11.19.2007

melejitkan kreatifitas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kreatifitas sebagai bagian yang terinternalisasi dalam kehidupan manusia merupakan suatu wacana yang menarik untuk dibahas, mengingat wujud dan aplikasinya yang abstrak dan sarat nilai estetika dan pragmatis. Begitu menariknya, hingga literatur-literatur yang mengupas dan berusaha meretas tabir makna ‘kreatifitas’ menjamur dengan menawarkan kreasi pembahasan yang eksentris.

Kreatifitas sebagai inkorporasi dari daya imajinasi dengan komponen kognitif lainnya seperti intelegensi dan daya nalar menjadi instrumen yang sangat mumpuni dalam menyelesaikan berbagai masalah yang kompleks dan krusial. Dinamika masyarakat saat ini menunjukkan sebuah tren yang mengarah pada banyaknya polemik-polemik baru yang bermunculan yang segera membutuhkan solusi yang lahir dari sebuah kreatifitas.

Secara eksplisit, kreatifitas dengan ekses yang dihasilkan lahir dari sebuah keberanian pada kondisi dan lingkungan tertentu yang pada umumnya tidak disadari. Relasi kreatifitas dan keberanian dengan komponen minat dan bakat, baik yang otodidak maupun yang terlatih secara profesional menjadi sebuah penekanan yang eksklusif dalam diskursus tentang kreatifitas.

Budi Matindas (Rollo May, 2004:ix) mengatakan bahwa kreatifitas adalah penyelewengan yang mendapat acungan jempol. Yang tidak menyeleweng (dalam arti tidak berbeda dengan yang kebanyakan) pastilah bukan sesuatu yang kreatif. Ini tidak berarti bahwa semua yang aneh dapat langsung dianggap kreatif. Untuk kreatif, dibutuhkan tambahan lain dari sekedar menyeleweng.

Berangkat dari pernyataan di atas, penulis agaknya sepakat dengan argumentasi yang diberikan. Namun di sini, perlu dipertegas batasan mengenai kreatifitas dengan ‘penyelewengannya’agar memiliki nilai korelatif dengan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat. Hal ini penting agar ekses yang dihasilkan tidak bergesekan dan menimbulkan dinamika konflik baru yang sentimentil.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan tema yang penulis angkat, maka berikut dirumuskan beberapa permasalahan yang representatif, yaitu:

1. Apa dan bagaimana hakikat kreatifitas itu?

2. Apa yang menjadi dimensi kreatifitas?

3. Bagaimana melejitkan kreatifitas?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Mengetahui makna kreatifitas dan menggali hakikat kreatifitas sampai pada batas-batas yang sangat substansial. Pemahaman ini diperlukan sebagai langkah awal dalam konstruksi pemikiran yang kreatif serta membangun sebuah paradigma yang sarat akan nilai-nilai kreatifitas yang humanistik.

2. Mengetahui dimensi-dimensi kreatifitas dalam wilayah teoritis dan praktisnya. Dimensi-dimensi yang dimaksud menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk dikaji dan dipahami secara utuh ketika paradigma kita bersentuhan dengan diskursus-diskursus kreatifitas pada sebuah upaya memahami kreatifitas secara elegan dan utuh.

3. Mengetahui dan memahami secara komprehensif kiat praktis dan prevalens dalam melejitkan kreatifitas.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini oleh penulis memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Menambah wawasan penulis mengenai jawaban atas pertanyaan ontologis seputar makna substantif kreatifitas yang selama ini masih cukup ‘misterius’.

2. Menambah kesadaran penulis akan arti penting sebuah kreatifitas dibanding sekedar kecakapan intelektual semata yang normatif dan cenderung terpenjara dalam batas-batas semu yang diciptakannya, baik secara sadar maupun tidak sadar.

3. Mengasah lebih jauh kecakapan dan kreatifitas dalam menulis sebuah karya yang berbasis pada kaidah-kaidah ilmiah dengan pendekatan logis-aksentuatif. Hal ini sangat sejalan dengan dinamika kemahasiswaan yang memang menuntut kreatifitas dan ke-ilmiah-an suatu karya tulis yang sarat muatan pengetahuan praktis dan pragmatis.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna dan Hakikat Kreatifitas

Ketika berangkat dari sisi internal kita, melihat kreatifitas pada sebuah dimensi inherennya merupakan hal yang kontributif dalam memaknai sebuah kreatifitas. Memang, dan menjadi sebuah keniscayaan, memaknai sebuah kreatifitas secara komprehensif pada semua dimensi internalnya adalah sulit, bahkan pada kondisi tertentu nyaris utopis. Dapat kita maklumi, setiap penilaian dan upaya penafsiran tidak terlepas dari sisi subjektifitas penafsir, meski pada taraf yang tidak begitu signifikan. Lebih jauh, adalah bijak jika kita tetap pada wilayah upaya pemaknaan kreatifitas secara maksimal.

