5.28.2009

akad (perikatan dalam hukum Islam)

Ekonomi syariah sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya merupakan sistem ekonomi yang bersumber pada syariat Islam. Dalam konteks ini, syariat sebagai sumber dan dasar ekonomi syariah mencakup beberapa aspek, yaitu prinsip, akad, nilai, dan maqâsîd al syarî’ah. Aspek-aspek syariat tersebut secara kumulatif menjadi pedoman dasar dalam penyelenggaraan ekonomi syariah. Prinsip dasar penyelenggaraan perekonomian dalam perspektif syariah adalah kegiatan ekonomi untuk menghasilkan profit tertentu dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam dan terciptanya pemerataan ekonomi pada segenap lapisan masyarakat, serta sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lain dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah . Prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank atau lembaga keuangan lainnya dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang atau memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain

Penyelenggaraan usaha berbasis ekonomi syariah ini harus selaras dengan prinsip-prinsip syariah, karena eksistensi prinsip syariah tersebut adalah sebagai koridor yang harus dilalui oleh setiap pelaku usaha.

Perjanjian dalam Islam dikenal dengan istilah al ‘aqd (akad) yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Dalam terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan”. Pencantuman kalimat ”dengan kehendak syariat” maksudnya adalah seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain

Akad merupakan ikatan atau kontrak antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha yang sama. Dalam pasal 1 ayat 13 UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah. Bila digeneralisasikan, maka akad merupakan kesepakatan tertulis antara lembaga keuangan syariah dengan pihak lain mengenai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan prinsip syariah.

Suatu perikatan yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi beberapa rukun dan syarat tertentu agar perikatan yang dibuat tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Hasbi Ash Siddieqy, sebagai dikutip oleh Abdul Mannan mengemukakan bahwa suatu perikatan harus memenuhi empat rukun, yaitu ijab qabul, mahallul ‘aqd, al ‘aqidain, dan maudhu’ul ‘aqd.

a. Ijab qabul
Ijab qabul merupakan rukun pertama dan utama dalam suatu perikatan. Ijab qabul merupakan entitas yang melandasai perikatan yang dibuat oleh para pihak dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan usaha, baik secara individu maupun secara berkelompok. Pelaksanaan ijab qabul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara lisan (dengan ucapan), tulisan, juga dengan isyarat tertentu bagi pihak yang tidak dapat berbicara atau menulis.
Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu ijab qabul dipandang sah dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Pertama, jalâ’ul ma’na, yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan ijab qabul itu jelas sehingga dapat dipahami dengan mudah mengenai jenis perikatan yang dikehendaki. Kedua, tawâfuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. Ketiga, jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan pihak lain dan melaksanakannya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan

b. Mahallul ‘aqd (objek perikatan)
Objek perikatan dalam konteks muamalah sangat luas dan bentuk serta sifatnya tergantung dari jenis perikatan yang dibuat. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa suatu objek perikatan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, perikatan harus sudah ada secara konkrit ketika kontrak dilangsungkan atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang. Kedua, dibenarkan oleh syara’; sesuatu yang tidak dapat menerima hukum perikatan tidak dapat menjadi objek perikatan. Ketiga, objek perikatan harus dapat diserahkan pada saat terjadi akad atau dapat diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam akad. Keempat, objek perikatan harus jelas atau dapat ditentukan dan harus diketahui oleh kedua belah pihak yang membuat perikatan. Apabila tidak ada kejelasan tentang objek perikatan, maka hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi para pihak yang terikat di dalamnya. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas harus dipahami dan diaplikasikan oleh para pihak dalam membuat perikatan.

c. Al ‘aqidaîn (pihak yang melaksanakan perikatan)
Pihak-pihak yang melaksanakan perikatan merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Subjek hukum dimaksud dapat berupa perorangan, kelompok, dan atau badan hukum tertentu yang mengikatkan diri pada suatu perikatan. Pihak yang melaksanakan perikatan harus cakap secara hukum, sehingga perikatan tersebut sah secara hukum. Islam telah mengamanahkan bahwa orang-orang yang tidak sehat akalnya atau berada dalam pengampuan tidak boleh melaksanakan perikatan, karena yang bersangkutan tidak memahami substansi perikatan tersebut. Orang-orang demikian tidak boleh melaksanakan perikatan secara individual, melainkan harus didampingi oleh orang lain sebagai kuasa yang sah secara hukum.

d. Maudhu’ul ‘aqd (tujuan dan akibat hukum perikatan)
Dalam suatu perikatan, tujuan menjadi sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Tujuan dari suatu perikatan sangat menentukan akibat hukum bagi para pihak, terutama dalam konteks keperdataan. Dengan demikian, para pihak harus mengetahui dan memahami secara massif tujuan dan akibat hukum dari perikatan yang dibuatnya.
Ahmad Azhar Basyir mengemukakan bahwa tujuan suatu perikatan dapat dikatakan sah jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, tujuan perikatan bukan merupakan kewajiban yang telah ada atas para pihak yang bersangkutan tanpa perikatan yang diadakan. Tujuan perikatan dinyatakan sah jika tujuan tersebut ditetapkan pada saat melakukan perikatan. Kedua, tujuan perikatan merupakan tujuan yang temporal, yaitu tujuan yang berlangsung selama dan hingga berakhirnya masa perikatan. Ketiga, tujuan kontrak harus benar menurut syara’, yaitu tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan tuntunan al Qur’an dan hadis

Akad (perikatan) dalam hukum Islam memiliki beberapa asas yang harus diketahui dan ditaati oleh para pihak yang membuat akad. Fathurrahman Djamil, sebagai dikutip oleh Abdul Manan mengemukakan bahwa perikatan memiliki minimal lima asas, yaitu:

a. Asas kebebasan (Al Hurriyah)
Pihak-pihak yang melakukan kontrak mempunyai kebebasan untuk melakukan suatu perjanjian, mencakup objek dan syarat-syarat perjanjian serta cara penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Kebebasan menentukan syarat-syarat ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Asas ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 256:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Tujuan asas ini pada dasarnya untuk menjaga agar para pihak tidak saling menzalimi dalam pembuatan kontrak. Asas ini juga dimaksudkan untuk menghindari semua bentuk pemaksaan (ikrâh), tekanan, dan penipuan dari pihak yang berkepentingan dengan perikatan yang dibuat. Jika dalam perikatan terdapat unsur pemaksaan yang merugikan salah satu pihak, maka legalitas perikatan tersebut tidak sah. Dengan demikian, maka klausul dalam akad tidak dapat mengikat kedua belah pihak secara hukum dan tidak ada prestasi yang harus dijalankan oleh para pihak.

b. Asas persamaan dan kesetaraan (Al Musawah)
Substansi asas ini adalah setiap pihak memiliki kedudukan dan andil yang sama dalam perikatan yang dibuat. Asas ini kemudian menjadi begitu penting karena berimplikasi pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam pemenuhan prestasi berdasar perikatan yang telah dibuat. Asas ini tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu pihak lebih aktif dalam menyiapkan atau membuat rumusan klausul perikatan yang harus disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan pihak lain yang terlibat di dalamnya.

c. Asas keadilan (Al ‘Adalah)
Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak harus menunjukkan rasa keadilan yang menjamin kepentingan masing-masing pihak. Keadilan merupakan entitas yang multi dimensional yang mencakup nilai-nilai kebenaran. Keadilan dalam perikatan akan menjamin terpenuhinya hak-hak individu dan menjamin pula terlaksananya akad secara konsekuen, karena masing-masing pihak merasakan ketenangan dan kepastian terjaminnya hak-hak individu.

d. Asas kerelaan (Al Ridha)
Asas ini menyatakan bahwa semua kontrak yang dilakukan oleh para pihak harus didasarkan kepada kerelaan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kerelaan para pihak yang berkontrak merupakan entitas yang menjiwai setiap perikatan dalam Islam sekaligus melandasi semia transaksi yang terjadi. Bila asas ini tidak terpenuhi dalam perikatan yang dibuat, maka perikatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang bathil (al akl bil bâthil).
Kerelaan merupakan sikap batin abstrak yang membutuhkan indikator tertentu untuk merefleksikannya dalam suatu perikatan yang dibuat. Klausul ijab qabul merupakan representasi dari kerelaan para pihak dalam melakukan suatu perikatan. Dengan demikian, klausul ijab qabul harus transparan dan berimbang, sehingga mampu merepresentasikan kerelaan para pihak untuk melakukan perikatan.

e. Asas perikatan tertulis (Al Kitabah)
Salah satu asas yang sangat fundamental dalam perikatan Islam adalah asas tertulis. Perikatan yang dilakukan oleh para pihak harus ditulis dalam suatu akta atau bentuk formal lainnya untuk menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan di kemudian hari. Asas perikatan tertulis ini termuat dalam firman Allah SWT surat Al Baqarah ayat 282:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

bibliografi
http://www.syariahmandiri.co.id/syariah/banksyariah.php
http://yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/perbandingan-hukum-perjanjian-dalam_30.html
Abdurrahman. Kewenangan Peradilan Agama di Bidang Ekonomi Syariah: Tantangan Masa yang Akan Datang, Suara Uldilag, Vol. 3 No.XII, Maret 2008.
Abdul Manan. Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Varia Peradilan, Tahun XXI No.247, Juni 2006. h.39-42
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta: UII Press. 2004. h. 83-84

Tidak ada komentar: