3.07.2009

social support and behavior toward others (dukungan sosial dan perilaku terhadap orang lain): suatu tinjauan psikologi

Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis-kemasyarakatan. Dalam konstruk demikian, interaksi sosial menjadi suatu keniscayaan dalam entitas psikologis dan sosial individu dan masyarakat. Kekuatan interaksi antara satu individu dengan individu lain dalam masyarakat menjadi satu preferensi dalam menilai sejauhmana kohesi sosial yang terjadi di antara individu-individu tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia hidup di dunia tidak akan pernah terlepas dari keterikatannya dengan manusia lain. Adalah sesuatu yang absurd ketika pada satu kondisi individu menganggap bahwa dirinya sama sekali lepas dari individu lain dan dengan independensinya tersebut dia menganggap bahwa eksistensi dirinya tidak ada keterkaitan sama sekali dengan individu lain. kondisi ini yang sesungguhnya memunculkan suatu konsep bahwa keberhasilan berupa pencapaian dan prestasi, maupun kegagalan yang dialami individu tidak terlepas dari andil individu lain, terutama dalam konstruk sosial yang menyajikan beragam dinamika sosial.
Terlepas dari pandangan sebagian individu yang paradoks dengan kenyataan sosial yang ada, peran dan andil individu lain ternyata cukup signifikan bagi keberhasilan maupun kegagalan individu lainnya. Dalam hidup, individu membutuhkan dukungan dari individu lain, tentunya dengan berbagai motivasi. Motivasi tersebut dapat berupa keinginan untuk menjadi lebih baik dalah hal prestasi akademik, peningkatan kepercayaan diri, serta menghargai diri sendiri (self-esteem).
Dukungan dan perilaku sosial sebagai bagian dari dinamika sosial merupakan entitas yang cukup kompleks. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan yang ada, bahwa individu memberi dukungan sosial terhadap individu lain dilandasi beragam motivasi, sehingga hal tersebut agak sulit bila dilihat dalam perspektif hitam dan putih. Selanjutnya, perilaku individu dalam konteks sosial memiliki warna yang beragam, terlebih jika menyangkut ranah kepentingan.

A. Dukungan Sosial
1. Definisi dukungan sosial
Etzion (Farhati & Rosyid, 1996) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan hubungan antar individu yang di dalamnya terdapat satu atau lebih ciri-ciri, antara lain bantuan atau pertolongan dalam bentuk fisik, perhatian emosional, pemberian informasi dan pujian. Sementara itu, Johnson & Johnson (Farhati & Rosyid, 1996) mendefinisikan dukungan sosial sebagai eksistensi individu lain yang dapat diandalkan sebagai tempat meminta bantuan, dorongan, dan penerimaan bila individu lain mengalami kesulitan.
Dukungan sosial merupakan dukungan secara fisik dan emosional terhadap individu tertentu yang berasal dari keluarga, teman dekat, rekan kerja, dan dari individu lainnya. Dengan demikian, individu yang menerima dukungan tersebut menganggap bahwa dirinya dicintai, diperhatikan, dan berharga. Jika individu diterima dan dihargai secara positif, maka individu tersebut cenderung mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri dan lebih menerima dan menghargai dirinya sendiri.
Cobb (Wortman, Elizabeth, & Weaver, 1999) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan pengetahuan individu bahwa dirinya dicintai, diperhatikan dengan baik, dan berharga, dan hubungan sosial yang dekat. Pengetahuan demikian dapat membantu individu untuk meredam efek negatif dari stres dan mengurangi risiko munculnya penyakit-penyakit tertentu. Dukungan sosial dapat bersumber dari teman, anak, pacar, anggota kelompok, bahkan dari hewan piaraan sekalipun.
Santrock (2005) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan informasi dan umpan balik (feedback) dari orang lain bahwa individu itu dicintai, diperhatikan, dihargai dalam hubungan komunikasi yang dekat. Taylor (Santrock, 2005) mengemukakan bahwa dukungan sosial membantu individu dalam mengatasi stres yang dialami.
Definisi lain dari dukungan sosial dikemukakan oleh Gottlieb (Kuntjoro, 2002), yaitu informasi verbal dan non verbal, saran, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya yang berpengaruh positif terhadap kondisi emosional yang menerima dukungan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan kepentingan bersama. Dukungan tersebut memberi ekses positif bagi kondisi emosional individu atau kelompok yang menerima dukungan sosial tersebut.
2. Bentuk-bentuk dukungan sosial
Sheridan dan Radmacher membagi dukungan sosial kedalam lima bentuk, yaitu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/dukungan-sosial/):
a. Dukungan instrumental (tangible assisstance)
Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi stress karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instumental sangat diperlukan terutama dalam mengatasi masalah dengan lebih mudah.
b. Dukungan informasional
Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang situasi dan kondisi individu, Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.
c. Dukungan emosional
Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang dianggap tidak dapat dikontrol.
d. Dukungan pada harga diri
Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat induividu, perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.
e. Dukungan dari kelompok sosial
Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa bahwa dirinya merupakan anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktifitas sosial dengannya. Dengan demikian, individu akan merasa memiliki teman senasib yang mengerti dan paham akan apa yang sedang dialaminya.
3. Sumber-sumber dukungan sosial
Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai lingkungan, yaitu:
a. Keluarga
Kartono (1986) mengemukakan bahwa dukungan sosial salah satunya bersumber dari lingkungan keluarga, yaitu orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Keluarga merupakan institusi primordial bagi remaja untuk melakukan sosialisasi, interaksi, dan merasakan suasana yang aman dan nyaman. Wills (Muller (Ed), 2004) mengemukakan bahwa remaja yang merasakan penerimaan dan dukungan dari anggota keluarga lebih apresiatif terhadap kondisi psikologisnya dan lebih responsif dalam coping yang efektif dibandingkan dengan remaja lain yang tidak merasakan hal demikian.
b. Teman sebaya
Dukungan sosial dapat pula datang dari teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya merupakan dukungan berupa adanya keterlibatan dan penerimaan remaja dalam kelompok sehingga memberikan kesempatan bagi remaja untuk berinteraksi dan mempelajari kemampuan interpersonal dan kemampuan sosialnya. Dukungan sosial yang potensial datang dari individu lain, baik kerabat maupun teman sebaya. Remaja membutuhkan dukungan sosial, tidak hanya dari lingkungan keluarga, melainkan juga dari lingkungan sosial tempat dia berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran teman akrab merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika psikologis dan sosial individu. Dukungan dari teman akrab akan sangat menunjang bagi keberhasilan individu untuk melakukan hal yang terbaik dalam hidupnya. Dalam dunia akademik misalnya, dukungan dari rekan mahasiswa atau teman akrab akan berpengaruh secara signifikan bagi prestasi mahasiswa yang bersangkutan.
4. Dampak dukungan sosial
Lieberman mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi potensi munculnya stress. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan anatara respon individu pada kejadian yang dapat menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri, dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/dukungan-sosial/).
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian dan efek stres. Beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain (http://creasoft.wordpress.com/2008 /04/15/dukungan-sosial/):
1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.
2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

B. Perilaku Sosial
Dalam konteks sosial, kecenderungan individu untuk menjadi baik atau buruk -terutama dalam hal perilaku- dibentuk oleh hubungan sosialnya dengan lingkungan sekitar. Anak-anak dibentuk oleh orang tuanya untuk menjadi anggota masyarakat yang baik, dan jika anak tersebut tidak dapat memenuhi asa dimaksud, maka hal tersebut disebabkan kegagalan orang tua dalam mendidik dan mengarahkan anak tersebut (Muller (Ed), 2004).
Ikatan sosial berperan penting dalam membantu individu mengatasi stres dalam kehidupan nyata. Aspek lain dari hubungan sosial yang dapat mempengaruhi coping adalah bagaimana individu merespon konflik yang di alami dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Ekspresi yang asertif (tegas) merupakan salah satu bentuk komunikasi yang ideal (Santrock, 2005).
Pada kenyataannya, tidak semua individu dapat bertindak secara asertif (percaya diri dan tegas). Individu dapat merespon konflik yang dihadapi dalam hidup dengan empat cara, yaitu (Santrock, 2005):
1. Acting agressively (bertindak agresif)
Orang-orang yang merespon secara agresif konflik yang sedang dihadapi sering bertindak kasar terhadap orang lain. Mereka suka menuntut, kasar, dan cenderung memusuhi orang lain. Orang-orang yang agresif tidak peka (tidak menghargai) hak-hak orang lain.
2. Acting manipulatively (bertindak manipulatif)
Orang-orang yang manipulatif mencoba memperoleh apa yang mereka inginkan dengan membuat orang lain merasa kasihan atau membuat mereka merasa bersalah. Mereka cenderung tidak bertanggung jawab terhadap terhadap pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan, orang-orang seperti itu terkadang berpura-pura menjadi korban agar orang lain mau berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka.
3. Acting passively (bertindak pasif)
Orang-orang yang pasif bertindak tidak tegas dan percaya diri, pasrah terhadap apa yang dialaminya. Mereka membiarkan orang lain bertindak kasar kepada dirinya tanpa pernah berinisiatif untuk melawan atau menghentikannya. Mereka bahkan tidak mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan tidak membiarkan orang lain mengetahui masalah atau kebutuhannya. Dalam kerangka pikirnya, mereka merasa tidak berdaya sama sekali dan bahkan merasa tidak berharga (lost of self-esteem).
4. Acting assertively (bertindak asertif)
Orang-orang yang asertif mengekspresikan apa yang mereka rasakan, meminta apa yang mereka butuhkan (inginkan), dan mengatakan ‘tidak’ terhadap apa yang tidak mereka inginkan. Ketika seseorang bertindak asertif, mereka bertindak dengan cara yang terbaik dan menegakkan hak-haknya, sehingga hak-haknya itu diakui oleh orang lain. Alberti dan Emmons (Santrock, 2005) mengemukakan bahwa asertifitas menciptakan hubungan yang setara (equal relationship) dalam konstruk sosial.
Bourne (Santrock, 2005) mengemukakan beberapa strategi untuk menjadi individu yang lebih asertif, yaitu:
1. Luangkan waktu untuk mendiskusikan apa yang ingin didiskusikan.
Berdiskusilah dengan orang lain untuk menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan. Dengan diskusi, diharapkan akan muncul pencerahan dalam diri sehingga dapat memahami masalah atau konflik yang sedang dihadapi secara signifikan.
2. Nyatakan masalah dalam proposisi tertentu dari konsekuensinya terhadap anda.
Deskripsikan masalah secara objektif semampu anda tanpa menjustifikasi atau menyalahkan orang lain. Sebagai contoh, anda mungkin memberitahu teman sekamar atau anggota keluarga anda “Saya terganggu dengan suara keras dari musik anda. Saya sedang belajar untuk ujian besok dan suara keras tersebut membuat saya tidak dapat berkonsentrasi”
Dalam konteks psikologi sosial, perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku prososial dan perilaku antisosial yang direpresentasikan oleh perilaku agresi. William (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan perilaku yang memiliki intensi (kecenderungan) untuk mengubah keadaan fisik maupun psikologis penerima bantuan menjadi lebih baik. Eisenberg & Mussen (Dayakisni & Hudaniah, 2006) lebih lanjut mengemukakan bahwa pengertian perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan seperti sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Staub (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang melandasi perilaku prososial, yaitu:
1. Self-gain (pencapaian diri)
Perilaku prososial individu dilandasi oleh asa untuk memperoleh sesuatu atau menghindari kehilangan sesuatu yang telah diperolehnya, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian, atau takut kehilangan sesuatu yang telah dimilikinya seperti popularitas, cinta, dan harga diri.
2. Personal values and norms (nilai dan norma pribadi)
Perilaku prososial individu sering dilatarbelakangi adanya nilai-nilai dan norma-norma sosial yang diinternalisasikan individu selama mengalami masa sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
3. Empathy (empati)
Empati merupakan kemampuan individu untuk turut merasakan apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh orang lain. Empati ini merupakan salah satu aspek yang melatarbelakangi individu melakukan tindakan prososial.
Pada kenyataannya, seseorang melakukan tindakan prososial tidak hanya dilatarbelakangi oleh satu faktor semata, melainkan gabungan dari beberapa faktor. Hal ini dimungkinkan karena manusia merupakan entitas psikologis yang memiliki beragam tendensi dalam melakukan sesuatu, sehingga sangat sulit untuk menyimpulkan bahwa yang melandasi dan memotivasi individu untuk melakukan sesuatu adalah faktor atau motivasi tunggal.
Selain perilaku sosial, dikenal adanya perilaku agresi, sebagai salah satu antitesa dari perilaku sosial. Baron (Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengemukakan bahwa agresi merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan adanya tingkah laku tersebut. Definisi ini mencakup empat faktor tingkah laku, yaitu tujuan untuk melukai atau mencelakakan, individu yang menjadi pelaku, individu yang menjadi korban, dan ketidakinginan korban akan adanya tingkah laku tersebut.
Perilaku prososial dan perilaku antisosial (perilaku destruktif) pada remaja memiliki banyak determinan (faktor). Implikasinya, ada beberapa poin dimana intervensi dapat memperkuat kecenderungan perilaku prososial, misalnya pengayaan dukungan orang tua dan melalui variabel lain seperti kompetensi dan afiliasi kelompok (Muller, 2004).

Bibliografi:
Admin. 2008. “Dukungan Sosial” (Online). (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15 /dukungan-sosial/, diakses 25 Pebruari 2009).

Dayakisni, T. & Hudaniah. 2006. Psikologi Sosial. Buku I. Malang: UMM Press

Farhati, F. & Rosyid, H. F. 1996. Karakteristik Pekerjaan, Dukungan Sosial, dan Tingkat Burn Out pada Human Service Corporation. Jurnal Psikologi XXIII (1):1-12.

Kartono, K. 1986. Patologi Sosial II: Karakteristik Remaja. Jakarta: Rajawali.

Kuntjoro, Z. S. 2002. “Dukungan Sosial pada Lansia” (Online). (http://www.e-psikologi.com_160802.htm, diakses 25 Pebruari 2009).

Muller, A. G. (Ed.). The Social Psychology of Good and Evil. New York: The Guilford Press.

Santrock, J. W. 2005. Psychology. Updated Seventh Edition. New York: McGraw Hill.

Wortman, Elizabeth, & Weaver, 1999. Psychology. New York: McGraw Hill.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hai,, thx ats artikelnya...
pny bukunya ya, ato jurnalnya?
aku anak psikologi