Pembahasan mengenai makna kreatifitas kita mulai dari pendapat seorang filsuf besar. Adalah Plato, seorang filsuf Yunani kuno lebih melihat kreatifitas sebagai cara membuat kehidupan menjadi lebih estetis, dan pada taraf yang lebih tinggi, yaitu menciptakan suatu realitas baru yang eksentrik. Penciptaan suatu realitas baru ini di satu sisi merupakan refleksi ‘adanya’ sendiri, sebagai bagian dari aktualisasi diri secara utuh. Dengan ciri ke-ada-an yang eksentris, maka secara perlahan dia mulai berada pada suatu wilayah eksistensi yang mapan dengan bangunan ide dan paradigmanya tersendiri.

Dalam interaksi dialektis pada persepektif psikologi, kreatifitas secara umum dimaknai sebagai komponen kognitif yang memiliki akumulasi kapabilitas dalam menginterpretasi realitas yang dilihat dan dirasa–yang terdiri dari realitas fisis dan metafisis– untuk menghasilkan–paling tidak– derivasi realitas baru yang lebih fungsional dan comfort bagi kehidupan. Sepintas, pemaknaan diatas cukup rumit, namun jika dilihat pada berbagai aspeknya–terutama aspek pragmatisnya– kreatifitas umumnya bermuara pada upaya melahirkan sesuatu yang lebih fungsional dan memberi rasa nyaman pada aspek praksisnya.

Rollo May (2004:35) mengatakan bahwa hakikat kreatifitas sebagai suatu proses harus digali tidak sebagai produk rasa sakit, tetapi sebagai mewakili tingkat kesehatan emosi yang paling tinggi, sebagai ekspresi orang-orang normal dalam tindakan aktualisasi diri mereka sendiri. Kreatifitas harus dilihat dalam karya para ilmuwan dan para seniman, di dalam diri pemikir dan ahli estetika; dan orang tidak harus mengabaikan seberapa jauh kreatifitas hadir dalam tokoh-tokoh teknologi modern dan dalam hubungan yang normal seorang Ibu dengan anaknya.

Menilik pendapat Rollo May diatas, pemikiran kita cukup tercerahkan mengenai hakikat kreatifitas itu sendiri. Harus kita akui, memahami nilai ontologis kreatifitas secara mendalam dimulai dari merefleksikan segala yang imajiner dan muncul dalam benak kita dengan realitas fisis para seniman dan ‘kreator-kreator objek estetis’. Hal ini dapat kita pahami, mengingat dalam proses pemahaman muatan keilmuan yang baru, aspek empirik jauh lebih signifikan dari sekedar teori yang logis. Alasannya jelas, argumentasi yang terbangun dalam teori termaktub dan dijelaskan dengan bahasa verbal dalam realitas dengan rating pemahaman dan pemaknaan yang lebih baik.

Ada satu hal yang sangat urgen untuk kita ketahui berkaitan dengan hakikat kreatifitas. Adalah ‘perjumpaan’ dengan realitas objektif–kadang-kadang subjektif– yang menjadi kunci utama dalam sebuah kreatiftas. Perjumpaan itu, dalam penafsiran filosofis, menghasilkan sebuah dinamika dimana bias inderawi dan kognisi terserap ke dalam area imajiner yang kemudian ditransformasi ke media konkrit sebagai proses out put terhadap interpretasi yang dihasilkan. Inilah yang agaknya menjadi sisi eksklusif kreatifitas dibanding sekedar intelegensi, sebab kreatifitas diperkaya dengan imajinasi yang bebas dari kungkungan teori dan aturan yang picik.

B. Dimensi Kreatifitas

Sejenak kita melakukan flash back terhadap pengalaman-pengalaman primordial yang telah kita jalani. Akan tampak dalam benak kita kesan-kesan hidup yang maknawi; yang lahir dari sebuah kreasi proses batin. Kesan yang maknawi itulah yang lahir dari sebuah proses kreatif dalam diri kita, pun secara faktual itu merupakan sesuatu yang tidak kita sadari.

Sekarang, dari hasil kontemplasi pribadi, kita akan menemukan beberapa hal yang sesungguhnya telah menjadi bagian yang terinternalisasi dari kesan-kesan tadi. Itulah yang disebut dimensi proses kreatif (kreatifitas). Dimensi yang dimaksud melalui sebuah proses inkorporasi yang terakumulasi dalam out put proses kreatif tadi. Berikut dipaparkan beberapa dimensi kreatifitas yang, paling tidak, merepresentasikan apa yang ada dalam benak kita.

1. Dimensi Intelegensi

Intelegensi menjadi satu dimensi penting dalam proses kreatif, meski dalam beberapa fakta peran intelegensi tidak begitu dominan. Namun demikian, dalam prakteknya, intelegensi selalu hadir memberi warna pada setiap derai kreasi, menjadi penopang bagi sampainya tujuan yang ingin dicapai. Intelegensi dalam realitas sehari-hari sangat berkaitan erat dengan proses berpikir, yaitu suatu proses yang melibatkan sensasi, persepsi, dan memori. Berpikir sebagai sebuah proses merupakan upaya untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity). Memahami realitas berarti menarik kesimpulan, meneliti berbagai kemungkinan penjelasan dari realitas eksternal dan internal. Karena itu, Anna Taylor et al mendefinisikan berpikir sebagai proses penarikan kesimpulan,Thinking is an inferring process(Jalaluddin Rakhmat, 1993:68). Secara singkat, penjelasan diatas dapat kita ilustrasikan sebagai berikut:












Rounded Rectangle: Realitas
Rounded Rectangle: Berpikir
Rounded Rectangle: Kesimpulan/inovasi baru






Korelasi kreatifitas dengan intelegensi dapat kita pahami dari proses-proses yang dilalui oleh para saintis, baik klasik maupun kontemporer. Proses yang mereka lalui dengan diwarnai, dan mungkin seluruhnya, dengan satu atau banyak kegagalan tersimpan dalam memori mereka untuk kemudian ditelaah dan dicarikan solusinya. Nah, pada tahap pencarian solusi inilah kreatifitas berdinamika dengan ditopang oleh informasi logis dari intelegensi. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana seorang Thomas Alfa Edison, yang dalam biografinya, pernah gagal membuat bola lampu sampai 3000 kali. Namun, Dia tidak menganggap itu sebagai sebuah kegagalan melainkan keberhasilan membuktikan bahwa ke-tiga ribu bahan tersebut tidak dapat digunakan untuk membuat lampu. Hingga pada suatu waktu, dengan pengalaman yang tersimpan dalam kapasitas intelegensinya, Dia berhasil mengkreasi bola lampu pertama, dan saat ini, kita menikmati kreasi dia. Luar biasa!.

2. Dimensi Imajinasi

Tidak dapat dipungkiri, imajinasi menjadi salah satu hal terpenting dalam sebuah proses kreatif. Bagaimana tidak, seseorang tidak akan mungkin mampu manghasilkan suatu realitas baru tanpa melakukan proses imajinasi yang abstrak. Proses imajinasi ini pun sesungguhnya memiliki segelintir aturan yang tidak cukup mengikat, namun bermanfaat dalam proses. Misalnya, imajinasi hendaknya dibangun dari sebuah visi bathin setelah berinteraksi atau berdialektika secara intensif dengan realitas (objek). Ini penting untuk memvisualisasi objek dalam angan menjadi sebuah objek konkret yang fungsional dan comfort.

3. Dimensi Inderawi

Indera sebagai bagian integral manusia memiliki peranan yang sangat besar dalam proses interpretasi realitas. Indera manjadi mediator bagi interpretasi ontologis yang kemudian ditransformasi ke alam kognisi manusia. Segala yang dilihat indera ditransfer ke dalam bahasa-bahasa konkrit, lalu dengan sedikit penyelewengan, melakukan visualisasi awal mengenai realitas baru yang direncanakan.

4. Dimensi Keberanian

Kierkegaard dan Nietszche (Rollo May, 2004:2) melihat keberanian tidak lepas dari keputusasaan, melainkan kemampuan untuk bergerak maju kendati dalam keputusasaan. Lebih lanjut, Rollo May (2004:2) mengemukakan bahwa keberanian tidak hanya memerlukan kekeraskepalaan belaka, namun kita mesti bersinergi dengan orang lain.

Keberanian sebagai dimensi kreatifitas lahir dari sebuah proses bathin yang berlandaskan ke-ada-annya (being) kita. Keberanian dalam proses kreatif dibangun dari suatu pemikiran logis mengenai apa yang sedang dan mungkin akan dihadapi. Hal ini yang sangat penting dalam sebuah kreatifitas, sebab tidak jarang hasil dari sebuah kreatifitas justru berbenturan dengan realitas lama yang mungkin merasa terancam atau terganggu eksistensinya dengan kehadiran realitas baru tadi. Keberanian–yang dalam bahasa Perancis disebut couer, yang artinya jantung, yaitu organ yang mampu memfungsikan organ lain–memungkinkan semua kebajikan psikologis bersinergi dalam proses kreatif. Tanpa ditopang oleh sebuah keberanian, nilai-nilai psikis yang lain menjadi tidak fungsional dan hanya menjadi bagian sebuah simbolitas bathin belaka.

5. Dimensi Realitas

Ketika kita membicarakan kreatifitas, berarti kita akan bersentuhan dengan realitas, baik fisis maupun metafisis. Realitas sebagai suatu wujud eksistensi memberi forma tersendiri bagi interpretasi ketampakannya oleh pencerapan inderawi dan olah akal. Dalam proses ini, realitas yang divisualisasikan dalam dunia ide bersifat statis dan orisinil, dalam arti tidak memperlihatkan suatu fenomena ambiguitas yang quasif.

6. Dimensi Hasil

Hasil (realitas baru) sebagai tahapan akhir dari sebuah proses kreatif merupakan representasi dari jiwa kreatornya. Apa pun yang dihasilkan, setidaknya realitas baru memberi suatu warna yang eksentris dalam dinamika selanjutnya.

C. Kiat Melejitkan Kreatifitas

Sesunguhnya, hal yang sangat substansial dalam membahas masalah kreatifitas adalah wacana mengenai kiat untuk melejitkan kreatifitas. Beberapa ahli telah berusaha mensintesis suatu rumusan yang komprehensif dan padu untuk melejitkan kreatifitas.

Richard Fobes adalah salah satu ahli yang mendalami konsep kreatifitas yang aplikatif. Dalam salah satu karyanya, dia mengulas secara komprehensif dan padu mengenai kiat efektif menumbuhkan dan melejitkan potensi kreatifitas. Secara umum, dia menekankan pembahasannya pada eksplorasi ide secara intensif dengan melihat realitas-realitas yang inheren, baik internal maupun eksternal.

Richard Fobes (2004) mengemukakan kiat-kiat untuk melejitkan kreatifitas pada beberapa poin inti, yaitu :

1. Menyambut datangnya ide-ide baru

2. Memikirkan tujuan-tujuan personal

3. Eksplorasi berbagai alternatif

4. Rekonsiliasi ide

1. Menyambut datangnya ide-ide baru

Banyak orang yang tidak menyadari ide-ide berguna yang kreatif muncul dalam benak dengan forma ide-ide mentah, konyol, dan tidak dapat digunakan. Umumnya, penciptaan solusi yang muncul dalam dunia ide adalah tidak lengkap. Cara yang paling jitu dalam menyikapinya adalah menyadari nilai-nilai keunggulan dalam ide tersebut untuk selanjutnya melakukan ekspansi teoritis yang logis dan imajinatif. Dengan begitu, diharapkan akan dihasilkan sebuah solusi yang holistik dan efektif.

Memang, dan menjadi sebuah fenomena umum, ide-ide yang secara insidentil muncul tanpa sebuah rangkaian proses kognitif cenderung kita abaikan, meski sesungguhnya memiliki nilai positif yang amat baik jika kita kelola dengan cermat. Karenanya, cara terbaik menyambut sebuah ide adalah mencatatnya pada sebuah media yang fungsional. Dengan begitu, proses mengingat dan analisis ide mentah yang muncul dapat dilakukan dengan mudah dan intensif. Satu hal yang perlu kita tekankan adalah dalam menuliskan ide-ide diperlukan visi batin yang mendalam agar ide tersebut terserap sempurna dalam alam sadar kita dan tidak akan tercerabut dalam jangka waktu yang lama.

Cara lain–dan merupakan kelanjutan dari menuliskan ide-ide–untuk menyambut ide adalah melihat perspektif-perspektif baru dari ide tersebut. Memang, dan harus diakui, ketika mencari keunggulan-keunggulan dalam sebuah ide dari sudut pandang sendiri sedikit rumit. Karenanya, adalah bijak jika ide tersebut dilihat dari sudut pandang orang lain, mengingat proses dialektika interaktif yang lahir sangat kontributif dalam melihat sisi lain–yaitu sisi keunggulan–dari ide. Dalam tahapan ini, cara terbaik untuk menganalisis berbagai perspektif adalah melihat sisi pragmatisnya–apakah mampu membuka jalan ke arah penemuan solusi atau tidak–bukan menjustifikasi benar atau salah. Richard Fobes (2004:43) pernah mengatakan bahwa titik balik dari pemecahan suatu masalah biasanya tercapai ketika suatu wawasan yang berguna telah diperoleh melalui usaha-usaha untuk melihat suatu situasi dari perspektif yang benar-benar baru.

Satu hal yang patut ditanamkan dalam benak kita bahwa melihat keunggulan dalam ide merupakan suatu kecakapan yang signifikan dalam proses kreatif. Melihat keunggulan dalam perspektif-perspektif baru yang dialektis akan memberi kontribusi yang pragmatis berupa solusi yang efektif dan efisien.

2. Memikirkan tujuan-tujuan personal

Tujuan, secara ontologis, selalu ada dalam setiap dinamika kehidupan. Namun, yang menjadi polemik selama ini adalah seringnya tujuan-tujuan itu berbeda dengan yang tertulis dalam akumulasi ide kita.

Dalam hidup, terkadang kita berhadapan dengan dua permasalahan sekaligus yang membutuhkan penanganan segera. Hal ini tidak jarang menimbulkan sebuah dilema yang sangat riskan, dan implikasi lebih jauh adalah menguatnya stressor dalam tubuh. Karenanya, dibutuhkan ketenangan dan fokus pada dua sisi permasalahan yang dihadapi. Langkah terbaik untuk memecahkan polemik seperti diatas adalah mereorientasi pijakan (titik) awal dari sebuah perencanaan.

Reorientasi titik awal dari sebuah perencanaan merupakan suatu upaya melihat sesuatu dari semua sisinya. Dalam proses ini, memfokuskan perhatian pada pokok masalah sambil mengabaikan permasalahan lain dengan asumsi bahwa solusi dari masalah yang difokuskan dapat menyelesaikan, paling tidak, masalah utama yang dihadapi. Namun, bukan berarti masalah-masalah sekunder yang menyertainya tidak diusahakan solusinya, namun lebih teraksentuasi pada solusi yang mengandung nilai holistik, sehingga eksesnya dapat terasa pada semua lini. Dalam prosesi ini, ekspansi kreatifitas dapat ditempuh dengan senantiasa merevisi tujuan-tujuan personal kita. Hal ini cukup reasonabel, mengingat tujuan-tujuan yang kaku akan membatasi kreatifitas kita. Karenanya, sikap yang open mind terhadap setiap perubahan diiringi dengan dinamisasi tujuan-tujuan sebelumnya adalah sikap terbaik.

Satu hal yang menjadi masalah klasik adalah seringnya sesuatu yang dicapai tidak memberi kepuasan dan justru menimbulkan kekecewaan baru. Menurut Richard Fobes, hal diatas merupakan suatu even dimana yang bersangkutan sesungguhnya belum sampai pada tujuan akhir, melainkan masih pada wilayah tujuan antara. Dalam pemahamannya, dia membagi tujuan menjadi dua, yaitu tujuan antara dan tujuan akhir. Dan, seyogianya setiap orang memikirkan hal-hal apa yang menjadi tujuan akhirnya, bukan memnekankan pada pencapaian tujuan-tujuan antara yang secara substantif sifatnya semu dan tentatif.

Tujuan antara pada dasarnya adalah entitas jangka pendek yang miskin alternatif. Tujuan antara pada dasarnya mengajak seseorang untuk berpikir sempit pada sebuah jalur dan mengabaikan bahkan membuang jauh-jauh alternatif lain yang dianggap menjadi inhibitor-nya. Namun demikian, tujuan antara dapat dipandang sebagai memediasi seseorang untuk mencapai tujuan akhir, meski pada berbagai kasus menunjukkan hal yang kontra produktif.

Tujuan akhir merupakan tujuan kulminatif dan substantif dari semua aktifitas. Tujuan ini memiliki nilai pragmatis yang mendalam dan dapat mengantar seseorang pada peak eksperience yang esoteristik. Pada kondisi demikian, seseorang dapat lebih memahami hakikat hidup dan berpandangan luas tentang arti sebuah kebahagiaan.

Richard Fobes memberikan gambaran mengenai relasi antara realitas, tujuan antara, dan tujuan akhir pada sebuah skema sederhana. Ketiganya, dalam wilayah praksis memiliki kontribusi internal dalam memberi persepsi kebahagiaan bagi yang bersangkutan. Skemanya sebagai berikut:

Tujuan akhir

Tujuan antara

Realitas

Oval: Alternatif tujuan antara yang terabaikan















Dari skema diatas, dapat kita pahami bahwa ada banyak alternatif yang ada dan mungkin ada untuk mencapai sebuah tujuan akhir. Karenanya, jangan terpaku pada tujuan antara yang dicapai, sebab hal itu akan menutupi alternatif lain yang mungkin akan memberi akses yang lebih baik dalam pencapaian tujuan lain yang lebih signifikan, yaitu tujuan akhir.

3. Eksplorasi berbagai alternatif

Eksplorasi berbagai alternatif merupakan bagian yang sangat penting dalam proses kreatif. Kata eksplorasi sarat dengan muatan nilai optimistik, visioner, dan dinamis karena bersentuhan dengan entitas-entitas baru dan unik yang menawarkan hal-hal baru, bahkan tantangan baru yang eksentris.

Mengeksplorasi berbagai alternatif merupakan suatu upaya untuk melihat alternatif atau solusi yang memiliki nilai probabilitas yang representatif untuk diaplikasikan pada kasus atau masalah yang dihadapi. Prosesi eksplorasi melibatkan aspek kognitif pada taraf yang intensif dengan melihat berbagai kemungkinan-kemungkinan yang ada untuk dianalisis dan dirumuskan menjadi sebuah konsep alternatif baru yang lebih prospektif.

Suatu sikap bijak dalam memecahkan suatu masalah adalah dengan melihat hal-hal yang ada di luar alternatif yang eksplisit. Hal ini dapat kita pahami, sebab dari hal-hal eksternal itulah sesungguhnya terkandung pilihan-pilihan kreatif, dan mungkin lebih fleksibel dan aplikatif. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa eksplorasi yang dilakukan tidak menjebak kita untuk mengejar ide-ide terlalu banyak, sebab ternyata banyak ide yang tidak menjanjikan. Disini perlu dipertegas bahwa eksplorasi alternatif dibatasi pada ide-ide yang menjanjikan saja, sebab hanya ide inilah yang lebih prospektif dan sangat kontibutif dalam penyelesaian masalah. Mengejar ide-ide yang menjanjikan berarti mengentarkan kita pada efisiensi dan efektifitas waktu dan energi dalam upaya pemecahan suatu masalah.

Pemecahan masalah-masalah kreatif merupakan sebuah proses yang tidak hanya menyusuri satu koridor tunggal saja, melainkan berbagai koridor yang bercabang ke segala arah. Percabangan ini, dalam proses kreatif, harus dieksplorasi sampai pada tahap atau batas tertentu yang aplikatif dengan memperhatikan semua sisi positif dan negatifnya. Pun dalam proses ini mungkin ditemukan ide yang tidak menjanjikan, bukanlah sebuah masalah sebab ide-ide tersebut dapat dijadikan sebagai komponen pendukung bagi solusi-solusi pilihan yang telah direvisi.

4. Rekonsiliasi Ide

Sebagai tahap akhir dari sebuah proses kreatif adalah rekonsiliasi (perbaikan dan penyempurnaan) ide-ide. Seperti yang kita pahami bahwa ide-ide kreatif yang sering muncul umumnya berbentuk ide mentah dan terkadang konyol sehingga sulit untuk diaplikasikan secara spontan. Meski dalam proses lebih lanjut, ide tersebut diolah dengan rangkaian dinamika yang elegan, namun masih perlu diperbaiki dan disempurnakan sehingga benar-benar dihasilkan out put yang terbaik.

Proses memperbaiki merupakan modifikasi dari sebuah ide dengan tujuan untuk menghilangkan kekurangan-kekurangan yang ada dan mempertahankan dan menambahkan kelebihan-kelebihannya. Pada proses ini, analisis yang digunakan lebih menyentuh aspek realitas dibanding aspek ide abstrak, sebab akan lebih mudah bagi seseorang untuk menemukan hal-hal yang sifatnya praktis dari sisi realitas empirisnya.

Contoh konkrit yang dapat menambah pemahaman mengenai proses diatas adalah rangkaian dinamika dalam penemuan huruf Braille. Pada tahun 1784, Valentine HaĆ¼y menemukan fakta bahwa orang buta dapat membaca dengan huruf-huruf timbul yang dicetak pada kertas. Hal ini kemudian memicu dia mengaplikasikan prinsip tersebut untuk mencetak buku bagi orang buta. Dalam selang waktu yang tidak lama, seorang berkebangsaan Perancis menemukan kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan huruf-huruf dalam buku tersebut. Dari sini, Barbier kemudian mendesain ulang huruf-huruf timbul tadi dengan menggunakan format 12 titik yang merepresentasikan sebuah angka atau huruf, namun ternyata konsep ini pun mengandung kelemahan, yaitu lebih rumit dan kurang populer. Akhirnya, Louiss Braille, seorang tuna netra sejak umur 3 tahun, mempelajari sistem huruf Barbier dan menemukan kelebihan yang dimilikinya serta menemukan kekurangan dari format 12 titik yang digunakannya. Dari hal tersebut, Braille mencoba menyusun konsep baru yang mempertahankan keunggulan format Barbier dan membuang kekurangannya dengan mengaplikasikan format 6 titik untuk setiap karakter. Konsep Braille ini yang digunakan sampai saat ini bagi kalangan penderita tuna netra, karena dianggap sangat mudah dan sederhana. Dari hal diatas, dapat kita simpulkan bahwa penemuan solusi Braille diawali dari sebuah rangkaian ide yang kemudian disempurnakan dengan menghilangkan kekurangan-kekurangan yang ada tanpa menghilangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Proses diatas dapat digambarkan secara singkat pada skema dibawah ini.

Cycle Diagram

Right Arrow: Titik awal


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai akhir dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis menarik beberapa kesimpulan yang representatif, yaitu:

1. Kreatifitas secara umum dimaknai sebagai komponen kognitif yang memiliki akumulasi kapabilitas dalam menginterpretasi realitas yang dilihat dan dirasa–yang terdiri dari realitas fisis dan metafisis– untuk menghasilkan–paling tidak– derivasi realitas baru yang lebih fungsional dan comfort bagi kehidupan. Hakikat kreatifitas adalah refleksi tingkat tertinggi dari emosi seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk realitas-realitas baru yang lahir.

2. Kreatifitas dalam realitas empiris memiliki dimensi yang inheren dan menjadi bagian tak terpisahkan dalam dialektikanya. Dimensi kreatifitas terdiri dari:

a. Dimensi intelegensi

b. Dimensi inderawi

c. Dimensi imajinasi

d. Dimensi keberanian

e. Dimensi realitas

f. Dimensi hasil

3. Melejitkan kreatifitas adalah sebuah upaya membangunkan potensi-potensi kreatif dalam diri kita yang, mungkin, selama ini ‘terbaring’ tidak terjamah oleh pemiliknya. Dalam pembahasan sebelumnya, cara melejitkan kreatifitas ada empat langkah utama, yaitu

a. Menyambut datangnya ide-ide baru

b. Memikirkan tujuan-tujuan personal

c. Eksplorasi berbagai alternatif

d. Rekonsiliasi ide

B. Saran

Kreatifitas adalah suatu entitas yang sangat menarik untuk kita kaji lebih mendalam. Diskursus mengenai kreatifitas tidak akan berhenti sampai disini, sebab akan ada banyak hal lain yang tersembunyi dibalik realitas ontologisnya. Karenanya, adalah bijak jika eksplorasi realitas terus dilakukan hingga mencapai titik kulminasi. Semua hal tersebut tidak lain adalah untuk kehidupan yang lebih baik.

Right Arrow: Titk awal

Tidak ada komentar: