1.26.2008

pembentukan peraturan perundang-undangan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam negara hukum, undang-undang merupakan perangkat normatif yang merepresentasikan jiwa dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-kegiatan kenegaraan, mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter dalam dinamika politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai sistem nilai yang harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.

Sistem hukum positif menempatkan undang-undang sebagai instrumen utama penegakan hukum. Dalam konteks ini, kodifikasi nilai-nilai moral, budaya, sosial, dan hukum adat menjadi keniscayaan dalam upaya penataan kehidupan masyarakat. Sebagai diketahui, dalam sistem hukum positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa tanpa dikodifikasi dalam perundang-undangan. Nilai-nilai di masyarakat hanyalah quasi dari hukum dan sekedar menjadi pelengkap peraturan informal yang mandul.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum positif berusaha mengatur dinamika kenegaraan dengan membentuk undang-undang sesuai dengan peruntukannya. Pada tahun 2007, tidak kurang dari seratus buah undang-undang telah ditetapkan pemberlakuannya. Dari jumlah tersebut, kita menangkap suatu kesan bahwa negara Indonesia adalah negara perundangan terlepas dari predikatnya sebagai negara hukum. Sebagai catatan, Indonesia adalah salah satu negara dengan produk undang-undang terbanyak di dunia.

Fakta yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan perundang-undangan terbanyak ternyata di satu sisi menyisakan satu fakta yang paradoksal. Indonesia kini tercatat sebagai negara dengan pelanggaran undang-undang terbanyak di dunia. Ironis memang, akan tetapi inilah yang terjadi. Undang-undang ternyata tidak lagi menjadi instrumen untuk mengatur kehidupan bermasayarakat maupun dinamika kenegaraan. Undang-undang, sejauh realita membuktikan, hanyalah formalitas belaka. Undang-undang tidak lebih dari produk politik yang di dalamnya bermuara kepentingan-kepentingan segeltintir orang.

Fakta ini tentunya membuat sebagian pihak bertanya. Mengapa undang-undang yang telah ditetapkan begitu mudahnya dilanggar?. Mengapa undang-undang terkesan sebagai formalitas belaka?. Dengan tidak mengabaikan aspek budaya hukum dan perangkat hukum, penulis mencoba meretas pertanyaan-pertanyaan tersebut dari perspektif teknis pembuatan undang-undang.

Ada beberapa alasan mengapa penulis memakai perspektif tersebut. Pertama, selama ini ada kesan ‘ketidakbecusan’ dalam pembuatan undang-undang oleh lembaga yang memiliki wewenang akan hal tersebut. Ketidakbecusan tersebut ditunjukkan dengan tidak profesionalnya lembaga dalam membuat undang-undang, seperti proses sosialisasi yang kurang, tidak semua anggota lembaga ikut berembuk dalam penggodokan materi undang-undang, serta banyaknya unsur-unsur politik yang mengintervensi pembuatan undang-undang. Kedua, pembuatan undang-undang merupakan serangkaian proses yang sangat menentukan efektifitas dan kemanfaatan suatu undang-undang di masyarakat maupun dalam tata hukum nasional. Pembentukan undang-undang sebagai sebuah rangkaian padu sangat menentukan mutu suatu undang-undang, sehingga berpengaruh langsung pada aplikasinya di masyarakat. Ketiga, pemahaman mengenai cara pembuatan undang-undang masih cukup minim, sehingga sering terjadi miskonsepsi mengenai suatu undang-undang sebagai entitas yang legitimatif.

B. Rumusan Masalah

Berdasar uraian yang telah diutarakan pada latar belakang, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif sebagai berikut:

1. Lembaga apakah yang berwenang dalam pembuatan undang-undang?;

2. Bagaimanakah tahap-tahap pembuatan undang-undang?.

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui lembaga yang berwenang dalam pembuatan undang-undang;

2. Mengetahui dan memahami tahap pembuatan undang-undang.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Manfaat teoretis

Pembahasan dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam debat-debat ilmiah yang mengkaji pembuatan undang-undang. Selain itu, pembahasan makalah ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam perkuliahan-perkuliahan Legal Drafting.

2. Manfaat praktis

a. Uraian materi dalam makalah ini dapat dijadikan sebagai referensi oleh penulis lain untuk menulis makalah dengan ranah pembahasan yang sama.

b. Makalah ini dapat dijadikan sebagai objek kajian oleh akademisi atau praktisi dalam elaborasi pembuatan undang-undang.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan Undang-Undang

Peraturan tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPR).

Dalam perencanaan pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.

Dari beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan rancangan undang-undang.

B. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pada dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).

1. Tahap perencanaan

Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).

2. Tahap persiapan

Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

3. Teknik penyusunan

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).

4. Tahap pembahasan

Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR (Setyowati, 2006).

a. Pembahasan tingkat pertama

Pembahasan tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:

1. Pandangan fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.

2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.

3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

Dalam pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:

1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU).

2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain.

3. Diadakan rapat intern

b. Pembahasan tingkat dua

Pembahasan tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Laporan hasil pembicaraan tingkat I

2. Pendapat akhir fraksi

3. Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya

5. Tahap pengesahan

Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.

6. Tahap pengundangan

Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.

7. Penyebarluasan

Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar uraian yang telah diutarakan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Lembaga yang berwenang untuk mengusulkan atau mengajukan rancangan undang-undang adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah. Pengajuan rancangan undang-undang harus mengacu pada asas-asas pembuatan undang-undang.

2. Tahap-tahap dalam pembuatan undang-undang adalah perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.

B. Saran

Sebagai penutup dari pembahasan makalah ini. Penulis menyarankan kepada pembaca untuk mengkaji lebih dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini dimaksudkan sebagai partisipasi aktif pembaca dalam mengawasi setiap pembuatan undang-undang agar perundang-undangan yang dihasilkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak sekedar formalitas belaka.

DAFTAR PUSTAKA

Setyowati, E. 2006. ‘Bagaimana Undang-Undang Dibuat?’ (Online) http://www. ambudaya.blogspot.com/ (diakses 20 Januari 2008)

Setyowati, E & Sholikin, M. N. 2007. ‘Bagaimana Undang-Undang Dibuat’ (Online) http://www.parlemen.net/ (diakses 20 Januari 2008)

Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Online) http://www.unsrat.ac.id/ (diakses 20 Januari 2008)

Tidak ada komentar: