1.19.2010

FILSAFAT ILMU ISLAMI: Wacana Integrasi Nilai-Nilai Ke-Islam-an dalam Paradigma Filsafat Ilmu

M. NATSIR ASNAWI
MAGISTER HUKUM PASCASARJAN UMI

A. Pendahuluan
Mungkin kita sepakat jika postulat “filsafat adalah induk dari segala ilmu” dijadikan sebagai acuan dalam melakukan fungsi evaluatif terhadap ilmu. Fungsi evaluatif dimaksud adalah fungsi menelaah dan mengkritisi kebenaran suatu ilmu dan sinergitasnya dengan nilai-nilai yang ada. Filsafat, sejatinya dipandang sebagai patron bagi pengembangan keilmuan, baik teoretis maupun praksis, karena filsafat menyajikan sejumlah tatanan dan nilai-nilai (humanistik) yang akan membimbing ilmu selaras dengan kehidupan manusia.
Pewacanaan filsafat sebagai dialektika akademis menjadi sebuah keniscayaan, terutama pada agenda pencarian sebuah hakikat kebenaran – meski, sejatinya kebenaran hakiki tidak akan terjangkau oleh nalar manusia. Filsafat kemudian dipandang sebagai “hulu” bagi gerak alir sebuah penelurusuran fakta menuju “hilir” kebenaran. Diakui atau tidak, filsafat, terlepas dari kontoversinya, merupakan preferensi utama dalam upaya luhur untuk mencipta suatu sintesa tentang kebenaran ontologis, sebagai dikehendaki setiap gerak dinamis akal.
Filsafat tidak hanya berkutat pada dimensi esoteristiknya, namun, lebih dari itu, filsafat juga coba mengawal dinamika “ilmu” melalui serangkaian tesis-tesis dan koridor untuk membimbing ilmu mencapai kebenaran tertingginya. Inilah yang kemudian dalam keilmuan dikenal tiga jargon yang saling berkaitan, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi, berbicara pada wilayah hakikat suatu ilmu; apa dasar (substansi) ilmu tersebut serta mengapa ilmu tersebut harus dikembangkan. Epistemologi berbicara pada wilayah metode untuk mencapai kebenaran; metode ilmiah, sumber-sumber ilmu, dan sistematisasi pengetahuan. Sementara itu, aksiologi berbicara pada tujuan teoretis maupun praksis suatu ilmu; suatu pembicaraan yang mempersoalkan apa guna dan tujuan suatu ilmu, bahwa suatu ilmu dikatakan benar jika dapat member manfaat bagi peningkatan kualitas kehidupan manusia. Kajian aksiologis ini, oleh penulis dianggap sejalan dengan paham kebenaran pragmatis; bahwa sesuatu dikatakan benar jika dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
Karenanya, tidak mengherankan jika pembahasan mengenai filsafat merupakan kajian tak terpisahkan dalam diskursus keilmuan. Kecenderungan saat ini memperlihatkan bahwa ilmu bergerak semakin jauh dari induknya; semakin menspesifikkan diri pada kebenaran esoteristiknya dan berusaha membentuk karakternya yang bebas nilai. Oleh sebagian filosof, indikasi ini diistilahkan sebagai kompartementalisasi ilmu; suatu gejala diferensiasi massif ilmu-ilmu praksis maupun teoretis yang telah jauh meninggalkan akar akademisnya, yaitu filsafat.
Wacana pengarusutamaan filsafat ilmu sebagai patron dalam pengembangan keilmuan berhembus seiring dengan fenomena seperti disebutkan sebelumnya. Terkikisnya fundamentasi filosofis tidak hanya menyebabkan ilmu menjauh dari akarnya, melainkan lebih dari itu, fenomena tersebut secara perlahan mulai menarik diri dari pengabdian pada nilai-nilai humanistik, dan juga yang terpenting nilai-nilai Ilahiah. Sebagai contoh, pengembangan ilmu-ilmu praktis seperti teknologi nuklir, senjata biologis, otomotif, dan sebagainya mulai “melupakan” kodratnya; bahwa ilmu yang dikembangkan sejatinya mengabdi pada peruntukan yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup umat manusia (life sustainability).
Lebih lanjut, pada pengkajian ini, wacana filsafat ilmu Islami hadir dengan satu misi; menjawab tantangan di atas. Sebuah Tanya melandasi pemikiran ini, sanggupkah filsafat ilmu yang cenderung “sekuler” menjawab tantangan itu?. Atas dasar pemikiran bahwa Islam sebagai risalah universal, substansi ajarannya dipandang mampu dan cukup (sufficient) untuk menjawab dan memberikan sebuah sintesis baru dalam mengawal pengembangan keilmuan.
Pokok permasalahan saat ini adalah, apakah landasan ontologis dan metodologis filsafat ilmu Islami sudah cukup kuat? Bagaimana dengan konsep primordial yang telah dibangun oleh filsafat ilmu yang telah mengakar pada sebagian besar konstruk paradigma ilmu-ilmu modern? Adalah tantangan terberat bagi pewacanaan filsafat ilmu Islami pada ranah ini, sekaligus sebagai pembuktian awal bahwa, sejatinya Islam memang risalah yang universal dan karenanya tidak ada satu bagian pun dalam kehidupan manusia yang tidak dapat disentuh oleh kreasi ajaran Islam. Risalah Islam, sebagai hipotesis awal, dapat menjawab tantangan filosofis untuk menyajikan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang komprehensif, melampaui ajaran filsafat ilmu murni (beyond the pure of science phylosophy) yang cenderung artifisial.
B. Tinjauan Umum Filsafat
Filsafat, sebagai diurai sebelumnya, merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami mengingat filsafat menyajikan landasan-landasan formil dan materil bagi ilmu-ilmu yang ada, baik teoretis maupun praksis. Sejatinya, filsafat membimbing dan menggerakkan penciptaan dan pengembangan ilmu pengetahuan baru dalam rangka pencapai visi kemanusiaan, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Pertanyaan kemudian muncul, apa sebenarnya filsafat itu? Mungkinkah kata “filsafat” itu didefinisikan? Sementara hingga saat ini belum ada satu definisi baku dan diterima semua kalangan mengenai apa sebenarnya filsafat itu?.
Mempercakapkan filsafat, sejatinya diawali dengan penguatan landasan yang definitif. Meski diakui, definisi filsafat sangat beragam dan belum ada satu definisi yang diterima semua pihak, sebuah upaya mensintesis definisi baru diharapkan menjadi faktor penguat menuju satu definisi tunggal yang komprehensif, akseptabel, dan universal.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab falsafat, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia, yang merupakan padanan dari dua kata, yaitu philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara etimologis, kata filsafat berarti “cinta kebijaksanaan”. Definisi kata filsafat dapat dikatakan merupakan sebuah masalah filsafat pula. Tetapi, paling tidak dapat dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk masalah itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa (www.id.wikipedia.org/filsafat).
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai dikutip Huda Lakoni (2007) adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang hakiki. Kemudian, Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu tentang metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Lakoni, 2007). Sementara itu, Aristoteles, sebagai dikutip oleh Soejono Koesoemo Sisworo (Otje Salman, 2009) mengemukakan bahwa filsafat merupakan ilmu atau ajaran tentang kebenaran yang meliputi metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika yang ruang lingkupnya paling tidak mencakup empat hal, yaitu:

1. Apa yang dapat kita ketahui?;
2. Apa yang harus kita perbuat?;
3. Apa yang dapat kita harapkan?; dan
4. Apakah manusia itu?.
Lebih lanjut, Otje Salman (2009) mengajukan lima pandangan mengenai definisi filsafat itu sendiri. Pertama, filsafat adalah sekumpulan sikap dan keyakinan terhadap kehidupan alam yang biasanya diterima secara a priori (tidak kritis). Kedua, filsafat adalah proses kritis (dialektika, kontemplasi) terhadap keyakinan dan sikap yang diperpegangi. Ketiga, filsafat adalah usaha untuk memperoleh deskripsi yang komprehensif mengenai sesuatu yang dikaji atau dianalisis (pencarian pada sebuah sintesa umum). Keempat, filsafat sebagai analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti suatu atau beberapa kata dan konsep atau teori tertentu. Kelima, filsafat adalah sekumpulan masalah-masalah yang mendapat perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh para filsuf (ahli filsafat).
Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini (www.id.wikipedia.org/filsafat). Filsafat, sejak kelahirannya dapat diasumsikan sebagai pemberontakan atas kemapanan paradigma primordial yang selalu menyandarkan ukuran kebenaran pada otoritas wahyu atau logika agama tanpa pemberian ruang yang cukup kepada “akal” untuk mensintesis sebuah kebenaran; sebagai preferensi lanjutan (advanced preference) atas timbangan kebenaran yang selama ini diperpegangi. Karenanya, kritis, evaluatif, dan radikal merupakan karakteristik khas dan inheren dari cara berpikir filsafati yang larut dalam pergulatan makna menuju hakikat kebenaran; meski sejatinya, kebenaran hakiki hanya dimiliki oleh penguasa kebenaran itu sendiri, yaitu Tuhan.
C. Filsafat Ilmu: Refleksi Kontemplatif
Filsafat ilmu, menurut hemat penulis merupakan acuan dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Acuan tersebut mengacu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis suatu ilmu, sehingga ilmu tersebut sejalan dengan kehendak kemanusiaan dan berjalan seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan. Ilmu dikatakan benar jika mampu mencakup ketiga aspek dasar tersebut diatas, karena pada asasnya, ilmu bukanlah entitas yang bebas nilai, melainkan sarat nilai, terutama nilai-nilai ilmiah dan humanisme.
Seperti dikutip dari asianbrain.com (www.anneahira.com), disebutkan:
“Filsafat ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Sebab, filsafat ilmu akan menyelidiki, menggali, dan menelusuri sedalam, sejauh, dan seluas mungkin semua tentang hakikat ilmu. Dalam hal ini, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan akar dari semua ilmu dan pengetahuan.”

Dapat dipahami bahwa, hakikat suatu ilmu hanya akan tersingkap jika individu coba memahaminya ala pemikiran filsafati, dalam hal ini pemikiran filsafat ilmu. Filsafat ilmu, pada hakikatnya melakukan semacam verifikasi massif terhadap segenap sendi dasar suatu ilmu hingga jauh merangsek ke permasalahan nilai. Nilai, sebagai disebutkan terakhir, merupakan salah dimensi ilmu terpenting, karena aspek nilai berkaitan langsung dengan kehidupan manusia. Bila ilmu cenderung nir-nilai, maka tidak mengherankan jika ilmu tersebut telah melepaskan dirinya dari hakikat ontologisnya, yaitu manusia. Mengapa manusia? Karena ilmu sejatinya dibuat, dikembangkan, dan didayagunakan untuk sebesar-besar kepentingan manusia.
Mengenai definisi dari filsafat ilmu, penulis mengutip beberapa pendapat dari www.anneahira.com, sebagai berikut:
1. Filsafat ilmu merupakan suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah.
2. Filsafat ilmu adalah pembandingan atau pengembangan pendapat-pendapat masa lampau terhadap pendapat-pendapat masa sekarang yang didukung dengan bukti-bukti ilmiah.
3. Filsafat ilmu merupakan paparan dugaan dan kecenderungan yang tidak terlepas dari pemikiran para ilmuwan yang menelitinya.
4. Filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai suatu disiplin, konsep, dan teori tentang ilmu yang sudah dianalisis serta diklasifikasikan.
Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang berusaha mengungkap hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi, dan implikasi dari ilmu, termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Pada konteks ini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri (www.id.wikipedia.org/filsafat_ilmu).
Substansi filsafat ilmu mencakup mencakup beberapa dimensi, yaitu (www.anneahira.com):
1. Kebenaran
Filsafat ilmu menetapkan standar-standar kebenaran bagi suatu ilmu. Standar kebenaran dimaksud menjadi tolok ukur apakah variabel-variabel ilmu sudah dapat dikatakan “benar” atau belum dan aspek-aspek apakah yang perlu diperbaiki untuk mencapai tingkatan itu. Sejauh pemahaman penulis, ada beberapa paradigma mengenai ukuran atau standar kebenaran, yaitu empirisme (dapat diindera), positivisme (prinsip pembuktian secara positif), rasionalisme (logis, berdasar pada kebenaran akal), dan pragmatisme (prinsip kemanfaatan).
2. Fakta
Fakta merupakan salah satu dimensi penting dalam elaborasi filsafat ilmu. Fakta berperan sebagai entitas atau faktor pembenar (justifikasi) atas postulat-postulat atau konsep (teori) yang dikembangkan suatu disiplin ilmu. Kesesuaian antara fakta dengan konsep teoretik merupakan aksentuasi dalam menelusuri hakikat suatu ilmu.
3. Logika
Alat atau sarana utama dalam mencapai kebenaran menurut filsafat ilmu adalah logika. Logika, pada asasnya berusaha membimbing akal untuk dapat menganalisis dan menyimpulkan fakta-fakta atau pernyataan-pernyataan menuju pada kesimpulan akhir yang benar.
4. Konfirmasi
Filsafat ilmu selalu menekankan pada fungsi konfirmasi atas klaim-klaim kebenaran suatu ilmu. Konfirmasi ini perlu, karena sejatinya ilmu selalu mengalami perkembangan, sehingga perlu dilakukan konfirmasi atau verifikasi data-data agar klaim-klaim kebenaran senatiasa sejalan dengan perkembangan ilmu itu sendiri.
D. Filsafat Ilmu Islam: Sebuah Konstruksi Wacana dan Paradigma
Salah satu pertanyaan mendasar, sebagai landasan awal dalam dialektika filsafat ilmu Islami, adalah apakah landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis filsafat ilmu umum sama atau perlu disamakan dengan filsafat ilmu Islami? Perlukah dibuat suatu sintesa baru mengenai landasan-landasan keilmuan tersebut? Serta, sampai sejauhmanakah jangkauan filsafat ilmu Islami terhadap ilmu-ilmu, baik sains umum maupun sains Islami?.
Pertanyaan tersebut menjadi begitu penting karena, sejauh keyakinan saat ini, landasan dan susbtansi filsafat ilmu dianggap sudah komprehensif, ajeg (konsisten), verifikatif, dan valid. Sementara itu, filsafat ilmu Islami, yang oleh sebagian kalangan dianggap masih pada wilayah “pewacanaan” belum memiliki konsep sebaku dan selengkap filsafat ilmu umum. Untuk menjawab hal tersebut, penulis coba mengutip salah satu tulisan mengenai landasan pengembangan filsafat ilmu Islami.
Pada tahun 1985, Mash Ahmed mengadakan penelitian tentang Islam dan ilmuwan muslim. Studi ini meneliti tentang sikap ilmuwan-ilmuwan muda dan senior muslim terhadap sains modern, dan bagaimana tanggapan mereka tentang isu sains Islam (Anonim, 2009). Menurut Ziauddin Saddar (Anonim, 2009) dalam menghadapi sains modern, atau sikapnya terhadap sains Islam, ilmuwan muslim tebagi menjadi tiga kelompok.
1. Pertama, kelompok muslim yang apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari-cari ayat al-Quran yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut.
2. Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan
3. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya
Berbicara tentang sains Islam dan bagaimana proses membangunnya, kiranya tidak akan lepas dari adanya upaya Islamisasi ilmu. Walaupun dalam hal ini terdapat kontroversial antara yang setuju dan yang tidak. Diantara para ilmuwan ada yang setuju untuk menyesuaikan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dengan ajaran Islam dan ada pula yang tidak menyetujui gagasan islamisasi ilmu, karena menurut mereka yang harus diislamkan adalah manusianya, bukan ilmunya. Keengganan ini tampaknya disebabkan sensitivitas terminologi tersebut dari segi objektivitas ilmiah. Sedangkan kelompok yang setuju disebabkan oleh sensitivitasnya dari segi rasa keagamaan, sehingga harus diikuti kalau memang hendak bereksistensi sebagai seorang muslim (Bustanuddin, 1999).
Islamisasi ilmu merupakan suatu keharusan. Disamping Islam mempunyai pengarahan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, dan masuknya ajaran Islam dalam aktivitas ilmiah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah, Islamisasi ilmupun diharapkan dapat mengimbangi kemajuan Barat sekaligus sebagai pemberantas berbagai akibat sampingan dari perkembangan ilmu dan teknologi modern yang telah dirasakan membahayakan kehidupan. Disamping itu, Kemajuan Islam di zaman klasik atau abad pertengahan Masehi dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban telah dipahami sebagai hasil usaha merealisasikan ajaran islam itu sendiri, maka untuk keluar dari keterbelakangan dewasa ini adalah dengan semangat kembali kepada Islam (Anonim, 2009).
Para pemikir dan cendekiawan muslim di penghujung abad 20 ini juga berpendapat demikian. Misalnya, Muhammad Naquib al-Attas dalam The concept of Education in Islam serta Islam dan sekularisme. Ismail Raji al-Faruqi mengkritik ilmu pengetahuan barat yang berkembang dewasa ini sebagai telah terlepas dari nilai dan harkat Manusia, dari nilai-nilai spiritual dan hubungan dengan Tuhan. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf mengkritik ilmu barat sebagai yang tidak ditata untuk mewujudkan kesejahteraan dan menjunjung tinggi kemuliaan manusia. Syed Hossein Nasr mengkritik ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat yang berkembang dewasa ini sebagai yang tidak mempunyai metode untuk lebih mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dalam kehidupan manusia karena harus didasarkan pada kenyataan empiris. Maka mereka berpendapat bahwa dalam rangka membawa kesejahteraan bagi umat manusia, pengembangan ilmu pengetahuan perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Ismail Raji al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan (Anonim, 2009).
Juhaya S. Praja (2000) mengemukakan bahwa dalam rangka pencanangan gerakan islamisasi ilmu, perlu dilakukan tahapan-tahapan berikut:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern dengan menguraikannya kedalam ketegori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi, problem dan tema yang dominan di Barat.
2. Survey disiplin ilmu yang dibuat dalam bentuk essay untuk mengetahui garis besar asal-usul dan sejarah perkembangan dan metodologinya. Perluasan visi bidang kajiannya, dan konstribusi utamanya yang menyebabkan banyak penggemarnya.
3. Menguasai warisan Islam sebagai titik tolak Islamisasi pengetahuan.
4. Penyajian disiplin ilmu Islam yang relevan dan khas Islam.
5. Penilaian kritis atas disiplin ilmu
6. Penilaian kritis atas warisan ilmu
7. Melakukan survey atas masalah pokok umat Islam
8. Melakukan analisis kreatif dan sintesa yang hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai disiplin ilmu dan warisan Islam sekaligus serta melakukan analisis kritis terhadap keduanya
9. Melaksanakan berbagai konfrensi, seminar, workshop dan sebagainya sebagai faculty training.
Berangkat dari beberapa asumsi di atas, penulis berpendapat bahwa konsep Filsafat Ilmu Islami masih harus terus dimatangkan dengan penelitian dan diskursus-diskursus untuk mengelaborasi substnsi dan nilai paradigmatik yang akan dianut nantinya. Hal ini penting sebagai upaya mempertegas identitas filsafat ilmu Islam itu sendiri, selain juga sebagai pematangan secara metodis dan ilmiah. Karena, sejatinya, masalah terbesar dalam pewacanaan filsafat ilmu Islami adalah kendala metode dan standardsasi ilmiah sebagai telah dimiliki oleh filsafat ilmu umum.
Wacana pengintegrasian nilai-nilai ke-Islam-an dalam paradigma filsafat ilmu – meski masih dapat diperdebatkan apakah nilai-nilai Islam yang menyesuaikan dengan nilai-nilai dalam filsafat ilmu atau sebaliknya – merupakan tonggak awal dalam mengaktualkan konsep filsafat ilmu Islami. Oleh sebagian pihak yang memandang risalah Islam sebagai universal adanya, maka bukanlah hal yang mustahil untuk mematangkan konsep filsafat ilmu Islami. Pun demikian, perlu dipahami bahwa universalitas risalah Islam terejawantahkan dengan kalam-kalam Ilahi yang universal pula, sehingga untuk mengaktualkannya dalam suatu konsep teoretik maupun praksis, perlu adanya kontekstualiasi ayat maupun hadis nabi.
Sejatinya, bukan perkara mudah untuk menempatkan filsafat ilmu Islami sejajar dengan filsafat ilmu umum. Begitu mapannya konsep filsafat ilmu umum menyebabkan sulitnya untuk membuat sintesa filosofis baru mengenai hakikat ilmu. Hal ini pulalah yang membuat penulis berpikir, bahwa ke depan, pengembangan konsep dasar fisafat ilmu Islami tidak akan lepas dari intervensi filsafat ilmu umum. Karenanya, adalah kemudian bijak jika kita coba menempatkan keduanya secara linier, saling melengkapi, unipolar, dan tidak ada dikotomi paradigmatik.
Melalui makalah ini, penulis coba mengajukan satu sintesa, yang mudah – mudahan tidak esoterik – berkenaan dengan konsep dasar ilmu yang mencakup ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pertama, dalam filsafat ilmu, landasan ontologis ilmu terputus pada aspek metaempiris (metafisika). Karenanya, penulis mengajukan aspek transendensi (ke-Tuhanan, spiritualitas, mistisme) sebagai aspek yang integratif dalam landasan ontologis ilmu pengetahuan. Penulis mencontohkan, di bidang psikologi sekalipun – yang sebagian memandang sebagai sekuler – saat ini telah merintis jalan bagi psikologi transpersonal; suatu bidang baru dalam psikologi yang coba melihat, menganalisis, dan memahami realitas-realitas di luar ke-diri-an manusia yang mempengaruhi segenap dinamika psikologis yang terjadi pada manusia. Sebagai disebut sebelumnya, pengalaman-pengalaman spiritualitas, dunia ke-Tuhan-an, dan mistisme dianggap realitas meta rasio yang tidak dapat diaktualisasikan dalam bahasa logis-empiris. Padahal, seorang filsuf, Witgenstein, berdasar dialektika kontemplatifnya, mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman mistik dan spiritual, bahkan dunia ke-Tuhan-an sekalipun dapat diungkapkan dengan bahasa-bahasa logis. Bahasa logis dimaksud, mungkin tidak persis sama dengan bahasa logis-rasional, diungkap secara simbolis – representasional – rasional.
Kedua, orientasi amar ma’ruf nahiy munkar dan dimensi eskatologis (ukhrawi) menjadi salah satu standar kebenaran suatu ilmu. Sebagai diketahui, dalam filsafat ilmu umum, ukuran atau standar kebenaran yang dipakai kurang, atau bahkan tidak menyentuh sama sekali kedua aspek yang sebutkan sebelumnya. Mengapa ini perlu? Sebab, dengan menjadikan keduanya sebagai standar atau ukuran kebenaran, maka penulis yakin tidak ada lagi ilmu yang destruktif atau yang merugikan kepentingan dan kelangsungan hidup manusia. Pasalnya, orientasi kebenarannya sudah jauh melampaui standar kebenaran filsafat ilmu (beyond the science philosophy’s claim of truth) yang – hemat penulis – sangat artifisial dan tidak menyentuh dimensi terdalam dari nilai-nilai humanistik. Ketika standar kebenaran ilmu didasarkan pada komitmen untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi umat manusia dan keyakinan akan ganjaran di hari akhir nanti, maka ilmuwan-ilmuwan akan dengan sangat hati-hati menetapkan postulat sebagai ikhtisar kebenaran ilmunya. Karena standar itu pulalah, aplikasi ilmunya tidak akan berbenturan dengan kepentingan kemanusiaan, malah akan mendukung terwujudnya kualitas kehidupan manusia yang sejahtera dan berkeadilan.
Ketiga, dari sisi epistemologis, pengungkapan kebenaran-kebenaran materil pada dasarnya tidak ada masalah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana mengukur kebenaran pengalaman-pengalaman mistik? Sementara bahasa ungkapan empiris cenderung tidak mampu mengungkap realitas mistik individu. Pada konteks ini, penulis mengajukan logika bahasa – sebagai digagas oleh Witgenstein – untuk mengungkap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistik seseorang. Logika bahasa ini lebih cenderung pada pengungkapan yang bersifat representatif–simbolis, sehingga pengalaman-pengalaman tersebut dapat dipahami tanpa mempertentangkan apakah akal dapat menerimanya atau tidak, karena, sejatinya, logika bahasa telah membuka jalan bagi akal untuk menerima kebenaran-kebenaran mistik sebagai dia menerima kebenaran-kebenaran materil yang positivistik-empiris. Inilah sesungguhnya yang menjadi kekuatan dasar untuk mengembangkan filsafat ilmu Islami, sekaligus sebagai pembuktian keunggulan risalah Islam.
E. Bibliografi
Admin. 2005. “Filsafat” (Online). (http://www.id.wikipedia.org/filsafat, diakses 5 Januari 2010).

Admin. 2005. “Filsafat Ilmu” (Online). (http://www.id.wikipedia.org/filsafat_ ilmu, diakses 5 Januari 2010).

Anonim. 2009. Filsafat Ilmu Islam (Online). (http://www.kampusciamis.com/, diakses 6 Januari 2010).

AsianBrain Content Team. Tanpa tahun. “Filsafat Ilmu” (Online). (http://www.anneahira.com/, diakses 5 Januari 2010).

Lakoni, H. 2007. Filsafat Hukum dan Perannya dalam Pembentukan Hukum di Indonesia.Makalah. Tidak diterbitkan. Surabaya: Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945.

Praja, J.S. Filsafat Ilmu Menelusuri Struktur Filsafat Ilmu dan Ilmu-ilmu Islam. Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN SGD.

Salman, H.R.O. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. Bandung: Refika Aditama.

Tidak ada komentar: