7.29.2010

SEJARAH HUKUM (Rekonstruksi Sistemik Menuju Supremasi Hukum)

M. NATSIR ASNAWI, SHI
MAHASISWA PS MH PASCASARJANA UMI MAKASSAR
PENELITI PADA LPH VRIJSPRAAK

A. Pendahuluan

Menapaki jejak sejarah tentang eksistensi hukum akan membawa kita pada satu kesimpulan dasar bahwa hukum merupakan ranah yang maha luas nan kompleks. Hukum kemudian tidak dipandang sebagai realitas tunggal, melainkan berkaitan dan berinteraksi satu sama lain dengan subsistem-subsistem sosial. Kedirian hukum tidak akan terlepas dari karakter dan nilai-nilai yang hidup di masyarakat tempat dimana hukum itu berada. Pada konteks pemikiran a quo, sejarah hukum kemudian menjadi penting artinya, terutama untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum, aspek-aspek yang mempengaruhinya, dan peranan hukum dalam jagad ketertiban.
Sejarah hukum merupakan bidang studi yang mengkaji bagaimana hukum tumbuh, berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Di antara sejumlah ahli hukum dan pakar sejarah tentang proses hukum, sejarah hukum dipandang sebagai catatan mengenai evolusi hukum dan penjelasan teknis tentang bagaimana hukum-hukum ini berkembang dengan pandangan tentang pemahaman yang lebih baik mengenai asal-usul dari berbagai konsep hukum. Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual .
Sebagai sebuah disiplin ilmu, sejarah hukum sejatinya mengkaji fakta-fakta sejarah tentang hukum pada masa lampau serta keterkaitannya dengan fakta hukum kontemporer serta proyeksi hukum masa depan (future of law). Ini pulalah yang dikemukakan oleh Soedjono D . bahwa Sejarah Hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa studi historisitas atas hukum sejatinya bersifat interdisipliner. Karenanya, Sejarah Hukum menggunakan berbagai macam pendekatan sekaligus, termasuk di dalamnya, pendekatan sosiologis, antropologis, dan positivistis .
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar yang dapat dijawab oleh Sejarah Hukum, yaitu:
1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu lembaga hukum dan bagaimana proses pembentukannya?
2. Faktor-faktor apakah yang dominan pengaruhnya dalam proses pembentukan suatu lembaga hukum?
3. Bagaimanakah proses adaptasi terhadap lembaga-lembaga yang diambil dari sistem hukum asing?
4. Apakah suatu lembaga hukum tertentu selalu menjalankan fungsi yang sama? Apakah terjadi perubahan fungsi dan apa penyebabnya? Apakah perubahan a quo bersifat formal atau informal?
5. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan suatu lembaga hukum ditiadakan?
6. Dapatkah dirumuskan suatu pola perkembangan yang umum yang dijalani oleh lembaga-lembaga hukum dari suatu sistem hukum tertentu?
Ungkapan Satjipto tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa studi kesejarahan mengenai hukum akan bermuara pada tiga konstruk tanya, yaitu apa, mengapa, dan bagaimana suatu fakta hukum sebagaimana adanya. Artinya, Sejarah Hukum coba mengurai sekalian dinamika yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum, misalnya pembentukan suatu aturan perundang-undangan, pembentukan lembaga hukum tertentu, serta terbentuknya suatu kultur hukum dalam masyarakat. Pada tataran yang lebih kompleks, Sejarah Hukum juga melihat sejauh mana efektifitas suatu hukum, apa penyebabnya, dan bagaimana implementasinya di masyarakat.
Penulis teringat dengan seruan Thibaut agar Jerman mengadaptasi Code Napoleon Prancis dalam kitab undang-undang hukum perdata mereka. Seruan ini kemudian mendapat kritikan dan pertentangan luas di kalangan masyarakat Jerman, khususnya para penstudi hukum saat itu, termasuk di dalamnya Friederich Karl von Savigny. Seruan Thibaut tersebut dinilai bertentangan secara diametral dengan semangat Aufklarung (nasionalisme bangsa Jerman) yang saat itu sedang membara untuk bangkit dari keterpurukan akibat masa lalu. Savigny menganggap seruan Thibaut tersebut mencederai jiwa rakyat Jerman, karena sejatinya, menurut Savigny, jiwa rakyat Jerman berbeda dengan di Prancis sehingga hukum Jerman berbeda dengan hukum yang ada di Prancis. Inilah yang melatari lahirnya mazhab Sejarah Hukum yang dipelopori Savigny; bahwa hukum itu tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang di dalam masyarakat (jiwa rakyat) . Ajaran Savigny ini kemudian memberikan pengaruh yang signifikan dalam perkembangan studi-studi hukum lanjutan; bahwa rakyat dengan sekalian nilai yang hidup di dalamnya harus mendapat perhatian lebih, karena itulah yang menjadi elemen mendasar bagi pembentukan dan pengimplementasian suatu hukum.
Sebagai sebuah perbandingan, penulis coba mengungkap kembali latar belakang dibentuknya KPK. KPK dibentuk karena didasari beberapa alasan. Alasan utamanya adalah karena lembaga-lembaga hukum yang ada saat itu (Kepolisian dan Kejaksaaan) ternyata tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat akan pemberantasan korupsi secara tuntas dan menyelamatkan uang Negara dari pengemplang-pengemplang yang tidak bertanggung jawab. Tercetus ide untuk membentuk suatu komisi independen dengan kekuatan luar biasa untuk memberantas korupsi yang telah mengakar secara sistemik. Inilai yang kemudian dikenal KPK. Seiring perjalanannya, KPK ternyata juga mendapat masalah, terutama upaya pelemahan secara sistematis oleh kekuatan-kekuatan luar (external authority) yang tidak senang dengan kinerja dan sepak terjang KPK. Inilah yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan, baik di masyarakat awam maupun bagi kalangan penstudi hukum. Hal tersebut dapat terjawab dengan menelusuri aspek kesejarahannya yang kemudian memberikan suatu gambaran secara utuh serta proyeksi futuristik mengenai bagaimana menjadikan KPK sebagai lembaga pengawal penegakan hukum; pengawal demokrasi, bagaimana KPK dapat memenuhi ekspektasi masyarakat yang begitu besar akan tuntasnya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Gambaran demikian agaknya cukup memberikan pemahaman bahwa studi kesejarahan terhadap dinamika hukum sangat signifikan artinya, terutama untuk mengurai permasalahan-permasalahan mendasar, penyebabnya, serta upaya penanganan efektif yang mungkin dapat diambil. Sejarah Hukum sejatinya dapat menjadi patron bagi penstudi-penstudi hukum guna merumuskan kembali idealitas sistem hukum nasional kita menuju pembaharuan hukum secara komprehensif.

B. Hukum dalam Lintasan Sejarah

Diskursus tentang hukum tidak dapat dilepaskan dari fakta-fakta sejarah yang menguak dinamika hukum. Ini dapat dimaklumi, karena pada dasarnya, perkembangan pemikiran dan pemahaman mengenai hukum merupakan sesuatu yang sifatnya berkelanjutan dan saling terhubung antara satu dengan lainnya (interlinked paradigm of law). Pemikiran hukum primordial yang awalnya hanya menyentuh dimensi-dimensi abstrak perlahan mulai mengalami pergeseran ke dimensi-dimensi empiris dan praktis dari hukum itu sendiri, misalnya aturan hukum, sistem hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1. Pemikiran hukum: diferensiasi dan unifikasi
Berbicara mengenai pemikiran hukum, tidak akan terlepas dari apa yang telah digagas oleh penstudi-penstudi hukum terdahulu, yang, suka atau tidak, telah berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan studi-studi kritis tentang hukum. Bergerak ke belakang, ke beberapa ratus tahun yang lalu, kita berjumpa dengan aliran hukum alam yang melihat hukum sebagai sebuah fenomena “kodrat”, dalam arti bahwa hukum itu berasal dari Tuhan dengan sekalian turunannya, termasuk keadilan. Hukum sebagaimana adanya, memiliki sifat universal yang melingkupi sekalian dimensi kehidupan manusia. Hukum alam menempatkan hukum pada kedudukannya yang tertinggi sehingga hukum tidak dilihat sebagai sekumpulan aturan-aturan positif, melainkan sebagai meta aturan (abstrak) yang melekat dalam penciptaan kehidupan.
Dari hukum alam, pemikiran sedikit bergerak ke arah yang lebih positivistik. Beberapa tokoh utamanya antara lain John Austin (Analytical Jurisprudence) dan Hans Kelsen (Pure Legal Theory/Reine Rechts Lehre). Pada ranah ini, pemikiran akan kodifikasi peraturan-peraturan, nilai, dan norma ke dalam satu kitab perundang-undangan mulai bermunculan. Katalisnya adalah pandangan positivisme sosiologis Auguste Comte yang mengajarkan perlunya pembuktian secara positif terhadap argumentasi-argumentasi yang akan dijadikan sebagai preferensi dalam mengambil tindakan-tindakan tertentu. Pandangan Comte ini yang kemudian mempengaruhi alam berpikir sebagian penstudi hukum untuk mulai mem-positif-kan aturan-aturan, nilai, dan norma yang hidup di masyarakat ke dalam undang-undang. Ini dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum di masyarakat sebagai imbas dari perkembangan masyarakat yang kian cepat dan kompleks, sehingga membutuhkan pengaturan (regulasi) yang lebih terorganisir dan menjamin kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing warga negara .
Sebagai reaksi atas pandangan positivistik tersebut, Savigny muncul dengan gagasan volkgeist-nya yang mengkritik habis positivisme hukum. Menurutnya, positivisme telah mencederai nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat karena banyak peraturan yang termaktub di dalamnya tidak mencerminkan kehendak masyarakat, bahkan bertentangan secara diametral. Deviasi demikian yang dianggap Savigny sebagai “kecelakaan” dalam hukum, karena dengan sengaja telah mengangkangi jiwa rakyat. Karenanya, Savigny menawarkan suatu paradigma yang dinamakannya “Mazhab Sejarah”, yaitu suatu pandangan yang melihat hukum sebagai entitas organis. Hukum tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang di masyarakat .
Pandangan Savigny boleh jadi merupakan gagasan yang revolusioner pada saat itu di tengah euforia positivisme. Gagasan Savigny menyadarkan betapa pentingnya kedudukan rakyat dalam hukum karena sejatinya rakyat lah pemegang kedaulatan hukum tertinggi. Namun, gagasan ini mendapat pertentangan dari sebagian pemikir hukum lainnya, karena Savigny mengabaikan pentingnya undang-undang sebagai instrument utama dalam penegakan hukum. Penulis agaknya sepakat dengan sebagian muatan kritik atas pengabaian undang-undang tersebut karena bagaimanapun, eksistensi undang-undang tidak terbantahkan dalam penegakan hukum, salah satunya karena menjamin kepastian undang-undang dan menjadi landasan bagi tindakan-tindakan hukum yang diambil oleh aparat.
Pada beberapa dekade terakhir, pandangan tentang hukum bergerak ke ranah yang lebih progresif dan inklusif, yaitu melihat hukum secara lebih komprehensif. Hukum juga coba dikaji dari sudut pendang berbeda yang kemudian melahirkan gagasan-gagasan baru yang menjadikan hukum lebih manusiawi, tidak sekedar entitas mekanistik yang mengalir berdasar alur berpikir yang logis dan tertutup (closed logical system). Penulis mengambil contoh di Amerika Serikat yang pada 1970-an muncul aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang salah satu pelopornya adalah Roberto M. Unger. Aliran ini mengkritik secara tajam pemikiran-pemikiran hukum yang hanya melihat hukum secara artifisial. Critical Legal Studies ingin menempatkan hukum sebagaimana adanya, dalam arti bahwa mengkaji hukum tidak dapat dilepaskan dari anasir-anasir non yuridis yang senantiasa melingkupinya. Pemahaman yang baik mengenai hukum dibangun dari kesatuan sekalian unsur-unsur yang melekat dan terkait dengan dinamika hukum itu sendiri. Sebagai contoh, masalah pemberantasan korupsi tidak dapat dikaji secara tuntas bila tidak berusaha memahami kultur dan dinamika sosial yang melingkupinya. Korupsi bukanlah fenomena hukum belaka, melainkan sebagai fenomena sistemik yang saling bertalian dengan aspek lainnya, termasuk ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Selain Critical Legal Studies, paradigma-paradigma kontemporer antara lain Feminisme Hukum, Semiotika Hukum, dan Hukum Progresif. Fenimisme Hukum lebih menekankan pada aspek peran gender dalam sistem dan penegakan hukum. Hukum yang selama ini dianggap terlalu bercirikan maskulin telah menerabas aspek feminitas hukum itu. Peran perempuan dalam pembentukan dan penegakan hukum dianggap belum signifikan, sehingga perlu semacam kerja “rekonstruksi” untuk mengakomodir hal tersebut. Berbeda dengan Feminisme Hukum, Semiotika Hukum lebih menekankan pengkajiannya pada “otoritas teks” undang-undang. Teks dipandang memiliki dunia pemaknaan yang kompleks dengan konfigurasi esoteristik. Teks undang-undang seringkali ditafsirkan secara atbitratif karena substansinya yang abstrak. Kata “Melawan Hukum” misalnya, dapat ditafsirkan dalam berbagai derivasi, misalnya melawan atau bertentangan dengan undang-undang, bertentangan dengan asas kepatutan, melanggar hukum agama, dan melanggar norma sosial.
Beragamnya penafsiran atas teks suatu undang-undang tidak hanya disebabkan kekayaan makna teks itu sendiri tetapi juga konteks yang melingkupi teks a quo. Karenanya, melihat teks undang-undang harus memperhatikan muatan substantif dan kontekstualitasnya. Sementara itu, hukum progresif lebih menekankan pada penegakan hukum. Asumsi dasarnya, aparat hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) tidak boleh hanya menjadi “tukang-tukang” dari undang-undang yang mengeja dan menginput materi tekstual ke dalam kasus yang sedang dihadapi. Sikap apriori terhadap “nyawa” dari undang-undang tidak dibenarkan, dan mereka (penegak hukum) sedapat mungkin melakukan penemuan hukum secara progresif. Hukum progresif menekankan pentingnya mencari keadilan, karena sebagaimana adanya, hukum itu ada tetapi masih harus ditemukan meskipun undang-undang telah mengatur hal tersebut.
Diferensiasi paradigma hukum, sebagai disebut di atas, disebabkan oleh cara pandang (perspective) yang berbeda. Sejatinya, perbedaan tersebut dilatari oleh konteks ruang dan waktu para penstudinya. Pun demikian, berbagai pemikiran dengan sudut pandang berbeda agaknya mengalami semacam pendekatan (unifikasi), dimana teori-teori terbaru coba merangkum substansi dari teori-teori primordial untuk melahirkan suatu sintesa baru yang lebih komprehensif. Werner Mensky misalnya, mengajukan suatu gagasan baru tentang paradigma hukum. Menurutnya, mengkaji hukum tidak boleh sekedar sebagai pengkajian normative, melainkan juga harus melihat konteks hukum tersebut (penduduk, kondisi geografis, budaya, dan tata nilai) atau dikenal dengan kajian kontekstual. Mensky kemudian mengusulkan suatu jargon baru yaitu “The Triangular Concept of Legal Pluralism”. Sebagai diurai sebelumnya, Mensky sangat menekankan pentingnya mengkaji dan memahami hukum secara kontekstual, karena bagaimanapun, budaya, penduduk, dan tata nilai di tiap negara berbeda yang menyebabkan hukum yang dianut pun berbeda. Mensky sangat menentang pemikiran-pemikiran yang mengabaikan aspek kontekstual tersebut karena hasil pengkajiannya sangat artifisial dan tidak menyentuh substansi hukum itu sendiri.
Inilah kemudian yang penulis sebagai gejala “kesejarahan” berupa unifikasi atau penyatuan teori-teori primordial ke dalam teori baru yang lebih komprehensif, akseptabel, dan responsif. Unifikasi ini pada akhirnya mengantar, baik penstudi hukum maupun masyarakat awam untuk melihat hukum secara utuh dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran hukum di masyarakat. Pun demikian, penulis tidak menampik adanya diferensiasi massif terhadap teori-teori baru yang lahir kemudian sebagai sebuah gejala “kompartementalisasi” , khususnya dalam pengkajian hukum praktis.
2. Tata hukum dalam potret sejarah
Dalam kerangka berpikir kita, kita mungkin sepakat bahwa pada dasarnya, potret tata hukum sejak zaman purba hingga zaman modern-positivistik mengikuti suatu postulat sederhana, yaitu dari tata hukum tradisional (non positivistik, kebiasaan-kebiasaan) yang arbiter (arbitrary) menuju tata hukum yang positivistik atau sarat dengan keteraturan (ordered). Dalam tata hukum tradisional, keberadaan peraturan tertulis (perundang-undangan) masih belum terpikirkan atau belum dianggap penting. Dalam kajian antropologis, hal ini disebabkan pola kehidupan masyarakat masih sederhana dan dijalankan atas dasar kesamaan visi dan kepatuhan secara ketat terhadap aturan-aturan (nilai) yang telah disepakati bersama. Karenanya, mereka juga tidak membutuhkan institusi peradilan untuk menyelesaikan masalah atau sengketa yang terjadi.
Tata hukum modern yang cenderung positivistik sangat concern dengan kodifikasi dan jargon “kepastian hukum”. Positivisme, dengan sekalian doktrinnya, tidak mengakui hukum yang tidak tertulis. Hanya undang-undang yang memiliki legalitas dan legitimasi dan wajib ditaati masyarakat. Pemikiran ini berangkat dari kenyataan bahwa dinamika kehidupan masyarakat berkembang sangat cepat dan kian kompleks hingga membutuhkan aturan-aturan secara tertulis untuk menciptakan ketertiban. Memang, dan harus diakui, di zaman yang kian maju dengan kompleksitas masyarakat yang demikian membutuhkan pengaturan secara lebih sistematis (rigid) untuk menciptakan suasana tertib.

C. Hukum Visioner: Gagasan Rekonstruktif

Hukum nasional kini menunjukkan rupa yang hampir dapat dikatakan terburuk sepanjang sejarah. Beberapa alasan yang mendukung asumsi ini antara lain integritas lembaga peradilan yang mengalami degradasi hingga pada tingkat yang sangat memprihatinkan, fenomena makelar kasus (markus) yang menggerogoti sekalian proses hukum, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di persidangan. Keprihatinan demikian salah satunya mengusik penulis untuk memikirkan akar permasalahannya dan coba membuat sebuah sintesis baru mengenai hukum itu sendiri; sebuah sintesis yang berusaha melihat hukum secara komprehensif dan menggerakkan hukum untuk memiliki daya luar biasa dalam memainkan perannya sebagai panglima dalam kehidupan masyarakat.
Hukum visioner merupakan konsep yang coba dibangun penulis berdasar pada beberapa argumentasi dasar. Pertama, konsep atau teori hukum selama ini masih partikularis, dalam arti bahwa tidak mampu melihat segenap aspek yang berpengaruh dan menjadi determinan dalam sistem hukum nasional. Teori yang ada tidak dapat melepaskan diri dari status quo latar belakang pencetusnya dan bahkan cenderung bersifat eksklusif.
Kedua, aturan-aturan hukum yang dibuat dan dijalankan selama ini belum menunjukkan apresiasi tertinggi terhadap nilai-nilai humanistik yang ada. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya pemberian kesempatan secara luas kepada masyarakat untuk memberikan apresiasi dan masukan terhadap peraturan perundang-undangan baru yang akan dibuat. Masyarakat seakan hanya dijadikan sebagai objek tak bertuan dari undang-undang itu sendiri. Masyarakat hanya diberi kesempatan untuk melaksanakan undang-undang tersebut tanpa proses kritis dan tanpa disertai penyadaran secara mendalam terhadap setiap butir aturan dalam perundang-undangan tersebut.
Ketiga, konsep penegakan hukum yang cenderung mekanistik dalam aplikasi nya, sadar atau tidak, telah mematikan potensi-potensi psikologis manusia, baik intelektual, emosional, maupun spiritualitas. Ambil contoh di kepolisian, penentuan suatu kejadian telah memenuhi unsur pidana atau tidak, dapat dikerjakan melalui suatu perangkat lunak (software). Hanya dengan meng-input beberapa data, maka akan keluar hasil analisis “komputer” apakah kejadian ini sudah memenuhi unsur tindak pidana atau belum. Ini jelas “kebrutalan intelektual” karena telah membunuh kreatifitas dan daya analisis penyelidik maupun penyidik sekaligus melupakan suatu keniscayaan bahwa masing-masing kejadian atau kasus memiliki keunikannya tersendiri yang cenderung esoterik, dan hal ini sama sekali tidak dapt diungkap oleh “intelektualitas” perangkat lunak tadi. Karenanya, tidaklah mengherankan jika banyak orang yang, sejatinya, tidak bersalah kemudian divonis bersalah oleh pengadilan hanya karena perangkat lunak tersebut.
Keempat, satu aspek yang sering terlupakan adalah aspek psikologis yang senantiasa melekat dalam setiap gerak penegakan hukum. Penegak hukum yang baik adalah penegak hukum yang memahami, tidak hanya kondisi psikologisnya, melainkan juga individu sebagai subjek hukum yang dianggapnya melakukan pelanggaran. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain, banyak penegak hukum yang cenderung menegakkan hukum dengan cara represif tanpa berusaha menggali lebih dalam mengapa seseorang melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, proses edukasi atau pendidikan kepada masyarakat tentang hukum hanya dijalankan secara “serampangan” dalam arti bahwa penegak hukum tidak mendidik masyarakat secara elegan, tidak berusaha menyentuh nurani masyarakat dengan penjelasan-penjelasan yang masuk akal dan argumentatif. Penegak hukum, tidak semuanya, hanya berdiri pada landasan mekanistiknya yang melihat fungsinya hanya sebagai penindak terhadap setiap bentuk pelanggaran, bukan sebagai “pendidik” masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk mengetahui, memahami, menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam aturan, serta menjalankan aturan tersebut secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Kelima, teori hukum yang dibangun selama ini hanya berorientasi kekinian. Padahal, jika dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai perekayasa sosial, maka sejatinya hukum harus selangkah lebih maju dibanding dengan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mengarahkan masyarakatnya pada bentuk kehidupan yang lebih bercirikan keadilan. Hal ini hanya dapat dicapai jika hukum memiliki orientasi yang visioner (futuristik). Hukum harus dapat meneropong kemana arah gerak dinamika sosial dan melakukan suatu perancangan atas asas, norma, maupun kaidah atau aturan hukum yang dapat mengantisipasi segenap perubahan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, maka jargon “hukum sebagai panglima”, “hukum sebagai kontrol sosial”, dan “hukum sebagai perekayasa sosial” bukan lagi sekedar idealitas belaka, melainkan sebagai konsep empirik yang aplikatif. Inilah substansi dari konsep hukum visioner yang diajukan penulis.
Konsep hukum visioner pada dasarnya dapat diuraikan secara sistematis dalam poin-poin berikut:
1. Perlu ditetapkan asas-asas umum (meta aturan umum) yang dapat menjangkau setiap dinamika yang muncul di masyarakat. Dasar dari pemikiran ini adalah aturan-aturan yang ditetapkan dalam al Qur’an senantiasa tidak lekang oleh perkembangan zaman. Aturan-aturan tersebut bersifat umum dan karenanya, tidak pernah tertinggal oleh zaman, apapun bentuk perubahan itu, aturan-aturan yang ada tetap dapat diberlakukan. Nilai-nilai universalitas agaknya menjadi preferensi utama dalam penetapan asas-asas ini, bahkan tidak menutup kemungkinan, aturan-aturan dalam Islam sebagai termaktub dalam al Qur’an dapat dijadikan sebagai patron.
2. Asas-asas umum tersebut harus diejawantahkan dalam bentuk peraturan-peraturan yang lebih khusus. Antara asas dan peraturan khusus tidak boleh ada pertentangan. Kembali melihat pada aturan-aturan dalam Islam, aturan-aturan umum dalam al Qur’an terejawantahkan dalam konsep-konsep khusus seperti fiqh, dimana masalah-masalah aktual di masyarakat senantiasa dikembalikan pada al Qur’an lalu melalui suatu ijtihad berusaha ditemukan hukumnya. Ijtihad ini merupakan interaksi antara meta aturan (al Qur’an) dengan potensi-potensi intelektual dan bathiniah para mujtahid untuk melahirkan suatu hukum atas suatu kasus yang secara eksplisit baru terjadi. Hal ini dimungkinkan karena al Qur’an memang merupakan aturan yang universal, sehingga dengan penjelasan yang umum tersebut dapat menjangkau setiap gerak alir dari dinamika sosial kemasyarakatan.
3. Reorientasi konsep penegakan hukum dari represif ke edukatif-elaboratif-represif. Konsep penegakan represif, suka atau tidak, telah menghegemoni sebagian besar aparat hukum kita. Banyak bentuk pelanggaran yang langsung ditindak secara represif, padahal tindak pelanggaran tersebut dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan yang bersangkutan mengenai mengapa dia melakukan pelanggaran. Ini berlaku untuk pelanggaran-pelanggaran ringan yang tidak harus masuk ke meja pengadilan. Penegak hukum, sejatinya melakukan proses-proses edukatif kepada masyarakat dengan memperhatikan aspek psikologis mereka. Masyarakat harus diberi penyadaran secara psikologis mengenai aturan perundang-undangan yang berlaku. Penegak hukum tidak hanya menjelaskan apa aturannya, tetapi mengapa aturan itu dibuat dan apa manfaat yang akan diperoleh masyarakat. Penulis yakin, dengan memperhatikan aspek psikologis masyarakat, tidaklah sulit untuk mengkomunikasikan suatu aturan dan mendapati masyarakat begitu antusias dalam menyambut dan menjalankan aturan tersebut secara sadar dan dilandasi perasaan tulus. Konsep penyadaran secara psikologis ini berangkat dari pandangan Humanistik sebagai dikemukakan oleh Abraham Maslow; bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya untuk mencapai taraf aktualisasi diri. Pilihan manusia sangat dipengaruhi oleh tata nilai yang dianutnya serta keyakinan-keyakinan yang diperpeganginya. Karenanya, cara terbaik untuk membuat seseorang mematuhi suatu aturan adalah dengan melakukan penyadaran intelektual sehingga nilai-nilai dalam aturan dpat terinternalisasi dalam konstruk berpikir orang tersebut. Tanpa dipaksa pun, seseorang akan dengan senang hati mematuhi suatu aturan karena nilai dalam aturan tersebut telah terinternalisasi dalam dirinya. Inilah yang menurut H.C Kelman dan L. Pospisil dikategorikan sebagai ketaatan yang bersifat internalization, yaitu ketaatan yang didasari oleh kesadaran tertinggi individu mengenai suatu aturan; mengenai suatu nilai yang terkandung di dalamnya yang sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang diperpeganginya.

D. Penutup

Berdasar uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sejarah hukum merupakan studi yang sangat penting dalam ilmu hukum, karena memegang peranan penting, terutama dalam mengungkap fakta-fakta penting dalam sejarah hukum, mengurai permasalahan hukum masa kini, dan membuat kerangka ideal hukum ke depan (outlooking the future of law).
2. Dalam konteks sejarah hukum, dapat dipahami bahwa paradigma (pemikiran) tentang hukum mengalami perubahan (diferensiasi dan unifikasi) yang disebabkan oleh perkembangan dinamika masyarakat dan perubahan kebutuhan akan hukum. Ini juga dipengaruhi oleh pencitraan hukum di masyarakat dan harapan tentang hukum yang ideal (ius constituendum). Begitupun dengan tata hukum, dari hukum yang tradisional (tidak tertulis) ke hukum modern yang positivistik dipengaruhi hal-hal tersebut di atas.
3. Hukum visioner Hukum visioner merupakan sebuah gagasan yang lahir dari keprihatinan atas kondisi ber-hukum kita di Indonesia. Konsep ini pada dasarnya lahir untuk memberikan suatu perspektif baru dalam teori hukum; bahwa hukum tidak hanya melihat dirinya dalam teropong masa lalu dan masa kini, tetapi lebih dari itu, hukum harus melihat dirinya dri teropong masa depan, karena hanya dengan cara itulah, fungsi hukum sebagai perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dapat berjalan dengan baik dan tidak berakhir sebagai apologi belaka.








Catatan Akhir

http://www.id.wikipedia.org/sejarah_hukum

Rabiatul Syahriah. 2004. Sejarah Hukum Mengungkapkan Fakta Hukum Masa Lampau dalam Hubungannya dengan Fakta Hukum Masa Kini. USU Digital Library.

Satjipto Rahardjo. 1991.

Ibid.

Konsep Savigny mengenai “jiwa rakyat” dikenal dengan jargon “volksgeist”. Volksgeist dalam pandangan Savigny ini bersifat organis, artinya dia ditemukan (tumbuh secara alamiah di masyarakat), tidak dibuat karena sejatinya memang jiwa itu ada, melekat, tumbuh, berkembang, dan mati bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke ). Lihat Otje Salman. 2009. Filsafat Hukum: Perkembangan dan dinamika masalah. Bandung: Refika Aditama, h. 44.

Kepastian hukum belakangan banyak mendapat perhatian, terutama mengenai apa hakikat kepastian hukum itu sendiri? Satjipto Rahardjo pernah menuturkan bahwa kepastian hukum yang selama ini dipahami sebagian akademisi maupun praktisi hukum bukanlah kepastian hukum melainkan kepastian undang-undang. Pasalnya, dalih kepastian hukum yang didasarkan pada pandangan kesesuaian antara aturan hukum (rule of law) dengan penerapan hukumnya, dengan tidak melihat dinamika yang ada di dalamnya (Lihat Satjipto Rahardjo. 2008. Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis atas Pergulatan Manusia dengan Hukum. Jakarta: Kompas Gramedia). Ini jelas pandangan keliru, karena hukum sejatinya bukan hanya yang termaktub dalam undang, melainkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Apa jadinya ketika aturan dalam perundang-undangan bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai di masyarakat? Maka friksi dan pergolakan yang akan terjadi, terlebih jika penerapan aturan tersebut dibingkai dengan “pemaksaan” terhadap masyarakat (pencari keadilan). Karenanya, kepastian hukum bukanlah sesuatu yang instan, spontan, atau mekanis, melainkan sebagai entitas yang “organis” yang dinamis dan mengalami tahapan-tahapan perkembangan hingga mencapai suatu tingkat kematangan tertentu. Inilah kepastian hukum yang sesungguhnya yang lahir dari proses secara sadar untuk menemukan dan menggali sekalian aturan dan norma serta melaksanakannya secara inklusif yang dilandasi atas kesadaran intelektual dan moral.

Paradigma yang dekat dengan Mazhab Sejarah adalah Mazhab Kebudayaan sebagai digagas oleh Sir Henry Maine. Mazhab ini juga menekankan pada pentingnya peranan budaya di masyarakat sebagai basis pembentukan dan penegakan hukum. Hukum harus selaras dengan budaya masyarakat dan karenanya hukum yang ada senantiasa mengalir mengikuti alur perkembangan budaya di masyarakat. Tegasnya, budaya memiliki arti penting dalam membentuk karakter hukum suatu masyarakat.
Kompartementalisasi adalah suatu gejala terbaginya sesuatu ke dalam unit-unit yang lebih kecil dan membentuk sistemnya masing-masing secara otonom. Dalam konteks filsafat ilmu, kompartementalisasi adalah terbaginya suatu disiplin ilmu induk menjadi beberapa disiplin ilmu turunan yang masing-masing membentuk logika otonom dan cenderung terjebak dalam anarkisme rasional. Masing-masing disiplin membuat semacam bingkai maya yang membentengi dirinya dari intervensi displin ilmu lain meski masih dalam satu induk ilmu.

Tidak ada komentar: