5.19.2008

Kompetensi Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa ekonomi Syariah

Kompetensi lembaga Peradilan Agama pasca amandemen UU No.7 1989 menjadi UU No.3 tahun 2006 bertambah, yaitu menangani sengketa ekonomi syariah. Perubahan tersebut membawa implikasi massif pada institusi peradilan agama secara umum. Perluasaan wewenang peradilan agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah secara substantif dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, penyelesaian sengketa dan perselisihan ekonomi syariah selama ini ditangani oleh hakim-hakim di lingkup Pengadilan Negeri yang tidak memiliki latar belakang pemahaman massif tentang ekonomi syariah. Implikasinya, pesimisme mengenai kapabilitas pengadilan negeri dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah muncul seiring dengan dinamika hukum masyarakat yang berkembang secara signifikan.

Kedua, Pengadilan Negeri tidak kompatibel menangani kasus sengketa lembaga keuangan syariah. Pasalnya, bagaimanapun lembaga ini memiliki dasar-dasar hukum penyelesaian perkara yang berbeda dengan yang dikehendaki pihak-pihak yang terikat dalam akad syariah. Pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Selama ini, sebelum amandemen UU Peradilan Agama, memang ada lembaga yang menangani sengketa perekonomian syariah, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Sebagai diketahui, akad-akad dalam ekonomi syariah berlandaskan pada al Qur’an dan al Hadits dan pelaksanaannya pun mengacu pada ketentuan-ketentuan primordial yang telah digariskan Rasulullah SAW.

Ketiga, selama ini, sebelum kasus sengketa dibawa ke Pengadilan Negeri, masalah perselisihan ditangani terlebih dahulu oleh Basan Arbitrase Syariah. Namun, peran dan fungsi Badan Arbitrase ini tidak optimal dan tidak memadai untuk menyelesaikan setiap kasus perselisihan, karena lembaga artbitrase tidak memiliki daya paksa untuk menyeret orang yang digugat ke pengadilan, sehingga tidak mengherankan jika ratusan bahkan mungkin ribuan kasus gugatan perselisihan di bidang ekonomi syariah yang tercecer, karena berada di luar kewenangan Badan Arbitrase Syariah. Banyaknya kasus gugatan di bidang ekonomi syari’ah yang tidak dapat diselesaikan Badan Atbitrase Syari’ah disebabkan Badan Arbitrase bukanlah lembaga Pengadilan.

Atas dasar itulah, UU No.7 tahun 1989 diamandemen menjadi UU No.3 tahun 2006. Institusi Peradilan Agama dianggap paling kompeten untuk menangani kasus ekonomi syariah. Hal ini didasarkan pada latar belakang pendidikan hakim-hakim pengadilan agama yang mempelajari secara massif hukum-hukum syariah, tidak terkecuali hukum-hukum mu’amalah. Selain itu, institusi peradilan agama merupakan institusi yang paling representatif karena mengintegrasikan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam menyelesaikan perkara perdata.
Dewasa ini, diskursus mengenai kompetensi peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah menyeruak seiring dengan munculnya adagium bahwa kompetensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ternyata tidak mudah direalisasikan. UU No. 30 Tahun 1999 membatasi kompetensi Pengadilan Agama. ‘Sesuai UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berwenang menjadi lembaga eksekutorial adalah Pengadilan Negeri,” kata Hanawijaya, dalam seminar Praktek Ekonomi Syariah dan Penyelesaian Sengketa, di Jakarta.

Cukup banyak pendapat berbagai pihak yang meragukan kompetensi peradilan agama dalam menylesaikan sengketa ekonomi syariah. Selain mengacu pada UU No.30 tahun 1999, mereka juga menggunakan pertimbangan lain sebagai justifikasi atas pendapat mereka. Salah satu pertimbangan yang paling riskan menurut mereka adalah bahwa selama ini, PA tidak pernah menangani sengketa ekonomi, khususnya sengketa ekonomi syariah sehingga kompetensi PA mereka ragukan.

Selain pendapat yang kontra terhadap kompetensi PA, pendapat yang yang pro juga cukup banyak. Sebagai contoh, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Taufik, tak sependapat dengan Hanawijaya. Menurutnya, dalam masalah seperti ini, UU No. 30/ 1999 sekarang sudah tidak dapat diberlakukan. “UU No. 30/1999 adalah lex generalis, sedangkan UU No. 3/ 2006 itu lex specialis,” tuturnya. Taufik mendasarkan argumennya pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Di situ dinyatakan, salah satu wewenang PA adalah menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah, yang termasuk bidang ekonomi syariah tidak hanya perbankan syariah, tetapi juga lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah dan banyak bidang lainnya.

Tidak ada komentar: