Kamis, 11 Pebruari 2010, sekitar pukul 18.00 WITA, terdakwa Antasari Azhar menyaksikan sendiri bagaimana majelis hakim yang diketuai Herri Swantoro, SH., MH. memvonisnya dengan pidana penjara 18 tahun subsider masa tahanan yang telah dijalani sejak penyidikan hingga pembacaan putusan. Vonis tersebut disampaikan dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakarta Selatan.
Majelis hakim menilai Antasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama kedua terdakwa lainnya, yaitu Wiliardi Wizard dan Sigit Haryo Wibisono merencanakan dan atau menganjurkan pembunuhan berencana direktur PT Putra Rajawali Bandaran, Nasruddin Zulkarnaen. majelis hakim mendasarkan putusannya pada beberapa pertimbangan, misalnya bukti sms, rekaman percakapan antasari dengan rani juliani, dan konstruksi hukum yang terbentuk di BAP.
Celakanya, majelis hakim, entah khilaf, lupa atau sengaja, mengabaikan sejumlah fakta di persidangan. sebut saja penarikan atau pencabutan BAP Wiliardi yang mengatakan bahwa kasus yang sedang menjerat Antasari adalah "konspirasi", kesaksian Susno Duadji yang menyatakan bahwa tidak pernah ada laporan kepadanya mengenai penyidikan antasari, kesaksian ahli forensik yang menduga bahwa penembakan sebagai diungkap dalam rekonstruksi tidak dilakukan dalam jarak dekat, melainkan dari jarak jauh, bantahan antasari dan penasihat hukumnya disertai bukti-bukti yang kemudian tidak dapat dicounter oleh JPU sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.
Padahal, sejatinya, dalam asas peradilan pidana, bukti2 maupun fakta2 di persidangan lah yang seharusnya menjadi pertimbangan majelis hakim, bukannya BAP. sebab, BAP boleh saja direkayasa oleh penyidik seperti diduga oleh Antasari dan PH-nya. karenanya, dalam persidangan pidana, salah satu tugas hakim adalah mengkonfrontir materi atau konstruksi hukum dalam BAP dengan pemeriksaan saksi di persidangan. semua ujaran saksi harus diperhatikan dan diklarifikasi dengan materi BAP. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan pengujian atau eksaminasi alat bukti. jangan dilupakan bahwa, dalam persidangan, hakim harus mendengarkan para pihak secara adil, karena salah satu asas mengatakan "audi et alteram partem" atau mendengarkan kedua belah pihak, yaitu JPU dan terdakwa.
Tim Pensihat hukum Antasari mengaku kaget dan kecewa sekaligus bingung dengan majelis hakim yang awalnya dianggapnya sebagai hakim yang bijak, ternyata menjatuhkan vonis yang sama sekali jauh dari rasa keadilan, jauh dari pencarian kebenaran materil. Pun vonis telah dijatuhkabn, teka teki mengenai kasus ini pun belum terpecahkan.
Sungguh 18 tahun yang membingungkan, tidak hanya Antasari, tetapi juga saya dan bahkan mungkin seluruh masyarakat Indonesia. hari ini kita telah melihat satu praktik hukum yang "tidak biasa", suatu vonis yang membingungkan karena tidak didasari pada fakta2 persidangan. kalaupun iya, tidak signifikan dan cenderung partikularis.
Biarlah majelis hakim di tingkat banding yang menjawab kegundahan ini. Semoga majelis hakim tersebut dapat menjawab kegamangan putusan terhadap Antasari ini...
Semoga rona keadilan tidak benar2 luntur dalam dunis berhukum kita.'
Semoga masih ada penegak2 hukum yang progresif, penegak hukum yang berani menantang badai kejahatan dengan putusannya yang brilian dan mewujudkan keadilan hukum tertinggi.
semoga....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar