6.06.2011

TINJAUAN DIALEKTIS TERHADAP HUKUM, MORAL, DAN KEADILAN

TINJAUAN DIALEKTIS TERHADAP HUKUM, MORAL, DAN KEADILAN


Oleh:
M. NATSIR ASNAWI, S.HI.

A. Pendahuluan
Kekeliruan dalam beberapa pandangan selama ini cenderung ingin memisahkan secara tegas antara hukum dan moral menyebabkan hukum tercerabut dari substansinya, yaitu moral. Demikian dipahami karena hukum, dalam penalaran filosofis, merupakan percabangan dari moral yang nilai dan substansinya terejawantah dalam segala perwujudan hukum.
Pembicaraan mengenai hukum, bila dilihat dari optik filsafat, akan bermula dan bermuara pada suatu visi kemanusiaan yang primordial, yaitu keadilan. Mengapa keadilan? Sebab, keadilan menjadi dambaan manusia sejak dahulu dan hukum dipandang sebagai instrumen dasar yang paling kuat dalam mengupayakan tercapaianya keadilan dimaksud. Eksistensi hukum sebagai rangkaian dari unit norma dalam kehidupan masyarakat ditempatkan sebagai the highest norm yang beriringan dengan norma-norma lain yang hidup di masyarakat dalam rangka menciptakan jagad ketertiban serta keadilan secara kumulatif. Peranan hukum demikian diproyeksikan melalui suatu mekanisme yang tidak dapat dipandang secara parsial, karena kenyataan menunjukkan bahwa hukum bukan dinamika tunggal yang esoteristik, melainkan dinamika yang memiliki interdependensi dengan dinamika sosial lainnya. Pada tataran berpikir demikian, hukum dan moral kemudian menjadi dwi tunggal yang tidak terpisahkan, khususnya pada wilayah penegakan hukum.
Sungguh sebuah ironi ketika ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi akan tegaknya supremasi hukum di negara ini kemudian mengalami deviasi akibat aspek moral sebagai unsur yang sangat mendasar terabaikan. Fakta nyata terpampang dengan jelas betapa moral tidak lagi menjadi preferensi bagi penegakan hukum kita, terutama pada level struktur hukum. Mafia hukum, penyimpangan, manipulasi, money laundering, konspirasi menjatuhkan seseorang, hingga kasus perpajakan multi miliar yang menghancurkan sendi-sendi dasar kehidupan bangsa.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab saat ini adalah apakah hukum dan moral masih sanggup menjadi lokomotif penggerak menuju terciptanya keadilan? Bagaimana dinamika hukum dan moral dalam optik keadilan? Perlukah semacam revolusi paradigma dan aksi untuk menggerakkan pembaharuan menyeluruh bagi hukum demi terciptanya keadilan?. Hal inilah yang coba penulis bahas dalam tulisan ini dengan pendekatan dialektis.




B. Relasi Hukum dan Moral dalam Penegakan Hukum
Pada bagian awal tulisan ini, penulis mengemukakan bahwa hukum sebagai norma bukanlah entitas dengan dinamika tunggal, melainkan memiliki interdependensi atau keterkaitan satu sama lain dengan norma-norma yang terangkum dalam unit norma sosial. Hukum, dengan daya paksa dan mengikatnya, sejatinya dipandang sebagai instrumen yang memiliki potensi besar untuk menggerakkan masyarakat dalam menciptakan jagad ketertiban serta menjamin bagi terwujudnya keadilan secara kumulatif.
Pertanyaan kemudian adalah, sesederhana itukah konsep bekerjanya hukum di masyarakat? Jawabnya tidak, karena hukum ternyata memiliki ketergantungan pada bekerjanya norma-norma lain di luar dirinya sehingga membentuk semacam lingkaran yang membentuk skema pendauran. Penegakan hukum harus dipandang sebagai proses yang organis dan dinamis yang digerakkan oleh aparat hukum (struktur hukum).
Aparat hukum dalam mengupayakan penegakan hukum akan berhadapan dengan sejumlah masalah maupun rintangan yang, terkadang, rintangan tersebut sangat berat hingga membutuhkan kerja luar biasa untuk mengatasinya. Lalu, dimanakah letak moral dan relasinya dengan hukum?.
Sebelum menjawab hal tersebut, perlu penulis ungkapkan kembali tentang kenyataan-kenyataan terkini berkaitan dengan penegakan hukum di negara kita. Di saat Antasari Azhar, Ketua KPK saat itu, sedang gencar mengupayakan pemberantasan korupsi kemudian tersandung kasus pembunuhan berencana terhadap Nasaruddin Zulkarnaen, Dirut PT. Rajawali Putra Bandaran, dengan konstruksi kasus cinta segi tiga dengan seorang caddy golf bernama Rani Juliani. Kritik maupun pandangan bermunculan seiring dengan kasus yang sedang dihadapi Antasari ini yang secara umum merupakan tudingan adanya rekayasa terhadap kasus tersebut. Hal ini disebabkan karena dakwaan jaksa berubah-ubah hingga kemudian berujung pada penetapan motif cinta segi tiga sebagai dasar dari terjadinya pembunuhan tersebut. Yang paling mengejutkan adalah, vonis Majelis Hakim 18 tahun kepada Antasari sebagai intellectual dader sangat tidak masuk akal dan oleh banyak pengamat dipandang sebagai “mengada-ada”.
Lepas dari pusaran kasus Antasari, kita diperhadapkan lagi pada kasus bail out Bank Century sebesar 6,7 Triliun yang tidak jelas ujung pangkalnya. Rekomendasi DPR bahwa pengucuran dana bail out tersebut bermasalah dan sarat dengan praktik korupsi, nyatanya hingga saat ini belum menemukan titik terang, bahkan orang yang dianggap paling bertanggung jawab melenggang nyaman ke luar negeri.
Kasus paling hangat dan menyita banyak perhatian adalah kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Halomoan P. Tambunan. Kasus Gayus membuka mata kita betapa penegakan hukum di negara ini masih jauh dari harapan masyarakat. Gayus, dengan dana multi miliarnya mampu menyuap penjaga Rutan Brimob untuk dapat melenggang mulus pelesiran ke luar negeri, membuat paspor palsu, semakin menunjukkan betapa rusaknya moral penegak hukum kita. Mereka berani menggadaikan hukum demi sejumput rupiah yang merusak sendi-sendi dasar kehidupan bangsa.
Korupsi, mafia pajak, penyalahgunaan kekuasaan, hingga konspirasi tingkat tinggi menunjukkan bahwa penegakan hukum di negara kita mengalami masalah yang sangat serius. Ini merupakan emisi hukum yang tidak biasa, tetapi luar biasa, sehingga tidak mengherankan jika kemudian hukum dipandang sebagai norma yang hanya tegas secara tertulis, tetapi tidak dalam pelaksanaannya. Hukum menjadi begitu inferior, tidak berdaya dalam melawan arus pelanggaran dan penyelewengan aturan hukum hingga kemudian hampir menyentuh titik nadir.
Persoalan mendasar dari rangkaian polemik tersebut adalah moral. Ya, moral menjadi masalah utama dari rangkaian polemik di atas. Moralitas penegak hukum yang masih rendah menyebabkan suburnya praktik-praktik mafia dalam penegakan hukum. Mungkin kita sepakat bahwa dalam keseharian kita, sering terpampang secara nyata, tanpa malu-malu, aparat menerima uang suap, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar.
Meskipun moral secara normatif berada di luar hukum, tetapi moral memiliki daya penggerak yang luar biasa untuk menggiring hukum bergerak menuju supremasinya. Moralitas penegak hukum akan sangat menentukan tegak tidaknya hukum dalam kehidupan sehari-hari. Pertarungan moral dengan tirani nafsu atau insting manusia menjadi pergulatan yang abadi dalam sejarah penegakan hukum, dan karenanya moral harus senantiasa menjadi aksentuasi dalam membuat maupun merekonstruksi konsep penegakan hukum di negara kita.
Di siniliah sesungguhnya letak relasi atau hubungan antara hukum dan moral dalam penegakan hukum. Hukum menyediakan serangkaian asas, kaidah, maupun aturan-aturan hukum yang menjadi guidance bagi aparat dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi. Sementara hukum menyediakan guidance, moral menyediakan tameng yang mampu melindungi aparat dari sejumlah godaan maupun rintangan dari luar yang berusaha menerabas proses penegakan hukum yang sedang dijalankan. Moral memberi energi positif luar biasa bagi aparat untuk konsisten dalam menegakkan hukum dan tidak gentar dengan intimidasi maupun intervensi dari pihak luar.
Dalam konteks demikian, Taverne pernah mengemukakan: “berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya akan menciptakan putusan yang baik”. Ungkapan ini kemudian melahirkan suatu postulat, bahwa penegakan hukum sejatinya berlandaskan pada kualitas dan kredibilitas struktur penegak hukumnya. Aparat dipandang sebagai sendi dasar yang paling penting bagi tegaknya hukum. Disinilah, moral memegang peranan yang begitu vital dalam membimbing aparat-aparat penegak hukum untuk senantiasa konsisten dalam menegakkan hukum demi tercapainya keadilan di masyarakat.

C. Via Dolorosa Keadilan
Bagian lain dari tulisan ini telah menegaskan bahwa hukum tidak dapat bekerja sendiri karena hukum bukanlah dinamika tunggal melainkan saling berkaitan dengan dinamika di luar hukum itu sendiri. Bekerjanya hukum di masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kontribusi moral sebagai “polisi” bagi aparat hukum untuk selalu fokus pada tegaknya aturan-aturan hukum. Sebab, bagaimanapun, aturan-aturan hukum hanyalah sekumpulan benda mati yang baru akan bergerak dan berfungsi ketika diberdayakan oleh manusia, dalam hal ini aparat hukum.
Apa yang menjamin aturan-aturan hukum dapat dijalankan dengan baik oleh aparat? Jawabnya adalah moral, tanpa mengesampingkan potensi intelektual mereka. Perlu dipahami bahwa moral disini tidak hanya selalu dikaitkan dengan benar dan salah, baik dan buruk, tetapi juga adil dan tidak adil. Moralitas penegak hukum akan sangat menentukan optik keadilan mereka; bahwa moralitas akan membimbing mereka dalam melihat keadilan pada optik yang terbaik sesuai dengan konteks masalah yang dihadapi sekaligus menjadikan keadilan sebagai tujuan tertinggi bagi sekalian proses penegakan hukum yang telah dan sedang dijalankan.
Keadilan, selama ini masih setia berjalan di atas via dolorosa (jalan penderitaan). Keadilan masih setia merana dalam ketidakberdayaannya menghadapi masalah-masalah dan mafia hukum yang kian hari tampak kian terorganisir dan superior, sementara di sisi lain keadilan menunjukkan kecenderungan inferioritas yang kian parah.
Keadilan, dengan suara yang lirih masih setia memanggil hukum untuk memperhatikan jalannya, mengeluarkannya dari penderitaan yang selama ini telah cukup untuk membuatnya hanya sanggup berjalan merangkak. Kenyataan-kenyataan saat ini menunjukkan betapa keadilan masih harus bersabar untuk mencapai supremasinya.
Mungkin benar apa yang dituturkan sang begawan hukum kita, Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa fenomena hukum luar biasa, dalam hal ini pelanggaran dan penyalahgunaan hukum, harus dilawan dan diatasi dengan kerja-kerja yang luar biasa pula. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan mekanisme hukum semata. Diperlukan daya paksa dari luar hukum, yaitu masyarakat dengan segenap potensi dan kekuatannya. Kita mungkin masih mengingat dengan sangat baik bagaimana kekuatan rakyat mampu menggulingkan rezim otoriter semisal Suharto, Husni Mobarak, hingga Ben Ali hingga mereka kemudian ketakutan dan memilih mengasingkan diri di luar negeri. Seharusnya hal ini menyadarkan kita semua bahwa ada kekuatan di luar hukum yang sangat superior dan mampu meruntuhkan tirani ketidakadilan yang selama ini menjadi masalah di hampir semua negara di dunia ini. Hukum tidak boleh lagi dipandang sebagaimana adanya, tetapi harus dipandang sebagai sebuah kekuatan yang harus didukung oleh kekuatan di luar dirinya melalui suatu proses unifikasi.
Kekuatan masyarakat tersebut sesungguhnya merupakan kekuatan moral yang menggerakkan seluruh energi kehidupan untuk melakukan revolusi, khususnya di bidang hukum untuk mewujudkan keadilan tertinggi (the ultimate justice) di masyarakat. Karenanya, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa hukum dan moral harus berjalan seiring dan tidak boleh dipisahkan sama sekali.
Via dolorosa keadilan harus segera direkonstruksi dan menjadikannya sebagai “boulevard”; jalan raya yang mulus yang memanjakan keadilan untuk berjalan secara pasti menuju supremasinya. Kerja-kerja hukum dan di luar hukum dengan cara luar biasa harus segera diimplementasikan tanpa menunggu siapa yang harus berdiri di garda terdepan, karena jalan kebenaran dan keadilan hanya menunggu individu-individu yang terpanggil untuk menginisiasi kerja-kerja luar biasa tersebut.
D. Reorientasi dan Reformasi Pendidikan Hukum
Seorang yuris yang baik dan profesional sejatinya berasal dari didikan institusi atau universitas yang mengelola fakultas hukum. Di dalamnya para yuris melalui serangkaian tahapan pendidikan dan pembentukan karakter sebagai layaknya seorang yuris. Mereka kemudian diajak untuk memahami hal-hal teknis maupun filosofis mengenai apa dan bagaimana hukum itu lalu kemudian dibimbing untuk mengaitkan hal demikian pada kondisi dan dinamika di masyarakat.
Pendidikan hukum, khususnya di perguruan tinggi selayaknya merupakan gerbang bagi terciptanya insan-insan akademis hukum yang memiliki intelektualitas tinggi, profesional, memiliki integritas yang baik, serta bervisi menegakkan hukum sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Asumsi demikian bukanlah sekedar apriori belaka yang mengesampingkan peran pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan dalam keluarga, tetapi lebih sebagai sebuah apresiasi yang demikian tinggi terhadap perguruan tinggi sebagai the last resort dalam menciptakan para yuris handal. Paling tidak, hal ini dapat kita justifikasi dengan kurkulum dan pola pendidikan di perguruan tinggi yang berorientasi pada peningkatan kemampuan anak didik untuk dapat menguasai hukum dalam taraf yang sebaik mungkin. Mereka tidak lagi dididik sebagaimana layaknya didikan pada pendidikan dasar dan menengah, melainkan dididik melalui pendekatan yang lebih progresif antara lain dengan memberi kesempatan kepada mereka secara lebih luas untuk mengelaborasi pemikiran atau gagasan mereka tentang hukum.
Pun demikian, pendidikan hukum kita ternyata belum mampu hadir sebagaimana ekspektasi dan ke-sejatian-nya. Dapat diperdebatkan memang pernyataan tersebut, tetapi kenyataan yang menunjukkan tren penegakan hukum yang kian jauh dari harapan masyarakat sedikit memperkuat asumsi tersebut. Logikanya sederhana, para yuris maupun calon yuris merupakan alumni perguruan tinggi yang bergelar, paling tidak Sarjana Hukum (S.H) atau Sarjana Hukum Islam (S.HI.) yang mendidik dan membina mereka selama lebih kurang empat tahun untuk dapat menguasai ilmu atau pemahaman dasar mengenai hukum serta dibekali dengan visi bagaimana menerapkan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, pola pendidikan hukum yang selama ini diterapkan di perguruan tinggi ternyata belum mampu –meski masih ada alumni yang menjadi yuris handal dan berintegritas tinggi –mencetak yuris yang sesuai dengan idealitas penegakan hukum. Masalah bagi mereka tidak hanya profesionalisme alias kapasitas dan potensi intelektual, tetapi juga masalah moral yang sangat memprihatinkan. Mafia hukum, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan politik uang (money politics) mewarnai hampir sekalian proses hukum yang sedang dan telah berjalan. Kehancuran moral hingga tatanan hukum merupakan gambaran nyata betapa yuris kita telah gagal dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab besar yang dipikulkan kepada mereka.
Persoalan saat ini adalah, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Bila menilik lebih jauh mengenai proses dan kurikulum pendidikan hukum kita, khususnya di perguruan tinggi, dapat disimpulkan sementara bahwa proses dan kurikulum pendidikan tersebut telah mengabaikan satu aspek mendasar yang sangat urgen, yaitu aspek moral. Berapa SKS mata kuliah yang membahas tentang moral dalam kurikulum pendidikan hukum kita? Berapa SKS pula yang dialokasikan untuk pendidikan agama dan pendidikan Kewarganegaraan? Bila melihat kenyataan yang ada, secara kumulatif, dari ketiga patron tersebut, maka rentangnya hanya berada pada kisaran 6 – 10 SKS. Sebuah prevalensi yang sangat ironis, karena kemudian peserta didik hanya dicekoki dengan segala hal teknis mengenai hukum, sembari mengabaikan aspek moral sebagai panutan atau pedoman bagi mereka dalam memahami dan menjalankan hukum (berhukum), tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam lingkungan birokrasi atau institusinya kelak kala yang bersangkutan menjadi seorang yuris.
Kemiskinan moral atau spiritualitas merupakan akar masalah yang memunculkan kekacauan dalam sistem dan penegakan hukum kita. Karenanya, adalah bijak jika kemudian kita coba melakukan semacam upaya reorientasi dan reformasi pendidikan hukum, khususnya pada perguruan tinggi. Reorientasi dapat dilakukan dengan “memperbaiki” visi pendidikan hukum kita yang tidak hanya mencetak alumni yang memahami hukum secara baik, tetapi juga memiliki moralitas yang baik pula sehingga mereka tidak hanya melihat dan memahami hukum sebagai hal teknis belaka melainkan juga sebagai sebuah pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan keputusan atau kebijakan yang diambil atau diterapkan. Juga sebagai alumni yang memiliki kesadaran transenden yang baik sehingga mengerti dan memahami benar bahwa setiap tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya memiliki dwi implikasi sekaligus, yaitu implikasi dunia dan implikasi akhirat.
Sementara itu, reformasi pendidikan hukum dapat ditempuh, sebagai langkah awal, dengan mengubah pola pengajaran dan muatan kurkulum pendidikan hukum kita. Seperti disebut sebelumnya, kurikulum pendidikan hukum kita harus disesaki dengan muatan-muatan moral dan agama secara simultan. Dengan demikian, pendidikan hukum kita tidak lagi miskin aspek pembangunan dan pengembangan moral dan religiusitas. Pada akhirnya, sesuai dengan apa yang kita dambakan bersama, akan lahir calon yuris handal, profesional, jujur, dan berintegritas tinggi sebagai hasil dari didikan pendidikan hukum kita.
E. Dimulai dari Awal
Secara dialektis, relasi hukum, moral, dan keadilan telah dipaparkan sebelumnya. Penulis kemudian mencoba melihat implementasi nyata dari ketiga entitas yang saling berkaitan tersebut.
Permasalahan mendasar dalam penegakan hukum di negara kita sesungguhnya bukan pada level substansi hukum, melainkan pada level struktur dan budaya hukum. Substansi hukum, dalam hal peraturan perundang-undangan pada dasarnya sudah cukup baik terlepas dari kekurangan di sana-sini, perundang-undangan tersebut sebagai scripta telah dapat memberi pedoman (patronase) bagi arah penegakan hukum nasional.
Yang menjadi persoalan mendasar justru pada level struktur dan budaya hukum kita. Masalah mendasarnya di mana? Masalahnya ada pada moralitas, tidak hanya aparat, tetapi juga masyarakat. Seperti telah dipaparkan pada bagian lain dari tulisan ini, sebagian aparat hukum kita mengalami semacam penyakit akut yang kian hari kian parah, yaitu “tidak tahan melihat uang”. Penyakit tersebut merupakan penyakit kambuhan yang kian menjadi-jadi manakala yang bersangkutan diperhadapkan pada seonggok rupiah atau bahkan dolar.
Penulis coba menganalisis permasalahan ini dengan menarik suatu penalaran mundur ke belakang. Apa sesungguhnya yang salah dengan aparat kita? Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis berakhir pada satu kesimpulan, yang masih tentatif, bahwa sistem perekrutan aparat kita menjadi penyebab dari munculnya masalah hukum selama ini. Pola perekrutan aparat hukum yang instan, manipulatif, dan dibungkus dengan suap-suapan multi juta menyebabkan mentalitas calon aparat yang direkrut tidak jauh dari prosesi atau ritual awal perekrutannya. Kita harus realistis, bahwa saat ini, untuk menjadi PNS pada institusi-institusi hukum, meskipun tidak semua perekrutan seperti itu, seseorang dituntut untuk menyediakan sejumlah rupiah sebagai pelicin bagi kelulusannya. Bahkan prevalensinya kian meningkat, hingga menyentuh hampir setiap institusi penegak hukum di negara kita.
Praktik-praktik suap dan adanya uang pelicin demi kelulusan seseorang tanpa kita sadari telah menghancurkan moral dan mentalitas calon aparat kita. Betapa tidak, proses yang mereka jalani begitu mudah, sampai-sampai ujian penerimaan PNS dipandang sebagai formalitas belaka hingga mereka tidak perlu belajar atau berjuang hingga pada taraf maksimal. Terlepas dari itu semua, masih ada perekrutan yang bersih pada institusi tertentu, itupun pada satu atau beberapa pos jabatan yang ditawarkan, selebihnya masih sangat rentan dengan praktik seperti disebut di atas.
Tidaklah mengherankan kualitas aparat penegak hukum kita masih jauh dari ekspektasi masyarakat selama ini. Penerimaan yang instan dan dibarengi dengan uang pelicin menyebabkan proses seleksi atau ujian tidak berhasil menyaring individu-individu yang unggul secara intelektual, emosional, dan spiritual untuk kemudian ditempatkan pada pos-pos jabatan tertentu yang nantinya akan menjalankan dan menjawab amanah hukum dan masyarakat untuk menegakkan hukum.
Kita pun mungkin tahu, proses yang mudah dan tanpa harus mengeluarkan energi lebih menyebabkan seseorang cenderung kurang menghargai apa yang telah dia dapatkan. Ini sudah menjadi semacam postulat yang berlaku di masyarakat. Sehingga, tidaklah mengherankan mental sebagian aparat yang terbentuk tidak jauh dari mentalitas “UUD” alias ujung-ujungnya duit, mental pecundang, dan bahkan mental mafia.
Karenanya, harus dimulai dari awal. Bahwa tegaknya hukum di negara kita harus dimulai dari awal, yaitu dari perekrutan aparat secara ketat dan konsisten sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. Bila tidak demikian, jangan pernah bermimpi negara ini akan lepas dari jeratan korupsi, mafia hukum, dan ketidakadilan yang merajalela.
F. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, penulis ingin mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Hukum, moral, dan keadilan merupakan entitas yang berada pada garis linier, sehingga diantara ketiganya seiring sejalan satu sama lain. Implikasinya, hukum tidak dapat dipisahkan dari moral dan penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari optik keadilan. Inilah sesungguhnya interaksi dialektis diantara hukum, moral, dan keadilan.
2. Bahwa penegakan hukum bukanlah dinamika tunggal, melainkan terkait dan bahkan bergantung pada dinamika di luar dirinya, khususnya moral. Moral menjadi semacam lokomotif yang menghidupkan dan menggerakkan hukum untuk bergerak pada arasnya menuju terciptanya supremasi hukum sebagai diharapkan masyarakat selama ini.
3. Masalah penegakan hukum kita sejatinya merupakan masalah yang sangat kompleks hingga membutuhkan kerja-kerja luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut. Dimulai dari reorientasi dan reformasi pendidikan hukum, khususnya pada perguruan tinggi; transparansi seleksi penerimaan aparat; hingga memaksimalkan potensi dan kekuatan masyarakat untuk menggerakkan revolusi atau perubahan secara radikal dan komprehensif dalam penegakan hukum di negara kita. Semoga!