3.05.2008

UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negarg Republik

Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata kehidupan bangsa,

negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;

b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah

Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

c. bahwa Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai. lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan

ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3400);

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3400) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 3A

Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan

Undang-Undang.

3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi

wilayah kabupaten/kota.

(2) Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi

wilayah provinsi.

4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh

Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara.

5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan

dalam Undang-Undang ini.

6. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh

mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

7. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat sebagai calon hakim pengadilan agama, seseorarzg harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

e. sarjana syariah dan/atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan

h. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi

massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai

Komunis Indonesia.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi hakim harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan agama harus berpengalaman

paling singkat 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan agama.

8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi agama, seorang hakim harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

huruf e, huruf g, dan huruf h;

b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;

c. pengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan agama,

atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama; dan

d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling

singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga) tahun bagi hakim

pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketu a pengadilan tinggi agama harus berpengalaman paling

singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi hakim

pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan agama.

9. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

10. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan wajib mengucapkan

sumpah menurut agama Islam.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaikbaiknya

dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya

menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada

nusa dan bangsa".

(3) Wakil ketua dan hakim pengadilan agama mengucapkan sumpah di hadapan ketua pengadilan

agama.

(4) Wakil ketua dan hakim pengadilan tinggi agama Berta ketua pengadilan agama mengucapkan

sumpah di hadapan ketua pengadilan tinggi agama.

(5) Ketua pengadilar} tinggi agama mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Mahkamah Agung.

11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, hakim tidak boleh merangkap

menjadi:

a. pelaksana putusan pengadilan;

b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa olehnya; atau

c. pengusaha.

(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

c. telah berumur 62 (enam puluh due.) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan

agama, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi

agama; atau

d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya

diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.

13. Ketentuan Pas al 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan

alasan:

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;

d. melanggar sumpah jabatan; atau

e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b, huruf e, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi

kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.

(3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim, serta

tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung.

14. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

Seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai

pegawai negeri.

15. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya

oleh Ketua Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam)

bulan.

16. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung

setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;

b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; atau

c. disangka telah melakukan kejahatan terhadap kemanan negara.

17. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum

Islam;

f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai

panitera muda pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera pengadilan tinggi agama; dan

g. sehat jasmani dan rohani.

18. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;

b. berijazah serendah-rendahnya sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum

Islam;

c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai

panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan agama.

19. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan

huruf g; dan

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun

sebagai panitera pengganti pengadilan agama.

20. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi agama, seorang calon harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf g;

b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam; dan

c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, 5

(lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil

panitera pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera pengadilan agama.

21. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan agama, seorang calon hares memenuhi

syarat sebagai berikut :

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan

huruf g; dan

b. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama.

22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi agama, seorang calon hares

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan

huruf g; dan

b. berpangalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi

agama, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera penggar}ti

pengadilan agama, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan agama.

23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan agama, seorang calon harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan

huruf g; dan

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.

24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi agama, seorang calon harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. syarat sebagaimana dimaksud Pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf g; dan

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan agama atau

8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi agama.

25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undangundang, panitera tidak boleh merangkap

menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya is

bertindak sebagai Panitera.

(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi advokat.

(3) Jabatan yang tidak boleh deangkap oleh panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

26. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36

Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diangkat dan

diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.

27. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

(1) Sebelum memangku jabatannya, panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti

mengucapkan sumpah menurut agam a Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau

tidak langsung dengan menggunakan atau can apa pun juga, tidak memberikan atau

menjanjilcan barang sesuatu kepada siapapun juga."

"Saya bersumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekalikali

akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau

pemberian.

"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan seria

mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan perundangundangan

lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia". "Saya bersumpah

bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan

tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaikbaiknya

dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang panitera, wakil panitera, panitera

muda, panitera pengganti, yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hulcum dan

keadilan."

28. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;

f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai jurusita pengganti; dan

g. sehat jasmani dan rohani.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,

dan huruf g, dan;

b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan

agama.

28. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

(1) Jurusita pengadilan agama diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul

ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Jurusita pengganti diangkat dan diberhentikan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan.

30. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

(1) Sebelum memangku jabatannya, jurusita atau jurusita pengganti wajib mengucapkan sumpah

menurut agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau

tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau

menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".

"Saya bersumpah, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak

sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau

pemberian".

"Saya bersumpah bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta

mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan perundangundangan

lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia".

"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,

seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan

kewajiban saya sebaikbaiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang jurusita atau

jurusita pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".

31. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undangundang, jurusita tidak boleh merangkap

menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya is

sendiri berkepentingan.

(2) Jurusita tidak boleh merangkap advokat.

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh jurusita selain jabatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44

Panitera pengadilan tidak merangkap sekretaris pengadilan.

33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris, wakil sekretaris pengadilan agama, dan pengadilan tinggi

agama seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. berijazah paling rendah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;

f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan; dan

g. sehat jasmani dan rohani.

34. Ketentuan Pasal 46 dihapus.

35. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47

Sekretaris dan wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah

Agung.

36. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48

(1) Sebelum memangku jabatannya, sekretaris, dan wakil sekretaris mengucapkan sumpah menurut

agama Islam di hadapan ketua pengadilan yang bersangkutan.

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi sekretaris/wakil sekretaris

akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, negara, dan pemerintah.

"Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian,

kesadaran, dan tanggung jawab".

"Saya bersumpah bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,

pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris serta akan senantiasa mengutamakan

kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan".

"Saya bersumpah bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau

perintah harus saya rahasiakan".

"Saya bersumpah bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk

kepentingan negara".

37. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 49

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari'ah.

38. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya

antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan

agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

39. Di antara Pasal 52 dan Pasal 53 disisipkan satu pasal bait yakni Pasal 52A, yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 52A

Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun

Hijriyah.

40. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:

a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara tersebut;

b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan

dalam perkara tersebut;

c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang

diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan

d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan

dengan perkara tersebut.

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.

41. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105

(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum pengadilan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja

sekretariat diatur oleh Mahkamah Agung.

42. Di antara Pasal 106 dan BAB VII disisipkan satu pasal barn yakni Pasal 106A, yang berbunyi

sebagai berikut:

Pasal 106A

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undangan pelaksana Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 20 Maret 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 20 Maret 2006

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

HAMID AWALUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 22

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 2006

TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan dalam

Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilari yang

berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan

Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah

satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum

dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi

syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk

memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu

tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan

pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan

kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.

Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama

diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat,

khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam

kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan

umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para

Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang

dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan

tuntutan reformasi di bidang hukum, telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

sebagaimana terakhir telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula halnya telah dilakukan perubahan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan

adanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan

undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan

Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.

Penggantian dan perubahan kedua Undang-Undang tersebut secara tegas telah

mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke

Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di

lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama

berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu

pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 2

Yang dimaksud dengan "rakyat pencari keadilan" adalah setiap orang balk warga

negara Indonesia maupun orang acing yang mencari keadilan pada pengadilan

di Indonesia.

Angka 2

Pasal 3 A

Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pengadilan

syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar'iyah di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2)

disebutkan bahwa: "Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama

sepanjang kewenangan-nya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan

merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang

kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum".

Angka 3

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan agama berada di ibukota

kabupaten dan kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten

atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 4

Pasal 5

Cukup jelas.

Angka 5

Pasal 11

Cukup jelas.

Angka 6

Pasal 12

Cukup jelas.

Angka 7

Pasal 13

Cukup jelas.

Angka 8

Pasal 14

Cukup jelas.

Angka 9

Pasal 15

Cukup jelas.

Angka 10

Pasal 16

Cukup jelas.

Angka 11

Pasal 17

Cukup jelas.

Angka 12

Pasal 18

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "sakit jasmani atau rohani terus-menerus"

adalah sakit yang menyebabkan yang bersangkutan ternyata tidak

mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "tidak cakap" adalah misalnya yang

bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam

menjalankan tugasnya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 13

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "tindak pidana kejahatan" adalah tindak

pidana yang ancaman pidananya paling singkat 1 (satu) tahun.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah

apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan

tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan

martabat hakim.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "tugas pekerjaannya" adalah semua tugas

yang dibebankan kepada yang bersangkutan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana

karena melakukan tindakan pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak

diberi kesempatan untuk membela diri.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Angka 14

Pasal 20

Cukup jelas.

Angka 15

Pasal 21

Cukup jelas.

Angka 16

Pasal 25

Cukup jelas.

Angka 17

Pasal 27

Cukup jelas.

Angka 18

Pasal 28

Cukup jelas.

Angka 19

Pasal 29

Cukup jelas.

Angka 20

Pasal 30

Cukup jelas.

Angka 21

Pasal 31

Cukup jelas.

Angka 22

Pasal 32

Cukup jelas.

Angka 23

Pasal 33

Cukup jelas.

Angka 24

Pasal 34

Cukup jelas.

Angka 25

Pasal 35

Ketentuan ini berlaku juga bagi wakil panitera, panitera muda, dan panitera

pengganti.

Angka 26

Pasal 36

Cukup jelas.

Angka 27

Pasal 37

Cukup jelas.

Angka 28

Pasal 39

Cukup jelas.

Angka 29

Pasal 40

Cukup jelas.

Angka 30

Pasal 41

Cukup jelas.

Angka 31

Pasal 42

Cukup jelas.

Angka 32

Pasal 44

Cukup jelas.

Angka 33

Pasal 45

Cukup jelas.

Angka 34

Pasal 46

Cukup jelas.

Angka 35

Pasal 47

Cukup jelas.

Angka 36

Pasal 48

Cukup jelas.

Angka 37

Pasal 49

Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,

melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya.

Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah

termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan din

dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi

kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Huruf a

Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam

atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku

yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:

1. izin beristri lebih dari seorang;

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam

garis lurus ada perbedaan pendapat;

3. dispensasi kawin;

4. pencegahan perkawinan;

5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6. pembatalan perkawinan;

7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;

8. perceraian karena talak;

9. gugatan perceraian;

10. penyelesaian harta bersama;

11. penguasaan anak-anak;

12. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana

bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;

13. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada

bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

14. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;

15. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16. pencabutan kekuasaan wali;

17. penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wall dicabut;

18. penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang belum cult-up

umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

19. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang

ada di bawah kekuasaannya;

20. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam;

21. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;

22. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan

menurut peraturan yang lain.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing

ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalap

tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang

penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masingmasing

ahli waris.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan

suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,

yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara

sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada

orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau

sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh

seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai

dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak

menerimanya.

Huruf g

Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan

sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa

makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau

menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan

karena Allah Subhanahu Wata'ala.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum

secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu

dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.

Huruf i

Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan

usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi:

a. bank syari'ah;

b. lembaga keuangan mikro syari'ah.

c. asuransi syari'ah;

d. reasuransi syari'ah;

e. reksa dana syari'ah;

f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;

g. sekuritas syari'ah;

h. pembiayaan syari'ah;

i. pegadaian syari'ah;

j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan

k. bisnis syari'ah.

Angka 38

Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk

sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait

dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa

antara orangorang yang beragama Islam.

Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu

penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau

keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan

dengan adanya gugatan di pengadilan agama.

Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau

keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di

pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu

putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan

Umum.

Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah

mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di

pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di

pengadilan agama.

Dalam hat objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan

objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu

menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait

dimaksud.

Angka 39

Pasal 52A

Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk

memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat

atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan

awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama

mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu)

Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.

Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai

perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

Angka 40

Pasal 90

Cukup jelas.

Angka 41

Pasal 105

Cukup jelas.

Angka 42

Pasal 106A

Cukup jelas.

Pasal II

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4611

Tidak ada komentar: