PENDAHULUAN
Pada tahun 1948, umat manusia di bumi ini untuk pertama kali
memproklamasikan penghormatan dan keyakinan mereka tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM). Seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat, nilai, dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan warna kulitnya, merah, coklat, putih atau hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua, apakah bangsa besar, kaya dan maju, atau dari bangsa kecil, terbelakang, miskin dan primitif. Saat itulah mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis, dan egaliter dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar.
Adagium bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan entitas yang universal mendapat perlawanan oleh sebagian kalangan yang mengemukakan bahwa HAM merupakan entitas yang partikular. Inilah agaknya yang menjadi preferensi utama dalam diskursus mengenai HAM, baik dalam kalangan akademisi maupun oleh kalangan awam.
Kritisisme HAM dalam wacana keilmuan menjadi suatu fenomena yang cukup unik. Pasalnya, sementara berbagai pihak memperjuangkan penegakan HAM, sebagaian lainnya larut dalam perdebatan mengenai universalitas dan partikularitas nilai-nilai HAM. Agak klise memang, namun inilah sesungguhnya yang menjadi polemik utama dalam pewacanaan HAM, terutama ketika menyentuh konteks sosiologis dan antropologis masyarakat.
HAM dengan nilai-nilainya dipersepsikan dalam konteks lokal dan global. Implikasinya, dikotomi antara universalitas dan partikularitas nilai-nilai menjadi aksentuasi yang tidak terelakkan. Berdasar keadaan ini, wacana tentang HAM di satu sisi menjadi satu produk paradigma holistik yang melihat HAM sebagai entitas dengan nilai-nilai universal, terlepas dari episteme-episteme sosiologis masyarakat setempat. Sementara itu, sebagian menilai pewacanaan nilai HAM secara sektoral, mengingat nilai-nilai HAM bersifat etik, artinya pada konteks tertentu nilai-nilai HAM harus disesuaikan dengan konteks lokal tertentu dan tidak berlaku pada konteks lokal lainnya.
Dalam konteks lain, diskursus mengenai berkutat pada wilayah pelanggaran dan pengadilan HAM. Pewacanaan HAM pada konteks ini lebih dilatarbelakangi pada asumsi bahwa selama ini, persoalan pelanggaran dan pengadilan HAM masih menjadi salah satu problem besar dalam upaya penegakan dan supremasi HAM.
Perbedaan perspektif mengenai nilai-nilai HAM menyebabkan kegamangan dalam memahami nilai-nilai HAM, tidak terkecuali kalangan akademisi. Selain itu, polemik dalam pelanggaran dan pengadilan HAM semakin mempertegas bahwa HAM masih menjadi satu problematika besar bagi seluruh bangsa di dunia, khususnya di Indonesia. Dalam konteks inilah, penulis coba mengangkat tema ini dalam pembahasan makalah. Diharapkan nantinya, akan diperoleh deskripsi yang lebih transparan dan signifikan, sehingga dapat mencerahkan wawasan dan pemahaman penulis maupun pembaca
Nilai-nilai Universal dan Partikular HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan entitas yang terintegrasi dalam eksistensi manusia dan secara kodrati merupakan karunia dari Allah SWT. Dalam konteks ini, HAM dianggap sebagai fundamentasi dasar ke manusiaan, karena dengan-nya, manusia dapat dengan leluasa melaksanakan tugas-tugas kemanusiaannya dan mendapatkan jaminan (guarantee) bahwa dirinya terproteksi dari ancaman eksternal yang dapat membahayakan dirinya. Pemahaman yang komprehensif mengenai konsep dasar dan nilai-nilai HAM menjadi penunjang bagi kesuksesan sosialisasi dan implementasi HAM dalam konstruk dinamika kemasyarakatan.
Konsep dasar HAM
Sebelum lebih jauh membahas mengenai HAM, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai definisi HAM. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Nickel mengemukakan bahwa pada dasarnya, hak memiliki tiga unsur, yaitu pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak, dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian, maka dapat dikemukakan bahwa hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksi dalam konteks individu dengan individu lain dan/atau dengan institusi sosial maupun pemerintahan.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan/kebebasan dan hak memiliki sesuatu.HAM adalah klaim yang dapat dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrat. Dalam definisinya yang kodrat, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan. Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan, dan dibagi-bagi.
Jan Materson sebagai dikutip Baharuddin Lopa, mengemukakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpa hak tersebut, manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke mengemukakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. Sementara itu, pengertian lebih lengkap terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perindungan harkat dan martabat manusia”.
