3.05.2008

UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2004

TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, dan oleh Sebuah

Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan;

b. bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b,

perlu membentuk Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman;

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945;

Dengan persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2

Penyelenggaraan kekuasan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Pasal 3

(1) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan

negara dan ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila.

Pasal 4

(1) Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA’.

(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat , dan biaya ringan.

(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan

kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) dipidana.

Pasal 5

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan

rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 6

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang

ditentukan oleh undang-undang.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa

seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan

pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 9

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dipidana.

(3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan

ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

BAB II

BADAN PERADILAN DAN ASASNYA

Pasal 10

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan

dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan

tata usaha negara.

Pasal 11

(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan

peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).

(2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah agung;

b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang; dan

c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

(3) Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan

tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.

(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam

lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undangundang.

Pasal 12

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan

oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembuabaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi

wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa

penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau

perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

Pasal 13

(1) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

(2) Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada dibawah

kekuasaan Mahkamah Konstitusi.

(3) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan

diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masingmasing.

Pasal 14

(1) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undangundang

tersendiri.

(2) Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.

Pasal 15

(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang.

(2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan

pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya

menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam

lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan

peradilan umum.

Pasal 16

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian

perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 17

(1) Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya

3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai

ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.

(3) Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan

pekerjaan panitera.

(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undangundang

menentukan lain.

Pasal 18

(1) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya

terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai,

putusan dapat diucapkan tanpa kehadiran terdakwa.

Pasal 19

(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang

menentukan lain.

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

putusan batal demi hukum.

(3) Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.

(4) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan

atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian

yang tak terpisahkan dari putusan.

(5) Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat

hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

(6) Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan ayat (5)

diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 20

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 21

(1) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada

pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang

menentukan lain.

(2) Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan

dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan

banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali

undang-undang menentukan lain.

Pasal 22

Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada

Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang

menentukan lain.

Pasal 23

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihakpihak

yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah

Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undangundang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

Pasal 24

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan

peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan

dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan

Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam

lingkungan peradilan militer.

Pasal 25

(1) Segala putusan pengadilan selain memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat

pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan

panitera yang ikut serta bersidang.

(3) Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang

ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

Pasal 26

Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang

diminta.

BAB III

HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

Pasal 27

Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

BAB IV

HAKIM DAN KEWAJIBANNYA

Pasal 28

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula

sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Pasal 29

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili

perkaranya.

(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seorang yang diadili

untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim

yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan

keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri

meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat,

atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat

ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili

atau advokat.

(5) Seorang, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia

mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang

diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang

berperkara.

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan

tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi

administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita

untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji

menurut agamanya.

(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

Sumpah:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan

sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundangundangan

dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

Janji:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban

hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan

perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”

(3) Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

BAB V

KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN

Pasal 31

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undangundang.

Pasal 32

Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,

profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Pasal 33

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

Pasal 34

(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim dilakukan oleh Komisi

Yudisial yang diatur dengan undang-undang.

(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim

diatur dalam undang-undang.

(3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung

dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undangundang.

Pasal 35

Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan

dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang-undang.

BAB VI

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 36

(1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang-undang.

(3) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera

danjurusita dipimpin oleh ketua pengadilan.

(4) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan

keadilan.

BAB VII

BANTUAN HUKUM

Pasal 37

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapat bantuan hukum

Pasal 38

Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau

penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Pasal 39

Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib

membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

Pasal 40

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undangundang.

BAB VIII

KETENTUAN LAIN

Pasl 41

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan-badan

lain diatur dalam undang-undang.

BAB IX

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42

(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum

dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret

2004.

(2) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama

selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(3) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer

selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.

(4) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:

a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berakhir;

b. 60 (enam puluh hari) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

Pasal 43

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam

pasal 42 ayat (1):

a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha

Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri,

pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha

negara menjadi pegawai pada Mahkamah Agung.

b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara,

dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap

menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung.

c. semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan

tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara

beralih ke Mahkamah Agung.

Pasal 44

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42 ayat (2):

a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi

pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta

pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi Mahkamah Agung;

b. semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan

Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal

Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundangundangan;

c. Semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi

agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.

Pasal 45

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 42 ayat (3):

a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer;

b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai

negeri sipil pada Mahkamah Agung.

Pasal 46

Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan

Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang-undang ini di

undangkan.

BAB X

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 47

Ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru

berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 48

Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 49

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini

dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 15 Januari 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 15 Januari 2004

SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 4 TAHUN 2004

TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa

Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salahsatu

prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan

tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-

Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas -

Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan.

Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan

kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis

yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada dibawah satu

atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan

paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan

peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara

berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan

peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap

badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan sarandan pendapat Menteri

Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah

membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan

kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan

kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberi

putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang

berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim

agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khusunya mengenai penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara

komprehensif.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, jaminan

kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam

mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang

menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan

kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan,

pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang

fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian

dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di

bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian

bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra

yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena

tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,

sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Ayat (1)

Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar

peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan Pasal

29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:

1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ayat (2)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.

Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara

dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.

Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh

rakyat.

Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan

ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud “dipidana” dalam ayat ini adalah bahwa unsur-unsur tindak pidana

dan pidananya ditentukan dalam undang-undang.

Pasal 5

Cukup jelas

Pasal 6

Cukup jelas

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan

putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama

baik, atau hak-hak lain.

Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4)

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah dari undang-undang. Hak uji tersebut dapat

dilakukan terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan

perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan

yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundangundangan

tersebut.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “pengawasan tertinggi” dalam ketentuan ayat ini meliputi

pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan di

bawahnya.

Pasal 12

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah

pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak

pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan

umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

Ayat (2)

Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas

Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk

tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun

2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001

Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).

Pasal 16

Cukup jelas

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Cukup jelas

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Cukup jelas

Pasal 22

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “hal atau keadaan tertentu” dalam ketentuan ini antara lain

adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan

hakim dalam menerapkan hukumnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 24

Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat

kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian

tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di

lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada

kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum.

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksud agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan

masyarakat

Ayat (2)

Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan

dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa

sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai denagn kesalahannya.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “derajat ketiga” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “kepentingan langsung atau tidak langsung” adalah termasuk

apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau

perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan

sebelumnya.

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “dipimpin” dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan

tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya

pelaksanaan putusan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus

dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan

keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak

boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan

ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “organisasi, administrasi, dan finansial pada ayat ini adalah

organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan

militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah

militer atau pengadilan militer.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 43

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada

selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.

Pasal 44

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c

Pasal 45

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Pasal 46

Cukup jelas

Pasal 47

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4358

Tidak ada komentar: