29 Desember 2009...menjadi sejarah baru dalam penegakan hukum Indonesia. Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga yang juga karyawati salah satu bank swasta divonis "bebas murni" oleh Majelis Hakim PN Kelas I A Tangerang dalam sidang pembacaan putusan tertanggal 29 desember 2009.
Prita yang sebelumnya didakwa telah melakukan pencemaran nama baik dengan mengirimkan keluhan mengenai pelayanan RS Omni Internasional melalui e-mail kepada rekan-rekannya akhirnya mampu bernafas lega setelah majelis hakim menilai bukti-bukti yang diajukan jaksa berupa transkrip e-mail Prita beserta barang2 bukti lainnya tidak memenuhi syarat untuk mempidanakan Prita.
Prita yang dituntut 6 bulan penjara oleh JPU sempat mengajukan pleidoi (pembelaan) yang intinya mengemukakan bahwa dirinya sama sekali tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Keluhan prita via e-mail tersebut hanyalah sebagai ungkapan hati atas ketidaknyamanan pelayanan yang didapatkannya selama menjalani perawatan di RS tersebut.
Setali tiga uang dengan pembelaan Prita, Majelis Hakim menilai bahwa, meski Prita terbukti mengirim e-mail, namun substansi dari e-mail tersebut bukanlah sebuah pencemaran nama baik, melainkan kritik bagi pihak RS Omni untuk meningkatkan kualitas layanannya agar ke depan, tidak ada lagi pasien yang merasa dirugikan atau dilayani secara tidak patut.
Bila berpikir secara common sense, apa yang dilakukan Prita pada dasarnya merupakan hal biasa, terutama dalam konteks pelayanan jasa kesehatan. Complaint atau keluhan sejatinya, harus didengar pihak rumah sakit, karena selain berkaitan dengan nama baik rumah sakit bersangkutan, juga berkaitan dengan keselamatan pasien agar terhindar dari malpraktik. Tindakan RS yang cenderung mempidanakan pasiennya karena suatu complaint yang disampaikan pada orang lain terkesan berlebihan. Seharusnya, rumah sakit menjadi mitra bagi pasien, terutama dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
RS Omin, seharusnya berbenah, kasus Prita sepatutnya menjadi pelajaran bagi pihak rumah sakit agar melakukan introspeksi dan perbaikan pada sistem dan kualitas layanannya. Demi sebuah kemashlahatan, sudah saatnya ego dipinggirkan untuk memberi sedikit ruang pada nurani dalam menimbang baik dan benar serta mashlahat dan mudharat.
Melihat sisi lainnya, vonis ini semoga menjadi dahaga bagi penegakan hukum Indonesia. majelis hakim dituntut untuk lebih bijaksana dan bersandar pada visi keadilan hukum dalam memutus perkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar