3.04.2009

teknik dan pemecahan masalah secara kreatif

Ada satu adagium yang sangat terkenal dari seorang tokoh dunia dan masuk dalam kategori 100 orang paling berpengaruh di dunia, yaitu Albert Einstein. Ya, dialah penemu teori relativitas yang mengguncang dunia sains karena keberaniannya mengkritik dan menerobos kemapanan dunia sains yang telah dikembangkan secara massif oleh ilmuwan sebelumnya. Einstein mengemukakan bahwa “imagination is more important than knowledge”; imajinasi lebih penting dari pada pengetahuan. Imajinasi merupakan komposisi dasar dan paling utama dari konstruk yang disebut dengan kreatifitas. Kreatifitas lahir dari suatu imajinasi yang menembus batas pemikiran yang lazim.

Kreatifitas mulai mendapat perhatian kurang lebih menjelang paruh pertama abad XX atau tepatnya setelah perang dunia II. Di Indonesia, perhatian pada bidang ini juga tumbuh dengan pesat terutama sejak penelitian Munandar pada tahun 1977 yang menekankan pentingnya kreatifitas dikembangkan pada pendidikan formal serta pertama kalinya diciptakan tes kreatifitas di Indonesia; makin disadari perlunya langkah-langkah konkret untuk mengembangkan kreatifitas sejak dini (Mulyadi, dalam Rosalina, 2008).

Menurut hasil riset Torrance (Freeman& Munandar, dalam Rosalina, 2008) pada anak-anak di Amerika menunjukkan bahwa kreatifitas mencapai puncaknya antara usia 4 sampai 4,5 tahun. Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1962, Torrance menemukan bahwa pada anak-anak di Amerika terlihat kemampuan kreatifitasnya menurun satu tingkat skor saat ia berusia 5 tahun. Untuk itulah perlu diadakan upaya peningkatan kreatifitas pada anak sejak usia dini. Para ahli juga menegaskan bahwa kreatifitas mencapai puncaknya di usia antara 4 sampai 4,5 tahun. Anak prasekolah memiliki daya imajinasi yang amat kaya sedangkan imajinasi ini merupakan dasar dari semua jenis kegiatan kreatifitas. Mereka memiliki “kreatifitas alamiah” yang tampak dari perilaku seperti : sering bertanya, senang menjelajahi lingkungan, tertarik untuk mencoba segala sesuatu, dan memiliki daya imajinasi yang kuat.

Dalam kehidupan ini kreatifitas sangat penting, karena kreatifitas merupakan suatu kemampuan yang sangat berarti dalam proses kehidupan manusia. Kreatifitas manusia melahirkan pencipta besar yang mewarnai sejarah kehidupan umat manusia dengan karya-karya spektakulernya, seperti Thomas Alfa Edison (penemu bola lampu), Wrighst bersaudara (penemu pesawat terbang), Warren Buffet (Orang terkaya di dunia dan menjadi inspirator bagi pelaku pasar lain), Bill Gates (Owner Microsoft), JK Rolling (Author serial Harry Potter), dan sebagainya.

Kreatifitas agaknya menjadi suatu tren tersendiri dewasa ini, mengingat ranah kehidupan manusia terus mengalami dinamisasi yang signifikan sehingga membutuhkan kemampuan dan kecakapan hidup dalam mengarunginya. Jika tidak ingin tergerus oleh perkembangan zaman, maka seseorang dituntut untuk lebih kreatif dan mengelaborasi seluruh potensi dan kemampuan inherennya untuk melahirkan, paling tidak satu karya kecil, yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.

Apresiasi terhadap kreatifitas agaknya menjadi satu keniscayaan tersendiri, khususnya bagi individu yang hidup di lingkungan yang penuh dengan tantangan inovasi dan kreasi untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda dari kebanyakan, sehingga dapat memberi manfaat pada yang bersangkutan. Apresiasi ini diejawantahkan dalam banyak bentuk, misalnya penyelenggaraan kursus-kursus keterampilan tertentu, kompetisi karya-karya kreatif semisal Djarum Black Innovation Award, dan masih banyak lagi. Apresiasi demikian didasarkan pada satu asumsi dasar bahwa hanya dengan kreatifitas-lah, hidup ini akan lebih baik dan membuat segalanya menjadi mudah; bahwa terjebak dalam konsep pemikiran yang kaku dan konservatif hanya menghasilkan kekakuan dan ketidakmanfaatan hidup, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Lebih jauh, kreatifitas ternyata sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Kebutuhan akan kreatifitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan yang mendesak bagi setiap anak. Dalam masa pembangunan dan era globalisasi yang penuh persaingan ini, setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan dan kemajuan bangsa.

Kreativitas atau berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini kurang mendapat perhatian dalam pendidikan. Dalam kerangka inilah, gagasan tentang keniscayaan untuk menumbuhkembangkan kreatifitas dalam dunia pendidikan, khususnya kepada peserta didik muncul. Selain itu upaya menumbuhkembangkan kreatifitas juga didasarkan pada kenyataan bahwa konstruk dan konsep pendidikan yang selama ini diterapkan hanya berorientasi pada pengembangan otak kiri (logis-matematis) secara optimal dan cenderung mengabaikan pengembangan otak kanan (kreatifitas) sehingga peserta didik cenderung menjadi tidak kreatif dan terjebak pada pola pemikiran yang kaku.

Salah satu aspek dasar dari kreatifitas adalah pemecahan masalah secara kreatif. Pemecahan masalah secara kreatif pada dasarnya merupakan pemecahan masalah yang dilandasi oleh pemikiran kreatif, yaitu pemikiran yang melihat suatu masalah dari aspek lain atau aspek yang oleh orang lain sering dianggap sebagai sesuatu yang aneh atau tidak biasa (nyentrik). Karena itu, pemikiran kreatif sering diatributkan oleh sebagian orang sebagai pemikiran yang “nyeleneh”; suatu pemikiran yang berusaha keluar dari kotak pemikiran lazim yang membelenggu.

Pemecahan masalah secara kreatif dewasa ini sangat dibutuhkan, mengingat masalah yang dihadapi manusia sangat kompleks, tidak terkecuali anak-anak. Karena itu, pemecahan masalah secara kreatif perlu disosialisasikan dan dikembangkan secara massif, sehingga mindset anak-anak tidak lagi kaku, terutama dalam melihat dan memecahkan suatu masalah.

Berangkat dari pemaparan tersebut di atas, penulis coba mengurai lebih jauh pemecahan masalah secara kreatif. Uraian dalam makalah ini diaksentuasikan pada kreatifitas anak-anak, khususnya peserta didik, mulai dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah (SMP dan SMA).

A. Pengertian Pemecahan Masalah Secara Kreatif

Pemecahan masalah adalah formulasi jawaban baru, keluar dari aplikasi peraturan yang dipelajari sebelumnya untuk menciptakan solusi. Pemecahan masalah adalah apa yang terjadi ketika respon rutin dan otomatis tidak sesuai dengan kondisi yang ada (Woolfolk & Nicholich, 2004:320).

Santrock (2005:356) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan upaya untuk menemukan cara yang tepat dalam mencapai tujuan ketika tujuan dimaksud belum tercapai (belum tersedia). Sementara itu, Davidoff (1988:379) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu usaha yang cukup keras yang melibatkan suatu tujuan dan hambatan-hambatannya. Seseorang yang menghadapi satu tujuan akan menghadapi persoalan dan dengan demikian dia akan terpacu untuk mencapai tujuan itu dengan menggunakan berbagai cara.

Hunsacker (Lasmahadi, 2005) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Munandar (Rosalina, 2008) mengatakan bahwa kreatifitas merupakan kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada.

Pemecahan masalah secara kreatif merupakan upaya pemecahan suatu masalah dengan menggunakan cara-cara yang kreatif dan revolusioner (mengkombinasikan berbagai teknik dan metode), sehingga hasilnya lebih signifikan. Cara-cara kreatif dimaksud merupakan cara atau metode yang baru dan komprehensif dan cenderung eksentrik. Metode demikian merupakan suatu penjabaran dari metode-metode yang telah ada sekaligus sebagai upgrading dari metode-metode yang telah ada.

Aplikasi metode pemecahan masalah secara kreatif lahir dari satu bentuk pemikiran (mindset) yang menerobos kleaziman paradigma tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah kreatif merupakan upaya pemecahan masalah dengan metode (cara) yang efektif dan komprehensif.

B. Teknik dan Pemecahan Masalah Secara Kreatif

Dalam proses berpikir kreatif untuk memecahkan suatu masalah, ada beberapa tahapan yang dilalui, yaitu (Admin, 2007):

1. Tahap Persiapan.

Dalam masa persiapan, seorang pemikir atau kreator memformulasikan masalahnya dan mengumpulkan semua fakta dan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kadang-kadang meski telah lama berkonsentrasi lama, pemecahan masalah belum muncul juga ke dalam benaknya.

2. Tahap Inkubasi.

Jika pemikir kemudian mengalihkan perhatian dari persoalan yang sedang dihadapinya tersebut berarti ia telah memasuki tahap inkubasi. Pada tahap ini, ide-ide yang mencampuri dan mengganggu cenderung menghilang. Sementara itu, pemikir mendapat pengalaman baru. Pengalaman tersebut dapat menambah kunci bagi pemecahan masalah.

3. Tahap Iluminasi.

Pada periode ini, pemikir mengalami insight atau "Aha!". Seketika cara pemecahan masalah muncul dengan sendirinya

4. Tahap Evaluasi.

Evaluasi terjadi setelah muncul pemecahan masalah, tujuannya adalah untuk menilai apakah pemecahan masalah tersebut sudah tepat. Seringkali pemecahan masalah yang muncul tidak tepat, sehingga pemikir harus memulai lagi dari awal pentahapan.

5. Tahap Revisi.

Tahap ini ditempuh bila cara pemecahan masalah tersebut belum tepat atau mungkin masih memerlukan penyesuaian dan perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek agar pemecahan masalah menjadi lebih tepat dan efektif.

Wessels (Woolfolk & Nicolich, 2004:321) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, ada empat langkah yang ditempuh, yaitu:

1. Memahami masalah

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memahami secara tepat masalah yang sedang dihadapi. Untuk memahami masalah, diperlukan representasi situasi akurat tentang masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap ini, individu perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian pada masalah sebenarnya, bukan pada gejala-gejala yang muncul (Lasmahadi, 2005). Pada beberapa masalah, perlu digunakan diagram atau notasi tertentu (misalnya x, y, dan z) untuk mempermudah identifikasi dan pemahaman masalahnya (Kangguru, 2007).

2. Menyeleksi solusi

Setelah menentukan akar masalah yang sedang dihadapi, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan strategi pemecahan yang akan dan mungkin dapat ditempuh. Copi (Woolfolk & Nicolich, 2004: 324) mengemukakan bahwa salah satu metode yang cukup tepat untuk diaplikasikan adalah pemikiran analitik (membuat alasan dengan analogi). Metode ini memberi batas pencarian solusi pada situasi yang memiliki beberapa kesamaan dengan dengan situasi yang sedang dihadapi.

3. Memutuskan rencana

Tahap ini ditandai dengan pemilihan dan pengaplikasian suatu rencana yang telah diseleksi dan dianalisis secara matang untuk memecahkan suatu masalah. Memutuskan rencana berarti individu telah mempertimbangkan semua kemungkinan dari masing-masing solusi yang ada dan memilih solusi yang dianggap terbaik dari sekian solusi yang ada.

4. Mengevaluasi hasil

Tahapan selanjutnya adalah mengevaluasi hasil yang telah dicapai. Tahap ini meliputi verifikasi fakta, baik yang menguatkan maupun yang melemahkan pilihan-pilihan yang ada.

Treffinger (Munandar, 1995:213) mengemukakan bahwa teknik kreatif dalam pemecahan masalah dikelompokkan dalam tiga tingkatan model belajar kreatif. Teknik pertama dimulai dengan memberikan pemanasan (warming up), kemudian dilanjutkan dengan teknik sumbang saran (brainstorming). Teknik kedua yaitu teknik synecitics dan futuristics. Sedangkan teknik ketiga adalah teknik pemecahan masalah (solve the problem) secara kreatif dengan metode Parnes dan metode Shallcross.

1. Teknik kreatif tingkat pertama

a. Pemanasan (warming up session)

Upaya pemecahan masalah secara kreatif membutuhkan langkah pendahuluan (pre-session) sebagai persiapan pada penetrasi lanjutan. Untuk menumbuhkan iklim atau suasana kreatif dalam kelas yang memungkinkan siswa untuk lebih tenang, merasakan kebebasan, serta adanya perasaan aman dalam mengungkap pikiran dan perasaannya, guru atau pendidik dianjurkan melakukan “pemanasan”, misalnya siswa yang sebelumnya dituntut untuk mengerjakan berbagai tugas yang terstruktur, maka siswa memerlukan switch (pengalihan) mental dari proses pemikiran reproduktif dan konvergen ke proses pemikiran divergen dan imajinatif (Munandar, 1995).

Gagasan untuk mengajak siswa untuk sejenak beralih ke masalah yang lebih imajinatif dan eksploratif merupakan suatu bentuk upaya eksklusif untuk menstimulasi kreatifitas siswa dalam menjawab suatu pertanyaan yang memberi kemungkinan banyak jawaban. Sasaran akhirnya adalah mencoba membuka cakrawala siswa dalam melihat suatu masalah; mengajak siswa melihat suatu hal atau masalah dari berbagai perspektif.

Pemanasan dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terbuka (opened questions) yang dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu (curiosity) siswa. Cara lain yang dapat ditempuh adalah mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah, misalnya pertanyaan mengenai penyebab seringnya terjadi perkelahian antar siswa di sekolah (Munandar, 1995).

b. Sumbang saran (brainstorming)

Teknik sumbang saran merupakan teknik yang dikembangkan oleh Alex F. Osborn, yaitu suatu teknik yang untuk meningkatkan gagasan jika diajarkan dan diterapkan dengan tepat (Shallcross, dalam Munandar, 1995:214; Admin, 2007). Brainstorming merupakan teknik pemecahan masalah yang menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang menyimpang, liar, dan berani, dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat menghasilkan gagasan yang baik dan kreatif. Teknik ini cenderung menghasilkan gagasan baru yang orisinal untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada (Sulistiati, 2007).

Osborn (Munandar, 1995:214) menentukan empat aturan dasar dalam teknik sumbang sarang, yaitu:

1). Kritik tidak dibenarkan atau ditangguhkan

Asas pertama dari konsep berpikir divergen adalah meniadakan sensor untuk kurun waktu tertentu, karena hal tersebut dampak menghambat kelancaran proses asosiasi (Admin, 2007). Hal ini dimaksudkan pula untuk mencegah terhambatnya sintesis gagasan atau pemikiran yang muncul dari benak setiap individu yang melakukan sumbang saran. Selain itu, kritik yang diberikan terlalu cepat kepada setiap gagasan yang muncul dapat menghambat kreatifitas karena kesempatan bagi munculnya gagasan lain menjadi berkurang. Individu pun akan lebih selektif dalam mensintesis suatu gagasan, sehingga jumlah gagasan yang muncul menjadi berkurang.

2). Kebebasan dalam memberikan gagasan

Diperlukan iklim tertentu agar seseorang merasa bebas dan nyaman dalam mensintesis suatu gagasan. Apresiasi terhadap individu lain merupakan hal yang sangat penting, terutama ketika individu yang bersangkutan mengungkapkan suatu gagasan.

3). Gagasan sebanyak mungkin

Dalam konteks ini, dikenal asas (quantity breeds quality), yaitu semakin banyak gagasan yang dimunculkan, maka semakin besar kemungkinan adanya gagasan yang berkualitas dan efektif dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Munandar (Admin, 2007) mengemukakan bahwa gagasan yang baik biasanya muncul bukan pada saat-saat awal dalam tahap pemberian gagasan. Dengan demikian, ada kesempatan bagi pikiran kita untuk mengembara, mencari kemungkinan gagasan lebih jauh untuk memunculkan gagasan orisinal dan kreatif.

5). Kombinasi dan peningkatan gagasan

Dalam teknik sumbang saran gagasan yang muncul dari satu individu tidak jarang merupakan penjabaran atau pengembangan dari gagasan individu lainnya. Dengan demikian, teknik sumbang saran memberikan peluang yang lebih besar bagi munculnya gagasan-gagasan terbaik.

Teknik sumbang saran dilaksanakan dalam beberapa tahap, yaitu:

1. Pertama-tama, salah seorang dari anggota kelompok dipilih menjadi ketua kelompok yang bertugas mengemukakan atau memaparkan masalah, memimpin sidang, dan mengawasi bahwa semua anggota akan mendapat giliran untuk memberikan pendapatnya serta memastikan tidak adanya kritik.

2. Tahap selanjutnya adalah membagikan kepada anggota daftar sumbang saran yang telah diberikan oleh para anggota. Anggota diminta untuk menambahkan ide-ide baru jika masih ada atau saran-saran untuk implementasi solusi.

3. Daftar ide-ide yang telah dihasilkan kemudian dievaluasi (appraisal for ideas). Tahap evaluasi ini dapat dilakukan bersama-sama atau diserahkan pada beberapa anggota saja (Admin, 2007).

c. Pertanyaan yang memacu gagasan

Teknik ini dikenal dengan istilah daftar periksa (checklist) yang dikembangkan oleh Alex Osborn untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas gagasan. Pertanyaan-pertanyaan yang berupa kata kerja “manipulatif” akan membantu individu dalam mengembangkan gagasan kreatif melalui proses asosiasi dan memanipulasi informasi dan gagasan untuk menghasilkan ide yang orisinil (Munandar, 1995:217).

Daftar pertanyaan Osborn diarahkan kepada sembilan aspek yang ingin diketahui, yaitu (Shallcross, dalam Munandar, 1995:217):

1. Digunakan untuk hal-hal lain (put to other uses)

Misalnya: Apa yang dapat Anda lakukan dengan 100 roda dari sepatu roda?

2. Menyesuaikan (adapt)

Misalnya: Apa saja yang dapat digunakan sebagai tempat duduk?

3. Mengubah (modify)

Misalnya: Apa saja yang dapat Anda pikirkan agar pergi ke dokter gigi lebih menyenangkan?

4. Memperbesar (magnify)

Misalnya: Bagaimana bila ulang tahun dirayakan tiga kali dan tidak hanya sekali dalam setahun?

5. Memperkecil (minify)

Misalnya: Bagaimana jika seseorang hanya memiliki tinggi badan 30 cm?

6. Mengganti (substitute)

Misalnya: Apa yang terjadi jika sepeda dapat terbang di udara?

7. Menyusun kembali (rearrange)

Misalnya: Bagaimana jika Anda belajar di sekolah pada malam hari dan tidur di siang hari?

8. Membalik (reverse)

Misalnya: Bagaimana rasanya jika menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dari kanan ke kiri?

9. Menggabung (combine)

Misalnya: Penemuan apa yang dapat Anda hasilkan dengan menggabung mobil, kulkas, dan sepeda motor?

2. Teknik kreatif tingkat kedua

a. Synectics (sinektik)

Teknik sinektik dikembangkan oleh Willian J. J. Gordon dan merupakan teknik yang menggunakan analogi dan metafora (kiasan) untuk membantu individu menganalisis masalah dan melihat suatu masalah dari berbagai perspektif (Feldhusen & Treffinger, dalam Munandar, 1995:219; Sulistiyati, 2007). Sinektik dimaksudkan untuk menghentikan kebiasaan lama serta gagasan usang dan untuk memperkenalkan suasana rileks ke dalam proses penggalian ide. Proses sinektik mencoba membuat sesuatu yang “asing” menjadi “akrab”, begitupun sebaliknya (Sulistiyati, 2007).

Ada tiga jenis analogi yang diaplikasikan dalam sinektik, yaitu analogi fantasi, analogi langsung, dan analogi pribadi. Analogi yang lazim digunakan adalah analogi fantasi, yaitu analogi yang memungkinkan individu mencari pemecahan (solusi) yang ideal terhadap suatu masalah meskipun sepintas solusi tersebut terlihat aneh dan melanggar kelaziman. Analogi langsung merupakan bentuk analogi antara satu masalah dengan masalah lain yang linier dalam kehidupan nyata. Analogi pribadi merupakan bentuk analogi yang menuntut individu untuk menempatkan dirinya (memainkan peran) dalam masalah yang sedang dihadapi (Munandar, 1995).

Teknik sinektik merupakan cara yang menyenangkan dan efektif untuk melibatkan siswa dalam diskusi yang elaboratif dan imajinatif yang menghasilkan pemecahan masalah yang tidak lazim namun aplikatif. Setiap topik dari permasalahan dapat dibahas dalam diskusi kelompok kecil maupun kelompok besar. Melalui sinektik, siswa dapat belajar strategi yang bermakna untuk memecahkan masalah (Munandar, 1995).

b. Futuristics

Futuristics (futuristik) merupakan teknik kreatif yang membantu individu (siswa) meningkatkan dan mengaplikasikan segenap potensi dan kemampuannya untuk mencipta masa depan (Munandar, 1995:221). Toffler (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa siswa perlu dibantu dalam mengasosiasikan perubahan yang akan terjadi di dunia dengan perubahan dalam kehidupan mereka sendiri. Toffler menemukan bahwa siswa sekolah menengah dengan segera dapat menemukenali berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan (forecast). Akan tetapi, bila siswa-siswa tersebut diminta mendaftar tujuh peristiwa yang mungkin terjadi pada mereka di masa depan, jawaban yang diberikan tidak menunjukkan indikasi kehidupan yang berubah. Lebih lanjut, Toffler melaporkan adanya kesenjangan antara pengamatan siswa tentang perubahan cepat di dalam lingkungan dan pemahaman bahwa perubahan tersebut berdampak secara signifikan terhadap kehidupan pribadi mereka.

Pendekatan dalam menggunakan futuristik dengan siswa berbakat agak berbeda dari yang digunakan kebanyakan guru di dalam kelas biasa. Dalam mengajar futuristik, dipandang suatu falsafah mengajar yang futuristik, yaitu pengajaran yang tidak hanya berorientasi kekinian, tetapi juga beorientasi masa depan. Falsafah demikian dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran pada semua mata pelajaran maupun segala bidang dalam kehidupan sehari-hari (Munandar, 1995:221). Sisk (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menggambarkan proses penyerapan unsur pembelajaran futuristik secara menyeluruh adalah dengan membayangkan “garis waktu”. Garis waktu berfungsi untuk menemukenali asosiasi antara informasi masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.

Munandar (2000:222) mengemukakan bahwa tujuan khusus pengajaran dengan filosofi futuristik adalah:

1). Memberikan siswa paradigma (cara pikir dan cara pandang) tentang masa depan yang lebih komprehensif.

2). Membekali siswa dengan keterampilan dan konsep yang perlu untuk memahami kompleksitas berbagai sistem.

3). Membantu siswa dalam menemukenali dan memahami secara massif masalah-masalah utama yang muncul di masa yang akan datang.

4). Membantu siswa memahami perubahan dan bagaimana menghadapinya.

Lebih lanjut, Munandar (2000:223) mengemukakan bahwa ada beberapa keterampilan yang dapat digunakan pada teknik futuristik, yaitu:

1). Menulis senario

Menulis senario merupakan salah satu cara merangsang potensi dan kemampuan siswa berbakat dalam berpikir dan menganalisis melalui suatu pengantar senario.

2). Roda masa depan (future wheels)

Future wheels dikembangkan oleh Jerry Glenn, yaitu mengidentifikasi suatu kecenderungan yang ada dan/atau yang akan timbul dan menempatkan kecenderungan tersebut di pusat kemudian mengidentifikasi hubungan sebab akibat dari kecenderung-kecenderungan tersebut.

3). Trending (prediksi)

Trending merupakan upaya melihat kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi; sebagai kelanjutan atau pengembangan dari teknik roda masa depan (future wheels). Trending menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut:

a). Bilamana kecenderungan itu mulai nampak?

b). Terhadap siapa kecenderungan ini mempunyai dampak positif?

c). Terhadap siapa kecenderungan ini mempunyai dampak negatif?

d). Apakah kecenderungan ini berinteraksi dengan kecenderungan lainnya? Jika ya, kecenderungan mana?

e). Jika kita ingin meningkatkan kecenderungan tersebut, bagaimana melakukannya?

f). Jika kita ingin memperlambat atau menghentikan kecenderungan tersebut, bagaimana melakukannya?

  1. Teknik kreatif tingkat ketiga

a. Pemecahan masalah secara kreatif

Pemecahan masalah secara kreatif (Creative Problem Solving Processes) dikembangkan oleh Parnes, Presiden dari Creative Problem Solving Foundation (CPS). Proses ini mencakup lima tahapan, yaitu menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan menemukan penerimaan (Munandar, 1995:225).

1). Tahap menemukan fakta

Tahap menemukan fakta merupakan tahap mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan.

2). Tahap menemukan masalah

Tahapan ini merupakan tahap dimana individu merumuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan simplistik tertentu, misalnya “Dengan cara apa saya harus mengatasinya?”. Dengan demikian, individu dapat mengembangkan masalahnya dengan mengidentifikasi sub-sub masalah, sehingga masalah dapat dirumuskan kembali.

3). Tahap menemukan gagasan

Tahap dimana individu berupaya mengembangkan gagasan pemecah masalah sebanyak mungkin.

4). Tahap menemukan solusi

Gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasar kriteria evaluasi yang berpautan dengan masalah yang dihadapi. Masing-masing gagasan dinilai berdasar kriteria yang telah ditentunkan.

5). Tahap menemukan penerimaan

Menyusun rencana tindakan agar pihak yang mengambil keputusan dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya (Munandar, 1995:225). Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, seseorang perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi, karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, dalam Lasmahadi, 2005)

b. Proses lima tahap (Shallcross)

Shallcross (Munandar, 1995:228) membedakan antara primary creativity dan secondary process of creativity. Kreatifitas primer adalah proses pemecahan masalah secara alamiah oleh pikiran individu karena individu tersebut tidak menyadari terjadinya suatu proses dalam dirinya, sedangkan pada kreatifitas sekunder ada peningkatan kesadaran dalam pemecahan masalah yang berlangsung dengan tahapan-tahapan tertentu secara gradual.

Tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Shallcross meliputi (Munandar, 1995:228):

1). Tahap orientasi

Pada tahap orientasi, masalah dirumuskan ke dalam proposisi tertentu yang lebih komprehensif. Masalah dijabarkan dengan menulis suatu paragraf yang melukiskan bagaimana pikiran dan perasaan seseorang mengenai permasalahan tersebut.

2). Tahap persiapan

Pada tahap ini, individu menghimpun semua fakta yang sudah diketahui mengenai masalahnya dan menanyakan semua fakta yang belum diketahui. Fakta yang dihimpun berupa semua informasi faktual yang sudah diperoleh dan masih perlu untuk diperoleh. Fakta tersebut dihimpun berdasar pertanyaan yang runut mengenai masalah yang sedang dihadapi.

3). Tahap penggagasan

Pada tahap ini, individu menerapkan konsep berpikir divergen untuk menghasilkan gagasan-gagasan sementara dalam rangka pemecahan masalah.

4). Tahap penilaian

Pada tahap ini digunakan konsep berpikir konvergen, yaitu memverifikasi dan menyeleksi gagasan-gagasan terbaik untuk diaplikasikan. Dalam tahap ini, setiap gagasan harus dipertimbangkan secara objektif mengenai kelebihan dan kekurangan serta kelayakannya masing-masing.

5). Tahap pelaksanaan

Solusi yang telah ditetapkan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Pelaksanaan disini dapat lebih fleksibel, tergantung pada resistensi dan akseptabilitasnya terhadap masalah yang dihadapi.


bibliografi

Admin. 2007. “Berpikir dan Pemecahan Masalah” (Online). (http://www. elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_7.pdf., diakses 22 Pebruari 2009).

Davidoff, L. 1988. Psikologi: Suatu Pengantar. Jilid I. Alih Bahasa oleh Mari Juniati. Jakarta: Erlangga.

Kangguru. 2007. “Penyelesaian Masalah Ala G. Polya” (Online). (http:// www. kangguru.wordpress.com/2007/02/01/teknik-pemecahan-masalah-ala-g-polya/, diakses 22 Pebruari 2009).

Lasmahadi, A. 2005. “Pemecahan Masalah Secara Analitis dan Kreatif (Bag 1)” (Online). (http://www.e-psikologi.com/epsi/industri_detail.asp?id=138, diakses 22 Pebruari 2009).

Munandar, U. 1995. Dasar-dasar Pengembangan Kreatifitas Anak berbakat. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Rosalina, D. 2008. “Efektivitas permainan konstruktif terhadap Peningkatan kreatifitas anak Usia prasekolah (skripsi)” (Online). (http://www. etd.eprints.ums.ac. id/852/1/F100020186.pdf., diakses 22 Pebruari 2009 )

Santrock, J. W. 2005. Psychology. Updated Seventh Edition. New York: McGraw Hill.

Sulistiyati, E. 2007. “Bagaimana Memunculkan Gagasan Kreatif?” (Online). (http://www.abroor.bravehost.com/tips.html, diakses 22 Pebruari 2009)

25

Woolfolk, A. E., & Nicolich, L. M. 2004. Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan Anak-anak (Psikologi Pembelajaran I). Alih bahasa oleh M. Khairul Anam. Jakarta: Inisiasi Press.

Tidak ada komentar: