M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAGISTER ILMU HUKUM
PASCASARJANA UMI MAKASSAR
PENDAHULUAN
Tersemat dalam benak kita sebuah wilayah kajian dialektis maha luas manakala jargon “hukum” merasuki tatanan logis. Hukum – sebagai disiplin ilmu sekaligus sebagai norma – sejatinya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, sebuah sintesa logis patut diajukan; bahwa tidak sejengkal pun kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh “jamah hukum”. Inilah yang mendasari penulis kemudian berkeyakinan bahwa pengkajian (dialektika) hukum merupakan suatu derivasi dialektis yang maha luas dengan kompleksitasnya yang massif.
Merunut ke belakang, kepada aspek primordial hukum, dapat ditemukan bahwa para pakar hukum memiliki perspektif berbeda dalam menafsir dan berupaya mengajukan suatu sintesa tentang idealitas dan implementasi hukum. Dengan lain perkataan, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang kaku, bukan pula konsep apriori yang dibuat tanpa melalui sebuah perenungan (kontemplasi) untuk mencipta suatu tatanan hukum yang, paling tidak, dapat mewujudkan tujuan hukum. Seperti Gustav Radbruch yang mengajukan tiga tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Berbeda lagi dengan konsep hukum timur jauh yang diwakili Jepang dengan menjadikan “perdamaian” (peace) sebagai tujuan tertinggi hukum.
Teori-teori hukum primordial berusaha merumuskan hukum sesederhana dan seaplikatif mungkin dengan maksud agar hukum dapat dipahami dan diimplementasikan dengan baik dalam mengawal dinamika kemasyarakatan. Masing-masing berdiri pada pondasi pemikirannya, yang tidak jarang esoterik, karena ketika diperhadapkan pada kenyataan masyarakat, konsep yang diajukan ternyata menemui kegamangan; suatu gejala dimana konsep hukum tidak dapat mengawal dan mengendalikan aspek-aspek non yurdiis di masyarakat. Ketidakmampuan ini, antara lain ditunjukkan dengan tertinggalnya hukum oleh perubahan masyarakat – yang dalam makalah ini diistilahkan sebagai perubahan sosial – yang bergitu cepat dan signifikan hingga menyentuh dimensi nilai yang abstrak, dan bahkan universal.
Pada konteks inilah, mempercakapkan hukum dan perubahan sosial mendapatkan momentumnya. Tak pelak, baik akademisi maupun praktisi hukum dipaksa untuk melakukan semacam ritual intelektual yang berbeda untuk mengoreksi kembali teori atau doktrin-doktrin hukum yang diajukan oleh pakar-pakar hukum terdahulu. Menjadi sebuah keniscayaan, manakala melihat realitas, bahwa hukum senantiasa tertatih dalam mengawal kehidupan masyarakat yang tidak lain adalah subjeknya. Oleh sebagian orang, yang diibaratkan dalam sebuah anekdot, bahwa dinamika masyarakat (perubahan sosial) seperti mobil yang berusaha dikejar oleh hukum yang diibaratkan seperti sepeda ontel yang tertatih dan kehabisan akal untuk berusaha, paling tidak, beriringan dengan mobil tersebut.
Hukum dan perubahan sosial dewasa ini menjadi kajian yang sering dipercakapkan oleh intelektual hukum, tidak terkecuali di Indonesia. Kesadaran bahwa perubahan sosial sebagai determinan utama dalam menentukan bentuk dan karakter hukum yang seharusnya diterapkan berkembang seiring dengan keprihatinan sebagian pihak bahwa hukum cenderung tidak mampu mengawal perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Hukum, sementara sebagian pihak masih menilai cukup baik, menunjukkan kecenderungan massif ke arah positivisme hukum yang telah jauh meninggalkan akar historisnya, yaitu masyarakat. Tidak perlu jauh mencari contoh, karena dalam konteks Indonesia sekalipun, contoh demikian sangat banyak. Satu contoh misalnya, hukum pidana Indonesia yang masih menjadikan KUHP Belanda (Wetoboek van Strafrecht) sebagai patron sudah sangat tidak up to date dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. KUHP sudah jauh tertinggal oleh rasa keadilan masyarakat dan tidak lagi dapat mengakomodir aspirasi hukum masyarakat bertajuk “kesadaran hukum”.
Serangan positivisme hukum yang diwakili oleh pandangan Analytical Jurisprudence (teori hukum analitik), Pure Legal Theory (teori hukum murni), Legisme, dan Realisme Hukum menyebabkan hukum secara perlahan tercerabut dari akar sosiologisnya, yaitu masyarakat. Kala hukum dipandang sebagai entitas yang mekanistik yang didasarkan pada postulat-postulat undang-undang sekaligus mengabaikan dimensi kenyataan sosial (social affairs), maka saat itulah hukum tidak lagi berorientasi pada keadilan tertinggi hukum, melainkan hanya berorientasi pada “kepastian hukum” yang secara umum tidak bersesuaian dengan nilai-nilai – hukum, sosial, agama, maupun budaya – yang hidup dalam masyarakat.
Karenanya, mempercakapkan hukum tanpa melihat aspek-aspek non yuridis, khususnya aspek sosiologis adalah sebuah “tsunami hukum” yang, sadar atau tidak, akan semakin menenggelamkan hukum dalam ketidakberdayaannya menjalankan fungsi idealnya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Penulis teringat dengan salah satu ujaran yang dikemukakan oleh mantan hakim agung RI, Bismar Siregar, dalam sebuah diskusi panel di salah satu stasiun televisi swasta. Beliau berujar:
“Bila saya diperhadapkan pada suatu pilihan, apakah kepastian hukum atau keadilan, maka saya akan memilih keadilan”
Begitupun dengan ungkapan Taverne, seorang pakar hukum, sebagai dikutip dari Satjipto Rahardjo. Taverne berujar:
“Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik”
Kemudian ucapan Bismar Siregar, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo:
“Keadilan ada di atas hukum”
Ketiga ungkapan yang dikemukakan oleh praktisi dan pakar hukum tersebut menunjukkan bahwa, melihat hukum hanya dengan meneropong aspek legalitasnya (undang-undang) adalah “tragedi”, karena demikian, upaya tersebut telah mencerabut hukum dari aspek dasarnya, yaitu kenyataan-kenyataan faktual di masyarakat. Putusan hukum sebagai salah satu jembatan menuju terciptanya keadilan di masyarakat – berdasar pandangan tersebut di atas – menempatkan posisi penegakan hukum pada kedudukan yang mulia, karena mengarahkan keduanya untuk mengelaborasi potensi intelektualnya secara signifikan sekaligus menempatkan hati nurani sebagai “patronase” dalam membuat keputusan. Karena, sejatinya keadilan bukanlah sesuatu yang tertulis, melainkan hidup dan berkembang dalam nurani masyarakat, juga dalam nurani para penegak hukum.
Ini pulalah yang mengusik Satjipto Rahardjo, begawan hukum Indonesia, untuk membangun suatu konsep hukum yang ingin mengembalikan hukum kepada leluhurnya, yaitu masyarakat. Dengan “hukum progresif”-nya, beliau mengemukakan bahwa hukum progresif ingin menyingkap tabir dan menggeledah berbagai kegagalan hukum modern yang dilandasi oleh filsafat positivistik, legalistik, dan linier untuk menjawab persoalan hukum sebagai manusia dan kemanusiaan.
Karenanya, mempercakapkan hukum dan perubahan sosial adalah tindakan tepat, terutama ketika kita bergerak pada satu visi penciptaan tatanan hukum yang berkeadilan. Hukum dan perubahan sosial ibarat dua sisi mata uang yang mekanismenya berdiri di atas prinsip resiprokal. Perubahan sosial sejatinya merupakan dimensi pendukung bagi terciptanya hukum yang berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Berpijak dari hal ini, kajian atasnya adalah sesuatu yang profesional dan bergerak ke arah perumusan hukum yang komprehensif.
HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
Diskursus mengenai perubahan hukum dan perubahan sosial dimulai dari sebuah pertanyaan klasik: apakah perubahan hukum yang mempengaruhi perubahan sosial atau sebaliknya, perubahan sosial yang mempengaruhi perubahan hukum? Pertanyaan sederhana ini, paling tidak, akan menjadi guide dalam mempercakapkan tema “hukum dan perubahan sosial”.
Asumsi pertama untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum menyesuaikan diri terhadap perubahan di masyarakat. Penulis mengajukan ungkapan yang dikemukakan oleh Hugo Sinzheimer, sebagai dikutip oleh Achmad Ali, yang mendukung asumsi tersebut bahwa:
“Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogiyanya diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya”.
Perubahan hukum dalam konteks sebagai dimaksud di atas adalah perubahan pada wilayah hukum tertulis atau perundang-undangan (law in books). Perubahan demikian dikarenakan perundang-undangan bersifat statis dan kaku. Eksistensi hukum positif di masyarakat yang direpresentasikan dalam konstruk perundang-undangan dimaksudkan untuk menjaga harmonitas antara sistem-sistem dan dinamika sosial dengan harapan-harapan masyarakat akan suatu tatanan kehidupan yang berkeadilan. Eksistensi ini juga akan mengukuhkan anasir-anasir non yuridis lain dalam suatu sistem hukum yang legitimatif. Karenanya, hukum harus senantiasa peka dan akomodatif dengan setiap perubahan sosial yang terjadi. Ini pulalah yang oleh Philip Nonet dan Philip Selznick diistiahkannya dengan hukum responsif; suatu sistem hukum yang tanggap dengan setiap gerak perubahan yang terjadi di masyarakat sekaligus tanggap dengan harapan-harapan dan kesadaran hukum masyarakat.
Asumsi kedua adalah bahwa hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (law as a tool of social engineering). Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hukum, sebagai dianggap perekayasa sosial, merupakan sesuatu yang lumrah, terutama karena aksentuasi kajian saat ini sudah pada wilayah hukum modern yang memang menganggap hukum, secara ideal, sebagai perekayasa sosial. Hukum sebagai perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) pada dasarnya merupakan upaya penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kemampuan demikian identik dilekatkan pada hukum modern, pasalnya hukum modern-lah yang mencoba melihat realitas, baik yuridis maupun non yuridis, sebagai sebuah kesatuan dan saling berinteraksi secara resiprokal dalam sistem hukum.
Konsep law as a tool of social engineering diperkenalkan oleh Roscoe Pound (sociological jurisprudence). Substansi dari konsep tersebut adalah bahwa untuk menjadikan hukum sebagai alat perekayasa sosial, maka harus diaksentuasikan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari institusi-institusi dan ajaran-ajaran hukum.
2. Melakukan studi sosiologis dalam pembuatan undang-undang. Kooptasi anasir-anasir non yuris seperti anasir sosiologis menjadikan perundang-undangan sejalan dengan kenyataan faktual di masyarakat sekaligus dapat menciptakan harmonisasi antara hukum sebagai patron dengan harapan-harapan dan kesadaran hukum masyarakat.
3. Studi tentang pembuatan undang-undang yang efektif merupakan keniscayaan. Pemahaman yang komprehensif mengenai teknik pembuatan undang-undang yang baik (legal drafting) akan menghasilkan peraturan yang akseptabel, akuntabel, dan efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum, yaitu studi yang tidak hanya melihat aspek kekinian dari sistem hukum yang dibangun (melalui perundang-undangannya) melainkan juga melihat implikasi sosial yang ditimbulkan pada masa lalu dan bagaimana pemunculannya. Refleksi atas dimensi historis hukum akan memberikan gambaran yang komprehensif tentang bagaimana seharusnya hukum dibuat dan bagaimana agar hukum dapat bekerja secara efektif.
5. Kreatifitas dan kepekaan para yuris (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara) pada setiap kasus yang ditangani harus senantiasa dipertajam. Kereatifitas dan kepekaan yuris sangat dibutuhkan demi pencapaian tujuan hukum tertinggi, yaitu keadilan. Bagaiamanapun, masing-masing kasus memiliki keunikannya tersendiri, sehingga membutuhkan analisis secara lintas sektoral, tidak hanya analisis yang normtif-dogmatis, melainkan juga analisis sosiologis, psikologis, budaya, dan anasir-anasir non yuris lain. Kereatifitas dan kepekaan dimaksud harus sejalan dengan aturan-aturan umum yang mengikat yuris.
Sejalan dengan argumentasi Roscoe Pound, Adam Podgorecki, sebagai dikutip Achmad Ali, mengemukakan empat asas utama yang harus diperhatikan dalam mewujudkan hukum sebagai alat perekayasa sosial (law as a tool of social engineering), yaitu:
1. Penguasaan yang baik dan menyeluruh terhadap situasi-situasi yang dihadapi.
2. Membuat suatu analisis tentang penilaian-penilaian yang ada serta menempatkan dalam suatu urutan hirarki. Analisis dalam hal ini mencakup pula asumsi mengenai apakah metode yang akan digunakan tidak akan lebih memperburuk keadaan.
3. Melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis, misalnya apakah suatu metode yang digunakan nantinya memang akan membawa kepada tujuan sebagaimana yang dikehendaki.
4. Pengukuran terhadap efek perundang-undangan yang ada.
Pertanyaan mendasar sekarang adalah apakah fungsi hukum sebagai perekayasa sosial sekedar idealitas belaka atau memang konsep yang dapat diaplikasikan dalam sistem hukum modern? Bukankah keyakinan dan realitas selama ini menunjukkan bahwa hukum tertatih dalam mengejar, atau paling tidak mengimbangi dinamika sosial kemasyarakatan yang kompleks dan cepat berubah? Tidakkah hukum positif senantiasa mengalami kesulitan dalam menafsir dan mengawal setiap gerak perubahan di masyarakat?
Perubahan yang ditimbulkan oleh hukum pada dasarnya berlangsung secara bertahap. Karenanya, dapat dibuat suatu kerangka sosiologis yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan terjadinya perubahan sosial melalui suatu proses yang cukup kompleks dan bukan lahir dari satu faktor tunggal. Hukum, meskipun bukan entitas tunggal, merupakan agen penting dalam rangka perubahan sosial menuju kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dapat dimaklumi, mengingat hukum memiliki kekuatan legitimatif dan memaksa yang harus dipatuhi masyarakat, sehingga keberadaan hukum – dengan tidak melupakan dimensi lain – sejatinya merupakan landasan kuat bagi tercapainya suatu cita, yaitu terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.
Fungsi hukum sebagai perekayasa sosial pada dasarnya bukanlah idealisme belaka, karena pada dasarnya hukum dapat bekerja secara efektif di masyarakat bila dilandasi oleh interaksi massif antar tiap komponen dan kepekaan masing-masing untuk memberi umpan balik (feedback) terhadap setiap masalah yang dihadapi yang menyebabkan fungsi hukum tidak berjalan secara efektif. Hal ini yang kemudian digambarkan oleh Seidman, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo, sebagai unifikasi elemen-elemen dalam sistem hukum untuk menciptakan tatanatan hukum yang dapat mengarahkan masyarakat pada bentuk kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan.
Aksentuasi argumentasi hukum dalam fungsi perekayasaan sosial (social engineering) adalah efektivitas hukum. Karenanya, bekerjanya hukum tidak terlepas dari tingkah laku pemegang peranan, dalam hal ini masyarakat, tentang bagaimana mereka memposisikan aturan-aturan hukum dalam aktivitas kesehariannya, tentang bagaimana sebaiknya aturan hukum itu serta bagaimana penegakannya. Inilah yang kemudian mendasari pemikiran bahwa masyarakat harus senantiasa memberikan umpan balik (feedback) kepada pembuat dan pelaksana undang-undang untuk mencapai keajegan (reliability) undang-undang.
BIBLIOGRAFI
Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta: Chandra Pratama.
. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pasamai, S. 2009. Sosiologi dan Sosiologi Hukum: Suatu Pengetahuan Praktis dan Terapan. Makassar: Umitoha Ukhuwah Grafika.
Rahardjo, S. 2009. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis dan Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
. 2009. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Salman, O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar