M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAGISTER HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR
Gaung pemberantasan korupsi telah ditabuh, bahkan sejak Negara Indonesia merdeka. Korupsi menjelma sebagai musuh bersama yang begitu giat menggerogoti sekalian dinamika kehidupan masyarakat; menjadikan masyarakat miskin kian miskin, menyuburkan feodalisme birokrasi, hingga ketidakadilan dalam bidang hukum. Semua itu berakar dari korupsi; perilaku yang tidak hanya berimplikasi dosa, tetapi lebih dari itu, merupakan perbuatan yang “murahan”.
Korupsi adalah musuh bersama, say no to corruption. Ya, itulah salah satu tagline yang sering kita dengar, baik di media cetak maupun elektronik. Semboyan sederhana nan mendalam, mengajak kepada setiap lapisan masyarakat untuk bersama-sama memerangi korupsi dan menjadikan korupsi sebagai musuh bersama yang harus diberantas dari jagad kehidupan karena sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, terutama sekali karena menjadikan upaya mensejahterakan masyarakat mandeg.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda nasional yang mendapat perhatian luas dari segenap lapisan masyarakat. Tidak hanya LSM-LSM anti korupsi yang berteriak memperjuangkan pemberantasan korupsi, tetapi juga mahasiswa sebagai kalangan cendekia. Bahkan, masyarakat awam sekalipun memberi perhatian lebih terhadap pemberantasan korupsi ini. Masyarakat, dengan caranya sendiri, mencoba mengamati dan melakukan fungsi pengawalan dan pengawasan terhadap segenap proses hukum bagi mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Inilah yang kemudian mewarnai dinamika pemberantasan korupsi dewasa ini; sebuah gejala ketidakpuasan masyarakat terhadap tindakan hukum bagi mereka yang telah mengemplang uang Negara hingga menyengsarakan bangsa ini.
Korupsi: Sebuah Fenomena Klasik
Korupsi, sejatinya merupakan fenomena klasik dan senantiasa menjadi bagian dari dinamika kehidupan manusia (human lifetime partner). Namun, perlu digarisbawahi, pernyataan tersebut tidak berarti menganggap korupsi sebagai sunnatullah yang tidak dapat ditangkal atau diatasi, melainkan sebagai refleksi keresahan intelektual dan moral terhadap fenomena korupsi yang menerjang sekalian dimensi kehidupan manusia; tidak kenal kalangan atas maupun bawah, kaya miskin, hingga yang beragama sekalipun, banyak yang tidak sanggup melepaskan diri dari jeratan korupsi.
Parahnya, di tengah genta pemberantasan korupsi membahana di seantero negeri, korupsi justru berkamuflase dan semakin produktif dalam menelurkan variabel-variabel dan korban baru dalam praktiknya. Tidak peduli apa statusnya, hingga seorang hakim sekalipun, yang notabene benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi, tidak sanggup mengelak dari buaian korupsi. Gerakan moral yang dicanangkan oleh LSM-LSM antikorupsi maupun masyarakat memang memberikan semacam “pressure” yang massif kepada pemerintah, tetapi hal itu ternyata tidak cukup untuk menjadi dapur pacu bagi pemberantasan korupsi secara signifikan.
Sebagai fenomena klasik, disadari memang, memberantas korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Korupsi menjadi gejala sistemik, dia tidak berdiri sendiri; melibatkan banyak pihak hingga kemudian menjadi gurita yang sulit diberantas. Tidak hanya itu, korupsi juga telah menjadi semacam budaya (nilai) yang terkonstruksi dalam paradigma sebagian masyarakat hingga mempengaruhi perilaku, tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga birokrat. Terbentuknya mental korup inilah yang sesungguhnya menjadi akar permasalahannya yang menjadikan korupsi sangat susah diberantas.
Susno Duadji: The Whistle Blower
Di tengah geliat upaya pemberantasan korupsi, Susno Duadji tiba-tiba booming, muncul dengan sejumlah kejutan yang membuat sebagian kalangan panas telinga, sementara sebagian lagi senang dan tidak segan memberikan dukungan moril secara penuh. Kemunculan Susno dengan kejutan-kejutannya tersebut, perlahan mulai membongkar borok yang selama ini tertutupi atau sengaja ditutupi. Tanpa tedeng aling-aling, Susno berani mendobrak kemapanan dan tembok keras untuk mengungkap sejumlah kasus yang terindikasi korupsi serta Makelar Kasus (markus) yang bersarang di institusi Polri dan Dirjen Pajak.
Susno mungkin paham benar siapa yang dia hadapi, dan karenanya, penulis berpendapat, Susno tidak akan mem-blow up sesuatu tanpa landasan yang kuat, karena konsekuensinya fatal, jika ternyata Susno melakukan pembohongan publik. Fenomena Susno dalam dinamika pemberantasan korupsi di Indonesia setidaknya dapat dipahami dalam beberapa hal. Pertama, sebagai perwira tinggi Polri, tindakan Susno patut diapresiasi, terlepas dari apapun motifnya, karena telah berani membuka sebagian tabir borok institusi yang selama ini rapi diselipkan dibawah meja tanpa diketahui oleh pihak luar. Kedua, Susno membuktikan kepada publik, bahwa masih ada pejabat Negara yang memiliki keberanian untuk mengungkap sejumlah kasus atau mega skandal yang menggerogoti insitusi-institusi di Negara ini. Susno menciptakan sebuah anomali yang bergerak di alurnya sendiri, keluar dari kebiasaan pejabat-pejabat teras selama ini yang cenderung takut atau tidak memiliki keberanian untuk mengungkap suatu riak kebenaran. Ketiga, pernyataan Susno tentang adanya mafia pajak di Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan kepada kita betapa pengelolaan dan pengawasan pajak selama ini sangat tidak professional dan dipenuhi dengan intrik dan manipulasi yang merugikan, tidak hanya Negara, tetapi juga masyarakat sebagai pihak yang secara langsung membayar dan menjadi objek pemanfaatan (pengelolaan) pajak. Pengemplangan dana pajak dan penyelewenangan dana denda bagi wajib pajak yang mbalelo praktis berpengaruh secara signifikan terhadap pembangunan karena dana pembangunan sebagian berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Mekanisme pengawasan yang selama ini diterapkan di Dirjen Pajak terbukti tidak mampu mencegah atau paling tidak meminimalisir pelanggaran-pelanggaran dan penyelewenangan dana pajak oleh oknum tertentu, seperti pada kasus Gayus Tambunan.
Karenanya, sebagai whistle blower alias peniup peluit dalam pengungkapan makelar kasus pajak, Susno patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya untuk istiqamah dalam jalan yang telah dirintisnya. Susno harus didukung sepenuhnya untuk tidak gentar dalam mengungkap kasus ini, betapa pun beratnya ancaman atau intimidasi yang diterima.
KPK dan Bank Century: Quo Vadis?
Eksistensi KPK dalam menuntaskan kasus Century belakangan kian marak dipertanyakan, tidak hanya pengamat dan praktisi hukum, tetapi juga masyarakat luas. Pasalnya, selain penanganan yang lamban, ada indikasi bargaining yang menyelinap dalam penuntasan kasus ini. Meski masih sebatas asumsi, lambannya penanganan kasus Century oleh KPK sedikit banyak menggerus kepercayaan masyarakat akan kapabilitas dan kredibilitas KPK dalam menuntaskan kasus ini.
Pemberitaan akhir-akhir ini menunjukkan adanya sejumlah keraguan yang begitu besar terhadap KPK hingga muncul seloroh yang mempertanyakan apakah kasus Century akan menguap? Tim Pengawas kasus Century bahkan mempertanyakan keseriusan KPK untuk menindaklanjuti rekomendasi DPR mengenai sejumlah penyelewengan yang diduga terjadi selama proses merger hingga bail out Bank Century.
Penanganan kasus Bank Century bahkan terancam benar-benar mandeg menyusul pengunduran Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Sepintas memang tampak tidak ada masalah, namun jika melihat dari sudut pandang berbeda, pengunduran ini akan semakin menyulitkan KPK karena SM akan bertugas di Bank Dunia. Bukankah SM masih memiliki kewajiban untuk turut menuntaskan kasus Bank Century ini? Jika SM merasa sebagai negarawan, seharusnya dia tidak serta merta menerima tawaran Bank Dunia tersebut, karena masih harus menyelesaikan masalah besar yang mengaitkan namanya.
Kasus Hakim Muhtadi Asnun: Integritas Hakim Dipertanyakan
Muhtadi Asnun, Ketua Majelis Hakim yang menangani perkara Gayus, berdasar pemeriksaan oleh komisioner KY mengakui pernah menerima uang sebesar Rp. 50 juta dari Gayus Tambunan. Perbuatan tersebut menurut penilaian KY telah melanggar kode etik profesi hakim yang antara lain mengatur tentang larangan bagi hakim menerima sejumlah hadiah, pemberian, maupun gratifikasi dari pihak-pihak yang berperkara karena dapat mengganggu objektifitas hakim dalam menilai suatu perkara serta menggiring hakim untuk memihak kepada salah satu pihak atau berlaku tidak adil.
Buntut dari kasus Muhtadi ini, KY mengusulkan agar Hakim Muhtadi Asnun dipecat dari jabatannya secara tidak hormat. Usulan KY ini didasarkan pada beberapa bukti yang diperoleh berkaitan dengan keterlibatan Muhtadi dalam skandal vonis bebas Gayus Tambunan. Pemberian vonis bebas kepada Gayus tersebut dinilai penuh dengan intrik dan rekayasa berbalut skandal suap Gayus kepada Ketua Majelis Hakim yang memeriksanya, yaitu Muhtadi Asnun. Usulan dan bukti-bukti yang dimiliki akan segera diajukan KY kepada Majelis Kehormatan Hakim untuk disidangkan.
Apa yang menimpa Hakim Muhtadi tadi, terlepas dari pengakuan tersebut murni atau karena tekanan, perlahan mulai menggerogoti integritas hakim di mata publik. Publik memberikan perhatian lebih terhadap kasus ini, terlebih karena yang terlibat skandal adalah hakim yang notabene adalah the last gater dalam pemberantasan korupsi. Kalau palang pintu terakhir sudah tidak kredibel dan jujur, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Inilah sesungguhnya ironi dalam penegakan hukum kita; bahwa di satu sisi genta pemberantasan korupsi digaungkan sekeras mungkin, sementara di sisi lain, penegak hukum yang sejatinya menjadi tumpuan justru “memble” menghadapi kekuatan ekstra dari koruptor-koruptor yang menjadi aktornya.
Kalau kemudian dikatakan bahwa peradilan di Indonesia saat ini sedang mengalami transformasi ke arah yang lebih baik, tidak sepenuhnya salah, karena memang di sana sini terdapat beberapa kemajuan. Namun, ketika menyangkut kualitas putusan, dedikasi para hakim, keberpihakan pada keadilan, serta orientasi pada good and clean governance, maka pertanyaan besar pun muncul. Segala transformasi yang terjadi dalam lingkup institusi peradilan seolah tertutup oleh “kebusukan” maha dahsyat yang selama ini tertutupi. Memang, tidak semua hakim menerima suap dan berlaku menyimpang dari aturan, karena masih ada hakim yang memegang teguh idealismenya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi, kenyataan yang menunjukkan bahwa ada sebagian oknum hakim yang menyimpang dari prinsip-prinsip kejujuran, keadilan, dan loyalitas pada hukum praktis membuat pemikiran dan pandangan kepada hakim menurun.
Karenanya, integritas hakim dipertanyakan saat ini. Bukankah seseorang yang diangkat menjadi hakim adalah orang-orang pilihan? Adalah mereka yang dianggap mampu dan memiliki kecakapan intelektual dan keluhuran moral untuk memutus perkara dan menentukan hukum suatu peristiwa. Sehingga, adanya kasus demikian, sangatlah wajar menjadikan kita bertanya, masihkah hakim memiliki integritas?
Penutup
Korupsi merupakan masalah yang sistemik, ia tidak berdiri secara sendiri-sendiri, melainkan tercakup dalam suatu pertalian satu sama lain. Korupsi bukanlah perkara satu orang semata, melainkan melibatkan beberapa orang yang memiliki kepentingan strategis di dalamnya. Korupsi merupakan masalah yang luar biasa (extraordinary case) dan karenanya, meminjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo, membutuhkan cara-cara penanganan yang luar biasa pula. Masalah korupsi sejatinya bukan hanya masalah birokrasi (struktur hukum), tetpai juga masalah kultur (kultur aparat dan kultur masyarakat), termasuk masalah kesadaran hukum yang masih rendah.
Pemberantasan korupsi yang ditunjukkan institusi penegak hukum selama ini masih mengecewakan, bahkan sampai pada satu enigma, quo vadis pemberantasan korupsi? Haruskah rakyat yang turun langsung, dengan logikanya sendiri, mengadili koruptor-koruptor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan rakyat? Biarlah mereka yang menjawab semua.