M. Natsir Asnawi
Mah. Fak. Syariah dan Hukum UIN Alauddin
I. Pendahuluan
Pemikiran hukum Islam sebagai sebuah dinamika menjadi bagian inheren dalam konstruk peradaban masayarakat muslim. Pemikiran hukum Islam lahir sebagai refleksi kontemplatif atas dogma dan doktrin syariat yang menjadi pedoman dan sebagai life pathways umat muslim, baik dalam konteks ibadah maupun dalam konteks muamalah.
Hukum Islam-sebagai aktualisasi kalam Ilahi dan sunah nabi-sejatinya bersifat universal dan komprehensif, karena secara substantif hukum Islam hadir sebagai sebuah entitas yang utuh dan integratif. Implikasinya, memahami dan menafsirkan substansi-substansi dalam hukum Islam tidak secara partikularistik, melainkan mengintegrasikan setiap dimensi dalam hukum Islam itu sendiri yang pada akhirnya melahirkan suatu konstruk pemahaman dan pengamalan yang padu.
Eksistensi hukum Islam menjadi sebuah keniscayaan dalam masyarakat muslim, paling tidak karena dua hal. Pertama, hukum Islam menjadi instrumen yang legitimatif bagi masyarakat mengenai benar dan salah serta konsekuensi bagi setiap perbuatan yang dilakukan, baik secara individu maupun secara kelompok. Dalam konteks ini, hukum Islam berkedudukan sebagai regulator masyarakat. Kedua, hukum Islam merupakan pathways bagi umat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT serta mengaktualisasikan diri sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemikiran hukum Islam diwarnai munculnya paradigma-paradigma yang menawarkan konstruk terbaik dalam menafsir dan mengaktualisasikan hukum Islam. Akan tetapi, bila menilik secara historis, dinamika tersebut ibarat de javu pertarungan pemikiran antara kaum Mu’tazilah yang moderat dengan Asy’Ariyah dan Khawarij yang konservatif.
Pertarungan pemikiran-yang pada intinya bermuara pada polemik boleh tidaknya interpretasi filofofis-rasional terhadap hukum Islam dalam al Qur’an maupun al Hadits-antara kaum liberal dengan konservatif merupakan keniscayaan sejarah dan sosial, sebab pada dasarnya dinamika tersebut merupakan fundamentasi dasar yang melapisi konstruk pemikiran masyarakat serta sebagai lokomotif pergerakan umat. Hanya saja, aksentuasi kita pada polemik tersebut sejatinya berkisar pada makna teks yang ada dan tidak pada tataran justifikasi setiap produk makna yang dihasilkan, sehingga apa pun makna yang dihasilkan dari paradigma yang dipakai menafsir makna teks, maka hal tersebut harus dipandang dan diinterpretasi secara proporsional dan objektif tanpa harus menimbulkan gesekan psikologis di antara kaum muslim.
Seperti disebut sebelumnya, eksistensi paradigma filosofis-rasional dalam menafsir makna teks lahir sebagai sebuah upaya menafsir makna teks dari perspektif yang berbeda. Tujuan utamanya adalah memahami dan mengaktualisasikan secara kaffah amanat teks tersebut. Tegasnya, penafsiran secara filosofis-rasional merupakan upaya untuk memaknai lebih jauh jiwa dan kandungan teks, sehingga pengamalannya berangkat dari pemahaman yang utuh yang bermuara pada peningkatan kualitas ibadah kepada Tuhan serta keinsafan yang utuh akan ayat-ayat Tuhan. Bagaimanapun, pemahaman teks yang kaku-sebagai terdapat dalam beberapa konstruk pemikiran hukum Islam-secara simultan mematikan energi rohani untuk membuka tabir makna terdalam suatu teks.
Paradigma filosofis-rasional salah satunya diwakili oleh hermeneutika yang merupakan konstruk pemikiran eksklusif dalam menafsir makna teks atau ayat. Dalam beberapa catatan, penulis menemukan bahwa hermeneutika muncul sekitar abad pertengahan di Eropa. Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kaidah untuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 yaitu arti tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Ketika Martin Luther menampilkan corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama bermunculanlah karya-karya seputar kaidah-kaidah penafsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus exponent darum sacarum literum (penafsiran kitab suci atau metode penjelasan teks-teks kitab suci) karya Dannhauuer dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi .
Sebagai catatan, kehadiran hermeneutika dalam ranah pemikiran hukum Islam menimbulkan kontroversi di kalangan pemikir Islam kontemporer, baik yang liberalis maupun yang konservatif. Didasari dengan berbagai argumentasi, kehadiran hermeneutika sebagai paradigma baru dalam pemikiran hukum Islam ditolak oleh sebagian pemikir muslim yang melihat paradigma tersebut lebih cenderung destruktif terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam. Pun demikian, di beberapa kalangan pemikir, kehadiran hermeneutika justru dilihat sebagai peluang untuk dapat menafsir teks secara komprehensif dalam rangka menangkap makna-makna hakiki dari teks tersebut. Hermeneutika dipandang sebagai salah satu way of thinking yang komprehensif guna mengungkap secara massif makna-makna teks. Indikasi-indikasi demikian menjadi dasar dalam pembahasan tema makalah ini. Pergerakan pemikiran berbasis hermeneutika coba diurai secara transparan dan objektif dengan harapan akan diperoleh deskripsi yang signifikan mengenai substansi hermeneutika dan implikasinya terhadap perkembangan pemikiran hukum Islam.
II. Definisi Hermeneutika
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemeberitahuan, terjemah. Hermeneutika (dari bahasa Yunani Ερμηνεύς hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang dapat didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Hermeneutika biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.
Istilah hermeneutika merupakan turunan dari kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes dan terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memakai bahasa “langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”. Untuk tujuan itulah maka diperlukan interpretasi. Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.
Melalui hermeneutika, hasil sebuah analisis dapat berbeda atau sama dengan maksud penggagas, sebab ketika suatu wacana diwujudkan ke dalam bentuk tulisan, menurut Paul Riceour, yang terjadi sesungguhnya adalah pelestarian "makna wacana", bukan "peristiwa wacana" itu sendiri. Dengan demikian, wacana tertulis tersebut memperoleh otonominya yang rangkap tiga: otonom dari maksud pengarang; otonom dari konteks sosio-historis awal yang melatarinya; dan otonom dari kelompok sasaran awalnya. Bersamaan dengan itu, wacana tertulis atau teks menjadi sesuatu yang pasti pada dirinya. Sifat otonomi wacana tertulis atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat dengan penafsiran teks
III. Substansi Hermeneutika
Hermenutika sebagai telah diungkap di atas pada dasarnya merupakan suatu bentuk dialektika kontemplatif atas upaya menafsir makna-makna teks secara mendalam. Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap konstruk penafsiran atas suatu teks dengan landasan teoretik yang fleksibel serta konteks yang menyertainya. Hermeneutika dapat dikatakn sebagai upaya protes atas entitas penafsiran teks yang selama ini dianggap sangat membelenggu ruang-ruang pemikiran manusia yang menyebabkan manusia tidak mampu menafsir dan menangkap hakikat teks tersebut. Dapat ditebak, teks hanya dipahami sebatas pada makna ‘raga’-nya saja dan secara simultan kehilangan makna ‘ruh’-nya, sehingga substansi teks tidak tertanam dalam pemikiran manusia. Teks tidak lebih sebagai entitas yang tidak memiliki daya untuk menggiring manusia ke dalam dimensi makna yang lebih dalam; sebagai upaya aktualisasi diri.
Dalam hermeneutika, otonomi teks menjadi aksentuasi tersendiri, sebab otonomi teks merupakan entitas yang integratif dalam suatu teks. Otonomi teks menjadikan teks itu sebagai wilayah penafsiran yang sangat komprehensif, sehingga penafsir diberi kesempatan untuk mendalaminya dan menggali secara signifikan makna yang mungkin ditangkapnya dan diaktualisasikannya secara esoteristik.
Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian, pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca dengan teks.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks, dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem "pemahaman", yakni bagaimana memahami dengan benar, sedangkan makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk "merekonstruksi makna". Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher, sebagai pencetus hermeneutika teoretis, menawarkan dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung, kedua, pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak obyektif, sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara berempati kepada penggagas.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri. Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, hermeneutika, menurut Gadamer, berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Karena itu, dengan mengambil konsep fenomenologis Heidegger tentang Dasein (ke-Ada-annya di dunia), Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan metodologi. Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoritis yang menggagap hermeneutika bertujuan menemukan makna obyektif. Gadamer menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif atau definitif sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena dua alasan, pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua, memahami bukanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna teks yang subyektif. Memahami menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon penafsir dan horizon teks. Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis, pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks.
Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomonikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca, sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks.
Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Dalam kegiatan penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir atau pembaca didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra pemahaman. Namun penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud memberikan kebebasan mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-rambu, yakni agar penafsir bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya membiarkan teks menghadiri penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara keduanya untuk menghilangkan ketegangan. Sebab, sebagaimana pembaca, teks juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut horizon teks. Dengan prinsip makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horison, yakni mempertemukan pra pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Dalam negosiasi itulah, makna yang dicari bersemayam.
Penekanan Gadamer pada fusi horizon dalam menemukan makna didasarkan pada argumen bahwa seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya dan apalagi memasuki tradisi dan prasangka orang lain. Menurut Gadamer, keduanya pasti hadir dalam setiap tindakan menafsir, lantaran keduanya merefleksikan keterkondisian historis umat manusia. Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang hendak "merekonstruksi makna", tujuan utama hermeneutika filosofis adalah "memproduksi makna teks", melalui fusi horison pembaca dan horizon teks. Begitu makna produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke dalam konteks di mana pembaca berada.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas. Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca, Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru diabaikan. Sesuatu dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
IV. Sejarah kemunculan dan Perkembangan Hermeneutika
Dalam perspektif pandangan hidup, hermeneutika merupakan konsep atau teori yang lahir dan berkembang dari suatu milleu masyarakat. Milleui yang dimaksud adalah masyarakat ilmiah (scientific society) yang dengan pandangan hidupnya (worldview) mereka menghasilkan konsep keilmuwan. Hermenutika merupakan refleksi dari gejolak pemikiran masyarakat yang terus mengalami proses dinamisasi, tidak terkecuali pada dimensi keagamaan (religiusitas).
Werner menyebutkan tiga melliu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama Mellieu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua mellieu masyarakat Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab suci agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk interpretasi untuk itu. Ketiga mellieu masyarkat Eropa di jaman Pencerahan (enlightment) yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa hermeneutika ke luar konteks keagamaan .
Dengan menggunakan data tentang millieu yang mengitari perkembangan hermeneutika sebagai metode interpretasi seperti yang dikemukakan oleh Werner diatas, kita dapat menggambarkan pengaruh pendangan hidup terhadap hermeneutika dalam tiga fase, yaitu:
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen,
2. Dari teologi Yahudi dan Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat,
3. Dari Hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika.
V. Filsafat Hermeneutika Al Qur'an
Sejatinya, hermeneutika lahir sebagai media atau alat dalam menginterpretasi bibel atau al Kitab. Hermeneutika-sesuai dengan konsep awalnya-merupakan refleksi atas kerisauan sebagai pemeluk Krtisten terhadap al Kitab-nya sendiri, karena restriksi pemaknaan oleh otoritas pada saat itu secara perlahan mencerabut penghayatan dan pemaknaan secara kontemplatif ajaran bibel.
Kenyataan yang ada menunjukkan jika hermeneutika secara perlahan mulai merambat pada dunia tafsir al Qur’an. Sepintas tidak ada yang aneh, mengingat tradisi ke-filsafat-an yang begitu kental dalam hermeneutika menjadi satu preferensi tersendiri bagi sebagian ulama dan/atau mufassir untuk menjadikannya sebagai salah satu alat dalam menafsirkan ayat al Qur’an. Akan tetapi, melihat lebih ke esensi hermeneutika, sebagian pihak secara simultan mengklaim bahwa hermeneutika tidak lebih sebagai “pengkafiran” terhadap tafsir al Qur’an. Hal tersebut didasari pada kenyataan bahwa hermeneutika, sejak kemunculannya, merupakan produk bangsa Eropa, khususnya filsuf-filsuf Yunani dan kemudian mengalami sebuah transisi pada pengimpelementasian hermeneutika sebagai metode dan/atau alat menafsir teks-teks bibel. Tidak hanya itu, konsep awal (primary concept) sebagian ulama terlanjur melihat hermeneutika sebagai invasi pemikiran bibel tehadap orisinalitas dan otentisitas al Qur’an sebagai pedoman dan tuntutan hidup umat Islam. Tidak dapat dipersalahkan memang, hanya saja sebagai umat Islam, perlu agaknya ditelusuri secara mendalam mengenai hermenutika al Qur’an.
Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutik. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian al Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Lebih jauh merumuskan metode tersebut, Fahrudin Faiz menyatakan bahwa ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum al Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum al Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf al Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran al Qur`an. Akan tetapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka menurutnya, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
Al Jawi mengemukakan bahwa hermeneutika secara menyeluruh harus ditolak. Al Jawi mendasarkan pendapatnya pada beberapa alasan berikut:
1. Asal usul hermeneutika dari tradisi kafir
Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bibel). Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu). Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab RA pernah memegang selembar Taurat. Nabi SAW melihatnya lalu bersabda, "Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku."
Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka terlebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya, yaitu hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Itulah makna sabda Nabi SAW : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
2. Hermeneutika tidak cocok untuk menafsirkan al Qur’an
Hermeneutika secara substantif sesuai (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Hal tersebut memang cocok dan sudah seharusnya demikian.
Al Jawi mengungkapkan, dalam Mazmur (Psalm) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang mempostulatkan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Disinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Menurut Prof. Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, dan tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible tersebut tidak dialami oleh Al-Qur`an .
Sesuatu yang mengerikan menurut Al Jawi adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya, supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Hal ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya, orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.
3. Hermeneutika semakin mengokohkan sekularisme
Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menelorkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.
Pasal-pasal sampah tersebut lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi.
Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.
VI. Implikasi terhadap Pemikiran Hukum Islam
Polemik hermeneutika sebagai paradigma penafsiran dalam pemikiran hukum sebenarnya lahir dari satu kondisi awal (prime condition), yaitu sikap taklid buta dan kehawatiran yang terlalu besar terhadap hermenetika yang bermuara pada sikap penolakan dan antipati secara simultan. Hermeneutika, oleh sebagian pemikir hukum Islam, pada dasarnya merupakan pengayaan metode dalam menafsir teks atau makna al Qur’an. Penulis berpendapat bahwa sejatinya, dalam tradisi keilmuan, tidak terkecuali keilmuan Islam, hermeneutika tidak dipandang sebagai toxic yang mencederai penafsiran al qur’an dan hadits, melainkan dipandang sebagai pelengkap terhadap metode tafsir yang selama ini telah digunakan oleh para ulama.
Adalah sikap yang kurang bijaksana ketika menolak secara keseluruhan metode hermeneutika dalam menafsir teks, khususnya teks (dalil) tentang hukum. Bagaimanapun, pemikiran hukum Islam pada dasarnya sangat spasial dan temporal, dalam arti bahwa pemikiran hukum Islam senantiasa mendapatkan sentuhan kontekstualitas, sehingga selalu berjalan beriringan dengan perkembangan dan dinamisasi zaman. Disinilah sesungguhnya diperlukan pendekatan hermeneutika dalam menafsir dan mengaktualisasikan dogma sebagai termaktub dalam al Qur’an dan al hadits, sehingga implementasi hukum Islam senantiasa selaras dengan dinamika masyarakat muslim.
Syamsudin Arif, sebagai dikutip oleh Adian Husaini mengemukakan bahwa semestinya umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Sikap yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri. Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al Quran dan al Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap ‘teliti sebelum membeli’ gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.
Salah satu produk asing tersebut adalah “hermeneutika”, yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al Qur’an’ yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Sikap yang terlalu permisif pada segala yang baru dan berkarakter Barat (new thing and Western thing), sejumlah cendekiawan yang notabene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ‘ahistoris’ (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical’ (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan dalam interaksi tersebut adalah terjadinya ‘hermeneutic circle’, semacam lingkaran setan atau proses tak berujung-pangkal antara teks, praduga-praduga, interpretasi, dan peninjauan kembali (revisi). Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman. Interaksi tersebut tidak boleh berhenti, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi (hidden interests) yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
Dengan latarbelakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak dibanding apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Qur‘an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’ dan merupakan sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas). Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim, sebab hanya Allah yang tahu kebenaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qath’iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah, hermeneutika apa yang dapat diaplikasikan umat Islam? Sikap kritis sebagaimana dimaksud sebelumnya harus disertai dengan ketegasan mengenai jenis hermeneutika apa yang seharusnya dapat diaplikasikan dalam pemikiran hukum Islam.
Fazlur Rahman, seorang pemikir muslim lebih setuju kepada hermeneutika Betti daripada hermeneutika Gadamer. Akan tetapi, dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.
VII. Kesimpulan
Implikasi hermeneutika dalam pemikiran hukum Islam sangat signifikan. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin banyaknya pemikir yang coba menafsir teks-teks al Qur’an secara bebas tanpa berpegang pada otentisitas al Qur’an dan metode penafsiran baku yang selama ini diterapkan oleh para mufassir. Akibatnya, banyak produk pemikiran yang melenceng dan bahkan cenderung destruktif terhadap makna asli dari teks al Qur’an tersebut.
VIII. Bibliografi
Admin. 2005. “Hermeneutika” (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, diakses 3 Nopember 2008).
Admin. 2008. “Hermeneutika dan Tafsir: Sebuah Studi Komparatif” (Online). (http://my-jazeerah.blogspot.com/2008/01/hermeneutika-dan-tafsir.html,diakses 3 Nopember 2008)
Al Jawi, M.S. 2007. ”Hermeneutika al Qur’an: Keniscayaan atau Kenistaan?” (Online). (http://syariah.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=41, diakses 12 Nopember 2008).
Faiz, F. 2005. Hermeneutika al-Qur`an Tema-Tema Konroversial. Yogyakarta: elSAQ Press.
Husaini, A. Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. 2005. Jakarta: Gema Insani Press.
Husaini, A. 2004. “Hermeneutika dan Infoltrasi Kristen” (Online). (http://swaramuslim. net/more.php?id=A1721_0_1_0_M, diakses 12 Nopember 2008).
Suharto, U. 2003. “Apakah al Qur’an Memerlukan Hermeneutika?” (Online). (http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=696:apakah-al-quran-memerlukan-hermeneutika&catid=68:opini&Itemid=68, diakses 3 Nopember 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar