Ya, Indonesia kian "jompo". Itulah jargon yang kira-kira pas untuk menggambarkan negeri kita saat ini. Jompo dalam arti bahwa, elemen-elemen bangsa tertatih menghadapi masalah bangsa yang kian runyam dan datang tanpa henti. Korupsi, krisis kepemimpinan, kemiskinan, kejahatan, cyber crime, bencana, hingga dekadensi moral menjadi warna yang kian membuat "kontras buram" bangsa makin jelas.
Mari kita bedah satu per satu.
Korupsi....ya, lagi..dan lagi, korupsi menjadi fokus perhatian, tidak hanya media, tetapi juga masyarakat Indonesia. Korupsi telah menelanjangi sendi-sendi kehidupan bangsa, hingga hampir-hampir tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri ini. Korupsi, selain sebagai bahaya laten, juga merusak tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya, hukum, moral, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan keamanan. Korupsi tidak hanya berhasil "menyantet" pejabat kelas kakap, tetapi juga kelas "teri" yang dengan sejuta satu dalil berusaha mengelak dari dakwaan korupsi yang dialamatkan padanya. Prihatin dan menyesakkan, itulah agaknya yang mewakili perasaan, sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat Indonesia akan fenomena ini. lalu, apa sebenarnya yang salah dari bangsa kita? Mengapa korupsi begitu menggurita di negeri ini? Moralitas dan mentalitas pejabat adalah tersangka utama dalam kasus ini. Gaji dan prestise yang diperoleh ternyata tidak cukup menjamin bahwa mereka dapat lepas dari "santet" korupsi. Seakan tak memiliki penangkal, santet korupsi dengan mudah merangsek ke dalam sendi-sendi pemikiran dan pandangan hidup sebagian pejabat kita.
Demonstrasi besar-besaran belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat telah "muak" dengan praktik-praktik korupsi selama ini. Celakanya, presiden kita, yang seharusnya menjadi patron dan pemimpin dalam memberantas korupsi cenderung "loyo" dalam menyikapi hal ini. Oleh sebagian pihak, presiden justru sibuk "mengeluh" dan "curhat" tentang cara-cara berdemo yang menurutnya tidak etis dan melanggar asas kepatutan. Presiden lebih sibuk dengan upaya memperbaiki citra nya di masyarakat dengan mengumbar retorika-retorika yang "ga nyambung" dengan substansi permasalahan. Semisal, demo yang menuding SBY tidak proaktif dalam memberantas korupsi, cenderung setengah hati, lamban, dan tebang pilih, hingga isu neoliberalisme dan ACFTA. Yang paling santer adalah perumpamaan presiden dengan seekor kerbau yang diberi tajuk "Si Buya". Presiden lebih sibuk mengkritik cara-cara berdemo yang menurutnya melanggar asas kepatutan. Padahal, sejatinya, SBY harusnya memperhatikan substansi demonstrasi dengan melakukan "otokritik" dan evaluasi terhadap kinerjanya selama ini. Skandal bank Century yang seharusnya dapat disikapi presiden secara bijak justru ditanggapi dalam perspektif yang esoteristik, hanya berdasar pada kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan konstituen atau kolega politiknya. Mau bukti? Terlalu banyak bukti untuk hal ini, semacam lobi politik dengan ketum Golkar, isu reshuffle kabinet bagi menteri-menteri yang mbalelo, peninjauan ulang koalisi partai-partai yang diindikasikan "membahayakan" status quo pemerintahan, dan sebagainya.
Bukan hanya presiden, lembaga-lembaga tinggi negara lain semisal KPK, Kejaksaaan, Kepolisian, MA, Pengadilan, hingga DPR (Pansus Angket Century) malah ikut-ikutan "loyo" dalam menangani masalah ini. Pansus yang diharapkan dapat membongkar borok Century dan pihak2 yang terlibat di dalamnya justru cenderung lamban dan bahkan dihiasi dengan lobi-lobi politik yang alot. Setali tiga uang, lembaga penegak hukum pun demikian. Lalu, kalau pemimpin kita sudah "jompo" bagaimana dengan masyarakat? haruskah "people power" yang turun untuk menyelesaikan masalah ini?
Bencana alam, kemerosotn moral dan masalah lainnya merupakan masalah yang tidak kalah penting dengan korupsi, yang menuntut penangan sesegera mungkin. Tetapi, lagi-lagi pemimpin kita "loyo"...belum ada tindakan atau kebijakan yang revolusioner yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. memprihatinkan!!!
Harus diakui bangsa kita kian "jompo". Jompo dikarenakan pemimpin-pemimpin kita loyo, tidak tegas, tidak visioner, jiwa kepemimpinan yang kurang, keikhlasan yang dangkal, moralitas dan dedikasi yang buruk, dan sebagainya. semua menyatu dalam satu paket, "pemimpin yang tidak merakyat".
Krenanya, benar apa yang dikatakan bang Iwan Fals, "wakil rakyat seharusnya merakyat"....
Kita tetap harus optimis bahwa ke depan, akan lahir pemimpin-pemimpin yang merakyat dan mau mencurahkan segenap potensi dan kemampuannya untuk mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.
Harapan itu masioh ada kawan...
Anak muda Indonesia harus menjadi generasi yang mampu menjawab tantangan dan harapan ini.
Sanggup????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar