1.22.2010

MEMBEDAH PARADIGMA PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF

M. NATSIR ASNAWI, SHI
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana UMI

I. Pendahuluan
Gaung penegakan hukum telah ada sejak manusia mulai mengadakan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sejatinya, hukum lahir ketika individu mulai mengadakan interaksi dengan individu lain, misalnya mengadakan perikatan atau perjanjian atas suatu objek atau perbuatan yang melahirkan prestasi bagi kedua belah pihak.
Menilik sejarah dan perjalanan hukum kita di Indonesia, paling tidak dapat dikemukakan beberapa faktor yang menggerakkan semangat penegakan hukum. Pertama, substansi hukum di Indonesia (undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang) cenderung pasif dan tidak futuristik, dalam arti bahwa substansi-substansi hukum tersebut tertinggal dari dinamika masyarakat yang melahirkan banyak persoalan baru yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Hal tersebut merupakan suatu cerminan bahwa hukum positif di Indonesia masih “klasik” dan tidak visioner. Terlebih dalam pasal 1 ayat (2) RUU KUHP yang sampai saat ini belum rampung pembahasannya, secara tegas disebutkan bahwa dalam penetapan adanya tindak pidana tidak boleh diterapkan analogi. Artinya, bahwa jika suatu saat terjadi satu perbuatan yang diindikasikan sebagai perbuatan pidana di masyarakat tetapi tidak diatur dalam undang-undang dan/atau peraturan perundang-undangan di bawahnya, maka seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan atas perbuatan tersebut. Ini pulalah yang kemudian menyebabkan terjadinya kekosongan hukum yang akan menyulitkan aparat (hakim) untuk melakukan penemuan hukum. Implikasi lebih jauh adalah akan semakin banyak orang yang diduga “melakukan tindak pidana” tetapi tetap menghirup kebebasan dengan dalih bahwa tidak ada hukum yang mengatur tentang hal tersebut.
Kedua, penegakan hukum di Indonesia cenderung permisif dan pasif (lemah) terhadap terdakwa yang notabene punya “nama” dan struktur kekuasaan yang cukup kuat, baik di masyarakat maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang mengarah pada kondisi tersebut adalah kurang aktifnya jaksa dalam mencari dan mengajukan alat buki untuk menjerat terdakwa di persidangan. Sebut saja dalam penanganan kasus-kasus korupsi (selain yang ditangani di Pengadilan Tipikor) yang melibatkan pejabat yang memiliki pengaruh cukup kuat cenderung mendapat hukuman yang sangat ringan dengan kualifikasi kesalahan yang cukup berat. Bahkan, data TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesia Corruption Watch) menyebutkan angka tidak kurang dari 50% terdakwa kasus korupsi yang ditangani di Pengadilan Negeri divonis bebas. Berdasar analisis Prof. Surya Jaya (hakim ad hoc Pengadilan Tipikor), banyaknya terdakwa yang divonis bebas di PN disebabkan karena bukti yang diajukan oleh jaksa tidak cukup kuat sehingga mudah dimentahkan oleh terdakwa. Lebih lanjut, dikatakan bahwa berbeda dengan bukti jaksa, bukti yang diajukan KPK lebih kuat dan minimal melampirkan dua alat bukti, sehingga sangat kecil kemungkinan bagi terdakwa untuk lolos dari jeratan hukum (Tribun Timur, edisi 23 Agustus 2009). Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum tehadap kalangan elite masih jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat maupun keadilan hukum nasional.
Pada beberapa kasus, sangat jelas terpampang fenomena penegakan hukum yang “keliru” dan cenderung tidak humanis. Ambil contoh penahanan 10 orang anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro Bandara Tangerang, karena kasus “bermain” yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan kini kasusnya pergulir di pengadilan. Kasus serupa terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Champions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2×3 meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,- (empat ribu rupiah) (Rohman, 2009).
Kejadian tersebut membuat para pakar hukum kaget dan mempertanyakan proses penahana yang dilakukan aparat kepolisian. Betapa tidak, anak-anak yang berumur belasan tahun ditahan karena dugaan berjudi yang sama sekali tidak berdasar. Permainan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut murni sekadar permainan belaka, dan bukan judi seperti disangkakan oleh aparat. LSM-LSM pun serempak mengumbar kritik atas tindakan polisi tersebut, sebab bagaimanapun, anak seperti mereka sharusnya tidak ditahan dan ”dipenjarakan”.
Berhembusnya isu penghapusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan tendensi pengalihan penanganan perkara korupsi ke Pengadilan Negeri membuat pakar hukum, terlebih masyarakat Indonesia heran dan bertanya-tanya. Betapa tidak, gaung pemberantasan korupsi yang sudah dikumandangkan sejak lahirnya Pengadilan Tipikor terancam padam karena landasan hukum Pengadilan Tipikor, yaitu RUU Pengadilan Tipikor belum rampung pembahasannya, padahal masa aktif anggota dewan sudah hampir habis. Terlebih dalam RUU Tipikor tersebut terdapat beberapa pasal yang sangat tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Misalnya, pasal tentang kewenangan KPK yang dibatasi hanya sampai pada tahap penyidikan, bukan lagi sampai penuntutan di persidangan. Sangat patut dipertanyakan keseriusan anggota DPR untuk mempertahankan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia, mengingat beberapa terpidana korupsi yang diadili di Pengadilan Tipikor merupakan anggota dewan yang terhormat yang sepatutnya menjadi patron bagi masyarakat, bukan menjadi patologi sosial yang eksistensinya sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Adanya indikasi pelemahan institusi Pengadilan Tipikor dan KPK merupakan masalah yang sangat serius dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya menyangkut perkara korupsi. Hal tersebut diperparah dengan mentalitas sebagian penegak hukum pada institusi lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan yang tidak kuat dan cenderung mudah diintervensi kekuatan pihak ketiga yang menyebabkan proses penanganan perkara belangsung tidak fair yang berimplikasi pada penjatuhan vonis pengadilan yang sangat jauh dari pemenuhan rasa keadilan dan kepastian hukum.
Wajah penegakan hukum yang saat ini diperpegangi oleh penegak hukum berakar pada paradigma legalistic positivism, yaitu pemahaman dan penafsiran hukum berdasar pada apa yang tertulis di undang-undang dan memberangus pemahaman konteks atas substansi undang-undang tersebut. Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa implikasi legalstic positivism adalah implementasi penegakan hukum yang hanya berkisar pada kegiatan “mengeja undang-undang” dan tidak pada konteks penafsiran kontekstual undang-undang. Senada dengan pendapat tersebut, Scholten (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa substansi hukum memang tercantum dalam undang-undang, akan tetapi hukum tetap harus ditemukan dalam prakteknya (kontekstualisasi hukum). Menemukan hukum dalam peraturan atau undang-undang adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara normatif.
Kondisi demikianlah yang sesungguhnya menjadi perhatian, tidak saja pakar-pakar hukum, tetapi juga masyarakat, mengenai apa sebenarnya yang tejadi dengan penegakan hukum kita di Indonesia. Mengapa semangat penegakan hukum tidak sejalan dengan implementasinya di lapangan? Adakah ini sebagai kesalahan konsep dan strategi penegakan hukum kita? Mungkinkah penegakan hukum progresif dimanivestasikan dalam tata dan struktur hukum Indonesia?
II. Konsep Dasar Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan abstraksi nilai, ide, dan cita menjadi tujuan hukum. Ufran mengemukakan bahwa tujuan hukum sebagai sasaran dari penegakan hukum mengandung nilai-nilai moral, seperti nilai kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai tersebut harus diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks dinamika hukum masyarakat (Rahardjo, 2009:vii).
Soerjono Soekanto (Rahardjo, 2009:vii) mengemukakan bahwa aksentuasi penegakan hukum adalah upaya penyerasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan pergaulan hidup masyarakat yang elegan dan tertib hukum. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penegakan hukum pada dasarnya merupakan upaya mewujudkan keselarasan antara das sollen (nilai-nilai dalam kaidah) dengan das sein (kenyataan dalam masyarakat).
Penegakan hukum sebagai representasi dari nilai-nilai abstrak dalam kaidah-kaidah baku melibatkan organisasi-organisasi atau kelompok masyarakat. Satjipto Rahardjo (2009:19) mengemukakan bahwa organisasi-organisasi yang berkaitan langsung dengan penegakan hukum adalah pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa masing-masing organisasi tersebut memiliki mekanisme tersendiri dalam menjalankan fungsinya, bahkan pada kondisi tertentu lembaga atau organisasi tersebut menjalani kehidupannya sendiri yang cenderung esoteristik dan berlawanan dengan mekanisme yang lazim. Pada taraf organisasi inilah, konsep dan ketentuan dalam penegakan hukum diinterpretasi dan dilaksanakan dalam bentuk kebijakan-kebijakan organisatoris yang dijalankan secara berkelanjutan.
Penegakan hukum sebagai jargon khusus dalam terminologi hukum memliki beberapa unsur. Chambliss & Seidman (Rahardjo, 2009:24) mengemukakan beberapa unsur yang terlibat dalam penegakan hukum. Unsur pertama adalah pembuatan undang-undang. Unsur ini dapat dipahami sebagai unsur yang paling awal dan menentukan berhasil tidaknya suatu penegakan hukum di masyarakat. Penegakan hukum merupakan suatu proses perwujudan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan di masyarakat, misalnya terwujudnya tertib hukum dan kesadaran hukum di masyarakat. Undang-undang yang baik adalah undang-undang yang merepresentasikan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat, sebab undang-undang merupakan regulasi yang akan dipatuhi masyarakat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat maupun penegak hukum. Jika substansi undang-undang tidak mencerminkan nilai-nilai hukum dan kesadaran hukum masyarakat maka dapat dipastikan bahwa penegakan hukum akan menemui banyak hambatan. Karakteristik undang-undang yang baik adalah mudah dilaksanakan dan tidak bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Unsur kedua adalah lingkungan. Unsur lingkungan dalam penegakan hukum mencakup lingkungan penegak hukum dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Lingkungan secara signifikan memegang peranan dalam penegakan hukum. sebagai contoh, seorang penegak hukum akan menjalankan fungsinya sesuai dengan latar belakang sosialnya. Begitupun dengan masyarakat, karakteristik sosial budaya akan menentukan tegaknya hukum yang berlaku. Misalnya, masyarakat yang menganut nilai patriarki, kaum laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dibanding dengan kaum perempuan, terutama dalam konteks keluarga. Implikasinya UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT kemungkinan besar sulit untuk ditegakkan, karena jika terjadi “pelanggaran”, sangat besar kemungkinan masalah tersebut diselesaikan secara adat atau pihak perempuan secara sukarela menerima hal tersebut sebagai “bukan pelanggaran” dan memunculkan kepasrahan dan diri.
Lawrence M. Friedman (Ali, 1996:213; Saifullah, 2007:26) mengemukakan bahwa penegakan hukum paling tidak berkaitan dengan tiga unsur dalam sistem hukum, yaitu:
1. Struktur hukum
Struktur hukum merupakan pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan berdasarkan ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur ini berkaitan dengan bagaimana institusi-institusi hukum seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian melaksanakan fungsinya.
2. Substansi hukum
Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang digunakan oleh, baik penegak hukum maupun masyarakat sebagai subjek hukum dalam penegakan hukum dan perbuatan hukum. Substansi hukum mencakup undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat sehingga kehidupan masyarakat diharapkan sesuai dengan nilai-nilai hukum pada terwujudnya masyarakat madani yang tertib dan sadar hukum.
3. Kultur hukum
Kultur hukum berkaitan dengan pilihan hukum masyarakat dalam mengambil tindakan atau perbuatan hukum. Kultur hukum lahir dari kesadaran hukum masyarakat, yaitu keyakinan masyarakat tentang hukum yang ada atau yang seharusnya ada. Karena itu, dimensi kultur hukum sangat berkaitan dengan sejarah sosial masyarakat serta substansi hukum yang mengiringi dinamika sosial kemasyarakatan.
Penegakan hukum sebagai upaya sadar dari penegak hukum seyogiyanya memperhatikan tiga tujuan utama hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Kepastian hukum dimaksudkan sebagai keadaan yang menunjukkan dimana hukum berjalan sesuai dengan fungsinya dan masyarakat memahami dengan baik fungsi hukum sebagai regulator dalam dinamika masyarakat. Keadilan merupakan kondisi dimana hukum dapat menempatkan hak dan kewajiban warga negara sesuai dengan proporsi dan peruntukannya. Hukum yang baik adalah hukum yang memberi akses bagi warganya untuk memperuangkan hak-hak dasarnya dan memperoleh kebahagiaan yang layak sesuai dengan kesempatan berusaha dan kemampuan yang dimilikinya.
Kemanfaatan sebagai tujuan hukum yang lain merupakan implikasi positif dari upaya penegakan hukum yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat, baik secara materil maupun non materil, misalnya terwjudnya ketertiban di masyarakat, perasaan aman dan tenteram, kebebasan dalan beraktivitas sehari-hari, serta terakomodirnya kepentingan-kepentingan dan aspirasi luhur masyarakat. Secara substantif, penegakan hukum bermuara pada terciptanya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tertib hukum, sadar hukum, serta berfungsinya semua organ dan struktur sosial yang saling mendukung dalam menciptakan dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat.
Penegakan hukum, sesuai dengan konsep dasarnya merupakan upaya sistemik yang melibatkan unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Paradigma hukum modern menganggap bahwa penegakan hukum bukan hanya monopoli penegak hukum semata, melainkan masyarakat diharapkan peran dan andil yang signifikan dalam mengawal proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Peran aktif masyarakat pada dasarnya dapat berupa peran persuasif dan peran kontrol. Peran persuasif dimaksudkan peran masyarakat dalam mengupayakan penyadaran hukum pada anggota masyarakat lain secara persuasif dengan menjelaskan esensi dan tujuan hukum dalam mencipta ketertiban dan kemashlahatan di masyarakat. Sedangkan peran kontrol merupakan peran yang dijalankan masyarakat dengan mengawasi dan melaporkan setiap bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang lain. Fungsi ini sedikit lebih tinggi dari fungsi persuasif, karena masyarakat sudah mulai masuk ke dalam sistem penegakan hukum yang normatif.
Sinergitas antara masyarakat dengan penegak hukum dalam menjalankan proses penegakan hukum menjadi harga mati. Pasalnya, bila hanya salah satu pihak yang proaktif, maka dapat dipastikan, sasaran penegakan hukum dalam mewujudkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai hukum akan menemui karang terjal.
Sisi lain dari penegakan hukum yang perlu mendapat perhatian adalah perubahan masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam sistem hukum masyarakat. Artinya, secara kodrati, mekanisme penegakan hukum akan senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pemenuhan rasa keadilan yang semakin kompleks. Inilah yang kemudian penulis istilahkan dengan “Dinamisasi Penegakan Hukum”.
Saifullah (2007:26) mengemukakan bahwa perubahan sosial di masyarakat menuntut adanya perubahan dalam sistem hukum. Salah satu alasan yang mendasari hal tersebut adalah tuntutan akan keajegan (reliabilitas, konsistensi) hukum dalam mencapai tujuan-tujuannya. Setali tiga uang dengan hal tersebut, maka dinamisasi mekanisme dan operasionalisasi penegakan hukum akan berubah seiring dengan berubahnya sistem hukum yang ada.
III. Penegakan Hukum Progresif
Diskursus penegakan hukum dewasa ini mengarah pada satu jargon hukum, yaitu penegakan hukum progresif. Paradigma ini lahir dari konsep hukum progresif, yang di Indonesia dipelopori oleh Satjipto Rahardjo, antara lain melalui pemikiran-pemikirannya mengenai substansi dan tujuan hukum progresif dalam menanamkan nilai-nilai hukum dan mencapai tujuan-tujuan hukum yang sebenarnya.
Penegakan hukum merupakan satu bentuk mainstream pemikiran hukum modern yang coba mendobrak kelaziman dan kekakuan sistem hukum modern yang sangat restriktif dan tidak mampu lagi mengawal perkembangan masyarakat. Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa penegakan progresif merupakan penegakan hukum yang tidak hanya membaca dan menafsir undang-undang secara normatif, melainkan menemukan hukum dalam undang-undang tersebut. Senada dengan argumentasi tersebut, Scholten (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya terbatas pada materi atau isi dari undang-undang, melainkan harus ditemukan nilai-nilainya dalam praksis hukum. Rohman (2009) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif merupakan penegakan hukum yang menghadirkan empati, determinasi, nurani, dan dedikasi terhadap kemanusiaan. Penegakan hukum demikian selaras dengan esensi hukum itu sendiri, yaitu mengabdi pada manusia atau rasa kemanusiaan.
Menemukan hukum dalam undang-undang sejatinya merupakan upaya untuk menggali dan mengaktualisasikan nilai dan makna metafisis yang tekandung dalam peraturan. Konsep penegakan hukum yang selama ini hanya “membaca” atau meminjam istilah Satjipto Rahardjo, hanya “mengeja”, menyebabkan para penegak hukum tidak mampu menembus tabir makna dari peraturan tersebut (Rohman, 2009). Implikasinya dapat ditebak, penegakan hukum tidak lebih dari proses normatif yang sangat prosedural dan jauh dari kesan pencapaian tujuan hukum.
Dworking (Rohman, 2009) mengemukakan bahwa dalam penegakan hukum progresif, penegak hukum dituntut untuk memiliki keterampilan “moral reading”, yaitu sebuah keterampilan pembacaan bermakna dengan dilandasi pemahaman filsafati, misalnya keadilan dan tujuan diadakannya hukum. Keterampilan sebagaimana dimaksud Dworking oleh penulis dianggap sebagai keterampilan dalam membaca kasus dan melihat lebih jauh implikasi dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi. Dengan demikian, maka nilai-nilai hukum akan terejawantahkan dalam penegakan hukum berkaitan dengan kasus, perbuatan, dan/atau peristiwa hukum tersebut.
Satjipto Rahardjo (Rohman, 2009) lebih jauh mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif sejatinya tidak hanya mendasarkan pandangannya pada normatifitas undang-undang (redaksi dan prosedur), melainkan harus pula menyandarkan pandangannya pada pencapaian rasa keadilan yang substantif sesuai dengan tujuan hukum primordial. Pada konteks demikian, lanjut Satjipto Rahardjo, pemecahan masalah dalam penegakan hukum harus melihat konteks permasalahannya, sehingga upaya demikian melahirkan empati, komitmen, dan dedikasi.
Seperti diutarakan sebelumnya, bahwa penegakan hukum progresif merupakan suatu bentuk pemberontakan terhadap sistem hukum modern yang positivistik. Wisnubroto (2008) mengemukakan bahwa sistem hukum modern yang berawal dari Eropa yang postivistik memiliki doktrin yang dikenal dengan istilah Rule of Law yang bercirikan:
1. Formal rules
Yang dimaksud dengan hukum menurut sistem hukum ini adalah hukum yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Dengan demikian, doktrin pertama ini mengabaikan living law sebagai hukum yang hidup di masyarakat dan memegang peranan penting dalam menciptakan kultur hukum masyarakat. Dogma ini sejatinya merupakan kekurangan terbesar dari sistem hukum positivistik, karena mengabaikan nilai-nilai dan perasaan hukum yang hidup di masyarakat.
2. Procedures
Hukum dilaksanakan menurut prosedur atau aturan main yang ketat dan kaku. Pada kenyataannya, dogma ini tidak sepenuhnya dapat dijalankan, terutama pada kasus-kasus hukum yang tergolong dalam extra-ordinary crime, seperti pelanggaran HAM, korupsi, dan kejahatan lingkungan. Hal tersebut lebih disebabkan karena kondisi anomali (tidak biasa) pada kasus tersebut tidak terakomodir dalam prosedur atau aturan main yang ada.
3. Methodologist
Implementasi atau penerapan hukum hanya dianggap benar jika dilakukan atas dasar penalaran logis. Padahal, dalam banyak kasus, kalau penegak hukum hanya menyandarkan pandangannya pada penalaran logis, maka upaya mencapai tujuan hukum yang sebenarnya tidak akan tercapai.
4. Bureaucracy
Sistem hukum positivistik hanya meligitimasi lembaga-lembaga formal sebagai otoritas yang berwenang dalam membuat, melaksanakan, dan mengawasi hukum. Sadar atau tidak, pandangan ini mengkerdilkan peran aktif masyarakat dalam mengawal penegakan hukum serta memberangus hukum dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Roberto M. Unger (Wisnubroto, 2008) mengemukakan bahwa pada awal kemunculan sistem hukum modern di Eropa, sistem tersebut cukup ampuh dalam menangani permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di masyarakat. Akan tetapi, dalam perkembangannya, terutama di luar negara-negara Eropa Kontinental, model hukum positif sebagai karakter sistem hukum modern berkurang keampuhannya dalam mengatasi perkembangan kasus-kasus yang dipicu oleh perubahan sosial akibat pesatnya kemajuan teknologi. Pada konteks inilah, dialektika para pakar hukum dengan realitas hukum yang ada memunculkan suatu gagasan untuk melakukan pembaharuan paradigma hukum, terutama dalam konteks penegakan hukum, sehingga tujuan awal penegakan hukum – mencapai cita dan nilai-nilai hukum di masyarakat, menciptakan tertib hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum –dapat tercapai dengan baik.
Satjtipto Rahardjo (2009:xi) mengemukakan bahwa penegakan hukum progresif sebagai sebuah proses yang sistemik dan berkesinambungan memiliki beberapa dimensi yang saling terkait satu dengan lainnya. Dimensi-dimensi dalam penegakan hukum progresif adalah:
1. Dimensi dan faktor manusia pelaku penegakan hukum progresif. Idealnya, pelaku penegakan hukum terdiri dari profesional hukum dengan visi baru yang lebih komprehensif dan substantif. Mereka (hakim, jaksa, advokat, dan lain-lain) menanggung ekspektasi masyarakat yang tinggi akan wajah penegakan hukum yang lebih progresif; penegakan hukum yang tidak hanya melihat hukum sebagai hitam putih belaka, melainkan melihat dan menerapkan hukum secara humanis, substantif, dan berkeadilan. Ekspektasi tersebut harus dilandasi dengan filsafat atau pemahaman hukum yang holistik, bukan pemahaman yang artifisial, partikular, dan lebih menonjolkan nilai-nilai kebenaran liberalis. Penegakan hukum pada konteks ini – sesuai dengan ekspektasi masyarakat –tidak boleh hanya disandarkan pada pemahaman normatif belaka, melainkan pada substansi hukum, yaitu nilai dan keadilan.
2. Kebutuhan akan kebangunan di kalangan akademisi, intelektual, ilmuwan, serta teoretisi hukum Indonesia. Sejarah memperlihatkan kepada kita betapa akademisi dan praktisi hukum Indonesia sebagian besar ditempa dengan konsep dan paradigma filsafat hukum yang cenderung liberal. Untuk konteks hukum saat ini, paradigma tersebut sudah kurang sesuai dan perlu pembaharuan secara massif dan radikal. Kini, mereka ditantang untuk membangun suatu konsep penegakan hukum yang baru yang lebih mengakomodir nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; sebagai upaya untuk keluar dari kungkungan doktrin liberal yang destruktif dan konservatif.
Selain kedua aspek tersebut di atas, penulis berpendapat masih ada aspek lain yang sangat penting, yaitu konstruksi kultur hukum progresif di masyarakat. Bagaimanapun, masyarakat merupakan segmen terbesar dalam struktur penegakan hukum kita. Karena itu, adalah kurang bijaksana jika mengabaikan salah satu dimensi ini. Konstruksi kultur hukum sebagaimana dimaksud, merupakan upaya massif dan elaboratif untuk menciptakan budaya hukum di masyarakat sehingga masyarakat lebih sadar hukum dan nilai-nilai hukum terinternalisasi dengan baik dalam paradigma dan perilaku atau perbuatan hukum masyarakat. Konstruksi kultur hukum progresif antara lain dapat dilakukan dengan mengadakan seminar-seminar, lokakarya, maupun penyuluhan kepada masyarakat mengenai hakikat dan nilai-nilai substantif dalam penegakan hukum. Selain itu, peran tokoh masyarakat dan aparat hukum dalam mengawal masyarakat harus lebih proaktif, tidak hanya melakukan tindakan atas pelanggaran belaka, melainkan memberikan pencerahan, pemahaman, dan memotivasi masyarakat untuk menegakkan hukum secara sadar dan menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, stigma penegakan hukum yang cenderung menakutkan (scary paradigm) dan manipulatif (manipulative paradigm) secara perlahan akan hilang dan tergantikan dengan optimisme dan dedikasi kuat untuk bersama-sama menegakkan hukum.
Dimensi-dimensi tersebut di atas merupakan keniscayaan untuk diimplementasikan dan dipertahankan agar penegakan hukum progresif benar-benar hidup dan dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi pengembangan kesejahteraan dan terciptanya keadilan di masyarakat. Dimensi-dimensi tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga kolektifitas penegakan hukum progresif dapat terwujud.
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo (2009:xii) menambahkan bahwa penegakan hukum progresif bertolak dari pilar utamanya, yaitu determinasi dan komitmen yang kuat dari segenap sub sistem peradilan untuk memerangi kejahatan dan pelanggaran, khususnya korupsi. Semua unsur penegakan hukum (hakim, jaksa, advokat, dan birokrasi) harus bekerja secara profesional dan padu. Meskipun masing-masing institusi memiliki independensi profesionalismenya, akan tetapi hal tersebut tidak boleh menghalangi kesatuan unit penegakan hukum. Koordinasi dan transparansi dari masing-masing unsur merupakan representasi kesatuan unit tersebut. Hal inilah yang membedakan pradigma penegakan hukum progresif dengan penegakan hukum yang bertradisi liberal yang sangat mendewakan independensi dan arogansi institusi yang berujung pada tidak padu dan efektifnya proses penegakan hukum yang dilakukan.
IV. Prospek Penegakan Hukum Progresif di Indonesia
Penegakan hukum di Indonesia merupakan entitas yang tidak terpisahkan dalam perkembangan tata dan sistem hukum di Indonesia. Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari riak sejarah bangsa, mulai dari masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Harus diakui bahwa mekanisme dan implementasi penegakan hukum kita masih banyak celah dan kekurangan. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran lalu lintas, penegakan hukum cenderung masih sangat lemah. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan beberapa fakta bahwa ada sebagian oknum aparat (polisi) yang belum kebal dengan suap, aparat yang tidak bijaksana dalam melakukan tindakan, serta hubungan antara aparat kepolisian dengan pengendara yang cenderung resisten. Contoh lain dapat ditunjukkan dari beberapa kasus yang melibatkan oknum jaksa nakal, yang paling mendapat sorotan adalah Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor dengan pidana penjara 20 tahun. Dari kasus Jaksa Urip, kita memperoleh gambaran – tanpa menggeneralisasi –bahwa masih ada oknum jaksa yang memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya untuk memanipulasi hukum sehingga pihak-pihak yang berpotensi dijerat hukum karena pelanggaran pidana dapat dengan mudah lepas dan menghirup udara bebas tanpa ada rasa khawatir.
Salah satu permasalahan yang cukup riskan dalam penegakan hukum di Indonesia adalah banyaknya aturan dalam hukum formil (hukum acara) yang menimbulkan banyak penafsiran, sehingga berdampak pada kekaburan peraturan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan aturan tersebut. Sebagai contoh, kasus PK oleh Jaksa dalam kasus Mukhtar Pakpahan pada tahun 1996 merupakan PK pertama yang diajukan oleh jaksa dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, kemudian PK jaksa terhadap vonis bebas Djoko Tjandra dan Sjahril Sabirin yang akhirnya dikabulkan Mahkamah Agung. Banyak pihak yang mempertanyakan bahkan mengkritik keras tindakan jaksa tersebut, karena menurut mereka Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa pihak yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Akan tetapi, pendapat ini mendapat perlawanan dari beberapa pakar hukum. Paustinus Siburian (2009) misalnya mengemukakan bahwa jika dibaca dengan seksama ketentuan pasal 263 KUHAP, maka Jaksa dapat mengajukan PK dengan ketentuan bahwa terdakwa divonis bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak diikuti dengan pemidanaan. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Sementara itu, Wisnubroto (2009) mengemukakan bahwa PK dapat diajukan oleh jaksa jika situasi perkara adalah anomali atau tidak biasa (extraordinary crime), misalnya pelanggaran HAM berat, kejahatan lingkungan, dan korupsi. Kontroversi apakah jaksa berhak mengajukan PK atau tidak sudah cukup menggambarkan kepada kita bahwa betapa masih banyak aturan atau ketentuan dalam hukum acara yang multi tafsir dan menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian pelaksanaannya.
Pertanyaan saat ini adalah, mungkinkah paradigma penegakan hukum progresif diterapkan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji terlebih dahulu mengenai dimensi-dimensi perubahan atau pembaharuan hukum nasional. Ismail Saleh (Mannan, 2006:14) mengemukakan bahwa dalam rangka pembaharuan dan pengembangan hukum nasional, terdapat tiga dimensi utama, yaitu:
1. Dimensi pemeliharaan
Dimensi pemeliharaan adalah dimensi yang berkaitan dengan pemeliharaan (maintenance) tatanan hukum yang telah ada. Pemeliharaan disini tidak diartikan sebagai mempertahankan tatanan hukum yang ada secara penuh, tetapi mempertahankan tatanan dengan berpijak pada situasi atau kondisi yang sudah berubah. Penulis menyebut hal ini dengan kontekstualisasi hukum, yaitu memahami dan menerapkan hukum sesuai dengan konteks atau kapasitas permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, penerapan hukum tidak bersandar pada penafsiran normatif belaka, melainkan sudah melibatkan dimensi eksternal hukum itu sendiri, yaitu konteks hukum. Inilah yang kemudian melahirkan pemahaman dan penerapan hukum secara holistik dalam rangka mencapai nilai-nilai dan tujuan substantif hukum.
2. Dimensi pembaruan
Aksentuasi dimensi pembaruan adalah peningkatan dan penyempurnaan pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembaruan ini dianut kebijaksanaan bahwa pembangunan hukum nasional disamping pembentukan peraturan-peraturan perundang-perundangan yang baru, dilakukan pula usaha penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang telah ada sesuai dengan konteks dan kebutuhan hukum. Pembaruan menurut Abdul Mannan (2006:14) tidak perlu dilakukan secara radikal atau membongkar semua aturan yang ada, tetapi cukup aturan yang dianggap sudah tidak relevan dengan situasi yang ada dan paradigma penegakan hukum nasional.
3. Dimensi penciptaan
Dimensi ini disebut juga dengan dimensi kreatifitas. Perkembangan yang pesat pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang ekonomi yang melahirkan gagasan baru, lembaga baru, dan digitalisasi transaksi keuangan. Hal ini membutuhkan peraturan baru yang berarti bahwa harus diciptakan peraturan perundang-undangan baru yang mengakomodir hal tersebut, sehingga fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat terlaksana dengan baik.
Dengan melihat dimensi pembaharuan hukum nasional tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya pembaharuan hukum nasional menuju hukum progresif merupakan proses yang sistemik dan berkelanjutan. Penegakan hukum progresif sebagai unit dari sistem hukum progresif; sebagai gagasan yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, sangat mungkin diterapkan di Indonesia, paling tidak karena beberapa hal. Pertama, landasan pemikiran penegakan hukum progresif sudah mengalami perkembangan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Satjipto Rahardjo, sebagai tokoh yang mencetuskan ide hukum progresif telah menanamkan dasar-dasar sistem hukum modern yang holistik dan berorientasi pada pencapaian tujuan substantif hukum, yaitu keadilan. Kritik atas model penegakan hukum yang hanya “mengeja undang-undang” oleh Satjipto Rahardjo dijabarkan dengan proposisi filsafati, yaitu penegakan hukum harus dilakukan sebagai kegiatan penemuan hukum; suatu proses untuk menggali dan menemukan jiwa hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak dijalankan secara pasif. Lebih lanjut, hukum dalam perspektif hukum progresif merupakan upaya berkesinambungan, kreatif, inovatif, dan berkeadilan. Ufran (Rahardjo, 2009:xiii) mengemukakn bahwa penegakan hukum progresif tidak hanya melibatkan kecerdasan intelektual belaka, melainkan juga melibatkan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan kata lain penegakan hukum merupakan upaya yang dilandasi determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai dengan keberanian untuk mencari jalan lain yang berbeda dengan jalan atau cara konvensional.
Kedua, secara faktual riak penegakan hukum progresif telah ada dan mulai dikampanyekan oleh sebagian penegak hukum. Kepolisian misalnya secara massif mengkampanyekan iklan maupun slogan yang esensinya membuat pencitraan positif kepolisian di masyarakat. Kampanye institusi polisi sebagaimitra dan pelayan masyarakat merupakan upaya sistemik yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepolisian sekaligus mengembangkan kerja sama yang padu dengan masyarakat dalam menegakkan hukum.
Ketiga, masyarakat, dalam hal ini direpresentasikan oleh LSM-LSM semakin menunjukkan kepekaannya terhadap upaya penegakan supremasi hukum. Lembaga-lembaga independen seperti ICW, MTI, dan LBH semakin menunjukkan kontribusinya dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia. Tidak jarang kritik tajam ditujukan kepada penegak hukum yang dianggap lamban dan tidak serius dalam menangani perkara. Bila fungsi ini dapat dijalankan dengan lebih baik lagi, konstruksi kultur hukum di masyarakat melalui pendidikan dan penyadaran (kontemplasi) hukum masyarakat.
Kondisi-kondisi faktual demikian sesungguhnya merupakan aset dalam menghidupkan penegakan hukum yang progresif. Sejatinya, untuk membangun suatu sistem penegakan hukum yang baik diperlukan kerja sama dari semua unsur dalam sistem. Bekerjanya setiap unsur akan menggerakkan roda penegakan hukum secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini pula, penegakan hukum progresif harus dilihat sebagai upaya menyeluruh. Upaya tersebut tidak hanya pada unsur struktur dan kultur hukum, melainkan merangsek ke unsur substansi hukum, terutama hukum formil. Pembaruan aturan-aturan dalam perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat merupakan keniscayaan, sehingga esensi penegakan hukum progresif benar-benar dapat dilaksanakan.
V. Penutup
Berdasar uraian yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penegakan hukum progresif merupakan penegakan hukum yang tidak hanya tidak hanya membaca dan menafsir undang-undang secara normatif, melainkan menemukan hukum dalam undang-undang tersebut. Penegakan hukum progresif merupakan paradigma penegakan hukum yang menjujung nilai-nilai humanisme, empati, dan keadilan. Proses dalam penegakan hukum progresif dijalankan secara kreatif, inovatif, dan berorientasi pada pencapaian keadilan tertinggi.
2. Penegakan hukum memiliki dua dimensi sebagai dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, yaitu penegak hukum dan kultur akademik. Satu dimensi lain yang dianggap substantif oleh penulis adalah konstruksi kultur hukum progresif.
3. Penegakan hukum progresif di Indonesia pada dasarnya sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dalam tata dan struktur hukum Indonesia. Segmen-segmen dalam penegakan hukum telah menunjukkan progresifitas yang cukup baik dalam upaya penegakan hukum nasional secara progresif.

Tidak ada komentar: