatan negara tergambar dalam hukum internasional, sedangkan sifat internalnya tergambar dari hukum positif (hukum yang berlaku di negara itu).
c. Pelaksanaan kedaulatan sebagai dimaksud tersebut membutuhkan ketaatan.
d. Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulatan negara dengan ketaatan terhadap faktor eksternal lainnya, misalnya dalam kasus penodongan. Ketaatan terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi (didasarkan pada undang-undang dan diakui secara sah) sementara dalam faktor lain (misalnya penodongan) tidak demikian, melainkan lebih karena ketakutan dan keterpaksaan.
John Austin menyebut ajarannya sebagai positivisme analitik dan menamakannya konsepnya The Imperative School. Konsep ini membagi hukum menjadi dua, yaitu (Saifullah, 2007):
1. Law set by God to men atau hukum yang berasal dari Tuhan dan diperuntukkan bagi manusia.
2. Law set by men to men atau hukum yang diciptakan oleh manusia dan diperuntukkan bagi manusia. Hukum ini terbagi atas:
a. Hukum dalam arti yang sebenarnya (hukum positif, laws properly so called), memiliki empat unsur, yaitu:
1). Perintah
2). Sanksi
3). Kewajiban
4). Kedaulatan
Segala ketentuan yang tidak mengandung empat unsur tersebut di atas, bukan hukum melainkan hanya moralitas. Inilah episentrum ajaran Austin, bahwa hukum harus dipisahkan dari konsep moralitas.
b. Hukum yang tidak sebenarnya (laws improperly so called), karena tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum; tidak dibuat oleh penguasa. Austin berpendapat bahwa sumber hukum satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi sedangkan sumber yang lain rendah.
Rudolf von Jhering merupakan generasi pelanjut ajaran John Austin. Aksentuasinya pada rasionalitas-utilitarisme hukum. Hukum, selain sebagai peraturan yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat, dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan, sehingga eksistensi hukum bergantung pada paksaan dan kewenangan memaksa mutlak milik negara (Saifullah, 2007).
Rasionalisasi hukum berlangsung dalam dua tahap, yaitu (Saifullah,2007:
1. Niedere jurisprudence, yaitu teknik hukum dengan penyederhanaan dari kuantitas yang berarti pengurangan jumlah kaidah hukum dengan analisis yuridis, konsentrasi logis, sistematik-yuridis, penentuan terminologidan ekonomi yuridis.
2. Begriffjurisprudence, yaitu teknik penyederhanaan bahan hukum dari segi kualitas yang berarti peningkatan hukum menjadi gagasan dan institusi-institusi.
Konsep von Jhering tentang Rasionalitas-Utilitarianisme menempatkan “kepentingan” sebagai tujuan hukum dengan deskripsi yang menggabungkan pandangan Jeremy Bentham dan John Austin. Von Jhering mengartikan “kepentingan” sebagai upaya yang sistematis dan komprehensif dalam memperoleh kesenangan dan menghindari penderitaan, dan kepentingan individu dijadikan sebagai bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan-tujuan pribadi tersebut dengan kepentingan pribadi lainnya (Saifullah, 2007).
Selain John Austin dan Rudolf von Jhering, tokoh penting yang patut ditelaah ajarannya adalah Hans Kelsen dengan Pure Legal Theory-nya. Bagi Kelsen, sistem hukum merupakan sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat ditemui sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang menjadi puncak dari segala kaidah ini disebut dengan grundnorm (Otje Salman, 2009).
Konsep yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan hukum positif yang berbeda-beda membentuk suatu konsep dasar yang merepresentasikan suatu komunitas hukum. Masalah utama dalam teori umum adalah normah hukum, elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, struktur, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam pluralitas tata hukum. Teori Hukum Murni membedakan secara jelas antara hukum empiris (hukum yang berlaku) dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas ¬super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia (Jimly Ash Shiddieqy & Ali Safa’at, 2006).


B. Kritik atas Positivisme Hukum

Positivisme hukum berangkat dari pandangan awal bahwa hukum harus dikodifikasikan dalam suatu konstruk perundangan untuk memisahkannya dengan norma-norma lainnya sekaligus mencirikan positivisme hukum yang bermuara pada terciptanya kepastian hukum. Kepastian dimaksud adalah adanya keyakinan yang kuat bahwa aturan-aturan yang ditaati serta dijalankan oleh aparatur negara benar-benar sesuai dengan amanat undang-undang, tidak didasarkan pada analisis meta undang-undang, yaitu nilai-nilai abstrak yang menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat.
Positivisme sejatinya memiliki iktikad baik, terutama dalam mengakomodir perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan sistem hukum yang lebih sistematis dan positivistik. Kepastian hukum menjadi harga mati untuk membangun negara yang mengedepankan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima. Akan tetapi, positivisme mengabaikan dan bahkan menganggap tidak penting norma-norma di luar hukum yang sejatinya hidup dan berkembang di masyarakat. Bahkan, secara diametral, Satjipto Rahardjo (2008) pernah mengemukakan bahwa dalam jagad ketertiban, hukum bukanlah ototritas tunggal yang bermain di dalamnya. Sekalian norma dan nilai yang hidup di masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja perannya dalam menciptakan ketertiban dan “keteraturan” hukum di masyarakat. Beliau mencontohkan Jepang yang hidup dengan prinsip “kokoro” atau “hati nurani”. Hukum kemudian tidak dipandang sebagai otoritas tertinggi, melainkan kesadaran internal dan nurani lah yang dapat menciptakan ketertiban dan kehidupan masyarakat yang bercirikan keadilan. Bahkan, dalam bahasa yang sedikit “nakal”, Satjipto Rahardjo pernah berseloroh, kalau di Jepang tidak ada hukum, maka Jepang akan baik-baik saja, berbeda dengan di Amerika Serikat, bila tidak tidak ada hukum, maka negara tersebut akan menjadi “the wild wild west” atau liarnya barat yang liar.
Apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat sendiri, ada mekanisme-mekanisme sosial yang yang senantiasa bekerja, apakah berbarengan atau berjalan sendiri-sendiri dengan hukum, untuk menciptakan situasi masyarakat yang aman dan damai. Meski diakui hukum positif memiliki legitimasi yang kuat, tetapi tidak berarti kehadirannya menyebabkan matinya mekanisme sosial yang secara alamiah bekerja dalam masyarakat.
Karl Marx (R. Herlambang Wiratraman, 2008) bahkan pernah mengkritik habis-habisan doktrin posititivisme hukum. Menurutnya, proses-proses hukum sejatinya merupakan proses yang dialektis dan dinamis serta diwarnai dengan berbagai konflik. Konflik antara satu kepentingan dengan kepentingan lainnya merupakan hal yang antitesis dengan paradigma positivisme hukum. Marx kemudian mencurigai bekerjanya hukum sebagai dikendalikan oleh kalangan elit yang kemudian mencederai aspirasi masyarakat yang tergambar dalam akomodasi secara massif kepentingan-kepentingan elit sekaligus mengabaikan kepentingan masyarakat. Hukum kemudian berubah dari kerangka mewujudkan keadilan sosial menjadi kerangka pengakomodasian kepentingan-kepentingan elit. Implikasi lebih lanjut, masyarakat tetap menjadi kaum “papa” yang terlindas oleh kaum elit melalui ekspansi kekuasaan yang secara vulgar mengangkangi habitat aspirasi masyarakat. Masyarakat tidak lagi dilihat sebagai mitra dalam penegakan hukum, melainkan sebagai objek yang senantiasa berada dalam posisi inferior. Inilah yang menjadikan Marx sangat menentang doktrin positivisme hukum yang divonisnya sebagai permainan “picik” dari kaum elit untuk mengakomodir kepentingan-kepentingannya.
Bahwa kemudian positivisme hukum dianggap dapat menciptakan kepastian hukum tidaklah salah, akan tetapi, tidak sepenuhnya benar. Karena sekali lagi, Charles Sampford (Satjipto Rahardjo, 2008) menganggap bahwa hukum penuh dengan ketidakaturan. Kepastian hukum bukanlah proses yang instan, melainkan secara gradual (bertahap) tercapai melalui dialektika proses-proses internal dalam hukum dengan mekanisme-mekanisme sosial yang bekerja dalam masyarakat. Sementara positivisme menganggap eksistensi undang-undang menjamin kepastian hukum, penulis, dengan menyimpulkan pendapat Charles Sampford tadi lebih menganggapnya sebagai kepastian undang-undang, karena kepastian hukum tidak hanya tercermin dari ada tidaknya undang-undang yang mengaturnya, melainkan terinternalisasinya aturan-aturan tersebut dalam masyarakat serta kesejajarannya dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.


KEPUSTAKAAN

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama.

Ashshiddiqie, J. & Safa’at, A. 2006. Teori Hans Kelsen tentang Hukum. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Nating, I. 2008. “Perkembangan Pemikiran Hukum dari Berbagai Mazhab/Aliran” (Online). (http://www.solusihukum.com/artikel/artikel18.php, diakses 25 Pebruari 2010).

Rahardjo, S. 1991. Ilmu Hukum. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Rahardjo, S. 2008. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dengan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Salman, O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

Huijbers, T. 1982. Filsafat dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius.