6.06.2011

TINJAUAN DIALEKTIS TERHADAP HUKUM, MORAL, DAN KEADILAN

TINJAUAN DIALEKTIS TERHADAP HUKUM, MORAL, DAN KEADILAN


Oleh:
M. NATSIR ASNAWI, S.HI.

A. Pendahuluan
Kekeliruan dalam beberapa pandangan selama ini cenderung ingin memisahkan secara tegas antara hukum dan moral menyebabkan hukum tercerabut dari substansinya, yaitu moral. Demikian dipahami karena hukum, dalam penalaran filosofis, merupakan percabangan dari moral yang nilai dan substansinya terejawantah dalam segala perwujudan hukum.
Pembicaraan mengenai hukum, bila dilihat dari optik filsafat, akan bermula dan bermuara pada suatu visi kemanusiaan yang primordial, yaitu keadilan. Mengapa keadilan? Sebab, keadilan menjadi dambaan manusia sejak dahulu dan hukum dipandang sebagai instrumen dasar yang paling kuat dalam mengupayakan tercapaianya keadilan dimaksud. Eksistensi hukum sebagai rangkaian dari unit norma dalam kehidupan masyarakat ditempatkan sebagai the highest norm yang beriringan dengan norma-norma lain yang hidup di masyarakat dalam rangka menciptakan jagad ketertiban serta keadilan secara kumulatif. Peranan hukum demikian diproyeksikan melalui suatu mekanisme yang tidak dapat dipandang secara parsial, karena kenyataan menunjukkan bahwa hukum bukan dinamika tunggal yang esoteristik, melainkan dinamika yang memiliki interdependensi dengan dinamika sosial lainnya. Pada tataran berpikir demikian, hukum dan moral kemudian menjadi dwi tunggal yang tidak terpisahkan, khususnya pada wilayah penegakan hukum.
Sungguh sebuah ironi ketika ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi akan tegaknya supremasi hukum di negara ini kemudian mengalami deviasi akibat aspek moral sebagai unsur yang sangat mendasar terabaikan. Fakta nyata terpampang dengan jelas betapa moral tidak lagi menjadi preferensi bagi penegakan hukum kita, terutama pada level struktur hukum. Mafia hukum, penyimpangan, manipulasi, money laundering, konspirasi menjatuhkan seseorang, hingga kasus perpajakan multi miliar yang menghancurkan sendi-sendi dasar kehidupan bangsa.
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab saat ini adalah apakah hukum dan moral masih sanggup menjadi lokomotif penggerak menuju terciptanya keadilan? Bagaimana dinamika hukum dan moral dalam optik keadilan? Perlukah semacam revolusi paradigma dan aksi untuk menggerakkan pembaharuan menyeluruh bagi hukum demi terciptanya keadilan?. Hal inilah yang coba penulis bahas dalam tulisan ini dengan pendekatan dialektis.




B. Relasi Hukum dan Moral dalam Penegakan Hukum
Pada bagian awal tulisan ini, penulis mengemukakan bahwa hukum sebagai norma bukanlah entitas dengan dinamika tunggal, melainkan memiliki interdependensi atau keterkaitan satu sama lain dengan norma-norma yang terangkum dalam unit norma sosial. Hukum, dengan daya paksa dan mengikatnya, sejatinya dipandang sebagai instrumen yang memiliki potensi besar untuk menggerakkan masyarakat dalam menciptakan jagad ketertiban serta menjamin bagi terwujudnya keadilan secara kumulatif.
Pertanyaan kemudian adalah, sesederhana itukah konsep bekerjanya hukum di masyarakat? Jawabnya tidak, karena hukum ternyata memiliki ketergantungan pada bekerjanya norma-norma lain di luar dirinya sehingga membentuk semacam lingkaran yang membentuk skema pendauran. Penegakan hukum harus dipandang sebagai proses yang organis dan dinamis yang digerakkan oleh aparat hukum (struktur hukum).
Aparat hukum dalam mengupayakan penegakan hukum akan berhadapan dengan sejumlah masalah maupun rintangan yang, terkadang, rintangan tersebut sangat berat hingga membutuhkan kerja luar biasa untuk mengatasinya. Lalu, dimanakah letak moral dan relasinya dengan hukum?.
Sebelum menjawab hal tersebut, perlu penulis ungkapkan kembali tentang kenyataan-kenyataan terkini berkaitan dengan penegakan hukum di negara kita. Di saat Antasari Azhar, Ketua KPK saat itu, sedang gencar mengupayakan pemberantasan korupsi kemudian tersandung kasus pembunuhan berencana terhadap Nasaruddin Zulkarnaen, Dirut PT. Rajawali Putra Bandaran, dengan konstruksi kasus cinta segi tiga dengan seorang caddy golf bernama Rani Juliani. Kritik maupun pandangan bermunculan seiring dengan kasus yang sedang dihadapi Antasari ini yang secara umum merupakan tudingan adanya rekayasa terhadap kasus tersebut. Hal ini disebabkan karena dakwaan jaksa berubah-ubah hingga kemudian berujung pada penetapan motif cinta segi tiga sebagai dasar dari terjadinya pembunuhan tersebut. Yang paling mengejutkan adalah, vonis Majelis Hakim 18 tahun kepada Antasari sebagai intellectual dader sangat tidak masuk akal dan oleh banyak pengamat dipandang sebagai “mengada-ada”.
Lepas dari pusaran kasus Antasari, kita diperhadapkan lagi pada kasus bail out Bank Century sebesar 6,7 Triliun yang tidak jelas ujung pangkalnya. Rekomendasi DPR bahwa pengucuran dana bail out tersebut bermasalah dan sarat dengan praktik korupsi, nyatanya hingga saat ini belum menemukan titik terang, bahkan orang yang dianggap paling bertanggung jawab melenggang nyaman ke luar negeri.
Kasus paling hangat dan menyita banyak perhatian adalah kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Halomoan P. Tambunan. Kasus Gayus membuka mata kita betapa penegakan hukum di negara ini masih jauh dari harapan masyarakat. Gayus, dengan dana multi miliarnya mampu menyuap penjaga Rutan Brimob untuk dapat melenggang mulus pelesiran ke luar negeri, membuat paspor palsu, semakin menunjukkan betapa rusaknya moral penegak hukum kita. Mereka berani menggadaikan hukum demi sejumput rupiah yang merusak sendi-sendi dasar kehidupan bangsa.
Korupsi, mafia pajak, penyalahgunaan kekuasaan, hingga konspirasi tingkat tinggi menunjukkan bahwa penegakan hukum di negara kita mengalami masalah yang sangat serius. Ini merupakan emisi hukum yang tidak biasa, tetapi luar biasa, sehingga tidak mengherankan jika kemudian hukum dipandang sebagai norma yang hanya tegas secara tertulis, tetapi tidak dalam pelaksanaannya. Hukum menjadi begitu inferior, tidak berdaya dalam melawan arus pelanggaran dan penyelewengan aturan hukum hingga kemudian hampir menyentuh titik nadir.
Persoalan mendasar dari rangkaian polemik tersebut adalah moral. Ya, moral menjadi masalah utama dari rangkaian polemik di atas. Moralitas penegak hukum yang masih rendah menyebabkan suburnya praktik-praktik mafia dalam penegakan hukum. Mungkin kita sepakat bahwa dalam keseharian kita, sering terpampang secara nyata, tanpa malu-malu, aparat menerima uang suap, baik dalam skala kecil maupun dalam skala besar.
Meskipun moral secara normatif berada di luar hukum, tetapi moral memiliki daya penggerak yang luar biasa untuk menggiring hukum bergerak menuju supremasinya. Moralitas penegak hukum akan sangat menentukan tegak tidaknya hukum dalam kehidupan sehari-hari. Pertarungan moral dengan tirani nafsu atau insting manusia menjadi pergulatan yang abadi dalam sejarah penegakan hukum, dan karenanya moral harus senantiasa menjadi aksentuasi dalam membuat maupun merekonstruksi konsep penegakan hukum di negara kita.
Di siniliah sesungguhnya letak relasi atau hubungan antara hukum dan moral dalam penegakan hukum. Hukum menyediakan serangkaian asas, kaidah, maupun aturan-aturan hukum yang menjadi guidance bagi aparat dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum yang terjadi. Sementara hukum menyediakan guidance, moral menyediakan tameng yang mampu melindungi aparat dari sejumlah godaan maupun rintangan dari luar yang berusaha menerabas proses penegakan hukum yang sedang dijalankan. Moral memberi energi positif luar biasa bagi aparat untuk konsisten dalam menegakkan hukum dan tidak gentar dengan intimidasi maupun intervensi dari pihak luar.
Dalam konteks demikian, Taverne pernah mengemukakan: “berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya akan menciptakan putusan yang baik”. Ungkapan ini kemudian melahirkan suatu postulat, bahwa penegakan hukum sejatinya berlandaskan pada kualitas dan kredibilitas struktur penegak hukumnya. Aparat dipandang sebagai sendi dasar yang paling penting bagi tegaknya hukum. Disinilah, moral memegang peranan yang begitu vital dalam membimbing aparat-aparat penegak hukum untuk senantiasa konsisten dalam menegakkan hukum demi tercapainya keadilan di masyarakat.

C. Via Dolorosa Keadilan
Bagian lain dari tulisan ini telah menegaskan bahwa hukum tidak dapat bekerja sendiri karena hukum bukanlah dinamika tunggal melainkan saling berkaitan dengan dinamika di luar hukum itu sendiri. Bekerjanya hukum di masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kontribusi moral sebagai “polisi” bagi aparat hukum untuk selalu fokus pada tegaknya aturan-aturan hukum. Sebab, bagaimanapun, aturan-aturan hukum hanyalah sekumpulan benda mati yang baru akan bergerak dan berfungsi ketika diberdayakan oleh manusia, dalam hal ini aparat hukum.
Apa yang menjamin aturan-aturan hukum dapat dijalankan dengan baik oleh aparat? Jawabnya adalah moral, tanpa mengesampingkan potensi intelektual mereka. Perlu dipahami bahwa moral disini tidak hanya selalu dikaitkan dengan benar dan salah, baik dan buruk, tetapi juga adil dan tidak adil. Moralitas penegak hukum akan sangat menentukan optik keadilan mereka; bahwa moralitas akan membimbing mereka dalam melihat keadilan pada optik yang terbaik sesuai dengan konteks masalah yang dihadapi sekaligus menjadikan keadilan sebagai tujuan tertinggi bagi sekalian proses penegakan hukum yang telah dan sedang dijalankan.
Keadilan, selama ini masih setia berjalan di atas via dolorosa (jalan penderitaan). Keadilan masih setia merana dalam ketidakberdayaannya menghadapi masalah-masalah dan mafia hukum yang kian hari tampak kian terorganisir dan superior, sementara di sisi lain keadilan menunjukkan kecenderungan inferioritas yang kian parah.
Keadilan, dengan suara yang lirih masih setia memanggil hukum untuk memperhatikan jalannya, mengeluarkannya dari penderitaan yang selama ini telah cukup untuk membuatnya hanya sanggup berjalan merangkak. Kenyataan-kenyataan saat ini menunjukkan betapa keadilan masih harus bersabar untuk mencapai supremasinya.
Mungkin benar apa yang dituturkan sang begawan hukum kita, Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa fenomena hukum luar biasa, dalam hal ini pelanggaran dan penyalahgunaan hukum, harus dilawan dan diatasi dengan kerja-kerja yang luar biasa pula. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan mekanisme hukum semata. Diperlukan daya paksa dari luar hukum, yaitu masyarakat dengan segenap potensi dan kekuatannya. Kita mungkin masih mengingat dengan sangat baik bagaimana kekuatan rakyat mampu menggulingkan rezim otoriter semisal Suharto, Husni Mobarak, hingga Ben Ali hingga mereka kemudian ketakutan dan memilih mengasingkan diri di luar negeri. Seharusnya hal ini menyadarkan kita semua bahwa ada kekuatan di luar hukum yang sangat superior dan mampu meruntuhkan tirani ketidakadilan yang selama ini menjadi masalah di hampir semua negara di dunia ini. Hukum tidak boleh lagi dipandang sebagaimana adanya, tetapi harus dipandang sebagai sebuah kekuatan yang harus didukung oleh kekuatan di luar dirinya melalui suatu proses unifikasi.
Kekuatan masyarakat tersebut sesungguhnya merupakan kekuatan moral yang menggerakkan seluruh energi kehidupan untuk melakukan revolusi, khususnya di bidang hukum untuk mewujudkan keadilan tertinggi (the ultimate justice) di masyarakat. Karenanya, sudah tidak terbantahkan lagi bahwa hukum dan moral harus berjalan seiring dan tidak boleh dipisahkan sama sekali.
Via dolorosa keadilan harus segera direkonstruksi dan menjadikannya sebagai “boulevard”; jalan raya yang mulus yang memanjakan keadilan untuk berjalan secara pasti menuju supremasinya. Kerja-kerja hukum dan di luar hukum dengan cara luar biasa harus segera diimplementasikan tanpa menunggu siapa yang harus berdiri di garda terdepan, karena jalan kebenaran dan keadilan hanya menunggu individu-individu yang terpanggil untuk menginisiasi kerja-kerja luar biasa tersebut.
D. Reorientasi dan Reformasi Pendidikan Hukum
Seorang yuris yang baik dan profesional sejatinya berasal dari didikan institusi atau universitas yang mengelola fakultas hukum. Di dalamnya para yuris melalui serangkaian tahapan pendidikan dan pembentukan karakter sebagai layaknya seorang yuris. Mereka kemudian diajak untuk memahami hal-hal teknis maupun filosofis mengenai apa dan bagaimana hukum itu lalu kemudian dibimbing untuk mengaitkan hal demikian pada kondisi dan dinamika di masyarakat.
Pendidikan hukum, khususnya di perguruan tinggi selayaknya merupakan gerbang bagi terciptanya insan-insan akademis hukum yang memiliki intelektualitas tinggi, profesional, memiliki integritas yang baik, serta bervisi menegakkan hukum sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Asumsi demikian bukanlah sekedar apriori belaka yang mengesampingkan peran pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan dalam keluarga, tetapi lebih sebagai sebuah apresiasi yang demikian tinggi terhadap perguruan tinggi sebagai the last resort dalam menciptakan para yuris handal. Paling tidak, hal ini dapat kita justifikasi dengan kurkulum dan pola pendidikan di perguruan tinggi yang berorientasi pada peningkatan kemampuan anak didik untuk dapat menguasai hukum dalam taraf yang sebaik mungkin. Mereka tidak lagi dididik sebagaimana layaknya didikan pada pendidikan dasar dan menengah, melainkan dididik melalui pendekatan yang lebih progresif antara lain dengan memberi kesempatan kepada mereka secara lebih luas untuk mengelaborasi pemikiran atau gagasan mereka tentang hukum.
Pun demikian, pendidikan hukum kita ternyata belum mampu hadir sebagaimana ekspektasi dan ke-sejatian-nya. Dapat diperdebatkan memang pernyataan tersebut, tetapi kenyataan yang menunjukkan tren penegakan hukum yang kian jauh dari harapan masyarakat sedikit memperkuat asumsi tersebut. Logikanya sederhana, para yuris maupun calon yuris merupakan alumni perguruan tinggi yang bergelar, paling tidak Sarjana Hukum (S.H) atau Sarjana Hukum Islam (S.HI.) yang mendidik dan membina mereka selama lebih kurang empat tahun untuk dapat menguasai ilmu atau pemahaman dasar mengenai hukum serta dibekali dengan visi bagaimana menerapkan hukum dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, pola pendidikan hukum yang selama ini diterapkan di perguruan tinggi ternyata belum mampu –meski masih ada alumni yang menjadi yuris handal dan berintegritas tinggi –mencetak yuris yang sesuai dengan idealitas penegakan hukum. Masalah bagi mereka tidak hanya profesionalisme alias kapasitas dan potensi intelektual, tetapi juga masalah moral yang sangat memprihatinkan. Mafia hukum, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan politik uang (money politics) mewarnai hampir sekalian proses hukum yang sedang dan telah berjalan. Kehancuran moral hingga tatanan hukum merupakan gambaran nyata betapa yuris kita telah gagal dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab besar yang dipikulkan kepada mereka.
Persoalan saat ini adalah, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Bila menilik lebih jauh mengenai proses dan kurikulum pendidikan hukum kita, khususnya di perguruan tinggi, dapat disimpulkan sementara bahwa proses dan kurikulum pendidikan tersebut telah mengabaikan satu aspek mendasar yang sangat urgen, yaitu aspek moral. Berapa SKS mata kuliah yang membahas tentang moral dalam kurikulum pendidikan hukum kita? Berapa SKS pula yang dialokasikan untuk pendidikan agama dan pendidikan Kewarganegaraan? Bila melihat kenyataan yang ada, secara kumulatif, dari ketiga patron tersebut, maka rentangnya hanya berada pada kisaran 6 – 10 SKS. Sebuah prevalensi yang sangat ironis, karena kemudian peserta didik hanya dicekoki dengan segala hal teknis mengenai hukum, sembari mengabaikan aspek moral sebagai panutan atau pedoman bagi mereka dalam memahami dan menjalankan hukum (berhukum), tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam lingkungan birokrasi atau institusinya kelak kala yang bersangkutan menjadi seorang yuris.
Kemiskinan moral atau spiritualitas merupakan akar masalah yang memunculkan kekacauan dalam sistem dan penegakan hukum kita. Karenanya, adalah bijak jika kemudian kita coba melakukan semacam upaya reorientasi dan reformasi pendidikan hukum, khususnya pada perguruan tinggi. Reorientasi dapat dilakukan dengan “memperbaiki” visi pendidikan hukum kita yang tidak hanya mencetak alumni yang memahami hukum secara baik, tetapi juga memiliki moralitas yang baik pula sehingga mereka tidak hanya melihat dan memahami hukum sebagai hal teknis belaka melainkan juga sebagai sebuah pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan keputusan atau kebijakan yang diambil atau diterapkan. Juga sebagai alumni yang memiliki kesadaran transenden yang baik sehingga mengerti dan memahami benar bahwa setiap tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya memiliki dwi implikasi sekaligus, yaitu implikasi dunia dan implikasi akhirat.
Sementara itu, reformasi pendidikan hukum dapat ditempuh, sebagai langkah awal, dengan mengubah pola pengajaran dan muatan kurkulum pendidikan hukum kita. Seperti disebut sebelumnya, kurikulum pendidikan hukum kita harus disesaki dengan muatan-muatan moral dan agama secara simultan. Dengan demikian, pendidikan hukum kita tidak lagi miskin aspek pembangunan dan pengembangan moral dan religiusitas. Pada akhirnya, sesuai dengan apa yang kita dambakan bersama, akan lahir calon yuris handal, profesional, jujur, dan berintegritas tinggi sebagai hasil dari didikan pendidikan hukum kita.
E. Dimulai dari Awal
Secara dialektis, relasi hukum, moral, dan keadilan telah dipaparkan sebelumnya. Penulis kemudian mencoba melihat implementasi nyata dari ketiga entitas yang saling berkaitan tersebut.
Permasalahan mendasar dalam penegakan hukum di negara kita sesungguhnya bukan pada level substansi hukum, melainkan pada level struktur dan budaya hukum. Substansi hukum, dalam hal peraturan perundang-undangan pada dasarnya sudah cukup baik terlepas dari kekurangan di sana-sini, perundang-undangan tersebut sebagai scripta telah dapat memberi pedoman (patronase) bagi arah penegakan hukum nasional.
Yang menjadi persoalan mendasar justru pada level struktur dan budaya hukum kita. Masalah mendasarnya di mana? Masalahnya ada pada moralitas, tidak hanya aparat, tetapi juga masyarakat. Seperti telah dipaparkan pada bagian lain dari tulisan ini, sebagian aparat hukum kita mengalami semacam penyakit akut yang kian hari kian parah, yaitu “tidak tahan melihat uang”. Penyakit tersebut merupakan penyakit kambuhan yang kian menjadi-jadi manakala yang bersangkutan diperhadapkan pada seonggok rupiah atau bahkan dolar.
Penulis coba menganalisis permasalahan ini dengan menarik suatu penalaran mundur ke belakang. Apa sesungguhnya yang salah dengan aparat kita? Tanpa mengurangi rasa hormat, penulis berakhir pada satu kesimpulan, yang masih tentatif, bahwa sistem perekrutan aparat kita menjadi penyebab dari munculnya masalah hukum selama ini. Pola perekrutan aparat hukum yang instan, manipulatif, dan dibungkus dengan suap-suapan multi juta menyebabkan mentalitas calon aparat yang direkrut tidak jauh dari prosesi atau ritual awal perekrutannya. Kita harus realistis, bahwa saat ini, untuk menjadi PNS pada institusi-institusi hukum, meskipun tidak semua perekrutan seperti itu, seseorang dituntut untuk menyediakan sejumlah rupiah sebagai pelicin bagi kelulusannya. Bahkan prevalensinya kian meningkat, hingga menyentuh hampir setiap institusi penegak hukum di negara kita.
Praktik-praktik suap dan adanya uang pelicin demi kelulusan seseorang tanpa kita sadari telah menghancurkan moral dan mentalitas calon aparat kita. Betapa tidak, proses yang mereka jalani begitu mudah, sampai-sampai ujian penerimaan PNS dipandang sebagai formalitas belaka hingga mereka tidak perlu belajar atau berjuang hingga pada taraf maksimal. Terlepas dari itu semua, masih ada perekrutan yang bersih pada institusi tertentu, itupun pada satu atau beberapa pos jabatan yang ditawarkan, selebihnya masih sangat rentan dengan praktik seperti disebut di atas.
Tidaklah mengherankan kualitas aparat penegak hukum kita masih jauh dari ekspektasi masyarakat selama ini. Penerimaan yang instan dan dibarengi dengan uang pelicin menyebabkan proses seleksi atau ujian tidak berhasil menyaring individu-individu yang unggul secara intelektual, emosional, dan spiritual untuk kemudian ditempatkan pada pos-pos jabatan tertentu yang nantinya akan menjalankan dan menjawab amanah hukum dan masyarakat untuk menegakkan hukum.
Kita pun mungkin tahu, proses yang mudah dan tanpa harus mengeluarkan energi lebih menyebabkan seseorang cenderung kurang menghargai apa yang telah dia dapatkan. Ini sudah menjadi semacam postulat yang berlaku di masyarakat. Sehingga, tidaklah mengherankan mental sebagian aparat yang terbentuk tidak jauh dari mentalitas “UUD” alias ujung-ujungnya duit, mental pecundang, dan bahkan mental mafia.
Karenanya, harus dimulai dari awal. Bahwa tegaknya hukum di negara kita harus dimulai dari awal, yaitu dari perekrutan aparat secara ketat dan konsisten sesuai dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. Bila tidak demikian, jangan pernah bermimpi negara ini akan lepas dari jeratan korupsi, mafia hukum, dan ketidakadilan yang merajalela.
F. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini, penulis ingin mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Hukum, moral, dan keadilan merupakan entitas yang berada pada garis linier, sehingga diantara ketiganya seiring sejalan satu sama lain. Implikasinya, hukum tidak dapat dipisahkan dari moral dan penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari optik keadilan. Inilah sesungguhnya interaksi dialektis diantara hukum, moral, dan keadilan.
2. Bahwa penegakan hukum bukanlah dinamika tunggal, melainkan terkait dan bahkan bergantung pada dinamika di luar dirinya, khususnya moral. Moral menjadi semacam lokomotif yang menghidupkan dan menggerakkan hukum untuk bergerak pada arasnya menuju terciptanya supremasi hukum sebagai diharapkan masyarakat selama ini.
3. Masalah penegakan hukum kita sejatinya merupakan masalah yang sangat kompleks hingga membutuhkan kerja-kerja luar biasa untuk mengatasi masalah tersebut. Dimulai dari reorientasi dan reformasi pendidikan hukum, khususnya pada perguruan tinggi; transparansi seleksi penerimaan aparat; hingga memaksimalkan potensi dan kekuatan masyarakat untuk menggerakkan revolusi atau perubahan secara radikal dan komprehensif dalam penegakan hukum di negara kita. Semoga!

7.29.2010

SEJARAH HUKUM (Rekonstruksi Sistemik Menuju Supremasi Hukum)

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAHASISWA PS MH PASCASARJANA UMI MAKASSAR
PENELITI PADA LPH VRIJSPRAAK

A. Pendahuluan

Menapaki jejak sejarah tentang eksistensi hukum akan membawa kita pada satu kesimpulan dasar bahwa hukum merupakan ranah yang maha luas nan kompleks. Hukum kemudian tidak dipandang sebagai realitas tunggal, melainkan berkaitan dan berinteraksi satu sama lain dengan subsistem-subsistem sosial. Kedirian hukum tidak akan terlepas dari karakter dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat tempat dimana hukum itu berada. Pada konteks pemikiran a quo, sejarah hukum kemudian menjadi penting artinya, terutama untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum, aspek-aspek yang mempengaruhinya, dan peranan hukum dalam jagad ketertiban.
Sejarah hukum merupakan bidang studi yang mengkaji bagaimana hukum tumbuh, berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual .
Sebagai sebuah disiplin ilmu, sejarah hukum sejatinya mengkaji fakta-fakta sejarah tentang hukum pada masa lampau serta keterkaitannya dengan fakta hukum kontemporer serta proyeksi hukum masa depan (future of law). Ini pulalah yang dikemukakan oleh Soedjono D . bahwa Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa studi historisitas atas hukum sejatinya bersifat interdisipliner. Karenanya, Sejarah Hukum menggunakan berbagai macam pendekatan sekaligus, termasuk di dalamnya, pendekatan sosiologis, antropologis, dan positivistis .
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar yang dapat dijawab oleh Sejarah Hukum, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga hukum dan bagaimana proses pembentukannya?
2. Faktor-faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan suatu lembaga hukum?
3. Bagaimanakah proses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil dari sistem hukum asing?
4. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama? Apakah terjadi perubahan fungsi dan apa penyebabnya? Apakah perubahan a quo bersifat formal atau informal?
5. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan suatu lembaga hukum ditiadakan?
6. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu?
Ungkapan Satjipto tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa studi kesejarahan mengenai hukum akan bermuara pada tiga konstruk tanya, yaitu apa, mengapa, dan bagaimana suatu fakta hukum sebagaimana adanya. Artinya, Sejarah Hukum coba mengurai sekalian dinamika yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum, misalnya pembentukan suatu aturan perundang-undangan, pembentukan lembaga hukum tertentu, serta terbentuknya suatu kultur hukum dalam masyarakat. Pada tataran yang lebih kompleks, Sejarah Hukum juga melihat sejauh mana efektifitas suatu hukum, apa penyebabnya, dan bagaimana implementasinya di masyarakat.
Penulis teringat dengan seruan Thibaut agar Jerman mengadaptasi Code Napoleon Prancis dalam kitab undang-undang hukum perdata mereka. Seruan ini kemudian mendapat kritikan dan pertentangan luas di kalangan masyarakat Jerman, khususnya para penstudi hukum saat itu, termasuk di dalamnya Friederich Karl von Savigny. Seruan Thibaut tersebut dinilai bertentangan secara diametral dengan semangat Aufklarung (nasionalisme bangsa Jerman) yang saat itu sedang membara untuk bangkit dari keterpurukan akibat masa lalu. Savigny menganggap seruan Thibaut tersebut mencederai jiwa rakyat Jerman, karena sejatinya, menurut Savigny, jiwa rakyat Jerman berbeda dengan di Prancis sehingga hukum Jerman berbeda dengan hukum yang ada di Prancis. Inilah yang melatari lahirnya mazhab Sejarah Hukum yang dipelopori Savigny; bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang di dalam masyarakat (jiwa rakyat) . Ajaran Savigny ini kemudian memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan studi-studi hukum lanjutan; bahwa rakyat dengan sekalian nilai yang hidup di dalamnya harus mendapat perhatian lebih, karena itulah yang menjadi elemen mendasar bagi pembentukan dan pengimplementasian suatu hukum.
Sebagai sebuah perbandingan, penulis coba mengungkap kembali latar belakang dibentuknya KPK. KPK dibentuk karena didasari beberapa alasan. Alasan utamanya adalah karena lembaga-lembaga hukum yang ada saat itu (Kepolisian dan Kejaksaaan) ternyata tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan pemberantasan korupsi secara tuntas dan menyelamatkan uang Negara dari pengemplang-pengemplang yang tidak bertanggung jawab. Tercetus ide untuk membentuk suatu komisi independen dengan kekuatan luar biasa untuk memberantas korupsi yang telah mengakar secara sistemik. Inilai yang kemudian dikenal KPK. Seiring perjalanannya, KPK ternyata juga mendapat masalah, terutama upaya pelemahan secara sistematis oleh kekuatan-kekuatan luar (external authority) yang tidak senang dengan kinerja dan sepak terjang KPK. Inilah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, baik di masyarakat awam maupun bagi kalangan penstudi hukum. Hal tersebut dapat terjawab dengan menelusuri aspek kesejarahannya yang kemudian memberikan suatu gambaran secara utuh serta proyeksi futuristik mengenai bagaimana menjadikan KPK sebagai lembaga pengawal penegakan hukum; pengawal demokrasi, bagaimana KPK dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang begitu besar akan tuntasnya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Gambaran demikian agaknya cukup memberikan pemahaman bahwa studi kesejarahan terhadap dinamika hukum sangat signifikan artinya, terutama untuk mengurai permasalahan-permasalahan mendasar, penyebabnya, serta upaya penanganan efektif yang mungkin dapat diambil. Sejarah Hukum sejatinya dapat menjadi patron bagi penstudi-penstudi hukum guna merumuskan kembali idealitas sistem hukum nasional kita menuju pembaharuan hukum secara komprehensif.

B. Hukum dalam Lintasan Sejarah

Diskursus tentang hukum tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sejarah yang menguak dinamika hukum. Ini dapat dimaklumi, karena pada dasarnya, perkembangan pemikiran dan pemahaman mengenai hukum merupakan sesuatu yang sifatnya berkelanjutan dan saling terhubung antara satu dengan lainnya (interlinked paradigm of law). Pemikiran hukum primordial yang awalnya hanya menyentuh dimensi-dimensi abstrak perlahan mulai mengalami pergeseran ke dimensi-dimensi empiris dan praktis dari hukum itu sendiri, misalnya aturan hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1. Pemikiran hukum: diferensiasi dan unifikasi
Berbicara mengenai pemikiran hukum, tidak akan terlepas dari apa yang telah digagas oleh penstudi-penstudi hukum terdahulu, yang, suka atau tidak, telah berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan studi-studi kritis tentang hukum. Bergerak ke belakang, ke beberapa ratus tahun yang lalu, kita berjumpa dengan aliran hukum alam yang melihat hukum sebagai sebuah fenomena “kodrat”, dalam arti bahwa hukum itu berasal dari Tuhan dengan sekalian turunannya, termasuk keadilan. Hukum sebagaimana adanya, memiliki sifat universal yang melingkupi sekalian dimensi kehidupan manusia. Hukum alam menempatkan hukum pada kedudukannya yang tertinggi sehingga hukum tidak dilihat sebagai sekumpulan aturan-aturan positif, melainkan sebagai meta aturan (abstrak) yang melekat dalam penciptaan kehidupan.
Dari hukum alam, pemikiran sedikit bergerak ke arah yang lebih positivistik. Beberapa tokoh utamanya antara lain John Austin (Analytical Jurisprudence) dan Hans Kelsen (Pure Legal Theory/Reine Rechts Lehre). Pada ranah ini, pemikiran akan kodifikasi peraturan-peraturan, nilai, dan norma ke dalam satu kitab perundang-undangan mulai bermunculan. Katalisnya adalah pandangan positivisme sosiologis Auguste Comte yang mengajarkan perlunya pembuktian secara positif terhadap argumentasi-argumentasi yang akan dijadikan sebagai preferensi dalam mengambil tindakan-tindakan tertentu. Pandangan Comte ini yang kemudian mempengaruhi alam berpikir sebagian penstudi hukum untuk mulai mem-positif-kan aturan-aturan, nilai, dan norma yang hidup di masyarakat ke dalam undang-undang. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum di masyarakat sebagai imbas dari perkembangan masyarakat yang kian cepat dan kompleks, sehingga membutuhkan pengaturan (regulasi) yang lebih terorganisir dan menjamin kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing warga negara .
Sebagai reaksi atas pandangan positivistik tersebut, Savigny muncul dengan gagasan volkgeist-nya yang mengkritik habis positivisme hukum. Menurutnya, positivisme telah mencederai nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat karena banyak peraturan yang termaktub di dalamnya tidak mencerminkan kehendak masyarakat, bahkan bertentangan secara diametral. Deviasi demikian yang dianggap Savigny sebagai “kecelakaan” dalam hukum, karena dengan sengaja telah mengangkangi jiwa rakyat. Karenanya, Savigny menawarkan suatu paradigma yang dinamakannya “Mazhab Sejarah”, yaitu suatu pandangan yang melihat hukum sebagai entitas organis. Hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang di masyarakat .
Pandangan Savigny boleh jadi merupakan gagasan yang revolusioner pada saat itu di tengah euforia positivisme. Gagasan Savigny menyadarkan betapa pentingnya kedudukan rakyat dalam hukum karena sejatinya rakyat lah pemegang kedaulatan hukum tertinggi. Namun, gagasan ini mendapat pertentangan dari sebagian pemikir hukum lainnya, karena Savigny mengabaikan pentingnya undang-undang sebagai instrument utama dalam penegakan hukum. Penulis agaknya sepakat dengan sebagian muatan kritik atas pengabaian undang-undang tersebut karena bagaimanapun, eksistensi undang-undang tidak terbantahkan dalam penegakan hukum, salah satunya karena menjamin kepastian undang-undang dan menjadi landasan bagi tindakan-tindakan hukum yang diambil oleh aparat.
Pada beberapa dekade terakhir, pandangan tentang hukum bergerak ke ranah yang lebih progresif dan inklusif, yaitu melihat hukum secara lebih komprehensif. Hukum juga coba dikaji dari sudut pendang berbeda yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadikan hukum lebih manusiawi, tidak sekedar entitas mekanistik yang mengalir berdasar alur berpikir yang logis dan tertutup (closed logical system). Penulis mengambil contoh di Amerika Serikat yang pada 1970-an muncul aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang salah satu pelopornya adalah Roberto M. Unger. Aliran ini mengkritik secara tajam pemikiran-pemikiran hukum yang hanya melihat hukum secara artifisial. Critical Legal Studies ingin menempatkan hukum sebagaimana adanya, dalam arti bahwa mengkaji hukum tidak dapat dilepaskan dari anasir-anasir non yuridis yang senantiasa melingkupinya. Pemahaman yang baik mengenai hukum dibangun dari kesatuan sekalian unsur-unsur yang melekat dan terkait dengan dinamika hukum itu sendiri. Sebagai contoh, masalah pemberantasan korupsi tidak dapat dikaji secara tuntas bila tidak berusaha memahami kultur dan dinamika sosial yang melingkupinya. Korupsi bukanlah fenomena hukum belaka, melainkan sebagai fenomena sistemik yang saling bertalian dengan aspek lainnya, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Selain Critical Legal Studies, paradigma-paradigma kontemporer antara lain Feminisme Hukum, Semiotika Hukum, dan Hukum Progresif. Fenimisme Hukum lebih menekankan pada aspek peran gender dalam sistem dan penegakan hukum. Hukum yang selama ini dianggap terlalu bercirikan maskulin telah menerabas aspek feminitas hukum itu. Peran perempuan dalam pembentukan dan penegakan hukum dianggap belum signifikan, sehingga perlu semacam kerja “rekonstruksi” untuk mengakomodir hal tersebut. Berbeda dengan Feminisme Hukum, Semiotika Hukum lebih menekankan pengkajiannya pada “otoritas teks” undang-undang. Teks dipandang memiliki dunia pemaknaan yang kompleks dengan konfigurasi esoteristik. Teks undang-undang seringkali ditafsirkan secara atbitratif karena substansinya yang abstrak. Kata “Melawan Hukum” misalnya, dapat ditafsirkan dalam berbagai derivasi, misalnya melawan atau bertentangan dengan undang-undang, bertentangan dengan asas kepatutan, melanggar hukum agama, dan melanggar norma sosial.
Beragamnya penafsiran atas teks suatu undang-undang tidak hanya disebabkan kekayaan makna teks itu sendiri tetapi juga konteks yang melingkupi teks a quo. Karenanya, melihat teks undang-undang harus memperhatikan muatan substantif dan kontekstualitasnya. Sementara itu, hukum progresif lebih menekankan pada penegakan hukum. Asumsi dasarnya, aparat hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) tidak boleh hanya menjadi “tukang-tukang” dari undang-undang yang mengeja dan menginput materi tekstual ke dalam kasus yang sedang dihadapi. Sikap apriori terhadap “nyawa” dari undang-undang tidak dibenarkan, dan mereka (penegak hukum) sedapat mungkin melakukan penemuan hukum secara progresif. Hukum progresif menekankan pentingnya mencari keadilan, karena sebagaimana adanya, hukum itu ada tetapi masih harus ditemukan meskipun undang-undang telah mengatur hal tersebut.
Diferensiasi paradigma hukum, sebagai disebut di atas, disebabkan oleh cara pandang (perspective) yang berbeda. Sejatinya, perbedaan tersebut dilatari oleh konteks ruang dan waktu para penstudinya. Pun demikian, berbagai pemikiran dengan sudut pandang berbeda agaknya mengalami semacam pendekatan (unifikasi), dimana teori-teori terbaru coba merangkum substansi dari teori-teori primordial untuk melahirkan suatu sintesa baru yang lebih komprehensif. Werner Mensky misalnya, mengajukan suatu gagasan baru tentang paradigma hukum. Menurutnya, mengkaji hukum tidak boleh sekedar sebagai pengkajian normative, melainkan juga harus melihat konteks hukum tersebut (penduduk, kondisi geografis, budaya, dan tata nilai) atau dikenal dengan kajian kontekstual. Mensky kemudian mengusulkan suatu jargon baru yaitu “The Triangular Concept of Legal Pluralism”. Sebagai diurai sebelumnya, Mensky sangat menekankan pentingnya mengkaji dan memahami hukum secara kontekstual, karena bagaimanapun, budaya, penduduk, dan tata nilai di tiap negara berbeda yang menyebabkan hukum yang dianut pun berbeda. Mensky sangat menentang pemikiran-pemikiran yang mengabaikan aspek kontekstual tersebut karena hasil pengkajiannya sangat artifisial dan tidak menyentuh substansi hukum itu sendiri.
Inilah kemudian yang penulis sebagai gejala “kesejarahan” berupa unifikasi atau penyatuan teori-teori primordial ke dalam teori baru yang lebih komprehensif, akseptabel, dan responsif. Unifikasi ini pada akhirnya mengantar, baik penstudi hukum maupun masyarakat awam untuk melihat hukum secara utuh dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran hukum di masyarakat. Pun demikian, penulis tidak menampik adanya diferensiasi massif terhadap teori-teori baru yang lahir kemudian sebagai sebuah gejala “kompartementalisasi” , khususnya dalam pengkajian hukum praktis.
2. Tata hukum dalam potret sejarah
Dalam kerangka berpikir kita, kita mungkin sepakat bahwa pada dasarnya, potret tata hukum sejak zaman purba hingga zaman modern-positivistik mengikuti suatu postulat sederhana, yaitu dari tata hukum tradisional (non positivistik, kebiasaan-kebiasaan) yang arbiter (arbitrary) menuju tata hukum yang positivistik atau sarat dengan keteraturan (ordered). Dalam tata hukum tradisional, keberadaan peraturan tertulis (perundang-undangan) masih belum terpikirkan atau belum dianggap penting. Dalam kajian antropologis, hal ini disebabkan pola kehidupan masyarakat masih sederhana dan dijalankan atas dasar kesamaan visi dan kepatuhan secara ketat terhadap aturan-aturan (nilai) yang telah disepakati bersama. Karenanya, mereka juga tidak membutuhkan institusi peradilan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi.
Tata hukum modern yang cenderung positivistik sangat concern dengan kodifikasi dan jargon “kepastian hukum”. Positivisme, dengan sekalian doktrinnya, tidak mengakui hukum yang tidak tertulis. Hanya undang-undang yang memiliki legalitas dan legitimasi dan wajib ditaati masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari kenyataan bahwa dinamika kehidupan masyarakat berkembang sangat cepat dan kian kompleks hingga membutuhkan aturan-aturan secara tertulis untuk menciptakan ketertiban. Memang, dan harus diakui, di zaman yang kian maju dengan kompleksitas masyarakat yang demikian membutuhkan pengaturan secara lebih sistematis (rigid) untuk menciptakan suasana tertib.

C. Hukum Visioner: Gagasan Rekonstruktif

Hukum nasional kini menunjukkan rupa yang hampir dapat dikatakan terburuk sepanjang sejarah. Beberapa alasan yang mendukung asumsi ini antara lain integritas lembaga peradilan yang mengalami degradasi hingga pada tingkat yang sangat memprihatinkan, fenomena makelar kasus (markus) yang menggerogoti sekalian proses hukum, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di persidangan. Keprihatinan demikian salah satunya mengusik penulis untuk memikirkan akar permasalahannya dan coba membuat sebuah sintesis baru mengenai hukum itu sendiri; sebuah sintesis yang berusaha melihat hukum secara komprehensif dan menggerakkan hukum untuk memiliki daya luar biasa dalam memainkan perannya sebagai panglima dalam kehidupan masyarakat.
Hukum visioner merupakan konsep yang coba dibangun penulis berdasar pada beberapa argumentasi dasar. Pertama, konsep atau teori hukum selama ini masih partikularis, dalam arti bahwa tidak mampu melihat segenap aspek yang berpengaruh dan menjadi determinan dalam sistem hukum nasional. Teori yang ada tidak dapat melepaskan diri dari status quo latar belakang pencetusnya dan bahkan cenderung bersifat eksklusif.
Kedua, aturan-aturan hukum yang dibuat dan dijalankan selama ini belum menunjukkan apresiasi tertinggi terhadap nilai-nilai humanistik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pemberian kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk memberikan apresiasi dan masukan terhadap peraturan perundang-undangan baru yang akan dibuat. Masyarakat seakan hanya dijadikan sebagai objek tak bertuan dari undang-undang itu sendiri. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk melaksanakan undang-undang tersebut tanpa proses kritis dan tanpa disertai penyadaran secara mendalam terhadap setiap butir aturan dalam perundang-undangan tersebut.
Ketiga, konsep penegakan hukum yang cenderung mekanistik dalam aplikasi nya, sadar atau tidak, telah mematikan potensi-potensi psikologis manusia, baik intelektual, emosional, maupun spiritualitas. Ambil contoh di kepolisian, penentuan suatu kejadian telah memenuhi unsur pidana atau tidak, dapat dikerjakan melalui suatu perangkat lunak (software). Hanya dengan meng-input beberapa data, maka akan keluar hasil analisis “komputer” apakah kejadian ini sudah memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Ini jelas “kebrutalan intelektual” karena telah membunuh kreatifitas dan daya analisis penyelidik maupun penyidik sekaligus melupakan suatu keniscayaan bahwa masing-masing kejadian atau kasus memiliki keunikannya tersendiri yang cenderung esoterik, dan hal ini sama sekali tidak dapt diungkap oleh “intelektualitas” perangkat lunak tadi. Karenanya, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang, sejatinya, tidak bersalah kemudian divonis bersalah oleh pengadilan hanya karena perangkat lunak tersebut.
Keempat, satu aspek yang sering terlupakan adalah aspek psikologis yang senantiasa melekat dalam setiap gerak penegakan hukum. Penegak hukum yang baik adalah penegak hukum yang memahami, tidak hanya kondisi psikologisnya, melainkan juga individu sebagai subjek hukum yang dianggapnya melakukan pelanggaran. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, banyak penegak hukum yang cenderung menegakkan hukum dengan cara represif tanpa berusaha menggali lebih dalam mengapa seseorang melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, proses edukasi atau pendidikan kepada masyarakat tentang hukum hanya dijalankan secara “serampangan” dalam arti bahwa penegak hukum tidak mendidik masyarakat secara elegan, tidak berusaha menyentuh nurani masyarakat dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dan argumentatif. Penegak hukum, tidak semuanya, hanya berdiri pada landasan mekanistiknya yang melihat fungsinya hanya sebagai penindak terhadap setiap bentuk pelanggaran, bukan sebagai “pendidik” masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk mengetahui, memahami, menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam aturan, serta menjalankan aturan tersebut secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Kelima, teori hukum yang dibangun selama ini hanya berorientasi kekinian. Padahal, jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai perekayasa sosial, maka sejatinya hukum harus selangkah lebih maju dibanding dengan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mengarahkan masyarakatnya pada bentuk kehidupan yang lebih bercirikan keadilan. Hal ini hanya dapat dicapai jika hukum memiliki orientasi yang visioner (futuristik). Hukum harus dapat meneropong kemana arah gerak dinamika sosial dan melakukan suatu perancangan atas asas, norma, maupun kaidah atau aturan hukum yang dapat mengantisipasi segenap perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka jargon “hukum sebagai panglima”, “hukum sebagai kontrol sosial”, dan “hukum sebagai perekayasa sosial” bukan lagi sekedar idealitas belaka, melainkan sebagai konsep empirik yang aplikatif. Inilah substansi dari konsep hukum visioner yang diajukan penulis.
Konsep hukum visioner pada dasarnya dapat diuraikan secara sistematis dalam poin-poin berikut:
1. Perlu ditetapkan asas-asas umum (meta aturan umum) yang dapat menjangkau setiap dinamika yang muncul di masyarakat. Dasar dari pemikiran ini adalah aturan-aturan yang ditetapkan dalam al Qur’an senantiasa tidak lekang oleh perkembangan zaman. Aturan-aturan tersebut bersifat umum dan karenanya, tidak pernah tertinggal oleh zaman, apapun bentuk perubahan itu, aturan-aturan yang ada tetap dapat diberlakukan. Nilai-nilai universalitas agaknya menjadi preferensi utama dalam penetapan asas-asas ini, bahkan tidak menutup kemungkinan, aturan-aturan dalam Islam sebagai termaktub dalam al Qur’an dapat dijadikan sebagai patron.
2. Asas-asas umum tersebut harus diejawantahkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang lebih khusus. Antara asas dan peraturan khusus tidak boleh ada pertentangan. Kembali melihat pada aturan-aturan dalam Islam, aturan-aturan umum dalam al Qur’an terejawantahkan dalam konsep-konsep khusus seperti fiqh, dimana masalah-masalah aktual di masyarakat senantiasa dikembalikan pada al Qur’an lalu melalui suatu ijtihad berusaha ditemukan hukumnya. Ijtihad ini merupakan interaksi antara meta aturan (al Qur’an) dengan potensi-potensi intelektual dan bathiniah para mujtahid untuk melahirkan suatu hukum atas suatu kasus yang secara eksplisit baru terjadi. Hal ini dimungkinkan karena al Qur’an memang merupakan aturan yang universal, sehingga dengan penjelasan yang umum tersebut dapat menjangkau setiap gerak alir dari dinamika sosial kemasyarakatan.
3. Reorientasi konsep penegakan hukum dari represif ke edukatif-elaboratif-represif. Konsep penegakan represif, suka atau tidak, telah menghegemoni sebagian besar aparat hukum kita. Banyak bentuk pelanggaran yang langsung ditindak secara represif, padahal tindak pelanggaran tersebut dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan mengenai mengapa dia melakukan pelanggaran. Ini berlaku untuk pelanggaran-pelanggaran ringan yang tidak harus masuk ke meja pengadilan. Penegak hukum, sejatinya melakukan proses-proses edukatif kepada masyarakat dengan memperhatikan aspek psikologis mereka. Masyarakat harus diberi penyadaran secara psikologis mengenai aturan perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum tidak hanya menjelaskan apa aturannya, tetapi mengapa aturan itu dibuat dan apa manfaat yang akan diperoleh masyarakat. Penulis yakin, dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat, tidaklah sulit untuk mengkomunikasikan suatu aturan dan mendapati masyarakat begitu antusias dalam menyambut dan menjalankan aturan tersebut secara sadar dan dilandasi perasaan tulus. Konsep penyadaran secara psikologis ini berangkat dari pandangan Humanistik sebagai dikemukakan oleh Abraham Maslow; bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya untuk mencapai taraf aktualisasi diri. Pilihan manusia sangat dipengaruhi oleh tata nilai yang dianutnya serta keyakinan-keyakinan yang diperpeganginya. Karenanya, cara terbaik untuk membuat seseorang mematuhi suatu aturan adalah dengan melakukan penyadaran intelektual sehingga nilai-nilai dalam aturan dpat terinternalisasi dalam konstruk berpikir orang tersebut. Tanpa dipaksa pun, seseorang akan dengan senang hati mematuhi suatu aturan karena nilai dalam aturan tersebut telah terinternalisasi dalam dirinya. Inilah yang menurut H.C Kelman dan L. Pospisil dikategorikan sebagai ketaatan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan yang didasari oleh kesadaran tertinggi individu mengenai suatu aturan; mengenai suatu nilai yang terkandung di dalamnya yang sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang diperpeganginya.

D. Penutup

Berdasar uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sejarah hukum merupakan studi yang sangat penting dalam ilmu hukum, karena memegang peranan penting, terutama dalam mengungkap fakta-fakta penting dalam sejarah hukum, mengurai permasalahan hukum masa kini, dan membuat kerangka ideal hukum ke depan (outlooking the future of law).
2. Dalam konteks sejarah hukum, dapat dipahami bahwa paradigma (pemikiran) tentang hukum mengalami perubahan (diferensiasi dan unifikasi) yang disebabkan oleh perkembangan dinamika masyarakat dan perubahan kebutuhan akan hukum. Ini juga dipengaruhi oleh pencitraan hukum di masyarakat dan harapan tentang hukum yang ideal (ius constituendum). Begitupun dengan tata hukum, dari hukum yang tradisional (tidak tertulis) ke hukum modern yang positivistik dipengaruhi hal-hal tersebut di atas.
3. Hukum visioner Hukum visioner merupakan sebuah gagasan yang lahir dari keprihatinan atas kondisi ber-hukum kita di Indonesia. Konsep ini pada dasarnya lahir untuk memberikan suatu perspektif baru dalam teori hukum; bahwa hukum tidak hanya melihat dirinya dalam teropong masa lalu dan masa kini, tetapi lebih dari itu, hukum harus melihat dirinya dri teropong masa depan, karena hanya dengan cara itulah, fungsi hukum sebagai perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat berjalan dengan baik dan tidak berakhir sebagai apologi belaka.








Catatan Akhir

http://www.id.wikipedia.org/sejarah_hukum

Rabiatul Syahriah. 2004. Sejarah Hukum Mengungkapkan Fakta Hukum Masa Lampau dalam Hubungannya dengan Fakta Hukum Masa Kini. USU Digital Library.

Satjipto Rahardjo. 1991.

Ibid.

Konsep Savigny mengenai “jiwa rakyat” dikenal dengan jargon “volksgeist”. Volksgeist dalam pandangan Savigny ini bersifat organis, artinya dia ditemukan (tumbuh secara alamiah di masyarakat), tidak dibuat karena sejatinya memang jiwa itu ada, melekat, tumbuh, berkembang, dan mati bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke ). Lihat Otje Salman. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan dinamika masalah. Bandung: Refika Aditama, h. 44.

Kepastian hukum belakangan banyak mendapat perhatian, terutama mengenai apa hakikat kepastian hukum itu sendiri? Satjipto Rahardjo pernah menuturkan bahwa kepastian hukum yang selama ini dipahami sebagian akademisi maupun praktisi hukum bukanlah kepastian hukum melainkan kepastian undang-undang. Pasalnya, dalih kepastian hukum yang didasarkan pada pandangan kesesuaian antara aturan hukum (rule of law) dengan penerapan hukumnya, dengan tidak melihat dinamika yang ada di dalamnya (Lihat Satjipto Rahardjo. 2008. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis atas Pergulatan Manusia dengan Hukum. Jakarta: Kompas Gramedia). Ini jelas pandangan keliru, karena hukum sejatinya bukan hanya yang termaktub dalam undang, melainkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Apa jadinya ketika aturan dalam perundang-undangan bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai di masyarakat? Maka friksi dan pergolakan yang akan terjadi, terlebih jika penerapan aturan tersebut dibingkai dengan “pemaksaan” terhadap masyarakat (pencari keadilan). Karenanya, kepastian hukum bukanlah sesuatu yang instan, spontan, atau mekanis, melainkan sebagai entitas yang “organis” yang dinamis dan mengalami tahapan-tahapan perkembangan hingga mencapai suatu tingkat kematangan tertentu. Inilah kepastian hukum yang sesungguhnya yang lahir dari proses secara sadar untuk menemukan dan menggali sekalian aturan dan norma serta melaksanakannya secara inklusif yang dilandasi atas kesadaran intelektual dan moral.

Paradigma yang dekat dengan Mazhab Sejarah adalah Mazhab Kebudayaan sebagai digagas oleh Sir Henry Maine. Mazhab ini juga menekankan pada pentingnya peranan budaya di masyarakat sebagai basis pembentukan dan penegakan hukum. Hukum harus selaras dengan budaya masyarakat dan karenanya hukum yang ada senantiasa mengalir mengikuti alur perkembangan budaya di masyarakat. Tegasnya, budaya memiliki arti penting dalam membentuk karakter hukum suatu masyarakat.
Kompartementalisasi adalah suatu gejala terbaginya sesuatu ke dalam unit-unit yang lebih kecil dan membentuk sistemnya masing-masing secara otonom. Dalam konteks filsafat ilmu, kompartementalisasi adalah terbaginya suatu disiplin ilmu induk menjadi beberapa disiplin ilmu turunan yang masing-masing membentuk logika otonom dan cenderung terjebak dalam anarkisme rasional. Masing-masing disiplin membuat semacam bingkai maya yang membentengi dirinya dari intervensi displin ilmu lain meski masih dalam satu induk ilmu.