11.19.2007

prospek peradilan agama di indonesia (suatu tinjauan yuridis-institusional)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga hukum di Indonesia telah eksis seiring dengan perjalanan bangsa dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Dalam rentang waktu tersebut, peradilan agama telah melewati rangkaian proses transformasi kelembagaan dalam rangka memperkuat eksistensinya dalam kerangka hukum di Indonesia.

Salah satu pijakan awal yang krusial dalam kemapanan peradilan agama secara kelembagaan adalah kodifikasi peraturan-peraturan tentang peradilan agama ke dalam UU No.7 tahun 1989 mengenai peradilan agama. Dengan kodifikasi tersebut, maka peradilan agama memperoleh pengakuan hukum yang luas sebagai lembaga hukum yang otoritatif dan independen. Implikasi lebih jauh adalah adanya transparansi mengenai yurisdiksi peradilan agama dalam dinamika hukum nasional, sehingga putusan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan agama memiliki kekuatan hukum yang tetap. Hal inilah yang sesungguhnya mengawali kiprah nyata peradilan agama dalam rangka penegakan supremasi hukum secara massif.

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang semakin kompleks dan dinamis, kebutuhan akan pemenuhan rasa keadilan semakin menguat, sehingga diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif. Peradilan agama dituntut untuk mengambil peran yang lebih jauh dalam pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Satu hal yang sangat riskan dalam konteks ini adalah masalah ekonomi syari’ah yang penanganannya belum maksimal. Sebagai yang kita ketahui, perkara hukum yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah selama ini ditangani oleh pengadilan negeri yang secara substansial kurang kompeten, mengingat basis pendalaman hukumnya adalah hukum positif, sedangkan perkara ekonomi syari’ah berbasis hukum Islam. Lebih jauh, dewasa ini telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan syari’ah yang melayani kebutuhan finansial masyarakat, sehingga secara hukum perlu diakomodir dalam lembaga hukum yang kompeten.

Adalah peradilan agama yang kemudian dianggap sebagai lembaga yang representatif dan kompeten dalam menangani perkara ekonomi syari’ah. Ada beberapa alasan yang mendasari hal ini. Pertama, hakim-hakim dalam peradilan agama memiliki pendalaman hukum Islam yang lebih dibandingkan dengan hakim-hakim umum di pengadilan negeri. Meski hal tersebut bukanlah hal yang mutlak, namun paling tidak hal ini dapat digunakan sebagai parameter awal yang memperkuat asumsi bahwa peradilan agama adalah lembaga yang paling representatif mengenai hal ini. Kedua, peradilan agama secara faktual lebih ‘bersih’ dibandingkan dengan pengadilan negeri. Sebagai yang kita ketahui, dalam dinamikanya, lembaga peradilan agama lebih independen dan transparan dibandingkan dengan pengadilan negeri dalam menjalankan otoritasnya. Cukup banyak bukti yang mendukung hal ini. Salah satunya adalah sangat jarang ditemukan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh aparat pengadilan agama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kinerja aparat pengadilan negeri yang hampir setiap saat terdengar penyimpangan aturan hukum, antara lain terlihat jelas dalam produk-produk hukum yang dikeluarkan.

Aktualisasi nyata dari pertimbangan-pertimbangan diatas adalah amandemen UU No.7 tahun 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Amandemen ini membawa implikasi yang signifikan bagi yurisdiksi peradilan agama. Hal ini ditunjukkan dengan ekspansi wewenang peradilan agama yang dipercayakan untuk menangani perkara-perkara ekonomi syari’ah di masyarakat. Inilah sesungguhnya yang menjadi substansi lembaga peradilan agama secara yuridis, yaitu menjadi wadah bagi penyelesaian perkara-perkara hukum, terutama bagi umat muslim yang mendambakan keadilan yang hakiki. Segalanya kembali pada lembaga peradilan agama itu sendiri untuk senantiasa menjaga independensinya dan menjadi pilar bagi penegakan supremasi hukum di Indonesia. Pada akhirnya, realitas-lah yang akan membuktikannya.

B. Rumusan Masalah

Dari pemaparan pada latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa permasalahan. Permasalahan itu adalah:

1. Bagaimana dinamika peradilan agama dalam konteks historisitasnya?

2. Apa implikasi yuridis dari amandemen UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 terhadap eksistensi peradilan agama?

3. Bagaimana prospek peradilan agama dalam konteks tata hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui dinamika peradilan agama secara historis. Selain mengetahui kronologi historisnya, hal ini juga bertujuan untuk memproyeksi sejauh mana eksistensi peradilan agama dalam konteks tata hukum Indonesia dan konteks sosiologis kemasyarakatan.

2. Mengetahui sejauh mana implikasi amandemen UU No.7 Tahun 1989 menjadi UU No.3 Tahun 2006 terhadap eksistensi peradilan agama. Eksistensi ini berkaitan dengan yurisdiksi peradilan agama serta kedudukannya dalam konteks yuridis dan sosiologis kemasayarakatan.

3. Mengetahui prospek peradilan agama dalam tata hukum Indonesia. Dalam hal ini, peradilan agama diperhadapkan dengan sejumlah peluang dan tantangan kontekstual ke-Indonesia-an yang menjadi bagian integral dalam dinamika hukumnya.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini memiliki manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan penulis tentang aturan formal dalam penulisan karya ilmiah

b. Mengetahui aspek teoritis peradilan agama.

2. Manfaat Praktis

a. Meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah, baik kemampuan secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

b. Mengetahui proses-proses transformasi dalam lembaga peradilan agama sehingga dapat berpartisipasi, baik secara aktif maupun pasif, dalam mewujudkan peradilan agama yang independen dan progresif dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia.

c. Menambah kesadaran penulis akan polemik hukum yang terjadi di negara Indonesia sehingga secara proaktif berpikir dan berusaha merumuskan konsep-konsep yang kontributif dalam pemecahannya. Dengan demikian, akan tercipta suatu dinamika yang dinamis dalam upaya bersama untuk kemajuan dan kejayaan supremasi hukum di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dinamika Peradilan Agama dalam Konteks Historis

Peradilan agama secara historis telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tahun 1808. Kemudian pada tahun 1823, terbit Resolusi Gubernur Jenderal No.12 yang menetapkan berdirinya pengadilan agama Palembang dengan kewenangan pada perkara-perkara perdata. Perkara pidana pada saat itu diserahkan ke pengadilan negeri.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, peradilan agama mengalami transformasi yang signifikan dalam konteks kelembagaan. Peradilan agama secara institusional berada di bawah naungan Kementerian Kehakiman. Dengan demikian, segala bentuk aktifitas yuridis dalam lingkup peradilan agama harus dipertanggungjawabkan kepada kementerian kehakiman.

Pada tahun 1946, terbit Peraturan Pemerintah No.5 tahun 1946 yang menetapkan bahwa peradilan agama secara institusional berada di bawah naungan kementerian agama. Dengan ketetapan ini, dinamika peradilan agama mengalami perubahan yang cukup signifkan. Orientasi keagamaan sedikit demi sedikit mengalami progresifitas yang mewarnai derap langkah peradilan agama. Peradilan agama sangat identik dengan agama, sehingga ajaran agama memiliki intervensi yang signifikan dalam putusan maupun penetapan yang dikeluarkan. Selanjutnya, setelah dikeluarkannya UU No.19 tahun 1948, maka peradilan agama secara institusional berada dalam lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, maka peradilan agama secara perlahan mulai mensejajarkan diri dengan peradilan-peradilan umum yang telah ada. Dari hal ini pula, peradilan agama secara perlahan mengalami penguatan secara institusional dan berimplikasi pada kekuatan hukum dari setiap putusan maupun penetapan yang dikeluarkannya.

Eksistensi peradilan agama dalam tata hukum Indonesia semakin kuat. Hal ini ditunjukkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No.45 tahun 1957 yang menetapkan pembentukan pengadilan agama di luar pulau Jawa, yaitu di pulau Madura dan Kalimantan Selatan. Selanjutnya, kedudukan peradilan agama menjadi sejajar dengan peradilan lain berdasarkan ketentuan UU No.14 tahun 1970. Dengan demikian, maka otoritas peradilan agama diakui secara penuh dalam tata hukum di negara Indonesia.

Pada tahun 1989, pemerintah mengeluarkan UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Dengan keluarnya undang-undang ini, maka institusi peradilan agama telah mendapatkan bentuknya yang sempurna, baik kedudukannya secara institusional maupun transparansi wewenang dan kelengkapan aparat secara struktural. Salah satu asas yang menjadi dasar bagi proses peradilan dalam lingkup peradilan agama berdasarkan undang-undang ini adalah penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin kompleksnya dinamika kehidupan bangsa Indonesia, maka perkara-perkara hukum di masyarakat sangat potensial bertambah, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Salah satu yang menjadi aksentuasi adalah perkembangan lembaga ekonomi syari’ah yang dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagai deskripsi awal, perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990-an jumlah kantor layanan perbankan syariah masih belasan, maka tahun 2000an, jumlah kantor pelayanan lembaga keuangan syariah itu melebihi enam ratusan yang tersebar di seluruh Indonesia. Asset perbankan syari’ah ketika itu belum mencapai Rp 1 triliun, maka saat ini assetnya lebih dari Rp 22 triliun. Lembaga asuransi syariah pada tahun 1994 hanya dua buah yakni Asuransi Takaful Keluarga dan Takaful Umum, kini telah berjumlah 34 lembaga asuransi syariah (Data AASI 2006). Demikian pula obligasi syariah tumbuh pesat mengimbangi asuransi dan perbankan syariah [1]. Dari sini, peradilan agama, secara institusional dituntut untuk terlibat dalam penanganan kasus-kasus pidana ekonomi syari’ah. Namun, kendala yang cukup riskan menghambat upaya tersebut, mengingat otoritas peradilan agama yang hanya menangani perkara-perkara di bidang perdata, seperti wakaf, cerai, hibah, zakat, infaq, sadhaqah, waris, dan perkawinan. Dapat dipahami mengingat masalah-masalah yang muncul di masyarakat banyak yang berkualifikasi pidana, sehingga ‘tangan’ peradilan agama tidak sanggup untuk menyentuhnya.

Hal diatas yang agaknya menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah untuk melakukan perubahan yang signifikan dalam upaya melibatkan peradilan agama pada penyelesaian perkara-perkara pidana ekonomi syari’ah. Dasar yang menjadi pertimbangan lainnya adalah realitas yang memperlihatkan betapa peradilan umum kewalahan dalam menyelesaikan perkara yang diajukan hingga banyak perkara yang terkatung-katung tanpa ada kejelasan mengenai penyelesaiannya. Hal tersebut lebih diperparah dengan banyaknya keputusan peradilan umum yang tergolong manipulatif karena pertimbangan hukum yang diberikan sering tidak menyentuh substansi hukum yang sesungguhnya, ditambah lagi dengan maraknya mafia peradilan yang semakin menenggelamkan reputasi peradilan umum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Karena itu, sangatlah pantas untuk mengeluarkan suatu aturan baru sebagai upaya progresif dalam menciptakan tatanan hukum yang lebih representatif, tentunya dengan pemberian wewenang pada peradilan agama yang lebih komprehensif dalam perkara pidana .

Amandemen UU No.7 tahun1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 merupakan aktualisasi dari hal diatas. Dengan undang-undang ini, maka peradilan agama diberi kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syari’ah, antara lain meliputi bank syari’ah, reksadana syari’ah, asuransi syari’ah, dan obligasi syari’ah. Dengan peraturan ini, peradilan agama dituntut untuk menjalankan peran peradilan sebagai pilar utama dalam menegakkan supremasi hukum. Peradilan agama mengemban ekspektasi besar masyarakat untuk mengiring perubahan menuju tatanan hukum yang representatif dan transparan, serta memenuhi dahaga keadilan di masyarakat yang selama ini ditutupi oleh tabir mafia peradilan yang menggerogoti dinamika hukum di Indonesia.

B. Eksistensi Peradilan Agama pasca Lahirnya UU No.3 tahun 2006

Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang waktu yang panjang sejak Islam menjadi kekuatan politik di Indonesia[2]. Sejalan dengan dinamika hukum yang semakin kompleks, peradilan agama berusaha tampil sebagai suatu institusi yang menjadi pilar bagi suksesnya penegakan supremasi hukum. Karena itu, eksistensi peradilan agama perlu diperkuat dengan aturan normatif yang memberi otoritas yang luas (yurisdiksi) kepada peradilan agama.

Pada Desember 2006, pemerintah menetapkan amandemen terhadap UU No. 7 tahun 1989 menjadi UU No. 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama. Penetapan Undang-undang baru ini membawa implikasi yang signifikan bagi peradilan agama, baik dalam konteks institusional maupun dalam konteks kewenangan mengadili (yurisdiksi).

Dalam konteks institusional, peradilan agama memiliki kedudukan yang sama dengan peradilan umum lainnya dalam tata hukum Indonesia. Lebih lanjut, substansi dari UU No. 3 Tahun 2006 salah satunya menetapkan kebijakan satu atap dalam institusi kehakiman. Peradilan agama yang sebelumnya masih dalam naungan Departemen Agama, setelah amandemen maka peradilan agama berada di bawah otoritas atau naungan Mahkamah Agung. Hal ini membawa keuntungan yang sangat signifikan bagi peradilan agama itu sendiri. Pertama, peradilan agama mendapatkan pengakuan yang luas dari lembaga-lembaga atau institusi hukum lainnya. Sebagai yang kita ketahui, sebelum kebijakan satu atap ini, peradilan agama cenderung dipandang sebelah mata sehingga menurunkan reputasinya sebagai lembaga pengadil. Dapat dimaklumi, sebab saat itu selain belum dibawahi langsung oleh Mahkamah Agung, partisipasi peradilan agama dalam lalu lintas hukum kurang komprehensif. Kedua, peradilan agama setelah keluarnya kebijakan satu atap ini mulai mendapatkan prioritas yang seimbang dengan peradilan umum lainnya, seperti peradilan negeri. Peningkatan prioritas itu antara lain ditandai dengan bertambahnya hakim agung yang direkrut dari hakim-hakim tinggi yang berlatar belakang hakim peradilan agama. Adalah sesuatu yang cukup menggembirakan ketika hakim-hakim agama (hakim tinggi) diberi akses yang luas sebagaimana yang berlaku bagi hakim-hakim negeri (hakim tinggi) untuk menjadi hakim agung, sebab dengan hal ini partisipasi peradilan agama secara tidak langsung dalam upaya penegakan supremasi hukum menjadi lebih signifikan dan sebagai salah satu wahana bagi aktualisasi visi luhur lembaga peradilan agama (pengayoman).

Dalam konteks kewenangan mengadili, yurisdiksi peradilan agama mengalami perluasan yang cukup signifikan. Peradilan agama tidak lagi hanya menangani masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah, namun lebih dari itu peradilan agama diberikan wewenang yang lebih krusial. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari’ah[3]. Dalam penjelasan UU No. 3 tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, yang meliputi:

a) Bank syariah

b) Lembaga keuangan mikro syari’ah

c) Asuransi syari’ah

d) Reasurasi syari’ah,

e) Reksadana syari’ah

f) Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah

g) Sekuritas syariah

h) Pembiayaan syari’ah

i) Pegadaian syari’ah

j) Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan

k) Bisnis syari’ah

Dengan perluasan kewenangan di atas, maka partisipasi peradilan agama dalam menjaga stabilitas hukum di masyarakat lebih luas. Peranan peradilan agama sangat diharapkan, terutama untuk menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah yang selama ini belum terlaksana dengan baik. Eksistensi peradilan agama akan benar-benar teruji jika kedepan, peradilan agama dapat menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syari’ah dengan putusan-putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat.

C. Prospek Peradilan Agama dalam Tata Hukum Indonesia

Kedepan, peradian agama akan diperhadapkan dengan berbagai peluang dan tantangan yang akan menentukan sejauh mana eksistensinya dalam dinamika kehidupan masyarakat. Peluang dan tantangan ini bukanlah sesuatu yang dikotomik, bukan pula quasi yang sengaja dideskripsikan untuk menghambat kemajuan peradilan agama secara institusional, melainkan merupkan bagian inheren yang akan senantiasa memberi warna dalam dinamika kelembagaan serta semakin mendewasakan lembaga peradilan agama dalam mewujudkan visi keadilan yang telah disepakati.

Taufiq, melakukan analisis SWOT untuk mengidentifikasi sejauh mana prospek peradilan agama kedepan[4]. Analisis Taufiq meliputi:

1. Kekuatan (Strength) peradilan agama terletak pada:

a. Besarnya dedikasi dari aparat-aparat peradilan agama terhadap tugas dan tanggung jawab yang mereka pikul karena didasari oleh sebuah keyakinan bahwa apa yang mereka lakukan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas tugas dan tanggung jawabnya merupakan ibadah kepada Tuhan. Keadaan seperti ini senantiasa akan memacu semangat mereka untuk maksimal dalam menjalankan tugas dan berjuang untuk kemajuan peradilan agama secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum.

b. Hukum (aturan-aturan) yang diaplikasikan di peradilan agama bersentuhan langsung dengan sendi dasar kehidupan masyarakat, yaitu hasrat untuk memperoleh keadilan dalam segala sisi dan ruang kehidupan. Selain itu, aturan-aturan tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan aspek teologis (keimanan), sehingga berimplikasi kuat terhadap perhatian masyarakat, yang dengannya membantu dalam aktualisasi hukum yang hakiki.

2. Kelemahan (Weakness) peradilan agama terletak pada:

a. Sulit berkembangnya unsur-unsur administratif lembaga secara kuantitatif. Hal ini berimplikasi pada masih belum tertibnya administrasi peradilan agama secara menyeluruh.

b. Masih lemahnya organisasi pembinaan dan pelaksanaan fungsi kontrol di Mahkamah Agung.

c. Masih terdapat stigma di masyarakat yang menganggap bahwa peradilan agama hanya mengurusi masalah perceraian dan perkara-perkara perdata Islam lainnya. Tentunya, keadaan demikian menyebabkan munculnya suatu inhibitor tertentu ditengah upaya peradilan agama untuk tetap eksis dan mengaktualisasikan visi keadilan.

d. Harus diakui bahwa masih banyak hakim di pengadilan agama yang belum menguasai hukum perdata dan hukum acara perdata nasional dengan baik. Disamping itu, banyak pula panitera dan jurusita yang belum menguasai tekhnis litigasi. Hal ini tentu menjadi kelemahan yang sangat fundamental bagi peradilan agama itu sendiri, selain karena berimplikasi kuat terhadap putusan-putusan yang diberikan juga semakin berkurangnya tingkat kepercayaan masyarakat akan kapabilitas lembaga peradilan agama sebagai wujud otoritas penegak supremasi hukum.

e. Jumlah aparat di lingkungan peradilan agama secara umum masih terbatas. Keterbatasan ini secara langsung akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari kinerja peradilan agama sehingga dapat mengancam eksistensi kelembagaannya di masyarakat.

3. Kesempatan (Opportunity) peradilan agama terletak pada:

a. Adanya amandemen UU No. 7 tahun 1989 menjadi UU No. 3 tahun 2006 tentang peradilan agama. Dengan amandemen ini, maka secara institusional eksistensi peradilan agama mengalami penguatan karena kewenangan mengadilinya diperluas. Perluasan kewenangan ini akan membawa peradilan agama ke kasta yang lebih tinggi sebagai media untuk mempertahankan eksistensi kelembagaannya.

b. Seiring dengan semakin meningkatnya aktifitas dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan bidang ekonomi syari’ah, maka peradilan agama dituntut untuk lebih proaktif dalam menjaga agar tetap berada pada koridor hukum yang benar. Inilah kesempatan emas bagi peradilan agama untuk menunjukkan eksistensi dan peranannya dalam menjaga stabilitas kehidupan di masyarakat.

4. Ancaman (Threat) peradilan agama terletak pada:

a. Biaya perkara yang masih cukup tinggi sehingga menyulitkan masyarakat yang ingin berperkara di peradilan agama.

b. Anggaran dana untuk operasionalisasi peradilan agama masih rendah sehingga menghambat aparatnya untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.



[1] Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. www.pesantrenvirtual.com /index .php? option = com_content&task=view&id=1096&Itemid=5.

[2] Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. hlm.258

[3] Agustianto. Fatwa Ekonomi Syari’ah Di Indonesia. www.pesantrenvirtual.com /index .php? option = com_content&task=view&id=1096&Itemid=5.

[4] Lihat Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. hlm. 262-263

Tidak ada komentar: