2.24.2010

Mazhab Sejarah Hukum: Volksgeist dan Dekonstruksi Hukum Nasional

M. NATSIR ASNAWI, SHI.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA UMI MAKASSAR


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poros pewacanaan hukum, sebagai sebuah sistem maupun sebagai sub sistem sosial, mengalami perkembangan yang signifikan. Dari mazhab Hukum alam, sebagai digalang oleh Socrates, Plato, Agustinus, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Locke, dan Hobbest hingga paradigma Critical Legal Studies yang digalang oleh Roberto M. Unger telah mewarnai proses dialektis dalam membuat sintesis mengenai hakikat atau substansi hukum. Di Indonesia, poros pewacanaannya diwarnai dengan gerakan hukum Progresif sebagai digagas Satjipto Rahardjo yang mengkritik secara tajam positivisme hukum yang dianggap telah mencerabut hukum dari akar sosiologisnya, yaitu masyarakat. Orientasi pewacanaan hukum mengalami diferensiasi mulai dari melihat sumber hukum hingga eksistensi hukum sebagai sebuah gejala multi anasir.
Hukum, sejatinya merupakan ranah diskursus maha luas karena mencerap sekalian dimensi kehidupan manusia. Hukum tidak hanya sebagai tatanan yang otonom dan legitimatif, melainkan juga secara aktif membaur dengan tatanan kehidupan lainnya dan secara bersama mewujudkan tujuan-tujuan masyarakat, yaitu pencapaian keadilan tertinggi. Konteks demikian menyebabkan hukum harus dipandang sebagai holistik, tidak fragmentatif.

Idealitas hukum sebagai disebut sebelumnya – dipandang sebagai holistik – secara faktual memang masih jauh dari nyata. Kompartementalisasi perspektif dari ahli-ahli hukum dalam menalar hukum menyebabkan disparitas konsep dan orientasi. Ini kemudian tertuang dalam sekalian konsep yang meski memiliki objek kajian yang sama, yaitu hukum, tetapi menghasilkan pandangan yang tidak jarang bertentangan secara diametral satu sama lain.

Dalam konteks hukum Indonesia misalnya, begawan hukum Satjipto Rahardjo (alm) tampil dengan gagasan Hukum Progresif yang mengkritik secara diametral paradigma positivisme hukum yang telah mengkotak-kotakkan hukum dalam perundang-undangan yang secara eksplisit membangun logikanya secara estoeristik, sekaligus menyisihkan peranan dinamika sosial sebagai wadah eksistensi hukum itu sendiri. Gagasan tersebut pada dasarnya dilatari oleh keprihatinannya terhadap praktik hukum selama ini, khususnya para yuris, yang coba “menganaktirikan” peran gejolak-gejolak dan fakta sosial yang sejatinya, mempengaruhi proses dan fenomena hukum yang terjadi. Alih-alih hukum sebagai mekanisme kontrol dalam masyarakat, hukum justru dibentuk karakternya sebagai liberal yang berseberangan dengan kehendak-kehendak, tujuan, dan kesadaran hukum di masyarakat.

Apa yang kemudian diwacanakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut pada dasarnya selaras dengan konsep yang dibangun oleh Friedrich Karl von Savigny. Savigny merupakan penggagas mazhab Sejarah yang poros argumentasinya menganggap bahwa hukum sejatinya hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum itu ada di masyarakat dan senantiasa berkembang secara organis mengikuti gerak perubahan sosial dan budaya yang ada. Undang-undang sebagai dianggap selama ini merepresentasikan hukum hanyalah instrumen atau bagian kecil dari hukum yang tidak jarang bertentangan dengan jiwa masyarakat (volksgeist).

Asumsi kaum Positivis bahwa hukum harus diejawantahkan dalam undang-undang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, otokritik terhadap asumsi tersebut kurang, dan bahkan cenderung a priori. Pasalnya, meski undang-undang dimaksud dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa undang-undang cenderung mengabaikan aspirasi sosial yang muncul dan tidak jarang membangun logika hukum yang bertentangan secara diametral dengan aspirasi tersebut. Terlalu banyak contoh untuk mengurai hal ini, salah satunya adalah pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang telah “gagal” mengekspresikan kehendak masyarakat tentang hakikat pencurian itu sendiri. Inipun tidak dapat dianggap sebagai relitas tunggal pada satu sub sistem hukum (substansi hukum atau perundang-undangan), melainkan lebih jauh, juga merupakan “anomali” yang menimpa struktur hukum dan budaya hukum masyarakat . Kasus Bu Minah yang didakwa mencuri tiga biji kakao, kasus pencurian sebiji semangka adalah segelintir fakta yang menunjukkan bahwa hukum, kasus Jaksa Ester, “Istana dalam Penjara” ala Arthalita Suryani, dan kasus dugaan kriminalisasi dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto menunjukkan hukum telah gagal melaksanakan fungsinya dan telah menabrak perasaan keadilan di masyarakat.

Menampik asumsi tersebut di atas, Savigny coba membuat sebuah antitesa bahwa hukum itu pada dasarnya tidak dibuat (misalnya oleh legislator) melainkan hidup dan berkembang di masyarakat. Hukum lebih dilihat sebagai organis adanya; bahwa hukum bukanlah realitas yang statis melainkan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan tatanan, struktur, dan nilai-nilai di masyarakat itu sendiri. Antitesis ini, menurut penulis juga didasari oleh keprihatinan Savigny bahwa eksistensi undang-undang sebagai elemen “premium” dalam hukum telah jauh meninggalkan akar sosiologisnya, yaitu masyarakat yang dibuktikan dengan ketidakberdayaan hukum dalam mengawal proses-proses sosial yang memiliki implikasi hukum.

Terlepas dari disparitas mazhab atau pendekatan hukum tersebut, penulis menganggap, dalam praktiknya, masing-masing memiliki domainnya sendiri. Domain demikian, sejatinya dapat disatukan dalam suatu kebulatan sistem. Mazhab sejarah, khususnya penulis pandang sebagai salah satu mazhab yang brilian (landmark concept) dalam menalar hukum. Meski pada beberapa segi bertentangan dengan mazhab lain, mazhab ini memiliki satu jargon eksklusif yang secara implisit “diakui” oleh mazhab lainnya, yaitu volksgeist atau jiwa rakyat. Inilah yang menjadi alas pikir mazhab Sejarah, khususnya Savigny sebagai pencetusnya, untuk melahirkan suatu antitesa yang menerjang status quo positivisme yang merangkul undang-undang sebagai patron utama dalam berhukum. Masyarakat dianggap sebagai pilar utama dalam suatu sistem hukum, karenan di dalamnya terdapat jiwa yang menggerakkan dinamika sosial budaya serta menentukan konstruksi nilai yang kemudian diperpegangi sebagai ukuran moral dan keadilan.

Karenanya, mengacu pada prawacana tersebut di atas, menarik kiranya untuk mendudukkan pandangan Savigny, yaitu mazhab Sejarah dalam memotret cara berhukum di masyarakat, meski bukan sebagai satu-satunya patron dalam melihat hukum. Tetapi, paling tidak apa yang diuraikan Savigny, meski muncul pada awal abad ke-19, masih relevan dengan kondisi berhukum saat ini. Bahkan, penulis menganggap, pandangan Savigny ini perlu dijadikan sebagai salah satu patron dalam merumuskan kembali hukum sebagai bagian dari gagasan untuk melakukan semacam dekonstruksi hukum menuju penciptaan hukum yang lebih ajeg (andal) dan komprehensif.

B. Rumusan Masalah

Berdasar tema makalah ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah latar belakang lahirnya mazhab Sejarah?
2. Bagaimanakah pandangan mazhab Sejarah tentang hukum?
3. Bagaimanakah implikasi mazhab Sejarah dalam pembangunan hukum nasional?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang lahirnya mazhab Sejarah.
2. Mengetahui pandangan mazhab Sejarah tentang hukum.
3. Mengetahui implikasi mazhab Sejarah dalam pembangunan hukum nasional.

D. Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis
Pembahasan dalam makalah ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pengkajian hukum, khususnya pengkajian pada wilayah mazhab Sejarah. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan perspektif baru yang lebih komprehensif mengenai esensi mazhab Sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dalam dialektika hukum.
2. Manfaat praktis
Mezhab Sejarah, sebagai diurai dalam makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan dalam melakukan semacam “dekonstruksi” atas kondisi berhukum saat ini; kondisi berhukum yang menjadikan masyarakat sebagai patronase dengan sekalian nilai dan falsafah yang hidup di dalamnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Mazhab Sejarah

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .

Kelahiran mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku yang berjudul “L’ esprit des Lois” (Semangat Hukum) karangan Montesquieu (1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang diperpegangi dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan demikian bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan lain perkataan, dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.

Saifullah mengemukakan inti ajaran Montesquieu dalam bukunya “L’ esprit des lois” sebagai berikut:
1. Ajaran Montesquieu mempunyai dua definisi sentral, yaitu:
a. Mencari ke bawah kulit peraturan formal hukum untuk mendapatkan inspirasi serta hubungannya dengan bentuk pemerintahan dan dengan suatu substruktur sosial yang dinamis dari kelompok politik yang mendasarinya.
b. Penyelenggaraan hukum sebagai hal yang selalu ada secara wajar (the necessary relation deriving from the nature of things) yang akan menerangkan terjadinya berbagai jenis politik-yuridis karena sifat ketergantungannya pada fenomena-fenomena sosial lain seperti adat-istiadat, penduduk, agama, dan sebagainya.
2. Aksentuasi kajian pada persoalan bagaimana hubungan hukum dengan negara sebagai pelaksana hukum.
3. Hukum sangat bergantung pada morfologi atau bentuk fisik lingkungan masyarakat, sehingga kajiannya menggunakan metode fisika sosial.
4. Membebaskan Sosiologi Hukum dari segala kecenderungan metafisika yang dogmatis dan membawanya pada telaah yang lebih dekat pada perbandingan hukum.
5. Hukum diselenggarakan oleh pembuat undang-undang dan membedakan hukum dengan adat istiadat. Menurut Montesquieu, hukum itu diselenggarakan sementara adat istiadat diilhamkan.
6. Hukum merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
7. Hukum merupakan hasil dari sejumlah anasir-anasir yang inheren dalam masyarakat sehingga hukum dapat dipahami dengan menelaah locus hukum tersebut berkembang.
8. Hukum bersifat relatif, karenanya hukum harus dipelajari dalam konteks latar belakang historis masyarakatnya.
Selain buku Montesquieu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) . Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda. Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .

B. Pandangan Mazhab Sejarah tentang Hukum

Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul . Hukum merupakan tatanan yang lahir dari pergaulan masyarakat, di dalamnya tercakup nilai-nilai dan tatanan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut.
Friedrich Karl von Savigny, sebagai perintis mazhab ini mengemukakan bahwa hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum, sejatinya berasal dari adat-istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan bukan berasal dari pembuat undang-undang (legislator). Pandangan Savigny ini dilatari oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron. Padahal, menurutnya, kodifikasi tersebut sangat sering bertentangan, bahkan secara diametral, dengan semangat dan jiwa (kesadaran hukum) masyarakat Jerman. Inilah yang kemudian menjadikan Savigny berpikir bahwa hukum bukan berasal dari pembuat undang-undang, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis .

Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .

Substansi ajaran mazhab Sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum tidak dibuat melainkan ditemukan
Hukum sejatinya bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, hukum bersifat organis . Hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum . Hukum akan senantiasa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
2. Undang-undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas . Curzon mengemukakan:
“Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”

“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.

Dalam konteks Indonesia misalnya, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan secara universal ke bangsa lain. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia sendiri. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan dan/atau kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Savigny, sebagai dikutip Achmad Ali dari Curzon , mengemukakan:
“...there was an organic connection between law and people’s nature and character as developed through history. The true living law is customary law; it does not emerge from the arbitrary will od a law-giver, but from internal, silently operating forces within the community. Law is rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness, the faith and customs of the people”.

“...terdapat hubungan yang organis (dinamis) antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Hukum yang hidup adalah hukum adat; hukum tersebut tidak dihasilkan oleh pembuat hukum (legislator) melainkan dari masyarakat itu sendiri, ditegakkan oleh masyarakat itu pula. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”

G. Puchta, salah seorang murid Savigny mengemukakan bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist) . Lebih lanjut, Puchta, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari Dias, mengemukakan:

“Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”

Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat. Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .

Satjipto Rahardjo memberikan contoh yang sangat sejalan dengan konsep mazhab Sejarah ini. Beliau menuturkan:

“Pada tanggal 2 Agustus 1985, sebuah Jumbo Jet Delta Airlines jatuh di Dallas dan menewaskan 137 orang. Segera sesudah malapetaka tersebut para lawyers dari kedua pihak, yaitu dari pihak korban dan perusahaan penerbangan, terjun ke lapangan dengan begitu cepat dan agresif. Suatu peperangan sengit dengan saling menuduh secara pahit dan imoral merupakan pemandangan yang menyusul tahun-tahun berikutnya. Ilustrasi yang bagus tentang cara berhukum di Amerika Serikat...Sepuluh hari sesudah peristiwa di Dallas tersebut, sebuah Jumbo Jet milik Japan Airlines jatuh di Gunung Ogura di Kepulauan Honshu. Tidak ada lawyers yang dengan agresif turun ke tempat kejadian, bagaikan burung gagak melihat bangkai. Hari-hari yang menyusul hanya diisi dengan suasan duka yang mendalam. Perusahaan Japan Airlines, secara penuh berusaha untuk mengevakuasi dan menolong baik korban maupun keluarganya. Sesudah semua beres, Presiden Japan Airlines menghadap kepada deretan korban dan keluarganya, membungkuk dalam-dalam, meminta maaf dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatan. Anak-anak dari korban juga mendapat beasiswa dari perusahaan penerbangan tersebut. Itulah potret cara berhukum di Jepang”.

Apa yang dikemukakan Satjipto tersebut merupakan representasi dari konsep volksgeist sebagai digagas mazhab Sejarah. Perbedaan cara berhukum antara AS dengan Jepang dilatari oleh faktor kesejarahan mereka. Perilaku agresif dan cenderung imoral yang ditunjukkan oleh lawyers AS menunjukkan bahwa jiwa rakyat mereka didasarkan pada rasionalisme; suatu konstruk berpikir yang didasarkan pada kebenaran akal, sehingga aspek nurani cenderung terabaikan. Ini ditunjukkan dengan sikap saling curiga, menuduh satu sama lain, dan keinginan untuk menjatuhkan pihak lawan. Sementara di Jepang, kejadian tersebut ditanggapi secara positif, dengan berlandaskan pada keyakinan, ketulusan dan instrospeksi diri. Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang mendasarkan pikiran dan perilakunya pada kokoro (nurani). Karenanya, tidak mengherankan jika terjadi kasus hukum seperti tersebut di atas, maka secara sukarela, masing-masing pihak berusaha saling menolong, memaafkan, dan berupaya menempuh rekonsiliasi semaksimal mungkin, karena tujuan hukum tertinggi mereka adalah kedamaian.
Inilah yang kemudian dipahami sebagai volksgeist atau jiwa rakyat. Jiwa suatu bangsa sangat menentukan bagaimana cara berhukum mereka, bagaimana mereka melihat, menginternalisasikan, dan mengaplikasikan aturan-aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Cerminan jiwa suatu bangsa tercermin dari hukumnya dan karenanya, benar argumentas mazhab Sejarah, bahwa hukum tidak dibuat, melainkan ditemukan dan bersumber dari jiwa rakyat.
4. Hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa
Hukum, secara a priori tidak dapat dipisahkan dari sejarah suatu bangsa. Hukum yang berlaku di suatu negara harus dilihat dalam konteks sejarahnya. Karenanya, hukum yang tidak bersumber dari sejarah atau jiwa bangsa dianggap bukan hukum karena hanya akan menciptakan ketidakpastian dan bukan tidak mungkin justru menggiring ketidakadilan dalam masyarakat. Memahami hukum sebagai suatu kajian akademik-dialektis harus berlandaskan pada kajian historis-sosiologis, karena sejatinya sejarah masyarakat merupakan akar dari hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut.
5. Aturan-aturan hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat (volksgeist) harus dibatalkan karena sifat aturan hukum tidak lebih penting dari kesadaran hukum tersebut.
Adalah merupakan sesuatu yang lumrah atas penolakan sekelompok masyarakat terhadap aturan perundang-undangan tertentu karena didasari oleh adanya pertentangan antara aturan-aturan hukum tersebut dengan kesadaran hukum masyarakat. Pertentangan tersebut, baik secara linier maupun diametral akan menimbulkan friksi secara tajam di masyarakat. Selain penolakan, tidak menutup kemungkinan adanya upaya untuk menggugurkan aturan perundangan tersebut, karena sekali lagi, jiwa rakyat adalah supremasi tertinggi, dan karenanya aturan hukum harus tunduk dengan jiwa rakyat tersebut.

C. Implikasi Mazhab Sejarah dalam Pembangunan Hukum Nasional

Menilik lebih jauh tentang ajaran mazhab Sejarah, volksgeist (jiwa rakyat) merupakan episentrum paradigma yang dibangun dalam suatu konsep abstrak. Volksgeist menjadi teramat penting, terutama karena konsep ini menurut mazhab Sejarah adalah akar dari hukum itu sendiri. Hukum yang baik tidak akan terbangun jika volksgeist tidak dijadikan sebagai patron dalam perumusan dan pelaksanaannya.
Pembangunan hukum nasional sebagai salah satu sub tema dalam makalah ini coba dibahas dan dilakukan semacam dekonstruksi paradigmatik. Hukum nasional saat ini penulis anggap masih jauh dari kondisi ideal, masih belum cukup (not sufficient) untuk mewujudkan keadilan hukum tertinggi. Penulis mengacu pada beberapa argumentasi.

Pertama, mengutip pendapat Charles Stamford, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo , yang mengatakan bahwa hukum yang dipenuhi dengan ketidakpastian (ketidakteraturan) tidak akan mungkin dapat mewujudkan ketertiban yang sempurna, baik dalam hukum itu sendiri maupun di masyarakat. Pendapat Sampford ini dikenal dengan “the disorder of law” atau ketidakteraturan hukum. Sampford melihat bahwa hukum tidak cukup (not suficient) untuk dianggap sebagai sebuah sistem, karena antara satu aspek dengan aspek lainnya tidak saling berpadu secara linier dan reliabel. Misalnya, koruptor yang seharusnya dihukum berat (sesuai amanat undang-undang) dalam kenyataannya ternyata banyak yang dihukum “ringan” bahkan tidak jarang divonis bebas, meskipun secara formil-materil terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Belum lagi perilaku yuris yang sangat jauh dari idealitas aturan-aturan hukum, yang tidak menjadikan kode etik profesi sebagai patronase dalam menjalankan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya; yaitu penegakan supremasi hukum, menjadikan hukum sebagai panglima.

Kedua, perundangan-undangan sebagai instrumen utama hukum (the ultimate law instrument) banyak yang bertentangan dengan kehendak dan keinginan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat). Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang tidak jarang menabrak aspirasi masyarakat akan sebuah tatanan yang berkeadilan. Memang, harus diakui undang-undang sejatinya bukanlah produk hukum, melainkan produk politik, akan tetapi kenyataan tersebut tidak boleh secara a priori dijadikan sebagai justiikasi atas kondisi demikian. Sekalian aturan selaiknya mendasarkan diri pada apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga pada penerapannya tidak menemui karang keras. Ambil contoh, RUU tentang Perkawinan yang baru memuat aturan tentang pemidanaan bagi pelaku nikah siri (nikah yang tidak tercatat di KUA atau nikah di bawah tangan) dan nikah mut’ah (nikah kontrak). Pelaku kedua bentuk nikah tersebut akan dikenakan sanksi pidana di kisaran 3 – 6 bulan penjara dan/atau denda minimal Rp. 5.000.000. Belum lagi disahkan, RUU ini telah mendapat kecaman dari berbagai pihak dengan berbagai dalih. Sebut saja, perzinaan akan makin marak, melanggar hak konstitusional individu untuk menikah, bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebagainya. Diakui atau tidak, RUU ini sebanarnya punya maksud yang baik, yaitu melindungi harkat dan martabat wanita dan anak-anak, yang sejauh ini diklaim sebagai pihak yang paling dirugikan atas kedua bentuk praktik nikah tersebut. Pun demikian, dasar argumantasi dimaksud tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat, bahkan secara diametral menentang habis-habisan draft RUU tersebut. Apa yang salah dengan RUU ini? Tampaknya, pengkajian secara massif di wilayah filosofis-sosiologis serta share informasi yang belum signifikan antara pemerintah yang menjadi akar masalahnya. Karena, sekali lagi undang-undang ini dibuat untuk mengatur kepentingan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat selaiknya dijadikan sebagai patron.
Ketiga, penegakan hukum oleh yuris banyak menunjukkan indikasi yang “tidak humanis” alias “tidak bijaksana”. Bagaimanapun, masyarakat adalah elemen terpenting dalam penegakan hukum dan, karenanya, masyarakat harus ditempatkan pada posisi yang laik. Yuris tidak seharusnya memperlakukan masyarakat secara bias humanis, melainkan harus melihat apa keinginan mereka, harapan-harapan, dan kebangunan relasi resiprokal antara masyarakat dengan yuris. Dengan mengacu pada kondisi-kondisi demikian, jiwa rakyat (volksgeist) akan menjadi bingkai yang mengawal penegakan hukum dan mengarahkan kebangunan relasi yang sinergi antara yuris dengan masyarakat sebagai bagian penguatan hukum (empowering of law).

Ketiga argumentasi dasar tersebut yang dikemukakan penulis pada dasarnya merupakan pengejawantahan poros pemikiran mazhab sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist) yang dinamis. Jiwa rakyat, dalam konteks ini dijadikan sebagai aras misi “dekonstruksi” hukum nasional. Dekonstruksi dimaksud tidak secara frontal merombak dan meruntuhkan tatanan hukum yang telah ada, melainkan evaluasi dan perbaikan pada beberapa sisi masing-masing sub sistem hukum, yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum. Upaya dekonstruksi ini lebih kepada upaya untuk memberdayakan hukum (empowerment) agar hukum benar-benar dapat menjadi panglima bagi pencapaian visi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini pulalah yang oleh Satjipto Rahardjo dibahasakan sebagai negara hukum yang membahagiakan rakyatnya, karena menjadikan rakyat sebagai subjek utama yang terhormat dalam pembangunan hukum nasional.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasar apa yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Mazhab ini dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny melalui suatu manuskrip yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Kelahiran mazhab Sejarah ini dilatari oleh dua faktor, yaitu buku yang ditulis oleh Montesquieu yang berjudul “L’ esprit des Lois” dan samangat nasionalisme pada abad ke-19. Sebagai pelopor, Savigny mengkritisi usulan Thibaut yang menganjurkan kodifikasi hukum perdata Jerman dengan mengacu pada Code Napoleon Prancis.
2. Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat. Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting.
3. Sebagai isu sentral dalam makalah ini, dekonstruksi hukum nasional sebagai upaya memberdayakan dan menguatkan hukum secara sistemik (empowerment of law) mengacu pada konsep dasar mazhab Sejarah, yaitu jiwa rakyat (volksgeist) sebagai satu-satunya sumber hukum yang dapat dipercaya. Pembangunan hukum nasional harus menjadikan semangat dan tata nilai yang dianut bangsa Indonesia sebagai patronase utama, sehingga hukum dapat membantu tercapainya visi bangsa Indonesia, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Saran

Apa yang telah dipercakapkan dalam makalah ini menunjukkan betapa jiwa rakyat (volksgeist) sangat penting kedudukannya dalam pembangunan hukum nasional. Karenanya, baik yuris maupun legislator harus memperhatikan betul aspek ini, baik dalam konteks pembuatan aturan perundang-undangan maupun penegakan hukum nasional. Ke depan, diharapkan, misi “dekonstruksi” hukum nasional benar-benar dapat mengantarkan bangsa ini lebih maju dan lebih berkeadilan; menjadikan negara Indonesia sebagai negara hukum yang dapat membahagiakan rakyatnya.


BIBLIOGRAFI

Ali, A. 1996. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. Cet. I. Bandung: Chandra Pratama.

. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Jakarta: Kencana.

Rahardjo, S. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

. 2009. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Jakarta: Genta Publishing.

Salman, H.R.O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Soekanto, S. 2006. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

2.11.2010

18 Tahun "yang membingungkan" Antasari

Kamis, 11 Pebruari 2010, sekitar pukul 18.00 WITA, terdakwa Antasari Azhar menyaksikan sendiri bagaimana majelis hakim yang diketuai Herri Swantoro, SH., MH. memvonisnya dengan pidana penjara 18 tahun subsider masa tahanan yang telah dijalani sejak penyidikan hingga pembacaan putusan. Vonis tersebut disampaikan dalam sidang terbuka untuk umum di PN Jakarta Selatan.

Majelis hakim menilai Antasari terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama kedua terdakwa lainnya, yaitu Wiliardi Wizard dan Sigit Haryo Wibisono merencanakan dan atau menganjurkan pembunuhan berencana direktur PT Putra Rajawali Bandaran, Nasruddin Zulkarnaen. majelis hakim mendasarkan putusannya pada beberapa pertimbangan, misalnya bukti sms, rekaman percakapan antasari dengan rani juliani, dan konstruksi hukum yang terbentuk di BAP.

Celakanya, majelis hakim, entah khilaf, lupa atau sengaja, mengabaikan sejumlah fakta di persidangan. sebut saja penarikan atau pencabutan BAP Wiliardi yang mengatakan bahwa kasus yang sedang menjerat Antasari adalah "konspirasi", kesaksian Susno Duadji yang menyatakan bahwa tidak pernah ada laporan kepadanya mengenai penyidikan antasari, kesaksian ahli forensik yang menduga bahwa penembakan sebagai diungkap dalam rekonstruksi tidak dilakukan dalam jarak dekat, melainkan dari jarak jauh, bantahan antasari dan penasihat hukumnya disertai bukti-bukti yang kemudian tidak dapat dicounter oleh JPU sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan majelis hakim.

Padahal, sejatinya, dalam asas peradilan pidana, bukti2 maupun fakta2 di persidangan lah yang seharusnya menjadi pertimbangan majelis hakim, bukannya BAP. sebab, BAP boleh saja direkayasa oleh penyidik seperti diduga oleh Antasari dan PH-nya. karenanya, dalam persidangan pidana, salah satu tugas hakim adalah mengkonfrontir materi atau konstruksi hukum dalam BAP dengan pemeriksaan saksi di persidangan. semua ujaran saksi harus diperhatikan dan diklarifikasi dengan materi BAP. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan pengujian atau eksaminasi alat bukti. jangan dilupakan bahwa, dalam persidangan, hakim harus mendengarkan para pihak secara adil, karena salah satu asas mengatakan "audi et alteram partem" atau mendengarkan kedua belah pihak, yaitu JPU dan terdakwa.

Tim Pensihat hukum Antasari mengaku kaget dan kecewa sekaligus bingung dengan majelis hakim yang awalnya dianggapnya sebagai hakim yang bijak, ternyata menjatuhkan vonis yang sama sekali jauh dari rasa keadilan, jauh dari pencarian kebenaran materil. Pun vonis telah dijatuhkabn, teka teki mengenai kasus ini pun belum terpecahkan.

Sungguh 18 tahun yang membingungkan, tidak hanya Antasari, tetapi juga saya dan bahkan mungkin seluruh masyarakat Indonesia. hari ini kita telah melihat satu praktik hukum yang "tidak biasa", suatu vonis yang membingungkan karena tidak didasari pada fakta2 persidangan. kalaupun iya, tidak signifikan dan cenderung partikularis.

Biarlah majelis hakim di tingkat banding yang menjawab kegundahan ini. Semoga majelis hakim tersebut dapat menjawab kegamangan putusan terhadap Antasari ini...

Semoga rona keadilan tidak benar2 luntur dalam dunis berhukum kita.'
Semoga masih ada penegak2 hukum yang progresif, penegak hukum yang berani menantang badai kejahatan dengan putusannya yang brilian dan mewujudkan keadilan hukum tertinggi.

semoga....

2.06.2010

Indonesia yang kian "jompo"

Ya, Indonesia kian "jompo". Itulah jargon yang kira-kira pas untuk menggambarkan negeri kita saat ini. Jompo dalam arti bahwa, elemen-elemen bangsa tertatih menghadapi masalah bangsa yang kian runyam dan datang tanpa henti. Korupsi, krisis kepemimpinan, kemiskinan, kejahatan, cyber crime, bencana, hingga dekadensi moral menjadi warna yang kian membuat "kontras buram" bangsa makin jelas.

Mari kita bedah satu per satu.

Korupsi....ya, lagi..dan lagi, korupsi menjadi fokus perhatian, tidak hanya media, tetapi juga masyarakat Indonesia. Korupsi telah menelanjangi sendi-sendi kehidupan bangsa, hingga hampir-hampir tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari negeri ini. Korupsi, selain sebagai bahaya laten, juga merusak tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya, hukum, moral, ekonomi, sosial, budaya, hingga pertahanan keamanan. Korupsi tidak hanya berhasil "menyantet" pejabat kelas kakap, tetapi juga kelas "teri" yang dengan sejuta satu dalil berusaha mengelak dari dakwaan korupsi yang dialamatkan padanya. Prihatin dan menyesakkan, itulah agaknya yang mewakili perasaan, sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat Indonesia akan fenomena ini. lalu, apa sebenarnya yang salah dari bangsa kita? Mengapa korupsi begitu menggurita di negeri ini? Moralitas dan mentalitas pejabat adalah tersangka utama dalam kasus ini. Gaji dan prestise yang diperoleh ternyata tidak cukup menjamin bahwa mereka dapat lepas dari "santet" korupsi. Seakan tak memiliki penangkal, santet korupsi dengan mudah merangsek ke dalam sendi-sendi pemikiran dan pandangan hidup sebagian pejabat kita.

Demonstrasi besar-besaran belakangan ini menunjukkan bahwa masyarakat telah "muak" dengan praktik-praktik korupsi selama ini. Celakanya, presiden kita, yang seharusnya menjadi patron dan pemimpin dalam memberantas korupsi cenderung "loyo" dalam menyikapi hal ini. Oleh sebagian pihak, presiden justru sibuk "mengeluh" dan "curhat" tentang cara-cara berdemo yang menurutnya tidak etis dan melanggar asas kepatutan. Presiden lebih sibuk dengan upaya memperbaiki citra nya di masyarakat dengan mengumbar retorika-retorika yang "ga nyambung" dengan substansi permasalahan. Semisal, demo yang menuding SBY tidak proaktif dalam memberantas korupsi, cenderung setengah hati, lamban, dan tebang pilih, hingga isu neoliberalisme dan ACFTA. Yang paling santer adalah perumpamaan presiden dengan seekor kerbau yang diberi tajuk "Si Buya". Presiden lebih sibuk mengkritik cara-cara berdemo yang menurutnya melanggar asas kepatutan. Padahal, sejatinya, SBY harusnya memperhatikan substansi demonstrasi dengan melakukan "otokritik" dan evaluasi terhadap kinerjanya selama ini. Skandal bank Century yang seharusnya dapat disikapi presiden secara bijak justru ditanggapi dalam perspektif yang esoteristik, hanya berdasar pada kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan konstituen atau kolega politiknya. Mau bukti? Terlalu banyak bukti untuk hal ini, semacam lobi politik dengan ketum Golkar, isu reshuffle kabinet bagi menteri-menteri yang mbalelo, peninjauan ulang koalisi partai-partai yang diindikasikan "membahayakan" status quo pemerintahan, dan sebagainya.

Bukan hanya presiden, lembaga-lembaga tinggi negara lain semisal KPK, Kejaksaaan, Kepolisian, MA, Pengadilan, hingga DPR (Pansus Angket Century) malah ikut-ikutan "loyo" dalam menangani masalah ini. Pansus yang diharapkan dapat membongkar borok Century dan pihak2 yang terlibat di dalamnya justru cenderung lamban dan bahkan dihiasi dengan lobi-lobi politik yang alot. Setali tiga uang, lembaga penegak hukum pun demikian. Lalu, kalau pemimpin kita sudah "jompo" bagaimana dengan masyarakat? haruskah "people power" yang turun untuk menyelesaikan masalah ini?

Bencana alam, kemerosotn moral dan masalah lainnya merupakan masalah yang tidak kalah penting dengan korupsi, yang menuntut penangan sesegera mungkin. Tetapi, lagi-lagi pemimpin kita "loyo"...belum ada tindakan atau kebijakan yang revolusioner yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut. memprihatinkan!!!

Harus diakui bangsa kita kian "jompo". Jompo dikarenakan pemimpin-pemimpin kita loyo, tidak tegas, tidak visioner, jiwa kepemimpinan yang kurang, keikhlasan yang dangkal, moralitas dan dedikasi yang buruk, dan sebagainya. semua menyatu dalam satu paket, "pemimpin yang tidak merakyat".

Krenanya, benar apa yang dikatakan bang Iwan Fals, "wakil rakyat seharusnya merakyat"....
Kita tetap harus optimis bahwa ke depan, akan lahir pemimpin-pemimpin yang merakyat dan mau mencurahkan segenap potensi dan kemampuannya untuk mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.

Harapan itu masioh ada kawan...
Anak muda Indonesia harus menjadi generasi yang mampu menjawab tantangan dan harapan ini.
Sanggup????