11.19.2007

pengakuan internasional

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbicara mengenai pengakuan internasional, kita tidak akan terlepas dari konteks masyarakat internasional. Masyarakat internasional sebagai yang kita ketahui merupakan sebuah entitas yang sangat dinamis. Masyarakat internasional tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini kemudian berimplikasi pada semakin kompleksnya struktur dan dinamika kehidupan yang pada saat bersamaan mengalami suatu dinamisasi yang signifikan. Inilah sesungguhnya yang kita asumsikan sebagai sesuatu yang krusial, mengingat dengan proses tersebut, maka sangat mungkin tercipta suatu gesekan antara komponen-komponen dalam struktur masyarakat internasional.

Salah satu hal yang sangat penting dibahas dalam konteks pengakuan internasional adalah mengenai pendirian suatu negara atau pemerintahan baru, yang secara faktual tidak jarang melahirkan konflik yang massif. Harus kita akui bahwa sepanjang sejarah perjalanan masyarakat internasional banyak fakta yang menunjukkan negara-negara lama lenyap atau bergabung dengan negara lain untuk kemudian membentuk sebuah negara baru, atau terpecah menjadi beberapa negara baru atau wilayah-wilayah koloni melalui suatu proses emansipasi dalam memperoleh status negara. Mungkin belum lepas dari ingatan kita bagaimana negara sebesar dan sekuat Uni Soviet pecah dan menjadi beberapa negara yang lebih kecil. Begitu pun juga dengan yang dialami oleh Yugoslavia yang kemudian pecah menjadi beberapa negara kecil. Bagaimana pembentukan suatu pakta pertahanan militer oleh beberapa negara yang tidak terlepas dari pengakuan internasional.

Transformasi-transformasi seperti yang disebutkan diatas menimbulkan suatu polemik baru bagi masyarakat internasional, yaitu pengakuan terhadap negara baru. Mengapa menjadi polemik? Jawabnya singkat karena ternyata pengakuan terhadap negara ini tidak didasari oleh motif tunggal, melainkan ada banyak motif yang pragmatis. Pengakuan juga pada dasarnya tidak bersifat kekal dan permanen, karena pengakuan ternyata dapat ditarik oleh pihak atau negara yang memberikan pengakuan tersebut. Salah contohnya adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Inggris pada tahun 1936 sebagai dikutip oleh Adolf dari M.N. Shaw, yang awalnya mengakui secara de facto penaklukan Italia atas Ethiopia dan kemudian diikuti pengakuan de jure pada tahun 1938. Namun, Inggris menarik pengakuannya ini di tahun 1940 menyusul terjadinya pergolakan senjata di negeri Ethiopia yang diduduki.

Dalam dinamika hukum internasional, pengakuan sangat erat kaitannya dengan identitas dan legitimasi otoritas suatu negara. Pengakuan dalam beberapa sisi sangat implikatif terhadap jumlah negara-negara yang diakui sebagai anggota masyarakat internasional. Sebagai contoh, Palestina yang selama ini kita kenal sebagai sebuah negara ternyata secara yuridis belum dapat dikatakan sebagai bagian dari masyarakat internasional. Kita akui, di satu sisi Palestina memiliki pemerintahan sendiri dan dilengkapi dengan unsur-unsur negara seperti rakyat, undang-undang, dan wilayah. Namun, ternyata hal tersebut belum cukup untuk mengangkat Palestina sebagai sebuah negara yang otoritatif. Alasannya cukup jelas, Israel dan sekutunya selama ini menjadi negara yang sangat menentang kedaulatannya bahkan ada indikasi kuat upaya Israel dengan sekutunya untuk menghancurkan dan menguasai Palestina.

Berangkat dari hal diatas, bila dikaitkan dengan konteks pengakan internasional, maka sesungguhnya Palestina belum mendapatkan pengakuan dari beberapa negara, yang dalam percaturan politik internasional memiliki pengaruh yang sangat besar, yaitu Israel dan Amerika Serikat. Karena itu, menarik untuk dikaji, apakah legitimasi sebuah negara hanya ditentukan oleh sebuah pengakuan internasional? Tidakkah dapat dikatakan bahwa sebuah negara telah berdiri setelah memenuhi syarat-syarat materiil sebagai negara tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur pengakuan, yang secara institusional, sangat subjektif?. Hal tersebut yang agaknya juga menjadi persoalan mendasar bagi penganut teori konstitutif mengenai pengakuan, karena hanya mendasarkan eksistensi sebuah negara dari sebuah pengakuan. Di satu sisi, bagi mereka penganut teori ini, cukup beralasan untuk menjustifikasi bahwa suatu negara baru dapat dikatakan berdiri setelah mendapatkan pengakuan jika dikaitkan dalam konteks pergaulan internasional, namun secara institusional, penganut teori ini sesungguhnya tidak dapat mengabaikan unsur-unsur materiil yang telah dimiliki oleh suatu negara. Dalam pembahasan lebih jauh, ada juga teori yang membantah konsep dari teori sebelumnya, yaitu teori deklaratoir. Akan tetapi, menurut penulis keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, namun negara yang ideal bagi penulis adalah negara yang diakui, baik oleh komponen-komponen yang ada di dalamnya, maupun dari entitas luar sebagai bagian dari dinamika berbangsa yang sehat dan konformis. Pengakuan ke dalam merupakan sebuah konsolidasi yang esoteristik, sedangkan pengakuan ke luar merupakan reinforcement dalam upaya pengembangan kehidupan negaranya, karena sudah menjadi hukum alam bahwa sebuah negara hanya akan mencapai kemajuan jika bekerja sama dengan negara lain.

Dari pemaparan diatas, penulis kemudian berupaya melakukan sebuah upaya refleksi atas polemik-polemik hukum internasional yang selama ini masih sangat intensif terjadi, salah satunya adalah yang berkaitan dengan pengakuan internasional. Karena itu, adalah menjadi sebuah keniscayaan ketika kita merasa sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah-masalah internasional, salah satunya dengan pemikiran-pemikiran yang penulis tuangkan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang representatif dengan tema yang diangkat. Rumusan masalah yang dimaksud adalah:

1. Bagaimana defenisi ‘pengakuan’ dalam tata hukum internasional?

2. Teori apa yang menerangkan tentang hakikat, fungsi, dan pengaruh pengakuan?

3. Bagaimana bentuk-bentuk pengakuan yang diatur dalam hukum internasional?

4. Bagaimana cara pemberian pengakuan yang diatur dalam hukum internasional?

5. Bagaimanakah akibat hukum dari pengakuan?

C. Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1. Mengetahui defenisi ‘pengakuan’ dalam tata hukum internasional secara komprehensif.

2.Mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai teori yang menerangkan tentang hakikat, fungsi, dan pengaruh pengakuan.

3.Mengetahui dan memahami bentuk-bentuk pengakuan yang diatur dalam hukum internasional.

4.Mengetahui dan memahami cara pemberian pengakuan yang diatur dalam hukum internasional.

5.Mengetahui dan memahami akibat hukum dari pengakuan.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a.Menambah pengetahuan penulis tentang aturan-aturan baku dalam menulis karya ilmiah.

b.Memperoleh pemahaman dan pengahayatan secara mendalam mengenai masalah-masalah dalam hukum internasional.

2. Manfaat Praktis

a.Menambah kemampuan penulis dalam menulis karya ilmiah, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

b.Mampu merumuskan dan mengaplikasikan konsep-konsep pengakuan internasional dalam dunia akademis maupun konteks kemasyarakatan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Pengakuan

Pengakuan dalam tata hukum internasional oleh sebagian pakar dianggap sebagai sebuah tindakan diplomatik sepihak oleh satu negara atau lebih. Sampai saat ini, belum ada prosedur kolektif atau organik untuk memberikan pengakuan berdasar pada prinsip-prinsip sebagai yang dikembangkan oleh masyarakat internasional. Ditinjau dari beberapa sisi, pengakuan dapat dikatakan sebagai sebuah sertifikasi status kenegaraan.

Dalam konteks hukum internasional, defenisi mengenai pengakuan cukup beragam. J.G. Starke mendefenisikan pengakuan sebagai tindakan bebas oleh suatu negara atau lebih yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu dari masyarakat manusia yang terorganisir secara politis, yang tidak terikat pada negara lain, dan mempunyai kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, dan dengan cara itu, negara-negara yang mengakui menyatakan kehendak mereka untuk menganggap wilayah yang diakuinya sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.

Dalam pasal 1 konvensi Montevideo 1933 mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara (yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan beberapa negara amerika latin) mengemukakan karakteristik-karakteristik berikut ini:

‘ Negara sebagai pribadi hukum Internasional harus memiliki syarat-syarat berikut: a. Penduduk tetap; b. Wilayah yang tertentu; c. Pemerintah; d. Kemampuan untuk melakukan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain’ .

Isi dari pasal diatas menggambarkan dengan jelas bahwa suatu negara hanya akan mendapatkan pengakuan secara luas bila memenuhi unsur-unsur yang disebutkan diatas. Jadi, pada dasarnya pengakuan internasional akan eksistensi suatu negara harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik syarat hukum maupun syarat institusional.

Dalam berbagai diskursus mengenai pengakuan internasional, diperoleh suatu fakta menarik bahwa pengakuan internasional secara substantif lebih didasari oleh motif politis. Ini pula yang diungkapkan oleh Brierly bahwa pemberian pengakuan merupakan refleksi tindakan politik alih-alih tindakan hukum.

B. Teori tentang Pengakuan Internasional

Dalam pengkajian mengenai pengakuan internasional, ada beberapa teori yang membahasnya secara mendalam, yaitu teori konstitutif dan teori deklaratoir.

1. Teori Konstitutif

Teori konstitutif pada dasarnya menekankan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di lingkungan internasional . Sementara itu, Adolf menyatakan bahwa teori konstitutif menekankan suatu negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan. Jadi, hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan karena memperoleh statusnya sebagai subjek hukum internasional. Tokoh-tokoh yang menganut teori ini adalah Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Guggenheim, Anzilotti, dan Hans Kelsen.

Salah satu asumsi yang mendasari pandangan diatas adalah kesepakatan yang menjadi fondasi berlakunya hukum internasional. Karena itu, secara yuridis, negara akan dianggap sebagai subjek hukum internasional jika sebelumnya telah ‘diratifikasi’ melalui sebuah pengakuan (kesepakatan) oleh negara yang terlebih dahulu ada.

2. Teori Deklaratoir

Menurut teori deklaratoir, suatu kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status ini tidak bergantung pada pengakuan. Tindakan pengakuan semata-mata hanya pengumuman resmi terhadap situasi fakta yang telah ada . Karena itu, teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang menekankan pada establishment suatu negara secara materiil, dan baginya aspek formal hanyalah sebagai ‘sampul’ pengakuan yang futuristik. Lebih jauh, menurut teori ini, negara dapat dikatakan telah ada dan otoritatif jika telah memenuhi syarat-syarat primordial sebagai negara, yaitu memiliki wilayah, rakyat, konstitusi, dan penguasa. Lebih lanjut, menurut teori ini bahwa suatu negara mendapatkan kemampuannya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan negara-negara yang telah ada terlebih dahulu, namun berdasarkan situasi-situasi nyata tertentu.

C. Bentuk-Bentuk Pengakuan

Dalam pengkajian hukum internasional, dikenal beberapa bentuk pengakuan internasional, baik yang berkaitan dengan pengakuan negara baru maupun pengakuan pemerintah baru. Pengakuan negara baru terdiri atas pengakuan kolektif, pengakuan terpisah, pengakuan mutlak, dan pengakuan bersyarat.

1. Pengakuan Negara Baru

a. Pengakuan Kolektif

Pengakuan kolektif pada dasarnya adalah pengakuan yang diberikan oleh beberapa negara terhadap suatu negara mengenai pendirian negara yang bersangkutan. Menurut Ian Bronlie, sebagai dikutip oleh Adolf , Pengakuan kolektif dapat berupa dua bentuk. Pertama, dalam bentuk deklarasi bersama oleh sekelompok negara, misalnya pengakuan yang diberikan oleh Allied Supreme Council terhadap suatu negara setelah PD I. Kedua, pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi pihak atau peserta ke dalam suatu perjanjian multilateral, misalnya perjanjian perdamaian.

Pengakuan kolektif ini sangat penting bagi pendirian suatu negara, yaitu sebagai bukti positif adanya pengakuan satu negara baru. Hal ini sejalan dengan realitas yang terjadi bahwa masih ada negara-negara tertentu yang telah memiliki syarat-syarat sebagai negara namun belum dianggap sebagai negara baru karena belum ada bukti pengakuan dari negara atau kelompok negara lain.

b. Pengakuan Terpisah

Pengakuan terpisah adalah pengakuan yang diberikan oleh suatu negara atau beberapa negara atas beridirinya suatu negara baru, namun di sisi lain pengakuan itu tidak ditujukan kepada pemerintahannya. Begitupun pada pengakuan mengenai suatu pemerintahan baru yang berkuasa, namun pengakuan itu tidak diberikan kepada negaranya. Bentuk pengakuan ini pada umumnya dilandasi oleh motif politis atau motif-motif pragmatik lainnya.

c. Pengakuan Mutlak

Pengakuan mutlak adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang sifatnya permanen. Pengakuan ini merupakan pengakuan yang bersifat de jure sehingga tidak dapat ditarik kembali. Pengakuan ini sejalan dengan resolusi yang disahkan oleh Institut Hukum Internasional tahun 1936 yang menyatakan bahwa pengakuan de jure suatu negara tidak dapat ditarik kembali. Moore seperti dikutip oleh Adolf menyatakan bahwa pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali (absolute and irrevocable). Secara yuridis, pengakuan de jure adalah pengakuan yang diberikan atas dasar penilaian yang intensif dan cermat mengenai lahirnya suatu negara. Dapat pula kita katakan bahwa pengakuan de jure lahir atas penilaian yang benar-benar objektif, sehingga secara yuridis membawa dampak hukum yang mutlak, yaitu pengakuan tetap dan tidak dapat ditarik kembali.

d. Pengakuan Bersyarat

Pengakuan bersyarat adalah pengakuan yang diberikan negara atau kelompok negara lain kepada negara baru yang diserta dengan beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi atau dijalankan oleh negara baru yang bersangkutan. Syarat-syarat tersebut pada dasarnya merupakan imbalan atas pengakuan yang telah diberikan.

Menurut Hall, seperti dikutip oleh Adolf, pengakuan bersyarat ada dua macam. Pertama, pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua, pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dilaksanakan kemudian setelah pengakuan diberikan.

Pada pengakuan yang pertama, jika syarat-syarat yang telah disetujui tidak dilaksanakan, maka pengakuan tidak perlu diberikan. Pengakuan ini pada dasarnya lahir dari sebuah bargaining sehingga dalam pelaksanaannya, masing-masing pihak harus berkomitmen dengan apa yang telah disepakati. Jika ada salah satu diantara keduanya yang melanggar kesepakatan, maka hal itu memberikan kewenangan pada pihak lain untuk menarik semua apa yang telah diperjanjikan sebelumnya.

Pada bentuk kedua ini, jika syarat-syarat yang telah diberikan oleh negara yang memberikan pengakuan tidak ditepati, maka negara tersebut dapat melakukan sebuah upaya penekanan, seperti pemutusan hubungan diplomatik atau upaya-upaya intervensi. Tindakan ini diambil karena secara yuridis, negara yang memberikan pengakuan tidak dapat menarik kembali pengakuannya, melainkan hanya dapat melakukan upaya represif lainnya.

Ada beberapa contoh pengakuan bersyarat yang pernah diberikan oleh negara atau kongres tertentu kepada negara lain. Amerika Serikat mengakui kemerdekaan Bolivia pada tahun 1917 dimana saat itu AS mensyaratkan bahwa Bolivia berjanji tidak akan menasionalisasi PMA AS di Bolivia. Kemudian Kongres Berlin 1928 yang memberi pengakuan terhadap Serbia dan Montenegro dengan syarat pemerintah Serbia dan Montenegro tidak memberlakukan larangan agama atau tidak boleh memaksakan penyimpangan agama terhadap warga negaranya .

2. Pengakuan Pemerintah Baru

Pengakuan terhadap pemerintah baru merupakan masalah yang cukup penting dalam pengakuan intenasional. Sebagai yang kita ketahui bahwa di setiap negara pada periode tertentu terjadi pergantian pemerintahan sebagai proses yang lazim dalam suatu negara. Pergantian pemerintahan (suksesi) yang didasarkan pada amanah konstitusi merupakan sesuatu yang legal dan selaras dengan kehidupan politik negara tersebut. Namun, yang menjadi masalah ketika suksesi itu tidak sesuai dengan koridor konstitusi yang telah ditetapkan sebelumnya, misalnya melalui kudeta oleh pihak-pihak tertentu terhadap pemerintahan yang sah.

Pergantian pemerintahan yang tidak sesuai dengan konstitusi negara tersebut merupakan sesuatu yang sangat riskan, mengingat dampaknya tidak hanya berkaitan dengan masalah internal negara tersebut, namun lebih dari itu, pemerintahan yang dibangun atas dasar penyimpangan konstitusi sulit untuk mendapatkan pengakuan dari negara lainnya. Negara-negara lain akan mempertimbangkan sisi politis pemberian pengakuan tersebut, karena memang sesuatu yang krusial jika memberi pengakuan terhadap suatu pemerintahan yang ‘ilegal’ karena akan mendapatkan kecaman dari negara lain yang tidak memberikan pengakuan. Hal ini sangat sejalan dengan asumsi sebelumnya bahwa pengakuan yang diberikan lebih karena muatan politis semata, bukan karena kesadaran hukum negara tersebut. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tanpa pengakuan pemerintahan baru yang berdiri tidak akan mengakibatkan negara tersebut kehilangan statusnya sebagai subjek hukum internasional.

Adolf berpendapat bahwa dalam memberikan pengakuan, biasanya ada kriteria yang menjadi pertimbangan negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui pemerintah baru. Kriteri yang dimaksud adalah:

a. Pemerintahan yang permanen (reasonable prospect of permanence), berkaitan dengan prospek pemerintahan tersebut ke depan.

b. Pemerintah yang ditaati oleh rakyatnya (obedience of the people)

c. Penguasaan wilayah secara efektif, berkaitan dengan keutuhan wilayah negara yang bersangkutan atau kemampuan negara dalam menguasai wilayahnya.

D. Cara Pemberian Pengakuan

Hukum internasional tidak mengatur cara memberikan pengakuan kepada negara lain. Karena itu, setiap negara bebas memberikan pengakuan menurut caranya sendiri. Pada dasarnya, pemberian pengakuan dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu pemberian pengakuan secara tegas dan secara diam-diam atau tersirat.

1. Pemberian Pengakuan Secara Tegas

Pemberian pengakuan ini dapat dilihat dengan adanya nota diplomatik atau pembukaan kedutaan di suatu negara . Menurut Adolf, pemberian pengakuan ini dilakukan dengan cara deklarasi atau pernyataan umum. Hal ini dilakukan dengan mengirimkan pernyataan pengakuan terhadap pemerintah atau negara baru. Misalnya pengakuan terhadap Finlandia, Polandia, Lithuania, Estonia, dan Latvia yang memisahkan diri dari Uni Soviet di tahun 1921 seusai Perang Dunia I. Pengakuan terhadap negara-negara baru tersebut dilakukan oleh Inter-Allied Conference (Konferensi antar Negara-Negara Sekutu). Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa pemberian pengakuan secara tegas dapat pula dilakukan melalui suatu perjanjian. Misalnya, perjanjian antara Inggris dengan pemerintahan sementara Burma (Myanmar) yang ditandatangani pada 17 Oktober 1947, dan mulai berlaku tanggal 4 Januari 1948. Perjanjian tersebut berisi pengakan pemerintah Inggris bahwa Republik Kesatuan Burma adalah negara berdaulat yang merdeka.

2. Pemberian Pengakuan Secara Diam-Diam atau Tersirat

Pemberian pengakuan secara diam-diam atau tersirat merupakan pemberian pengakuan tanpa pernyataan formal oleh negara tertentu. Tindakan-tindakan yang dapat menjadi indikasi bahwa suatu negara telah memberikan pengakuan diam-diam yakni :

a. Pengiriman ucapan selamat kepada kepala negara yang baru

b.Pengiriman perwakilan suatu negara untuk menghadiri pengangkatan atau pengambilan sumpah suatu pemerintahan yang baru.

c.Surat-menyurat untuk pembukaan tukar-menukar perwakilan diplomatik atau konsuler.

d.Perpanjangan hubungan diplomatik.

e.Memberikan suara (voting) kepada negara baru agar dia dapat diterima sebagai anggota PBB atau organisasi internasional lainnya.

f.Membuat perjanjian dengan negara tersebut.

E. Akibat Hukum dari Pengakuan

Pengakuan yang diberikan pada suatu negara membawa dampak hukum bagi negara tersebut. Pengakuan ini secara yuridis akan menentukan langkah dan kiprah negara tersebut dalam kancah pergaulan internasional. Menurut Starke, pemberian pengakuan pada suatu negara akan membawa dampak hukum sebagai berikut:

1.Memperoleh hak untuk mengajukan perkara di muka pengadilan-pengadilan negara yang mengakuinya.

2.Dapat memperoleh pengukuhan atas tindakan-tindakan legislatif dan eksekutif, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang oleh pengadilan-pengadilan negara yang mengakuinya.

3.Dapat menuntut imunitas dari peradilan berkenaan dengan harta kekayaannya dan perwakilan-perwakilan diplomatiknya.

4.Berhak untuk meminta dan menerima hak milik atau untuk menjual harta kekayaan yang berada dalam yurisdiksi suatu negara yang mengakuinya yang sebelumnya menjadi milik dari pemerintah terdahulu.

Sementara itu, menurut Hingorani seperti dikutip oleh Adolf, dampak hukum dari pemberian pengakuan adalah:

1.Negara yang diakui dapat mengadakan hubungan-hubungan diplomatik dengan negara yang mengakui.

2.Negara tersebut dapat menikmati kekebalan diplomatik di negara yang mengakui.

3.Negara yang diakui dapat menuntut di wilayah negara yang mengakui.

4.Negara yang diakui dapat mendapatkan harta benda yang berasal dari penguasa terdahulu yang berada di wilayah negara yang mengakui.

5.Tindakan-tindakan negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya itu tidak dapat diuji.

6.Perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pemerintah terdahulu dapat berlaku kembali.

Menurut hukum internasional, status negara atau pemerintah yang diakui secara de jure membawa serta hak-hak istimewa penuh keanggotaan dalam masyarakat internasional. Dengan demikian, negara tersebut memperoleh kapasitas untuk menjalin hubungan-hubungan diplomatik dengan negara-negara lain dan untuk membentuk traktat-traktat dengan negara-negara tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penutup dari pembahasan makalah ini, penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1.Pengakuan adalah tindakan bebas oleh suatu negara atau lebih yang mengakui eksistensi suatu wilayah tertentu dari masyarakat manusia yang terorganisir secara politis, yang tidak terikat pada negara lain, dan mempunyai kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional, dan dengan cara itu, negara-negara yang mengakui menyatakan kehendak mereka untuk menganggap wilayah yang diakuinya sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.

2.Teori yang membicarakan tentang pengakuan internasional adalah teori konstitutif dan teori deklaratoir. Teori konstitutif pada dasarnya menekankan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang menciptakan status kenegaraan atau melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya di lingkungan internasional. Teori deklratoir menekankan bahwa suatu kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status ini tidak bergantung pada pengakuan.

3.Pengakuan internasional secara garis besar terbagi atas dua macam, yaitu pengakuan negara baru dan pengakuan pemerintahan baru. Pengakuan terhadap negara baru dapat berupa pengakuan kolektif, pengakuan terpisah, pengakuan mutlak, dan pengakuan bersyarat.

4.Pemberian pengakuan oleh suatu negara dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemberian pengakuan secara tegas dan pemberian pengakuan secara diam-diam atau tersirat. Cara pemberian pengakuan yang ditempuh oleh suatu negara sangat ditentukan oleh motif yang mendasarinya, misalnya motif politis yang pragmatik.

5.Pemberian pengakuan terhadap suatu negara akan memberi dampak hukum yang signifikan. Dampak hukum itu adalah berupa kewenangan atau hak untuk berkiprah dalam kancah pergaulan internasional, baik yang berkaitan dengan dimensi hukum, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Dengan adanya pengakuan, maka suatu negara dapat menjalin suatu relasi inter-koneksitas dengan negara atau beberapa negara lain, membuat perjanjian dengan negara atau kelompok negara lain, dan melakukan penuntutan proses hukum di negara lain yang telah memberikan pengakuan terhadap negara yang bersangkuta. Pengakuan internasional bersifat de jure, yang berarti tidak dapat ditarik kembali.

B. Saran

Sebagai bagian akhir dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada pembaca untuk lebih mendalami hukum internasional, khususnya masalah pengakuan. Hal ini penting sebagai bekal dalam menghadapi pergolakan global yang semakin kompleks dan signifikan. Kita sebagai bagian dari masyarakat Indonesia harus memiliki bekal yang cukup dalam menghadapi tantangan global agar bangsa Indonesia tetap eksis hingga akhir cerita kehidupan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, H. 1991. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta: Rajawali.

Rudy, T.M. 2002. Hukum Internasional 1. Bandung: Refika Aditama.

Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional. Jilid I. Alih bahasa oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika.

Tidak ada komentar: