7.06.2010

Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup(Suatu Kajian dalam Konteks Hukum Visioner)

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAHASISWA PROGRAM STUDI MH PASCASARJANA UMI MAKASSAR


PENANAMAN MODAL DAN LINGKUNGAN HIDUP

A. Pendahuluan


Ekonomi sebagai salah satu distrik kehidupan manusia, pada setiap kesempatan, hampir selalu menjadi headline pembicaraan, baik formal maupun nonformal. Setiap kali ada diskursus, aspek ekonomi nyaris tidak pernah absen dalam mewarnai setiap dinamikanya, bahkan, hukum sekalipun tidak sanggup melepaskan anasir ekonomi dalam sekalian proses dialektisnya. Inilah kemudian yang mendasari penulis untuk berasumsi bahwa, sekalipun kehidupan ini memiliki sejumlah distrik, namun ekonomi dipandang sebagai salah satu distrik utama yang memiliki pengaruh massif terhadap distrik kehidupan lainnya, bahkan hukum sekalipun.
Konteks demikian mengantar penulis – dan mungkin penstudi hukum lainnya – bahwa asepk ekonomi sangat mungkin dikaji secara linier dengan hukum. Mungkin ini pulalah yang menjadi latar (trigger) bagi munculnya sekalian kajian bertajuk hukum dan ekonomi, terkhusus hukum dan penanaman modal.
Penanaman modal, sebagai disebut terakhir, dalam kajian hukum kontemporer mulai mendapat perhatian luas. Menurut penulis, ada beberapa hal yang mendasarinya. Pertama, penanaman modal sebagai bagian dari dinamika ekonomi dari waktu ke waktu kian kompleks, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, semisal penanaman modal dalam negeri, regional, dan internasional, derivasi yang beragam, mulai dari sektor pertambangan hingga perbankan sampai pada transaksi derivatif nan rumit. Kondisi demikian membutuhkan pengaturan (regulasi) secara signifikan demi menciptakan ketertiban (orde) dan penyelarasan antara berbagai kepentingan yang berbeda.
Kedua, penanaman modal dalam abad modern telah melingkupi kepentingan khalayak, khususnya masalah pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, penanaman modal, salah satu filosofinya adalah perolehan ekonomis yang massif melalui kerja-kerja produktif. Ini tentunya melibatkan banyak individu yang berarti menentukan sebagian dari masa depan mereka. Karenanya, untuk menjamin hal demikian, diperlukan semacam regulasi yang akomodatif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak yang melekat pada individu sekaligus menjaga produktifitas dan profitabilitas pemodal. Inilah yang disebut hukum; suatu konstruk yang lahir dari proses sadar serta berlandaskan pada intelektualitas dan moralitas untuk menciptakan ketertiban dalam jagad penanaman modal.
Ketiga, aspek praksis dari penanaman modal, salah satunya adalah implikasi ekonomis dan ekologis. Diketahui bersama, bahwa penanaman modal, tidak selalu berdampak positif bagi perekonomian suatu negara, tetapi sebaliknya, dapat menjadi katalis bagi kemunduran ekonomi, khususnya pada sektor riil. Di Indonesia misalnya, penanaman modal asing tidak jarang menerabas akses bagi pengusaha kecil menengah untuk mengembangkan usahanya. Kalah dalam kecanggihan teknologi serta kualitas produk menyebabkan mereka menjadi inferior dan kurang memiliki daya saing, baik lokal maupun internasional. Alih-alih memberi lapangan lapangan kerja baru bagi pribumi, penanaman modal asing justru menjelma menjadi penindas dan bahkan menghilangkan lapangan kerja mereka selama ini. Fakta demikian sangat nyata, terutama di bidang pertambangan, dimana penambang-penambang tradisional cenderung tergusur oleh kekuatan pemodal asing. Inilah yang harus disadari; bahwa penanaman modal bukan sekedar urusan ekonomi, melainkan juga merangsek ke wilayah sosial, budaya, dan hukum. Lagi-lagi, hukum menjadi teramat penting untuk, selain untuk menciptakan ketertiban, juga untuk membantu pemenuhan hak-hak masyarakat serta menjamin kepastian terlaksananya kewajiban bagi pemodal untuk tidak apriori dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitar.
Lebih jauh, penanaman modal dalam abad modern sering dikaitkan dengan masalah lingkungan hidup. Bila dilihat keterkaitan keduanya, dapat dikatakan sebagai keterkaitan secara tidak langsung karena penanaman modal pada awalnya hanya sebagai “kerja ekonomis”, namun sengaja atau tidak aktifitas dari penanaman modal itu nyatanya berdampak serius terhadap lingkungan. Terakhir, kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko oleh kilang minyak lepas pantai British Petroleum telah menyebabkan pencemaran parah di laut tersebut dan kian menyebar luas. Presiden Barack Obama mengecam keras musibah tersebut dan menuntut BP untuk menghentikan dampak buruk pencemaran tersebut . Kasus-kasus di dalam negeri seperti Newmont Minahasa, Freeport, Exxon Mobil, dan beberapa kasus pencemaran lainnya kian menguatkan korelasi antara penanaman modal dengan kerusakan lingkungan, terutama jika konsep awal penanaman modal tersebut memang tidak memasukkan penyelamatan lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama operasionalisasinya.

B. Definisi Penanaman Modal

Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia . Reilly & Brown mendefinisikan investasi (penanaman modal). sebagai komitmen untuk mengikatkan aset saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan penghasilan yang mampu mengkompensasikan pengorbanan investor berupa:
1. Keterikatan aset pada waktu tertentu
2. Tingkat inflasi
3. Ketidaktentuan penghasilan dimasa mendatang
Berdasar pengertian tersebut diketahui bahwa penanaman modal memiliki tiga unsur, yaitu modal (fresh money, skill, teknologi, nilai/value), penanam modal (penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri), dan kegiatan usaha (profit oriented). Penanaman modal lebih sering diartikan sebagai penanaman modal dalam bentuk fresh money dan/atau saham atau derivasi surat berharga lainnya. Sementara penulis melihat penanaman modal dalam cakupan yang lebih luas, yaitu penanaman modal yang tidak hanya melingkupi modalitas fisik (money, saham) tetapi juga modalitas nilai, etik, dan social welfare. Artinya, penanaman modal dalam konstruk ideal penulis adalah penanaman modal yang tidak hanya menekankan pada dimensi fisik belaka, tetapi juga dimensi nonfisik (nilai, norma atau tatanan sosial), dan karenanya penulis menyebutnya sebagai penanaman modal inklusif .
Pengertian tentang penanaman modal tersebut mencakup dua jenis penanaman modal, yaitu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal luar negeri. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sementara penanaman modal luar negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri .
Penanaman modal dalam praktiknya di Indonesia mencakup berbagai macam bidang usaha, mulai dari pertambangan, industri manufaktur, jasa, hingga bidang perbankan. Bidang pertambangan merupakan salah satu bidang penanaman modal yang paling banyak diaplikasikan di Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan alam terbesar di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional banyak yang mempercayakan dananya diparkir dan diinvestasikan di Indonesia, sebut saja Freeport, Newmont, dan Exxon Mobil.
Dalam UU No. 25 Tahun 2007 juga disebutkan bahwa penanam modal di Indonesia dapat berupa perorangan maupun badan usaha. Penanam modal asing dapat berupa perorangan maupun badan usaha atau pemerintah asing. Kegiatan penanaman modal, sebagai diatur dalam UU tersebut, memberi akses seluas-luasnya, tidak hanya perorangan, tetepi juga badan hukum, untuk menanamkan modalnya dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kemajuan ekonomi nasional, baik makro maupun mikro. Inilah sesungguhnya idealitas dan filosofi penanaman modal Indonesia; bahwa penanaman modal bukan hanya masalah perolehan keuntungan secara signifikan, tetapi juga pada pemberdayaan dan peningkatan ekonomi nasional, penanaman modal justru jangan dijadikan sebagai aksi ambil untung (profit taking) semata, alih-alih peningkatan ekonomi nasional, justru kemerosotan yang terjadi.

C. Penanaman Modal dalam Konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia

Sejatinya, penanaman modal yang dicanangkan pemerintah diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Penanaman modal (investment) diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan potensi-potensi ekonomis dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara berkembang, Indonesia memang membutuhkan stimulus investasi untuk mempercepat laju perekonomian negara. Investasi, baik domestik maupun asing, diarahkan agar semaksimal mungkin meningkatkan partisipasi masyarakat pribumi dalam kegiatan ekonomi. Penanaman modal pada dasarnya diarahkan untuk menjadi jembatan bagi kelanjutan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi berkelanjutan didasarkan pada demokrasi ekonomi yang menekankan pada pemerataan faktor-faktor produksi serta keadilan dalam distribusi pendapatan . Inilah yang menjadi amanat UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Bahwa untuk mencapai hal tersebut, pemerintah kemudian menjadikan penanaman modal sebagai salah satu instrumen dasarnya. Inilah filosofi penanaman modal yang diterapkan di Indonesia.
Kebijakan penanaman modal di Indonesia memiliki landasan operasional yang terdapat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam GBHN, ditetapkan bahwa penanaman modal dimungkinkan pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi berbagai persyaratan-persyaratan tertentu. Penanaman modal asing sebagai salah satu bentuk penanaman modal di Indonesia diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangkan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia . Sunaryati Hartono mengemukakan bahwa pembahasan mengenai penanaman modal akan selalu dikaitkan dengan pembangunan dan rencana pembangunan ekonomi (economic planning) Indonesia, karenan sejatinya penanaman modal memang merupakan salah satu faktor dalam pembangunan ekonomi nasional .
Setiap negara pada dasarnya selalu berusaha meningkatkan pembangunan ekonominya, termasuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Usaha tersebut dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk ke negaranya. Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam suatu negara didasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri . Dalam rangka mewujudkan idealitas tersebut, sejak awal negara-negara tersebut dihadapkan kepada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah mengundang masuknya modal asing dari negara-negara maju ke dalam negeri.
Masuknya modal asing dalam tata perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan, baik ekonomi maupun politik. Alternatif penghimpunan dana pembangunan perekonomian Indonesia melalui investasi modal secara langsung dipandang jauh lebih baik dibandingkan dengan penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman luar negeri. Filosofi demikian yang diperpegangi hingga kini sehingga penanaman modal dijadikan sebagai salah satu pilihan utama untuk menstimulasi pembangunan ekonomi nasional.
Penanaman modal asing sebagai salah satu bentuk penanaman modal di Indonesia memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut adalah:
1. Merupakan kegiatan menanam modal
2. Untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
3. Dilakukan oleh penanam modal asing,
4. Menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri .
Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam berbagai cara. Hal ini diatur dalam Pasal 5 angka (3) UU No. 25 Tahun 2007, yaitu:
1. Mengambil bagian saham pada saat pendirian Perseroan Terbatas,
2. Membeli saham, dan
3. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perusahaan yang didalamnya terdapat Modal Asing, tanpa melihat batasan jumlah modal tersebut dapat dikategorikan sebagai PMA. Sebagai contoh, sebuah perusahaan lokal (PT ABC) menjual 45% sahamnya dalam rangka penambahan modal. Selanjutnya sebuah perusahaan asing (XYZ Co. Ltd) bermaksud membeli saham tersebut. Maka setelah beralihnya saham tersebut kepada XYZ Co. Ltd, PT. ABC akan berubah menjadi PT PMA setelah melalui prosedur tertentu.
Dalam GBHN, ditetapkan bahwa kebijakan dan pengelolaan penanaman modal, khususnya PMA ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang diwujudkan dalam suatu instumen kebijakan, yaitu perundang-undangan. Kebijakan PMA masih diperlukan dalam pembangunan pada berbagai bidang, khususnya pada produksi barang dan jasa, dan mendorong alih teknologi untuk memperkuat basis ekonomi nasional .
Kebijakan pemerintah terhadap penanaman modal asing dari waktu ke waktu mengalami pasang surut, dalam arti bahwa kebijakan yang dibuat kadang dibuat ketat dan kadang dibuat selonggar mungkin, tentunya diringi dengan berbagai alasan. Keadaan tersebut tergambar dari berbagai fakta, misalnya kebijakan pemerintah pada tanggal 22 Januari 1974 yang mensyaratkan kepada setiap penanaman modal asing melakukan usaha berbasis joint venture (patungan) dengan modal nasional. Kebijakan tersebut diikuti dengan penetapan bidang-bidang usaha yang dinyatakan sama sekali tertutup untuk penanaman modal asing, terbuka tetapi tetap harus bekerja sama (patungan) dengan modal nasional .

D. Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup

Kajian penanaman modal dan lingkungan hidup, seperti dijelaskan sebelumnya, dewasa ini mendapat perhatian luas, tidak hanya di kalangan akademisi, tetapi juga masyarakat awam. Korelasi antara penanaman modal dengan gejala kerusakan dan degradasi kualitas lingkungan kian kuat seiring dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan yang massif yang “diduga” disebabkan oleh aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Permasalahan lingkungan hidup di Indonesia memang merupakan gejala sistemik, artinya tidak hanya disebabkan oleh eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab, tetapi juga andil dari pemerintah dan masyarakat. Birokrasi yang “njlimet” ditambah budaya korup pejabat serta kultur masyarakat yang belum maju menjadi setumpuk masalah yang memicu kerusakan lingkungan hidup yang kian parah.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa kegiatan penanaman modal yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan ekonomi justru memberi dampak buruk terhadap lingkungan? Apakah kebijakan penanaman modal yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan amanat UUD 1945? Apakah arah kebijakan penanaman modal tidak sejalan dengan program pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup?.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diuraikan terlebih dahulu bidang-bidang usaha yang dapat diterapkan penanaman modal. Dalam praktiknya, bidang-bidang usaha yang dapat diterapkan penanaman modal adalah pertanian, kehutanan, kelautan, industri manufaktur, jasa (termasuk perbankan), dan pertambangan . Berdasar hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pada dasarnya, semua bidang usaha ekonomi dapat diterapkan penanaman modal, kecuali yang memang telah ditentukan oleh perundang-undangan sebagai bidang yang tidak boleh dimasuki penanaman modal.
Pasal 22 UU PM mengatur tentang tenggang waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Sementara itu, Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.
Pengaturan tersebut ternyata menimbulkan polemik dalam pelaksanaannya, karena lamanya masa berlaku HGU rentan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, eksploitasi alam di Papua oleh PT. Freeport telah menyebabkan kerusakan alam yang sangat parah, dan bahkan telah meratakan beberapa gunung di sekitar lokasi produksinya. Lamanya masa HGU telah menyebabkan eksploitasi berkepanjangan tanpa adanya fungsi kontrol dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan usaha.
Masalah lamanya tenggang waktu ternyata bukan satu-satunya polemik dalam penanaman modal. Kewenangan pemerintah untuk memperpanjang sekaligus di muka tenggang waktu HGU telah menerabas akses masyarakat untuk turut dalam kegiatan penanaman modal. Dengan ketentuan tersebut, pemerintah, sengaja atau tidak, telah mengabaikan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Perpanjangan masa HGU sekaligus di muka kian mengecilkan fungsi pengawasan. Sejatinya, perpanjangan masa HGU harus didasarkan pada evaluasi pelaksanaan HGU sebelumnya, jika tidak memenuhi syarat operasional yang baik serta pertanggungjawaban terhadap upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup. Kenyataannya tidak demikian, bahkan ada kesan pemerintah acuh terhadap hal tersebut.
Ini pulalah yang mendasari Diah Astuti, dkk. untuk mengajukan permohonan uji materil Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b, dan c UU PM. Sedangkan Daipin, dkk. dalam perkara 22/PUU-V/2007 mengajukan permohonan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1) dan (3) Pasal 12 ayat (1) dan (3) Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU PM .
Menurut MK, dari keseluruhan ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, ternyata hanya sebagian ketentuan Pasal 22 UU PM bertentangan dengan konstitusi. Argumentasi MK terkait dengan sebagian ketentuan tersebut adalah meskipun terhadap Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai—yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu—negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 ayat (4) UU PM. Dengan kata lain, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas negara. Padahal, perusahaan penanaman modal dapat mempersoalkan secara hukum keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Sehingga, bagi MK, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi .
Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berbunyi:
1. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
2. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing,
b. Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan,
c. Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas,
d. Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara, dan
e. Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
3. Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
4. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Poin 4 merupakan poin terpenting dari uji materil tersebut, karena telah menyentuh jauh ke substansi permasalahan. Bahwa kemudian, korelasi antara penanaman modal dengan lingkungan hidup mendapat legitimasinya. Aktivitas penanaman modal harus dihentikan jika ternyata mengabaikan kelestarian dan kesuburan tanah serta menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Inilah sesungguhnya amanat UUD 1945, bahwa pengelolaan potensi-potensi ekonomi harus senantiasa memperhatikan kelestarian linkungan hidup karena dengan demikian akan menjamin kelangsungan hidup umat manusia.
Ahmad Sodikin, pakar di bidang agraria, menyatakan proses pembangunan itu memakan atau memerlukan tanah yang luas sehingga banyak konversi lahan-lahan subur menjadi lahan-lahan industri dan sebagainya. Dalam hal ini kemudian para pemodal malah diberi kesempatan yang sangat luas, 95 tahun dan sebagainya, ini akan semakin mempertajam perebutan penguasaan pemilikan tanah
Berbeda pendekatan dengan Ahmad Sodikin, Revrisond Baswir memulai penjelasannya dari sejarah. Baswir mengatakan bangsa ini lahir dari satu latar belakang terjajah, oleh karena itu bangsa ini membangun satu struktur perekonomian yang sesuai dengan kepentingan pihak penjajah .
Dalam konteks perdebatan Undang-Undang Penanaman Modal, Bambang M. Fajar berargumen bahwa argumentasi Pemerintah tentang fairness atas Pasal 4 ayat (2) huruf a yang menyatakan: "Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional" adalah tidak relevan, karena fairness harus ditempatkan secara proporsional. Negara ini yang memiliki property rights, tidak selayaknya pemilik memiliki hak yang sama dengan yang menyewa .
Disinilah letak titik singgung antara kebijakan penanaman modal dengan lingkungan hidup. Penanaman modal yang dicanangkan harus mencirikan kesungguhan untuk memperhatikan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam Pasal 1 angka (3) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang PPLH, disebutkan:
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”

Pembangunan nasional yang berkelanjutan sejatinya memadukan segala aspek yang berkaitan di dalamnya, termasuk aspek pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Strategi pembangunan yang salah satunya adalah penanaman modal (asing dan domestik), harus menjadikan pelestarian lingkungan sebagai salah satu agenda utama.
Penanaman modal harus terencana dan sistematis, melingkupi semua aspek yang berkaitan di dalamnya, termasuk aspek sosial, peningkatan kesejahteraan masyarakat, penghargaan terhadap nilai-nilai lokal (kearifan lokal), hukum, dan pelestarian lingkungan hidup. Demikian seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .
Meski telah ada regulasi yang mengatur tentang penanaman modal dan pengelolan dan perlindungan lingkungan hidup, tetapi kenyataan menunjukkan aktivitas penanaman modal di Indonesia sering mengabaikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

E. Hukum Visioner: Meretas Jalan bagi Penanaman Modal yang Berwawasan Lingkungan Hidup

Hukum visioner merupakan konsep yang coba penulis bangun berlandas pada beberapa prinsip dasar, salah satunya adalah prinsip bahwa substansi atau poros dari hukum adalah manusia itu sendiri, karenanya berbicara masalah hukum maka kita akan bersentuhan dengan manusia dengan sekalian dimensi yang melingkupinya.
Hukum visioner menganggap bahwa inti dari penegakan hukum atau tegaknya hukum adalah manusia itu sendiri, karenan sejatinya manusia lah yang membuat, dan menjalankan aturan itu. Maka, benar apa yang dikatakan oleh Taverne, “berikan pada saya hakim dan jaksa yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya akan membuat putusan yang baik”. Inti dari pernyataan Taverne ini adalah bahwa manusia merupakan determinan terpenting bagi tegaknya suatu hukum. Aturan-aturan hukum yang tidak lengkap atau kurang baik tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak melahirkan putusan yang bercirikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perundang-undangan, sejatinya adalah entitas mati dan hanya akan berfungsi ketika manusia mendayagunakannya.
Atas dasar asumsi tersebut, hukum visioner berpandangan bahwa untuk mewujudkan penanaman modal yang berwawasan lingkungan hidup dan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi nasional, maka yang harus diperbaiki adalah kualitas manusianya, meskipun aturan juga harus senantiasa di-upgrade. Kualitas manusia dimaksud tidak hanya mencakup skill tetapi juga moralitas. Harus diakui, permasalahan penanaman modal dan lingkungan hidup yang dihadapi selama ini berakar dari kualitas manusia yang buruk. Dekadensi moral, manipulasi, dan kebiasaan-kebiasaan untuk menelikung aturan hukum telah menjadikan penanaman modal sebagai monster yang menakutkan bagi perekonomian nasional dan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang kian parah. Bukankah Allah SWT telah menegaskan bahwa penyebab kerusakan lingkungan hidup (di darat dan di laut) disebabkan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Dengan demikian, sebagai visi ke depan, peningkatan kualitas manusia merupakan agenda wajib yang harus dicanangkan saat ini. Pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan pendekatan secara persuasive oleh pemerintah diharapkan dapat menyadarkan manusia bahwa bumi ini menangis menanti kearifan tangan-tangan manusia. Bahkan, lebih jauh, nilai-nilai keagamaan harus diinternalisasikan dalam program-program penanaman modal sehingga lebih berwawasan lingkungan dan bercirikan humanisme.

Catatan Akhir

http://www.tempointeraktif.com/

Pasal 1 angka (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Kata ‘”inklusif” dipahami sebagai kondisi menyeluruh yang menginternalisasikan sekalian dimensi, baik fisik maupun non fisik untuk mencapai ke-paripurna-an dalam pembangunan. Dengan demikian, penanaman modal tidak hanya berorientasi pada profitabilitas usaha (profit oriented) tetapi juga pertanggungjawaban moral atas pelestarian nilai-nilai moral dan etik yang hidup di masyarakat (social responsibility).

Pasal 1 angka (2) dan (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Lihat UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Aminuddin Ilmar. 2007. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Ibid.

Inilah agaknya, menurut penulis, imbas dari industrialisasi massal yang secara global mempengaruhi arah kebijakan ekonomi di hampir setiap Negara di dunia. Bahwa kemudian indsutri dianggap sebagai determinan terpenting dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah sebuah keniscayaan mengingat sangat sulit bagi suatu Negara untuk menomorduakan aspek industri ini. Masih segar dalam ingatan kita betapa industrialisasi yang berawal di Inggris, sebagai dipelopori oleh temuan mesin uap James Watt, telah mengubah cara pandang terhadap proses produksi yang beralih dari produksi skala rumahan menjadi produksi berskala missal. Kapitalisasi pun mencuat seiring dengan patron ekonomi yang bergerak kea rah industrialisasi. Namun, di sisi lain, gejala industrialisasi tersebut tidak sedikit memberi dampak negatif terhadap pemerataan ekonomi di masyarakat karena industrialisasi secara perlahan mulai menciptakan jurang yang kian dalam antara pemodal besar dengan kaum proletar; bahwa si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin. Gejala demikian memicu Karl Marx untuk mengkritik habis-habisan konsep pembangunan ekonomi berbasis industrialisasi. Marx menekankan pada pentingnya memperjuangkan nasib kaum proletar yang kian tertindas akibat arus ekonomi global yang menerabas akses rakyat kecil untuk memperjuangkan dan meningkatkan taraf hidupnya. Demikian yang kemudian kita dengan jargon “masyarakat tanpa kelas”; suatu tatanan masyarakat yang “berkeadilan”, menurut Mrax, karena capital (modal) terbagi secara merata di masyarakat hingga mencirikan keadilan ekonomi secara komprehensif.

Lihat Pasal 1 angka (3) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

Aminuddin Ilmar, op. cit.

Kebijakan patungan yang diterapkan pemerintah, hemat penulis dimaksudkan sebagai pelaksanaan fungsi control atas pelaksanaan penanaman modal asing. Dapat dimaklumi, mengingat, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap penjagaan stabilitas ekonomi nasional, pemerintah, paling tidak harus memiliki modal yang ditanamkan dalam aktivitas penanaman modal asing. Ini juga dimaksudkan untuk mengawasi pelaksanaannya, termasuk pembagian devideen agar Negara dan masyarakat dapat merasakan buah dari kegiatan penanaman modal yang telah dilaksanakan.

Aminuddin Ilmar, op. cit.

Ibid.

http://www.tempointeraktif.com/

Ibid.

Pandangan tersebut disampaikan dalam sidang uji materil Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lihat Bambang M. Fajar. 2008. “Perdebatan Seputar Undang-Undang Penanaman Modal” (Online). (http://www.hmi.or.id/, diakses 23 Juni 2010).

Ibid.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum (Pasal 1 angka (2)).