Nilai-nilai HAM
Diskursus nilai-nilai HAM pada dasarnya merupakan dinamika yang lahir dari perbedaan perspektif mengenai HAM itu sendiri. Sebagai diketahui, secara faktual, entitas HAM tidak terlepas dari nilai-nilai kultural, sosiologis, konstruk politik, dan nilai-nilai etik lainnya. Bukan menjustifikasi bahwa nilai-nilai HAM bersifat partikular, akan tetapi menegaskan bahwa pembicaraan mengenai nilai-nilai HAM harus dikontekstualkan dengan tidak memberangus data-data historis. Diakui atau tidak, nilai-nilai HAM secara substantif melingkupi wilayah universal dan partikular. Karena itu, adalah wajar bila diskursus pada wilayah nilai HAM terjadi secara sektoral; mencakup wacana universalitas dan partikularitas nilai-nilai HAM.
Nilai universal HAM
Dalam konteks ini, nilai HAM dianggap sebagai nilai yang universal; suatu konstruk nilai yang menembus batas peradaban, sekat budaya, dan paradigma spesifik. Nilai-nilai HAM-tanpa terkecuali-oleh penganut teori radikal universalitas bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi sebagai upaya konkordansi dengan budaya lokal suatu negara atau masyarakat.
Teori radikal universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM; bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama (tidak terikat pada paradigma spasial dan temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan historisitas yang berbeda. Implikasinya, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku sama dan secara simultan bersifat universal bagi semua bangsa dan negara di dunia.
Kalangan yang mendukung universalitas DUHAM menyatakan bahwa Mesir dan Libanon berkontribusi besar dalam penyusunan DUHAM, sehingga DUHAM bukanlah dominasi barat, bahkan rumusan tentang kebebasan beragama merupakan bukti bahwa DUHAM juga mengadopsi nilai-nilai yang berakar dari luar barat. Kalangan ini juga berpendapat bahwa budaya itu bersifat dinamis sehingga klaim karakteristik budaya suatu komunitas, etnis atau negara bersifat tetap dan utuh terbantahkan, karena anggapan bahwa suatu masyarakat memiliki satu nilai hanyalah merupakan klaim yang kurang berdasar. Selain itu, perbedaan pendekatan yang mendikotomikan Hak Sipol dan Hak Ekosob dalam praktiknya tidaklah sediametral itu, karena, misalnya, bila di negara sosialis hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam ranah Hak Ekosob, dalam masyarakat liberal, hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam Hak Sipol. Dengan demikian, baik di barat maupun di timur, hak atas pendidikan itu sama-sama diakui meskipun dikonstruksi dalam pendekatan yang berbeda.
Pemahaman HAM sebagai suatu “konsensus lintas budaya”, mengutip pendapat Bielefeldt, adalah syarat mutlak adanya pengertian yang universal. Artinya, penyampingan esensialisme kultural dalam memahami HAM universal hendaklah dipahami sebagai “bukan penyingkiran”. Budaya, sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia mutlak ada, hidup dan dilestarikan dalam nilai HAM yang universal, mengingat bahwa justru dengan pelenyapan unsur sosio-kultural tertentu, konsep HAM yang agung dan luhur akan terjebak dalam situasi dilematis. Merujuk argumentasi tersebut, penulis bependapat bahwa universalitas hanyalah quasi nilai HAM, karena bagaimanapun, menurut konstruk “konsensus lintas budaya”, nilai HAM tidak dapat dilepaskan sama sekali dari budaya lokal.
Dalam konsep lintas budaya, kesetaraan dan kerjasama adalah poin substansial yang harus menjadi mainstream dalam terbukanya ruang konseptual bagi pluralitas pandangan, ideologi, agama, keyakinan, doktrin dan hal-hal yang berlainan. Secara normatif, ketika HAM dipandang sebagai suatu aturan semesta seluruh umat manusia, maka egosentrisme kesukuan mutlak menepi terlebih dahulu, dengan asumsi HAM tersebut tidak berlaku sebagai penjajah feodal yang kaku. Ini mengandung permintaan yang dalam bagi kedua belah pihak, pelaku dan budaya sasaran. Para aktivis HAM dituntut untuk lebih toleran terhadap pluralisme budaya sasaran, sedang sebaliknya, pemilik budaya hendaknya tidak membutakan mata terhadap intisari HAM sebenarnya.
Dibalik universalisme hak asasi manusia dan kekhususan budaya, suatu wacana lain yang tak kalah penting adalah pengembalian arti dan keberpihakan HAM terhadap kaum miskin dan tertindas. Pola pemikiran seperti ini sederhana saja yaitu ketika HAM dekat dan bersinggungan dengan masalah-masalah praktis dan konkrit, serta mampu melindungi kaum miskin dan terpinggirkan, dia akan semakin tumbuh dan berarti dalam universalitasnya.
Lebih lanjut, dalam wacana universalitas nilai HAM, ada teori weak relativist. Teori ini pada dasarnya beranggapan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan susah untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasar pandangan tersebut, maka tampat tidak adanya pengakuan (justifikasi) terhadap nilai-nilai HAM lokal, melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM yang bersifat universal Kemudian, dikenal Hukum Alam sebagai landasan teori hukum. Hukum Alam beranggapan bahwa HAM-sebagai karunia dari Tuhan-secara kodrati tidak lekang oleh perkembangan dan perubahan zaman. HAM dianggap sebagai konstruk yang universal dan tidak terikat pada perbedaan subjek dan konteks serta nilai-nilai kearifan lokal.
Nilai partikular HAM
Bila berbicara mengenai Hak Asasi Manusia dalam dunia modern saat ini, maka kita dihadapkan pada perdebatan antara universalisme HAM dan relativisme budaya. Universalisme HAM dianggap terwujud dalam Universal Declration of Human Rights yang mewakili tradisi dunia Barat yang menjunjung tinggi konsep kebebasan dan individualisme. Sedangkan di dunia Timur konsep mengenai tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Hal inilah yang melahirkan teori relativisme budaya yang salah satu bentuk perwujudannya terkandung dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam. Dalam Deklarasi Kairo yang diberlakukan untuk Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam ini dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan pemaksaan, dan untuk mendapatkan kebebasan dan hak untuk hidup yang selaras dengan Syari'ah Islam. Bahwa setiap orang secara individual dan ummah secara bersama-sama bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak ini.
Pada dasarnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sejalan dengan pandangan Islam. Namun perbedaan antara konsep universalitas HAM dengan relativisme budaya melahirkan sudut pandang yang berbeda ketika berhadapan dengan isu-isu krusial yang muncul dalam tataran praktis. Dalam Islam, bila seseorang dalam menjalankan hak asasinya menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, maka dia dapat dihukum. Sedangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, jika ada hukum atau hukuman yang berbenturan dengan hak asasi seseorang, maka hukum atau hukuman tersebut harus dihapus, tanpa memandang latar belakang historis, sosial ekonomi, dan kultur setempat. Padahal setiap negara memiliki keanekaragaman masing-masing yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi, budaya, dan tingkat perkembangannya. Misalnya keanekaragaman dalam falsafah atau dalam sistem hukum pidananya yang dapat bersifat memberikan pembalasan atau perlindungan.
Dalam perkembangannya, wacana nilai-nilai HAM terjadi secara sektoral-universalitas dan partikularitas. Pandangan yang menolak universalitas HAM mengajukan beberapa alasan. Pertama, bahwa DUHAM yang mengklaim diri sebagai universal itu hanya dibuat oleh beberapa negara yang dimotori oleh negara-negara yang menang perang dan menggambarkan nilai-nilai individualisme liberal masyarakat barat. Kedua, DUHAM tidak melihat kekhasan budaya yang terdiferensiasi berdasarkan budaya dan ruang geografis. Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan dalam melihat hak asasi manusia.
Dalam pewacanaan nilai partikular HAM, teori relativitas kultural merupakan salah satu teori yang cukup signifikan. Asumsi utama teori ini adalah bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Dalam konteks penerapan HAM, ada tiga model penerapan HAM, yaitu:
1. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik, dan hak pemilikan pribadi;
2. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial; dan
3. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan ekonomi.
Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan atau tindakan individu atau sekelompok orang, termasuk aparat negara, baik disengaja mapun tidak disengaja, atau karena kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau mencabut HAM individu atau sekelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang dan tidak didapatkan atau dikahawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Pelanggaran HAM dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan.
Pelanggaran HAM berat
Pelanggaran HAM berat terbagi atas dua, yaitu:
Kejahatan genosida
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap satu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasarkan pada persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Dalam konteks Indonesia, ada beberapa kejadian yang terindikasi sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk rasa mahasiswa yang dituding akan menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda. Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat bentrok dengan Pam Swakarsa. Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa. Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001. Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah mahasiswa. Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Kini, akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum. Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin (mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan jaya) dan Noegroho Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).
Pelanggaran HAM ringan
Pelanggaran HAM ringan merupakan pelanggaran HAM selain genosida dan kejahatan kemanusiaan. Dalam konteks ini, pembunuhan, pemerkosaan secara individual maupun berkelompok, penipuan, perampokan, penyiksaan fisik dan/atau psikologis seseorang, intimidasi, pengekangan terhadap kebebasan seseorang, dan bentuk pelanggaran lainnya.
Pengadilan HAM
Ketentuan tentang adanya Pengadilan HAM terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Dalam Undang-Undang tersebut, diatur ketentuan mengenai Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU No.26 Tahun 2000 tersebut lahir. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasar peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada dalam lingkungan Peradilan Umum.
Dalam konteks pelanggaran HAM berat, berlaku asas retroaktif, yaitu suatu asas hukum yang menegaskan bahwa tindak pidana tertentu yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang yang mengaturnya belum ditetapkan dapat diperiksa dan diadili. Asas ini pun diperkuat dengan ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa untuk pelanggaran HAM berat, berlaku asas retroaktif. Dasarnya adalah untuk memenuhi rasa keadilan, mengingat implikasi pelanggaran HAM tersebut sangat besar dan menyangkut kepentingan orang banyak. Masih teringat kasus Tanjung Priok yang terjadi beberapa dekade yang lalu, perkaranya kini masih ditangani oleh Pengadilan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pelanggaran HAM berat diberlakukan asas retroaktif.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berada dan dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dalam pelaksanaan Peradilan HAM, Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.
KESIMPULAN
Berdasar uraian yang telah dipaparkan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Universalitas nilai HAM berangkat dari teori radikal universalitas. Teori radikal universalitas bersandar pada satu argumentasi bahwa hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM; bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama (tidak terikat pada paradigma spasial dan temporal) dan dapat diimplementasikan pada masyarakat dengan latar belakang budaya dan historisitas yang berbeda. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa bagaimanapun implementasi HAM tidak dapat dilepaskan sama sekali dari konteks budaya dan nilai-nilai lokal. Sementara itu, pendapat bahwa nilai HAM bersifat partikular didasarkan pada kenyataan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara.
2. Pelanggaran HAM secara umum merupakan tindakan, baik seseorang maupun sekelompok orang, aparat negara maupun bukan aparat negara, yang mencederai, mengurangi, mengganggu, dan bahkan menghilangkan hak-hak asasi seseorang dan/atau sekelompok orang dengan cara-cara yang radikal dan melanggar nilai-nilai humanitas dan bertentangan dengan Undang-Undang. Pelanggaran HAM terbagi atas dua, yaitu pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM-khususnya pelanggaran HAM berat-diadili di Pengadilan HAM, baik Pengadilan HAM tetap maupun Pengadilan HAM ad hoc-Pengadilan HAM untuk pelanggaran HAM berat seperti genosida dan kejahatan kemanusiaan. Proses peradilannya mengacu pada hukum acara Peradilan HAM.
BIBLIOGRAFI
Admin. 2002. Kasus-kasus Pelanggaran Berat HAM (Online). (http://www.elsam.or. id/kkr/Trisakti.html, diakses 8 Desember 2008).
Arizona, Y. 2008. Positivisasi Hak Asasi Manusia (Online). (http://yancearizona. wordpress.com/2008/04/18/positivisasi-hak-asasi-manusia/, diakses 8 Desember 2008).
Bakir, H. 2007. Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan. Bandung: Refika Aditama.
Damanik, M. R. A. & Feryandi, F. H. 2004. Mengkaji Ulang Universalitas HAM (Online). (http://nusantarakusatu.wordpress.com/2004/02/04/mengkaji-ulang-uni versalitas-ham/, diakses 8 Desember 2008).
Damanik, M. R. 2008. Menakar Ulang Universalitas HAM (Online). (http://www. berpolitik.com/static/myposting/2008/01/myposting_9677.html, diakses 8 Desember 2008).
Metia,
Sastra, S. M. 2008. Penegakkan HAM, Antara Universalisme dan Relativisme Budaya (Online). (http://fpks-dpr.or.id/main.php?op=isi&id=3295, diakses 8 Desember 2008).
Tim ICCE UIN Jakarta. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana.
1 komentar:
sangat membantu, terimakasih..
izin copas ya, untuk tambahan beberapa materi saya.
Posting Komentar