Pilkada dalam bebeapa tahun terakhir menjadi salah satu agenda utama bangsa Indonesia.
Riuh semangat pilkada begitu membahana di seluruh negeri pelosok negeri; suatu pesan antusiasme masyarakat dalam menyambut dan mengagungkan pseta demokrasi yang lama mengendap dalam perpolitikan Indonesia.
Sebagai warga negara, kita tentu memahami dinamika yang terjadi di masyarakat. Asumsi dasar yang dapat diajukan saat ini adalah bahwa masyarakat telah jenuh dengan in-transparansi pelaksanaan pilkada selama ini dan sedikit lebih maju dalam melihat pilkada sebagai instrumen dasar dalam penegakan asas dan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum jika selama kurun waktu 3 dekade, sistem politik dan pemerintahan Indonesia sangat restriktif, manipulatif, dan cenderung sebagai "quasi-demokrasi".
Semangat pilkada langsung lahir sebagai refleksi atas keinginan dan cita-cita primordial masyarakat akan tatanan kehidupan yeng lebih elegan, tercipta pemerintahan yang demokratis, serta perwujudan kehidupan masyarakat yang adil, demokratis, dan beradab. Pilkada langsung secara teoretik merupakan suatu mekanisme yang secara politik merupakan "best approach" untuk menciptakan suatu sistem pilkada yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga pemimpin yang lahir dari "general election" benar-benar merupakan representasi aspirasi dan pilihan nurani seluruh masyarakat.
Pertanyaan sekarang adalah, apakah pilkada langsung merupakan instrumen terbaik dalam penegakan demokrasi secara massif? Tidakkah selama ini, pilkada yang diselenggarakan justru mengganggu bahkan cenderung melahirkan instabilitas dalam msyarakat? Tidakkah pilkada lebih sebagai "pertarungan kepentingan" yang justru merugikan masyarakat? Apa yang salah sebenarnya dengan pilkada langsung??
Ada beberapa hal yang patut untuk dianalisis.
Pertama, masyarakat Indonesia secara kultural dan politik belum siap dengan mekanisme pilkada langsung. Sinyalemen ini didasarkan pada realitas politik tanah air bahwa kandidat yang maju dalam pilkada secara mental belum siap untuk menang dan kalah. Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa setelah penghitungan dilakukan dan pemenang pilkada ditetapkan, ada saja pihak yang merasa tidak puas dan menerima hasil pilkada tersebut, khususnya kandidat yang kalah. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana massa pendukung AG_ARF begitu mem-blow up ketidak puasan mereka akan hasil pilkada dan keputusan MA yang memenangkan lawannya dengan berbagai tindakan anarkis dan cenderung provokatif. Masyarakt pun menjadi korban kebrutalan mereka dan menjadi terintimidasi oleh ulah sebagian pendukung AG_ARF. Belum lagi kasus lain seperti sengketa pilkada sul-sel yang berkepanjangan hingga membuat situasi politik di sul-sel sempat memanas. Terakhir, kasus pilkada sinjai yang lagi-lagi membuktikan kepada bahwa betapa masyarakat lokal belum siap dengan pilkada langsung; betapa masyarakat belum 'dewasa' memahami arti sebuah persaingan dalam pilkada. Menang dan kalah merupakan hal yang wajar dalam sebuah persaingan, akan tetapi, tampaknya masyarakat belum sepenuhnya memahami hal tersebut.
Kedua, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya memahami arti demokrasi. Demokrasi bukanlah sistem yang memberi kebebasan kepada rakyat tanpa batas. Demokrasi adalah sistem yang elegan yang mengamanahkan rakyat untuk menyampaikan pendapat secara elegan dan proporsional. Realitas pilkada memperlihatkan sesuatu yang paradoks; bahwa persaingan dianggap sebagai sesuatu yang mengancam integritas dan empowerment seseorang sehingga penyampaian pendapat dalam berbagai forum tak ubahnya sebagai 'pengkambinghitaman' pihak lain yang dianggap mengancam eksistensi dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar